You are on page 1of 13

http://www.pta-jakarta.go.id/artikel/31-ruslan-harunar-rasyid/231-teori-etnometodologi-.html TEORI ETNOMETODOLOGI Oleh ; Ruslan H.R. A. Pengertian Etnometodologi Apa sebenarnya teori etnometodologi itu ?

Yang dimaksud dengan teori etnometodolgi ialah suatu teori dalam ilmu sosiologi yang berisikan sekumpulan pengetahuan, serangkaian prosedur dan sejumlah pertimbangan atau metode tentang kehidupan alamiah masyarakat seharihari, yang ditandai dengan bahasa yang digunakan, di mana masalah-masalah kemasyarakatan ini diartikan sebagai masalah yang diselesaikan secara rutin, praktis dan kontinyu tanpa banyak menggunakan pikiran. Dalam kehidupan sehari-hari dengan teori etnometodologi anggota masyarakat menggunakan penalaran praktis, logika sendiri dan sifatnya abstrak teoritis, hidup dan berkembang dalam suatu tatanan masyarakat alamiah yang merupakan produk masyarakat setempat. Aliran etnometodologi mempunyai prinsip-prinsip, sebagai berikut ; 1. Mengkaji kegiatan dan lingkungan praktis. 2. Menganalisis kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, cara manusia berkomunikasi, mengambil keputusan, berpenalaran dan sebagainya. 3. Memakai penalaran praktis. 4. Menggunakan penelitian empiris. 5. Berpegang pada pengalaman. 6. Menggunakan bahasa awam, bukan bahasa ilmiah. 7. Berpendapat bahwa akitivitas dari aktor yang terus menerus membentuk realitas masyarakat, bukan sebaliknya 8. Berasumsi bahwa fenomena sehari-hari menjadi kacau, jika dianalisis dengan jalan diskripsi ilmiah 9. Berasumsi bahwa norma, aturan hukum, struktur, semua tidak stabil, tetapi berubah-ubah karena tindakan aktor yang terus menerus berubah. Adapun yang menjadi objek atau cara telaahan dari paham etnometodologi, antara lain sebagai berikut ; 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menelaah praktik cerdas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari Melakukan kajian studi tentang sebuah institusi Mendapatkan kejelasan yang substantif dari aktor Memberikan sesuatu penjelasan kepada orang lain Mengetahui cara atau metode menerima penjelasan dari orang lain Menganalisis percakapan sehari-hari Menganalisis pengejekan dan pelecehan orang lain

8. Menganalisis antara kalimat yang dipakai dengan narasi reasoning 9. Menganalisis antara pembicaraan dengan bahasa tubuh 10. Mengontrol diri dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri 11. Menganalisis metode pelanggaran sistem dan metode pemulihan sistem yang ada 12. Menganalisis terhadap negoisasi yang dilakukan para eksekutif 13. Melakukan resolusi terhadap upaya mediasi atau perdamaian. B. Teori Etnometodologi dalam Masyarakat. Dari objek telaahan teori etnometologi ini, penulis ingin soroti dan mengaitkan dengan eksistensi kehidupan masyarakat. 1. Menelaah praktik cerdas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi praktik cerdas masyarakat, misalnya seseorang yang merasa haknya diinjak-injak oleh orang lain, maka orang ini akan berpikir bagaimana caranya agar hak tidak diinjak-injak oleh orang lain dan hak tersebut dapat diperoleh kembali. Lalu ia memutuskan kalau demikian, ia harus mengajukan tuntutan hak melalui pengadilan. Setelah sampai di pengadilan, ia harus mempelajari bagaimana mekanisme/proses peradilan yang ia harus lalui. Setelah memahami mekanisme yang ia harus lalui, maka ia akan mendapatkan kesempatan untuk membela haknya di persidangan. Dalam proses persidangan ia harus cerdas mengemukakan argumentasi dalam mengajukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hakim. Setelah perkaranya diputus, ia harus mampu mengetahui apakah ia sebagai pihak yang menang atau pihak yang kalah dalam berperkara. Apabila ia kalah, maka ia harus cerdas lagi melakukan upaya hukum, biasanya melalui permohonan banding ke pengadilan tingkat banding dan pada akhirnya akan melakukan upaya hukum kasasi ataupun Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. 2. Melakukan kajian studi tentang sebuah instansi. Orang yang bekerja pada sebuah institansi, harus mampu mengetahui dan memahami mekanisme birokrasi yang berlaku di instansinya di mana ia bekerja. Terkadang setiap institansi berbeda dalam hal pola kebijakan yang diberlakukan, baik karena di instansi itu telah memiliki SOP (Standar Operasional Prosedure), maupun instansi itu belum menggunakan dan memiliki SOP. Semua pengadilan yang ada di bawah Mahkamah Agung, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding, mempunyai dua kegiatan yang harus dibina dan dibangun, yaitu ; bidang kepaniteraan dan bidang kesekretariatan. Idealnya kedua bidang ini harus dibangun secara terpadu dan terkoordinasi, agar wajah pengadilan ini benar-benar menjadi peradilan yang court of law. Anehnya ada beberapa pengadilan di Indonesia, yang menonjol pembinaannya dan yang dibangun hanya bidang kesekretariatan, sedangkan bidang kepaniteraan sedikit agak lambat dan ketinggalan pembinaannya. Padahal di satu sisi saat ini Mahkamah Agung mengeluarkan kebijaka bahwa kegiatan pembinaan dan pengawasan sepenuhnya diserahkan kepada pengadilan tingkat banding setempat. Seharusnya pada waktu membahas rencana kegiatan kerja, kedua bidang ini harus telah siap dengan program-program andalannya, yang sudah barang tentu akan dilakukan langkah penyesuaian-penyesuaian dan dengan skala prioritas. Prinsip yang harus dianut dalam dunia peradilan kita, tidak boleh ada yang diutamakan

