You are on page 1of 11

Tugas Referat

JUVENILE CHRONIC ARTHRITIS

Oleh : Nurul Hidayati H1A 010 050

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat 2012

PENDAHULUAN Juvenile Chronic Arthritis dikenal juga dengan istilah juvenile rheumatoid artritis, dimana merupakan penyakit artritis rheumatoid pada anak-anak dengan pembengkakkan, nyeri dan rasa sakit pada satu sendi atau lebih, yang dapat mengganggu tumbuh kembang, keterbatasan gerak, ankilosis, serta kontraktur fleksi sendi. Penyakit ini sering diikuti oleh manifestasi sistemik yang meliputi demam tinggi, ruam (kemerahan), sementara pada badan dan ekstremitas, hepatosplenomegali, limfadenophati generalisata, dan anemia.1 Biasanya menyerang anak dibawah usia 16 tahun, penyakit ini ditandai dengan peradangan pada sinovium dan pada tipe tertentu disertai gejala sistemik. Penyakit ini sering memberikan dampak buruk pada anak-anak berupa kecacatan dan gangguan psikososial. Permasalahan yang sering mereka hadapi antara lain ketergantungan, keterlambatan proses belajar, permasalahan dalam keluarga, depresi, atau kesulitan mencari pekerjaan. Untuk itu penyakit ini perlu penanganan yang serius.2 ETIOLOGI Penyebab dari penyakit artritis rheumatoid juvenile dan mekanisme untuk pengekalan radang synovial kronis belum diketahui. Namun, ada 2 hipotesis yaitu, bahwa penyakit disebabkan oleh infeksi mikroorganisme yang tidak dikenali atau bahwa penyakit tersebut menggambarkan reaksi hipersensitivitas atau autoimun terhadap rangsangan yang tidak diketahui.3 Upaya untuk mengkaitkan seperti virus rubella pada Juvenile rheumatoid arteritis(JRA) tetap tak tersimpulkan. Infeksi dengan Borrelia burgdorferi, spirohekta penyakit Lyme menyebabkan pausiartritis berulang atau kronis pada beberapa anak tetapi bukan merupakan agen etiologi dari JRA pausiartikuler.3 Upaya untuk menghubungkan dengna faktor rheumatoid pada orang dewasa yaitu antibodi reakitf dengan IgG tidak dapat memberikan kesan mekanisme imun yang chronic. Karena jelas antibodi ini tidak menimbulkan penyakit , walaupun kompleks imun faktor rheumatoid dan immunoglobulin dapat mengekalkan perdangan synovial dan menimbulkan

vaskulitis rheumatoid yang ditemukan pada penderita arteritis rheumatoid seropositive. Namun mekanisme ini gagal menjelaskan peradangan synovial pada anak karena anak tidak memiliki faktor rheumatoid klassik.3 EPIDEMIOLOGI Penyakit JRA tidak jarang, ada sekitar seperempat juta anak yang terkena di Amerika Serikat. Sekitar 5% dari semua kasus arteritis mulai timbul pada masa kanak-kanak.3 Prevalensi penyakit ini juga dilaporkan di Rochester sekitar 11/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/ tahun. JRA menyerang anak dengan tingat umur sekitar 4-5 tahun. Tabel berikut menunjukan subkelompok artritis rheumatoid juvenile,3 Poliartikuler Poliartikuler Karakteristik faktor rheumatoidNegative Persentase Penderita JRA Jenis kelamin Umur waktu timbul penyakit Kapan saja 90% anak perempuan 80% anak perempuan Masa kanakkanak akhir 80% anak perempuan Masa kanakkanak awal Beberapa Dimana Sendi saja, multiple Diman saja, multiple sendi besar: lutut, pergelangan kaki, siku Sakroliitis Tidak ada Jarang Tidak ada Lazim Tidak ada Beberapa sendi besar, tulang lingkat panggul Dimana saja multiple 90% anak lakilaki Masa kanakkanak akhir 60% anak lakilaki 20-30 5-10 30-40 10-15 10-20 faktor rheumatoidPositive Pausartikuler tipe I Pausartikuler tipe II Timbul/Dimulai Secara Sistemik