dan ada pula yang diabaikan. Semuanya harus berjalan seiring dan seimbang sesuai tingkat kebutuhan lembaga peradilan yang bersangkutan. Di sinilah diperlukan kreativitas dan kecepatan aktor/petugas yang bersangkutan untuk menawarkan program-program yang aktual dan rasional. 3. Mendapatkan kejelasan yang substantif dari aktor/petugas. Ketika orang berurusan dengan suatu instansi, maka orang yang berurusan itu harus mendapatkan kejelasan dari petugas yang ditunjuk, apa saja yang ia harus lakukan di instansi tersebut. Kewajiban-kewajiban apa saja yang harus ia penuhi. Salah satu contoh yang bisa dikemukakan, penulis mengapresiasi dan kagum melihat sistem pelayanan yang disajikan di RS. Omni Pulomas Jakarta Timur. Mulai dari petugas parkir, perawat, petugas administrasi sampai pada dokter yang menangani pasien, kelihatan dan nampak sekali kerjasama dan kemampuan mereka dalam memberikan pelayanan berupa penjelasan kepada pasien ataupun keluarganya. Penulis berikan contoh, pada saat masuk di area parkir. Petugas parkir sudah menyampaikan lebih awal, maaf Pak ! area parkir sudah penuh, hati-hati Pak. Kalau bisa mobil di off persenelannya. Ketika masuk di ruang UGD (Unit Gawat Darurat) petugas menyambut dengan senyum dan dengan bahasa yang santun. Maaf Pak ! apakah pasien ini pernah dirawat di RS ini ?, rupanya akan dicari data dan riwayat pengobatan pasien yang bersangkutan. Setelah mendapatkan perawatan dari dokter ahli penyakit yang bersangkutan. Petugas kembali bertanya, apakah Bapak akan menggunakan jasa ASKES (Asuransi Kesehatan) ?. Rupanya di RS Omni, ada dokter yang menerima ASKES dan ada pula yang tidak menerima ASKES. Tentu saja kalau pasiennya adalah pegawai negeri, maka petugas menunjukkan dokter yang menerima ASKES tadi. Setelah dokter sudah diketahui. Petugas kembali memberikan penjelasan bahwa untuk penggunaan kamar di RS ini, ada klasifikasi dan tergantung dari status pegewai negeri sipil selaku pasien yang dirawat. Diserahkanlah daftar selisih harga yang harus ditanggulangi oleh pasien yang bersangkutan. Hampir tiga kali sehari, perawat datang memberikan pelayanan pengobatan sesuai dengan anjuran dokter. Dan dokter sendiri hampir dua kali sehari rata-rata datang memeriksa pasien yang bersangkutan dan selalu memberikan semacam sugesti kepada pasien. Sampai pasien pulang ke rumah, pelayanan administrasi sungguh cepat dan uang yang harus dibayarkan sudah tersedia berbagai ATM Bank yang ada di dalam Rumah Sakit, antara lain ; ATM BCA, ATM BRI, dan ATM Mandiri. 4. Mengetahui cara atau metode menerima penjelasan dari orang lain. Memahami penjelasan orang lain, baik dengan tatap muka, maupun dengan cara tulisan (surat kabat,karya ilmiah), diperlukan suatu metode yang tepat untuk mau menerima penjelasan atau pendapat orang lain. Tentu saja sebelum memahami penjelasan itu, terlebih dahulu harus disingkirkan pikiran-pikiran yang apriori terhadap orang atau pihak yang memberikan penjelasan. Dan bagi pihak-pihak yang terkena fokus sorotan atau fokus tulisan harus berpikir lebih jernih dan dengan menggunakan kepala dingin untuk memahami substansi permasalahan yang ada. Tidak perlu terlalu berlebihan membela diri atau melakukan protes yang berlebihan. Yang terpenting bagi yang menerima penjelasan lakukanlah langkah-langkah konkret yang riel dan nampakkan ke publik bahwa apa yang Anda soroti itu tidak benar dan sesungguhnya inilah yang sebenarnya dan ini pula lah hasil kerja keras yang dilakukan dalam melakukan pembinaan dan perbaikan. Terhadap tulisan-tulisan yang dianggap tidak tepat, cara yang paling jitu adalah bahwa pihak yang disorot atau pihak yang merasa sorotan tersebut tidak tepat, tidak etik dan atau

kurang sopan, maka ia harus mampu menulis pula dengan tulisan yang sama dengan melakukan tanggapan-tanggapan yang balance atau seimbang yang tepat sasaran. Sorotan-sorotan sepintas yang profesional yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam ilmu sosiologi disebut etnometodologi. 5. Menganalisis percakapan sehari-hari. Manusia dalam berkomunikasi hampir selalu menggunakan percakapan sehari-hari. Di dalam percakapan sehari-hari itu, terkadang orang menggunakan bahasa pasar, bahkan mungkin ada orang yang menggunakan dialek pengaruh bahasa daerah. Sebagai contoh pada masa lalu banyak menteri yang berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi kental dengan pengaruh bahasa asal daerah menteri yang bersangkutan, misalnya mantan Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI. Almarhum. Jenderal (Purn) M.Yusuf. Pengarahan beliau selalu tegas dan singkat serta mudah dipahami, tetapi kalimat-kalimatnya tidak lepas dari dialek orang bugis (Sulawesi Selatan). Kalimat-kalimat beliau harus dianalisis lebih teliti, agar maksud pembicaraannya dapat dipahami dengan baik dan tepat . 6. Menganalisis pengejekan dan pelecehan orang lain. Dalam kehidupan sosial sering ditemukan pengejekan dan pelecehan orang lain. Ada beberapa kemungkinan timbulnya pengejekan dan pelecehan seseorang terhadap orang lain. Pertama ; Pengejekan dan pelecehan itu muncul, karena akibat adanya kecemburuan sosial, mungkin saja pihak yang diejek atau dilecehkan itu memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh sang pengejek dan sang peleceh. Kedua ; Pengejekan dan pelecehan muncul karena kepentingan sesaat, mungkin saja pihak pengejek dan peleceh memiliki sesuatu target kepentingan, sehingga yang diejek atau dilecehkan itu bisa menjadi gagal dalam suatu urusan atau kegiatan, katakanlah kaitan dengan bisnis, karir dan sebagainya. Ketiga ; Pengejekan dan pelecehan muncul karena kepentingan politik. Mungkin bisa diberikan contoh kongkret, dari kacamata etnometodologi. Baru-baru ini berdasarkan hasil survei Litbang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), disebutkan ada tiga kementerian yang memiliki peringkat tiga besar terkorup di Indonesia, yaitu ; kementerian agama, kementerian transmigrasi serta kementerian koperasi dan UKM. KPK melihat berbagai indikator dari hasil surveinya tersebut. Nampak di media televisi Menteri Agama serius memberikan penjelasan kepada masyarakat luas. Apa sesungguhnya yang telah dicapai oleh kementerian agama dewasa ini. Cara Menteri Agama inilah, beliau menggunakan teori etnometodologi. 7. Menganalisis antara kalimat yang dipakai dengan narasi reasoning Kalimat yang dipakai dengan menggunakan narasi reasoning, sering ditemukan dalam putusan pengadilan dengan menggunakan penalaran ilmiah. Adapun yang dimaksud dengan penalaran ilmiah adalah penalaran yang dilakukan sesuai dengan alur atau pola penalaran deduktif yang rasional dan penalaran induktif yang empiris. Sebuah penalaran ilmiah harus didukung dengan ; penemuan dan perumusan masalah, penyusunan/perumusan hipotesis, pengumpulan data, verifikasi dan penarikan kesimpulan.

Hambatan yang sering ditemukan hakim dalam membuat putusan, karena ada diantara mereka yang tidak mampu membuat reasoning yang tepat, padahal di dalam pikirannya sudah tergambar apa yang ia harus tulis dan tuangkan dalam konsep putusan. Sebenarnya untuk mengatasi kelemahan itu mudah sekali caranya, yaitu ; memperbanyak membuat konsep putusan dengan banyak membaca referensi yang terkait serta rajin membaca dan menganalisis yurisprudensi yang ada. Hanya saja cara ini tidak banyak dilakukan oleh hakim-hakim muda, apalagi bagi mereka yang sudah senior, karena mungkin secara fisik mereka sudah tidak bisa berbuat banyak lagi, bila kesehatan mereka ikut mengganggu dalam pelaksanaan tugas. Bagi pencari keadilan yang perkaranya telah diputus oleh pengadilan, tentu saja harus mampu menganalisis materi putusan, minimal akan dijadikan dasar untuk mengajukan upaya hukum banding atau kasasi. Cara yang dilakukan itu, berarti yang bersangkutan telah menggunakan teori etnometodologi. 8. Menganalisis antara pembicaraan dengan bahasa tubuh Ketika orang berbicara di suatu forum, misalnya ; breifing, seminar, simposium ataupun rapat-rapat intern instansi atau lembaga, orang dapat membaca dan memahami apa muara dan keinginan si pembicara, bukan hanya pada kalimat-kalimat yang diucapkan, tetapi dapat pula diketahui dan dipahami dari gerakan dan bahasa tubuh si pembicara. Contoh konkret, ketika Presiden SBY berpidato dalam sebuah forum, ada peserta yang tertidur. Spontan Pak SBY bereaksi dengan gerakan tubuh yang disertai dengan ucapan. Dari ucapan SBY itu, orang dapat memahami bahwa Presiden ketika itu sedang marah dan tersinggung. Cara kita memahami isi pembicaraan dan gerakan tubuh Presiden SBY itu, disebut dengan teori etnometodologi. Contoh lain dalam sebuah acara resmi, salah seorang pejabat memberi kata sambutan. Dalam sambutan tersebut pejabat yang bersangkutan mengeluarkan kalimat-kalimat yang kurang pas dan tidak rasional, apalagi kalau dihubungkan dengan fakta kejadian yang ada, tiba-tiba ada orang yang meninggalkan tempat duduknya dan masuk ruangan setelah pejabat tersebut selesai memberi kata sambutan. Memahami situasi seperti ini kita telah menggunakan teori etnometodologi. 9. Mengontrol diri dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri. Sorotan tajam yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk KPK dan Pers, terhadap tiga kementerian terkorup, harus dijadikan sebagai suatu bahan masukan untuk dapat mengontrol diri dan dengan sikap rasa malu dan atau rasa percaya diri. Caranya sederhana, Kementerian yang bersangkutan harus melakukan pembinaan terpadu dengan berbagai cara dan metode yang tepat dan sudah barang tentu arah penelitian dilakukan terhadap poin-poin pos yang rawan korupsi dari kementerian yang bersangkutan, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh KPK. Konon KPK di dalam melakukan penelitian terhadap suatu korupsi terkadang ada yang ikut di dalamnya sebagai pihak yang terlibat langsung. Sebagai contoh dugaan bahwa terdapat korupsi di Kementerian Agama, ternyata dalam penyelenggaraan ibadah haji, ada pihak KPK yang ikut melaksanakan ibadah haji, yang bertugas melakukan kajian dan pemantauan terhadap apa yang ditemukan di lapangan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Sorotan yang dilakukan oleh berbagai pihak terhadap sesuatu masalah, pasti di dalamnya mengandung dua hal, yaitu positif atau negatif. Dalam teori etnometodologi, bahwa untuk