Kapan saja

30% Iridoksilitis Jarang Tidak ada iridoksilitis kronis Faktor rheumatoid Pemeriksaan HLA Negative 100% Negative HLA-DR5? HLA DR4 DR6. Dan DR8 Artritis berat, 1015% Cedera Artritis berat, >50% okuler 10%, poliarteritis 20%

10-20% iridoksilitis akut

Tidak ada

Negative

Negative

HLA-B27

Morbiditas akhir

Spondiloartrophati berikutnya, ?%

Artritis berat, 25%

PATOGENESIS Artritis rheumatoid ditandai dengan peradangan synovial kronis yang nonsupuratif, jaringan synovial yang terkena edematosa, hiperemis, dan diinfilttrasi oleh limfosit, dan sel plasma. Bertambahnya sekresi cairan sendi menimbulkan efusi. Penonjolan dari membrane synovialis yang menebal membentuk vili yang menonjol ke dalam ruang sendi: rheumatoid synovial yang hiperplastik dapat menyebar dan melekat pada kartilago kartilago artikuler( pembentukan pannus(memebran abnormal)). Pada sinovitis kronis dan proliferasi synovial yang berkelanjutan, kartilago artikuler dan struktur sendi lainnya dapat tererosi dan rusak secara progresif. Lamanya sinovitis sebelum sendi rusak secara permanen adalah belum pasti, kerusakan kartilago terakhir dalam perjalanan JRA terjadi lebih belakang daripada pada penyakit yang timbul pada/dimulai ketika dewasa dan banyak anak yang menderita JRA tidak pernah mengalami cedera sendi permanen walaupun menderita sinovitisnya lama.3 Pada kondisi dimana penghancuran sendi telah dimulai akan terjadi erosi tulang subkhondral, penyempitanruang sendi(kehilangan kartilago artikuler) penghancuran atau fusi tulang, dan deformitas, subluksasio atau ankilosis persendian. Mungkin juga dijumpai
3

tenosynovitis dan myositis. Osteoporosis, periostitis, pertumbuhan epifiseal yang dipercepat dan penutupan epifiseal yang premature dapat terjadi dekat dengan sendi yang terkena.3 Secara histopatologis sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi oleh sel mononuklir, hipertrofi virus, peningkatan jumlah fibroblast dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain IL-2, IL-6, TNF-, GM-CSF. Jelaslah sangat besar berperan sel dalam menimbulkan keradangan di sinovium. Bagaimana sel T bisa menjadi autoreaktif itu masih menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel T autoreaktif tak lepas dari peran HLA, hal ini dibuktikan dengandilakukan penghambatan gen TCR (TCRV14+) yang bertanggung jawab atas klonasi sel T. HLA yang bertanggung jawab pada manifestasi klinik antara lain, HLADRB1*0801, DQA1*0401, dan DQB1*0402.2 Nodul rheumatoid kurang sering terjadi pada anak daripada pada dewasa, terutama penyakit faktor rheumatoid positif dan memperlihatkan bahan fibrinoid yang dikelilingi oleh radang yang kronis, pleura pericardium dan peritoneal dapat menampakan serositis fibrinosa yang non spesifik; yang jarang yaitu pericarditis konstruktif kronis, jika pernah terjadi. Ruam rheumatoid secara histologis tampak seperti vaskulitis ringan dengan sedikit sel radang yang mengelilingi pembuluh darah kecil pada jaringan subepitel.3 Infeksi virus dan bakteri sebagai faktor lingkungan yang berperan dalam pathogenesis JRA. Infeksia dikatakan dapat sebagai pencetus terjadinya autorekasi sel T. Hal ini ditunjukan pada penelitian mengenai HSP 60 dalam mengontrol aktivitas sel T yang menimbulkan artritis.2

Gambar 1. Peran infeksi dalam mencetuskan penyakit autoimun. 2 DIAGNOSA Diagnosis penyakit ini bergantung pada keadaan klinis pasien dan tergantung adanya artritis atau manifestasi sistemik khas selama 3 bulan berturut-turut atau lebih dan tidak terdapatnya penyakit lainnya.3 Keadaan klinis pasien dimulai dengan poliartikuler, penyakit ini ditandai dengan keterlibatan banyak sendi secara khas, termasuk sendi-sendi kecil tangan dan terjadi pada 35% anak yang menderita JRA. Ada dua subkelompok, yaitu: poliartritis faktor rheumatoid negative (20-30% dari semua penderita JRA) dan poliartritis faktor rheumatoid-positif(5-10% dari semua penderita JRA). Penyakit faktor rheumatoid-positif ditandai dengan khas timbul/mulainya penyakit pada akhir masa kanak-kanak, artritis yang lebih berat, sering munculnya nodul rheumatoid, dan kadang-kadang vaskulitis rheumatoid. Selama masa kanak-kanan, penyakit faktor rheumatoid negative dapat mulai terjadi di setiap saat, seringkali ringan dan jarang disertai dengan nodul rheumatoid. Daripada anak laki-laki, anak perempuan lebih banyak yang terkena kedua jenis penyakit ini. Baik pola poliartikuler maupun sifat uji faktor rheumatoid ditegakkan dalam 6 bulan pertama penyakit.3
5

Munculnya artritis sistemik dengan gejala demam setiap 2 hari disertai minimal selama 2 minggu mengalami artritis, dimana demam tinggi secara mendadak samapai sore hari dan turun pada esok paginnya. Saat panas tersebut dapat timbul bercak bentuknya macula dan menghilang ketika panas turun. Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot, dan hepatospleenomegali, beberapa pasien mengalami serositis atau perkariditis. Pada kasus ditemukannya limfadenophati, tempromandibular dan jari-jari tangan dapat terkena tetapi jarang. LED dapat meningkat, tes ANA gratis dan kadar ferritin yang tinggi. Gambaran laboratoriknya menunjukan leukositosis dengan jumlah leukosit di atas 20.000 mm2.2 Pada olioartritis atau pausiartikular, insidensinya 35% dari JRA, pada 1-4 sendi, tanpa gejala sistemik. Sebanyak 40-70% mempunyai tes ANA positif. Dan gejala klinis ini sering lebih sering pada anak perempuan daripada anak laki-laki pada umur 1-3 tahun.2 Gambaran Radiologi, tidak semua JRA menimbulkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada jaringan lunak sedangkan untuk poliarticular. 2 Juga disarankan untuk pasien untuk dilakukan Pemeriksaan darah lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal, tes ANA dan faktor reumatoidnya.2,3 PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar untuk mengatasi nyeri. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun nonfarmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tidak kalah penting. Pada pasien ARJ pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat.2 Untuk mengontrol nyeri tidak mudah pada anak. Masalahnya sangat kompleks, karena pada umumnya anak belum dapat mengutarakan rasa nyeri. Obat anti-inflamasi nonsteroid(OAINS) merupakan obat anti nyeri yang pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak. Selain untuk mengurangi nyeri OAINS juga dapat diberikan untuk mengatasi kaku

sendi. Efek analgesiknya sangat cepat. Efek samping yang sering dijumpai antara lain, nyeri perut, anoreksia, gangguan fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal. Nefritis interstitial merupakan efek samping yang paling sering dijumpai, sehingga dianjurkan untuk urinalisis setiap 3 bulan. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan untuk evaluasi hati secara teratur setiap 3-6 bulan sekali dan para orang tua harus mengetahui efek-efek samping dari obat tersebut.2 Berikut macam-macam OAINS yang digunakan pada anak-anak2,4,5 Jenis Aspirin Dosis 75-90mg/kgbb/hari, atau 4-6 x mg/kgbb/hari Efek Samping Peningkatan Keterangan SGOT Pengunaan sudah keamanan untuk terapi lebih

15-20 dan SGPT pada anak, cukup lama, memiliki mual, muntah, anemia catatan sekunder baik,

antiinflamasi naproxen Tolmetin 25 mg/kgbb/hari, Mual,

dipilih ibuprofen atau

muntah, Obat ini tidak efektif jarang serta sekali

dibagi dalam 4 dosis

anemia, menyebabkan dalam terapi gout, dan trombositopenik purpura, lambung duodenum, gangguan digunakan.

Naproksen

15 mg/kg/hari. Dibagi Menyebabkan dalam 2 dosis perdarahan cerna atas(jarang), lainnya.