mencapai hal yang positif, diperlukan sorotan yang negatif. Itu salah satu cara yang cukup ampuh dan cepat akan mendapat tanggapan dari pihak yang bersangkutan. Sehingga pada saatnya akan berubah dari hal negatif menjadi hal yang positif. Hanya sangat disayangkan sorotan-sorotan yang diangkat atau dipermasalahkan oleh seseorang ataupun lembaga, terkadang orang hanya terpaku pada hal yang negatif saja, tanpa mau melihat sisi positifnya. Cara seperti itu, bukan cara seperti yang dikehendaki dalam teori etnometodologi. 10. Menganalisis metode pelanggaran sistem dan metode pemulihan sistem yang ada. Gagalnya suatu lembaga dalam mencapai program kerja yang telah dicanangkan karena adanya pelanggaran sistem dan tidak mampunya pihak penyelenggaran kebijakan aktor/petugas menggunakan metode untuk memulihkan sistem yang ada. Penulis ingin memberikan contoh tanpa bermaksud mengejek dan melecehkan. Manajemen Lion Air dan juga perusahaanperusahaan penerbangan lainnya, pasti telah memprogramakan bagaimana memberi pelayanan terbaik kepada konsumennya dan lebih penting lagi keselamatan seluruh penumpang yang ada. Sistem navigasi akan terganggu, bila ada penumpang yang tetap menggunakan hand phone di atas pesawat, padahal pramugari sudah mengumumkan, akan tetapi ada pula penumpang yang tega dan tidak mempedulikan himbauan pramugari itu. Baru-baru ini penulis terbang dengan Lion Air dari Gorontalo ke Jakarta. Di samping penulis, duduk seorang penumpang yang masih asyik menggunakan telepon gengamnya. Pramugari sudah berkali-kali mengingatkan kepada penumpang yang bersangkutan, tetapi ia tetap tidak menggubrisnya. Akhirnya penulis menegur penumpang tersebut dengan kalimat yang halus dan sopan, bahwa ; Pak apa benar kalau kita memakai hp seperti ini di pesawat akan mengganggu sistem navigasi pesawat ini ? Langsung dijawab oleh yang bersangkutan, itu tidak benar dan berlebihan. Pikiran penulis jangan sampai benar sistem navigasi pesawat akan terganggu, menyebabkan pesawat akan mengalami kecelakaan. Konon pesawat Adam Air yang terbang dari Surabaya menuju Makassar, tersesat ke NTB (Nusa Tenggara Barat), karena alat sistem navigasi pesawat itu, sudah tidak berfungsi dengan baik. Ada lagi penumpang yang duduk paling ujung di dekat jendela pesawat, penumpang itu ikat pinggangnya tidak diikat/dipasang, padahal pramugari telah mengumumkannya. Ketika penulis tanya, kenapa Bapak tidak menggunakan ikat pinggang selama penerbangan tadi ? Dijawab oleh penumpang tersebut bahwa saya sudah berapa kali terbang, bahkan menggunakan pesawat herkules dan helikopter, saya tidak pernah menggunakan ikat pinggang, rupanya beliau ini salah seorang anggota militer yang sering menggunakan pesawat militer. Sayang sekali beliau tidak pernah berpikir bahwa saat ini sedang menggunakan pesawat sipil atau reguler, yang tentu saja aturan mainnya berbeda. Dan bila pesawat mengalami kecelakaan, maka orang lain pasti ikut menjadi korban kecelakaan. 11. Menganalisis terhadap negoisasi yang dilakukan para eksekutif. Negoisasi yang dilakukan oleh para eksekutif, tentu saja hal ini di luar jangkauan masyarakat luas, akan tetapi hal itu menjadi lahan dikalangan Perss ataupun LSM yang terkait. Ketika negoisasi sedang berlangsung antara para eksekutif, orang dibolehkan melakukan analisis, baik terhadap pelaksanaan uji kelayakan, nuangsa pasar, mekanisme penggunaan dan pemanfaatan sampai kepada masalah maintenence yang ikut dinegoisasi. Boleh saja dianalisis. Sebagai contoh konkret, baru-baru ini telah diadakan negoisasi, antara pihak Lion Air dengan Manajement Boing di AS yang disaksikan oleh Presiden AS Obama di Bali dalam rangka

pembelian pesawat boing dengan berbagai tipe sebanyak 230 buah. Apa yang harus dianalisis, tentu saja antara lain isi dari negoisasi itu, bagaimana sistem dan mekanisme pembayaran antara Lion Air selaku pembeli dan Boing selaku penjual. Terus dari mana dananya, bagaimana sistem pembayarannya bila menggunakan jasa perbankan. Cara menganalisis seperti ini disebut dengan menggunakan teori etnometodologi. C. Teori Etnometodologi dengan Hukum. Etnometodologi bila dikaitkan dengan masalah hukum, merupakan salah satu aliran terkenal dalam ilmu sosiologi. Tokoh dari aliran etnometodologi ini adalah Harold Garfinkel, seorang profesor doktor pada Universitas Harvard, warga negara AS yang lahir di New Jersey tahun 1917, dia adalah murid dari Talcott Parsons dan mengajar di Ohio (AS) dan Universitas California Los Angeles (AS). Jika teori Talcott Parsons lebih menekankan kepada kategori generalisasi dan abstrak, maka Garfinkal lebih tertarik pada deskripsi yang lebih detail dan terinci. Nampaknya teori etnometodologi ini masih dianggap asing dan belum dapat dikatakan sempurna, baik ke dalam teori mikro maupun ke dalam teori makro dalam masyarakat. Garfinkal dalam berbagai kuliah dan artikelnya, sejak semula sudah menggunakan etnometodologi dalam teorinya, yang kemudian teori ini berkembang ke seluruh wilayah negara Amerika Serikat, bahkan sampai ke negara-negara Eropa, seperti ; Inggris, Jerman dan Prancis, selanjutnya ke seluruh penjuru dunia dan pada akhirnya teori ini dikenal pula di Indonesia, hanya saja teori ini belum dikembangkan dengan baik di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa konsep kunci dari ajaran etnometodologi ini, dapat dikemukakan sebagai berikut ; 1. 2. 3. 4. 5. Indeksikalitas (indexicalite) Refleksivitas (reflexivite) Akuntabilitas Konsep member Kategorisasi anggota.

Indeksikalitas menurut paham etnometodologi, merupakan istilah teknis yang sering digunakan dalam ilmu bahasa, khususnya bahasa awam (bahasa pasar) yang biasa digunakan dalam suatu analisis obyek-obyek sosiologi. Jadi yang dianalisis adalah bahasa alamiah, dan bukan bahasa ilmiah. Bahasa alamiah adalah bahasa pasar atau bahasa umum yang biasa digunakan banyak orang di tempat-tempat umum, bahasa melalui telepon atau melalui SMS, bahasa yang memberi isyarat perintah, bahasa proses belajar mengajar dan bahasa wawancara. Beberapa contoh penggunaan bahasa alamiah yang sering digunakan sehari-hari antara lain ; 1. Bahasa umum contohnya ; Ada berita burung, bahwa mereka akan datang dari Jakarta untuk menghadiri acara pelantikan hakim agung . 2. Bahasa melalui telepon, contohnya ; Ada atau tidaknya waktu Anda untuk bersidang, beritahu saya, kalau Anda sudah di kantor.

3. itu.

Bahasa SMS contohnya ; Kita harus mengucapkan selamat atas promosi

4. Bahasa yang memberi isyarat perintah, contohnya ; Kalian kalau tidak keberatan, sebaiknya ikuti rapat pada hari Senin. 5. Bahasa proses belajar mengajar, contohnya ; Memang kuliah di S3 itu, mahasiswa harus aktif membaca referensi dan buku-buku lainnya dan rajin mengikuti berbagai seminar . 6. Bahasa wawancara, contohnya ; Mengapa Anda tidak menggunakan hakam tersebut dalam perkara perceraian ?. Bahasa alamiah ini, konsepnya tidak lengkap, sehingga tidak tergambar secara lengkap dari apa yang hendak diungkapkan oleh si penutur kata atau si penulis bahasa. Karena itu dalam konsep bahasa muncul konsep indeksikalitas, yang dengan sebuah kata atau frasa kata, tersimpul makna tertentu di mana harus diramu sendiri oleh si pembaca atau si pendengar. Kata-kata dan sebagainya atau dan lain-lain, merupakan kata indeksitas yang jelas-jelas menunjukkan keterbatasan maksud dalam kalimat itu, sehingga dengan kata dan sebagainya atau dengan kata dan lain-lain. pembaca atau pendengar harus meramu sendiri ke mana kata ini bermakna secara kontekstual. Karenanya pendekatan dengan cara ini hasilnya akan subjektif dan sulit dikatakan objektif. Kata-kata yang bersifat indeksikalitas lainnya, misalnya ; mereka, Anda, berbagai, kalian, ini, itu, kita, dan tersebut. Mari kita kaji contoh-contoh kalimat tersebut di atas, sebagai berikut ; 1. Bahasa umum contohnya ; Ada berita burung, bahwa mereka akan divonis pada persidangan berikutnya Pertanyaan yang akan lahir, mereka itu siapa-siapa saja ?, divonis dalam perkara apa ? dan kapan persidangannya ? 1. Bahasa melalui telepon, contohnya ; Ada atau tidaknya waktu Anda untuk bersidang, beritahu saya, kalau Anda sudah di kantor. Pertanyaan akan lahir Anda itu siapa ? dan di kantor mana ? 1. Bahasa SMS contohnya ; Kita harus mengucapkan selamat atas promosi itu. Pertanyaan akan lahir, kita itu siapa ? dan siapa yang dipromosi ? 1. Bahasa yang memberi isyarat perintah, contohnya ; Kalian kalau tidak keberatan, sebaiknya ikuti rapat teknis pada hari Senin. Pertanyaan akan lahir, kalian itu siapa ? rapat teknis apa ? dan Senin kapan ?