Efektif untuk indikasi saluran reumatologi yang bagian biasa dan sediaanya serta dalam bentuk lepas oral. topical Suatu dan sediaan larutan

efek samping OAINS lambat dan suspensi

oftalmik juga tersedia

Ibuprofen

Dosis dalam 4 dosis

35 Mual, muntah, nyeri Pengunaan ulu hati menurunkan antiinflamasi Efektifitas keamanan sama indomentasin, digunakan

dengan dapat efek total. dan obat ini dapat untuk dengan

mg/kgbb/hari di bagi perut, rasa terbakar di aspirin

penderita reumatik

DMARD( Disease Modifiying Antirheumatik Drugs) digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut. Seperti pengunanan hidroksikloroquin:4-6mg/kg/hari, maksimal 300 mg/hari, bisa juga mengunakan preparat emas oral maupun IM dosis 5 mg/minggu, Dpenisilamin 10 mg/kg/hari dengan efektivitas yang masih belum diketahui2. Glukokortikoid merupakan pilihan obat terakhir yang diberikan pada pasien karena memiliki banyak efek samping sebagai immunosupressan.6 Untuk terapi-terapi nonfarmakologi bisa berupa fisioterapi yang berguna untuk mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dan dingin, hidroterapi dan TENS. Hidroterapi dengan pemanasan dengan air pada suhu 96F dapat membantu mengurangi nyeri selain itu juga fisioterapi dapat membantu anak untuk melakukan perengangan otot yang dapat berguna untuk memperbaiki fungsi sendi. Selain itu juga fisioterapi membantu untuk menambah masa otot, mempertahankan fungsi gerak sendi, dan mempertahankan pertumbuhan tubuh normal.2 Pengolahan nutrisi harus benar-benar tepat pada kasus ini, karena penurunan nafsu makan atau intake makanan berlebih mengakibatkan malnutrisi pada anak. Sehingga penanganan masalah gizi menjadi sangat kompleks. Pemberian vitamin, besi, dan kalsium sebaiknya

ditambahkan pada diet sang anak terutama vitamin D dan kalsium apalagi pada anak-anak dengan pengunaan OAINS jangka panjang.2 PENUTUP Penyakit reumatik adalah kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut. Secara klinis ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak pada sendi sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban.6 Namun, penyakit Still atau dikenal dengan Juvenile chronic arteritis adalah penyakit rheumatic yang menyerang anak-anak, biasanya disertai dengan onset akut demam dan ruam kulit. Nyeri sendi bukan merupakan gejala esensial(tidak ditemukan saat onset pada 25% kasus) dan mungkin monoartikular (30%) saat onset. Nodul subkutan jarang ditemukan. Perubahan pada mata diantaranya adalah iridosiklitis kronis(10%), opasitas pita kornea dan katarak komplikata. Limfadenophati ditemukan pada 30% kasus dan splenomegaly pada 20% kasus dan pericarditis sederhana pada 10% kasus. 6 Biasanya sepertiga pasien datang dengan keluhan riwayat poliarteritis diam-diam seperti pada arteritis rheumatoid dewasa. Tes fektor reumathoid biasanya negative(80% kasus).6 Prognosis penyakit ini baik, biasanya tanpa pengobatan dapat sembuih sendiri dengan kecacatan minimal atau tidak ada. Pertumbuhan tulang bissa terhambat, pada sepertiga kasus penyakit ini dapat berlanjut sampai dewasa dan menimbulkan kecacatan.6

DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson DM. Kamus Kedokteran Dorland. ed 29. Jakarta: EGC. 2002:185 2. Sudoyo AW, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta:

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009:2519-2525


3. Behrman, kliegman, Arvin, Nelson Ilmu Kesehatan Anak. ed 15. vol 2. Jakarta: EGC.

2000: 816-827
4. Katzung, BG. Farmakologi Dasar & Klinik. ed 10. Jakarta: EGC. 2010:592-599 5. Theodorus. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta: EGC. 1996: 20,113 6. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Note Kedokteran Klinis edisi.6 Jakarta:

Erlangga, 2005: 140-160

10

You might also like