1. Bahasa proses belajar mengajar, contohnya ; Memang hakim itu, harus aktif membuka wawasannya dan rajin membaca referensi dan buku-buku lainnya . Pertanyaan akan lahir hakim siapa ?, wawasan apa saja ? , referensi dan buku-buku apa saja ?. 1. Bahasa wawancara, contohnya ; Mengapa Anda tidak menggunakan hakam dalam perkara perceraian ?. Pertanyaan akan lahir, Anda itu siapa ? dan siapa hakam itu ?. Semua kalimat tersebut di atas masih memerlukan uraian lebih lanjut. Tanpa kalimat itu diramu dengan baik, seseorang tidak akan menemukan kejelasan secara tepat maksud kalimat tersebut ?. Penganut paham etnometodologi, bahkan berkesimpulan bahwa hakikat indeksitas tersebut, juga berada pada bahasa gerak tubuh, dalam bentuk simbol-simbol, gerakan-gerakan dalam berbagai aktivitas manusia, yang sesungguhnya tidak dapat direduksi menjadi pemaknaan yang objektif. Misalnya, seorang pimpinan dalam berkomunikasi dengan anak buahnya atau dengan kawannya yang serba tertutup atau hanya dengan mangguk-mangguk dan senyumsenyum serta enggan mengeluarkan pernyataan setuju atau tidak, maka orang yang berkepentingan harus dapat menggunakan bahasa isyarat tubuh. Tanpa memahami bahasa isyarat tubuh, maka orang tersebut akan mengalami kesulitan memahami sesuatu. Contoh lain ketika seseorang menelpon orang lain atau men SMS lewat hand phone, tapi orang yang ditelpon itu tidak mengangkat hand phonenya atau tidak memberikan jawaban melalui SMS, padahal apa yang disampaikan itu ada tertera dan tercantum dalam memori hand phone, maka itu berarti apa yang diharapkan oleh seseorang itu tidak direspon atau tidak disetujui oleh yang bersangkutan. Orang yang memahami teori etnometodologi ini, pasti dapat mengambil kesimpulan dan sikap bahwa yang bersangkutan tidak setuju apa yang diharapkannya. Teori etnometodologi ini sangat berguna dalam proses komunikasi, terutama dalam hubungannya dengan upaya seseorang untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu dari orang lain. Istilah refleksivitas, dimaksudkan sebagai suatu reaksi dari anggota masyarakat, terhadap suatu aturan di sebuah komunitas tertentu (instansi tertentu). Misalnya, tunjangan remunerasi (kinerja) bagi aparat pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung RI. Di dalamnya diatur sanksi bagi pegawai yang terlambat masuk kantor, resikonya remunerasinya akan dipotong 1 %, atau pulang kantor cepat, dipotong 1 % dan tidak masuk kantor seharian tanpa izin dan pemberitahuan akan dipotong 5 %. Sehingga tampak di stasion Gambir ataupun stasion-stasion bis lainnya sebelum Pukul 08.00 WIB, beberapa orang karyawan berjubel dan berlari-lari, seolah-olah tergesa-gesa ada sesuatu yang mengejarnya. Mereka yang berlari ini bisa diprediksi adalah karyawan/pegawai yang di kantornya telah menerapkan sistem tunjangan remunerasi, karena mereka terkejar waktu untuk mengisi daftar hadir masuk kantor. Jadi menurut kaum etnometodologi, refleksivitas itu merupakan salah satu inti dan kondisi utama yang harus diamati, karena hal itu sudah merupakan sifat khas dari suatu kegiatan sosial. Di dalam sistem remunerasi, terhadap pegawai yang masih toleran terhadap pelanggaran aturan disiplin di kantor, akan menghasilkan pola-pola refleksi yang cenderung mengabaikan aturan hukum kepegawaian yang ada. Akibat selanjutnya akan terbentuk refleksi pelanggaran aturan tersebut

hukum di instansi yang bersangkutan. Akhirnya dari waktu ke waktu pola-pola pelanggaranaturan hukum itu, tetap berjalan seperti biasa. Sehingga tujuan diadakannya tunjangan remunerasi dalam rangka meningkatkan kinerja tidak bisa tercapai dengan baik. Akibatnya tunjangan remunerasi tetap dibayar hanya 70 % hingga saat ini. Meskipun ada isu yang berkembang bahwa tunjangan remunerasi akan naik menjadi 100 %, bahkan berkembang rumor bahwa hakim akan diberikan tunjangan pejabat negara. Namun sampai hari ini rumor itu hanya sekedar angin surga dan pemanis rasa di kalangan korps hakim di Indonesia. Sebagian orang tidak mau mengambil pusing. Kinerjanya biasa-biasa saja dan tidak mampu untuk meningkatkan lagi ke arah yang lebih baik. Mereka berpendapat tugas pokok yang ada biarlah mengalir seperti air hujan dan berjalan sesuai kodratnya serta apa adanya. Terkadang memang sebuah kebijakan, hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi secara tidak sadar sesungguhnya sudah merugikan kepentingan pihak lain, yang pada gilirannya akan menimbulkan gejolak sosial. Kenapa gejolak sosial terjadi ?, karena di sini timbul refleksivitas, akibat adanya ketidakpuasan pihak-pihak tertentu atas kebijakan tadi. Sebagaimana diketahui bahwa penelitian yang bersifat etnometodologis berusaha menyelidiki dan menganalisis aktivitas sehari-hari dari anggota masyarakat, kegiatan mana dapat dinalar (rasional) oleh masyarakat dan dapat dijelaskan dengan penuh tanggung jawab (accountabilitas). Prinsip akuntabilitas itu sendiri memiliki unsur reflektif dan rasional. Selanjutnya suatu akuntabilitas mengandung makna, memiliki unsur pemberi informasi dan pembuat struktur, sehingga dunia sosial dianggap akuntabel, karena dapat dideskripsikan, dapat dimengerti, dapat dilaporkan dan dapat dianalisis dalam bentuk-bentuk kegiatan praktek dari seorang aktor. Karena itu menurut kaum etnometodologi, dunia ini terbentuk tidak sekali jadi, melainkan melalui suatu proses terus menerus yang direalisasikan melalui praktek-praktek yang dilakukan oleh para aktor. Sebagai contoh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menghendaki, agar Mahkamah Agung RI dalam memungut biaya perkara dari pencari keadilan harus lebih transparan, walaupun sebenarnya hal itu telah diatur dalam HIR/Rbg, bahwa Mahkamah Agung RI sebagai lembaga kekuasaan kehakiman beserta jajarannya ke bawah memiliki kekuasaan yang mandiri dan tidak boleh dicampuri oleh lembaga lain, akan tetapi tidak ada salahnya kalau BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai lembaga negara di Indonesia dapat melakukan pemeriksaan (audit) terhadap keuangan biaya perkara, demi terwujudnya akuntabilitas. Oleh karena Mahkamah Agung RI telah melakukan langkah akuntabilitas, ternyata hasil pengawasan BPK terhadap biaya perkara di Pengadilan selama ini, secara umum hampir dapat dikatakan tidak ada masalah, meskipun harus diakui bahwa ada beberpa hal yang menimbulkan perbedaan tafsir dan pemahaman antara BPK dan Pengadilan dalam soal pengelolaan biaya perkara. Dan semua itu sedang dalam upaya mencari solusi terbaik dan pada akhirnya akan dapat ditemukan kesepakatan-kesepakatan yang baik dalam rangka mewujudkan akuntabilitas tersebut. Di lingkungan Peradilan Agama dalam rangka mempercepat perwujudan akuntabilitas itu, pelaksanaan program-program prioritas reformasi, maka seluruh jajaran di lingkungan Peradilan Agama mendukung penuh pelaksanaan program Religious Court Reform Awards yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yang terdiri dari; a. b. Religious Court Website Award Religious Court Desk Information and Public Service Award

c. d.

Religious Court Case Management Award Religious Court Legal Aid Award

Demikian pula dalam rangka peningkatan penyelesaian perkara, terus dilakukan rasionalisasi dalam penempatan tenaga teknis, khususnya tenaga hakim dan panitera pengganti dikaitkan dengan beban kerja/jumlah perkara. Mengenai akuntabilitas putusan, ternyata Mahkamah Agung RI beserta jajaran pengadilan yang ada di bawahnya telah melakukan langkah akuntabilitas. Misalnya telah dilakukan pembinaan dan makin dibenahi sistem pelayanan Informasi Teknologi (IT) kepada masyarakat, bahkan telah dilakukan pemilihan dan penilaian terbaik dari seluruh lingkungan pengadilan. Berkat kepewiaian dan keseriusan Dirjen Badan Peradilan Agama, yang dimotori oleh Bapak Wahyu Widiana dalam melakukan pembinaan IT (Informasi Teknologi), Peradilan Agama terpilih sebagai juara atau terbaik dari semua lingkungan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung RI. Saat ini sedang dipikirkan dan diupayakan oleh Peradilan Agama, bagaimana teknis yang tepat penggunaan IT dalam pengelolaan pola bindalmin, termasuk pembayaran panjar biaya perkara. Khusus pembayaran biaya perkara, nampaknya tidak ada kesulitan, sepanjang Peradilan Agama mau menjalin hubungan kerja sama dengan pihak Bank. Sebab baik Bank Pemerintah maupun Bank Swasta, hampir semuanya telah beroperasi secara on line. Sehingga pembayaran biaya perkara bisa saja ditempuh dengan cara melalui SMS Banking dari Bank-Bank yang telah ditunjuk oleh Mahkamah Agung atau lembaga peradilan yang ada di bawahnya. Kesemuanya itu bisa dilakukan dalam rangka mencapai sistem akuntabilitas peradilan, sebagai salah satu visi dan misi Mahkamah Agung RI. Para penentu kebijakan, terus berusaha dan menyusun kembali suatu tatanan sosial yang rentan dan serba tidak pasti itu, agar masyarakat bisa saling memahami dan saling berkomunikasi. Karena itu di sebuah negara, dibutuhkan banyak orang untuk aktif menyusun dan mendesain pola-pola pergaulan sosial, termasuk pergaulan hukum. Di lingkungan Peradilan Agama, misalnya Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah berhasil menyusun Kompilasi Ekonomi Syariah, hal ini dimaksudkan dalam rangka memberikan pengetahuan hukum materiil sebagai hukum terapan bagi aparat Pengadilan Agama dan sekaligus sebagai bentuk pelayanan hukum kepada masyarakat Islam di Indonesia. Pandangan dan design dari para pelaku kebijakan di bidang peradilan harus lebih paham dan kreatif dalam mengambil sebuah kebijakan. Pola lama yang masih menggunakan tradisi lama, sudah harus ditanggalkan dan ditinggalkan, karena semua itu hanya akan merugikan lembaga yang dipimpin. Oleh karena itu pandangan dan design dari para aktor dalam suatu lembaga atau instansi, harus berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika dan perkembangan masyarakat. Tidak cukup seorang pimpinan hanya dengan perintah dan larangan, amar makruf dan nahi mungkar, tetapi ia dituntut untuk dapat mengkonstruksi dirinya sebagai pranata yang dinamis yang cepat dan dapat menyesuaikan diri, sehingga bagaimana ia mampu mendesain ideide berlian dalam menyerap ide-ide perubahan dan pembaruan di dalam masyarakat lingkungannya. Seorang pemimpin yang baik ia harus mampu mengetahui dan memahami aspirasi dari yang dipimpin. Seorang pimpinan harus mampu berpikir dan memiliki pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik

kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka. Terbuka di sini bukan berarti buka-bukaan, tetapi mau menerima pendapat, masukan, usul dan saran dari orang lain, bahkan kritikan dari semua lapisan masyarakat yang ada di sekitarnya. Masyarakat pencari keadilan dalam era globalisasi ini lebih butuh pelayanan cepat dan prima dari lembaga peradilan. Kecepatan pelayanan itu harus terpadu antara kemampuan teknis justisial, kemampuan pola bindalmin dan kemampuan berbahasa yang baik dan benar serta harus didukung pula dengan pola transparansi melalui penggunaan Informasi Teknologi (IT) yang makin hari makin berkembang. Pihak penentu kebijakan yang enggan menerima masukan dan pendapat dari orang lain dan tidak berpikir ilmiah secara teori tidak sesuai dengan teori etnometodologi. Kemudian dengan konsep member yang dimaksudkan oleh kaum etnometodologis berbeda dengan konsep member dari paham fungsionalisme Talcott Persons. Menurut Talcot Persons, member berarti keanggotaan seseorang dalam suatu masyarakat kolektif yang terorganisasi. Jadi bersifat collectivity membership. Adapun menurut kaum etnometodologis, konsep member lebih bersifat linguistik, yakni berasal dari penggunaan bahasa alamiah, sehingga masing-masing member terlibat dalam pencanangan sebuah hasil yang dibarengi dengan pengetahuan bersama melalui suatu interaksi sosial. Sehingga bagi kaum etnometodologis member berarti bukan anggota kolektif, tetapi merupakan orang atau individu yang sama-sama berkumpul (tanpa kehilangan independensinya) untuk berada dalam suatu dunia dan menata dunia tersebut. Sebagai contoh, memasuki era reformasi seiring dengan tuntutan adanya reformasi di bidang hukum, semua lingkungan peradilan mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status dan kedudukannya maupun kewenangannya. Dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan kedudukan lembaga peradilan, kemudian dilepaskan dari bayang-bayang eksekutif, untuk selanjutnya dimasukkan dalam satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung RI. Namun demikian semua lingkungan peradilan tetap memiliki independensi, baik dalam pembinaan maupun dalam memberi pelayaan kepada masyarakat. Itulah sebabnya Mahkamah Agung dengan konsep member ini, sedang mencanangkan sistem kamar dalam pelaksanaan tugas. Hanya sangat disayangkan dalam rekrutmen hakim agung beberapa waktu lalu melalui feet and profer test yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI, sama sekali belum mencerminkan sistem kamar dan yang paling merasa tidak diuntungkan atas pilihan dan kebijakan Komisi III DPR itu adalah Peradilan Militer, yang memang belum memenuhi kuota jumlah hakim agungnya di Mahkamah Agung. Pilihan dan kebijakan anggota komisi III DPR ini, secara teori jelas sekali tidak sesuai dengan teori etnometodologi. Selanjutnya dengan istilah kategorisasi anggota yang dimaksudkan adalah terjadinya pengkateorisasi dalam masyarakat terhadap keanggotaannya yang juga ditelaah secara intens oleh kaum etnometodologis ini. Pengkategorian ini masing-masing disesuaikan dengan fungsinya. Misalnya, kategori atasan-bawahan, di mana kategori ini berkembang dari konsep yang bersifat linguistik, akhirnya menjadi konsep tentang suatu kenyataan sosial. Dalam kategori seperti itu, masing-masing kategori mempunyai norma dan aturan mainnya sendiri-sendiri. Dalam kategori atasan-bawahan, ada peraturan kepegawaian yang mengatur tentang hal itu, misalnya ; seorang Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, tidak dibolehkan menyurat langsung kepada Ketua Mahkamah Agung, tetapi surat itu cukup ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebagai kawal depan Mahkamah Agung RI dan dalam keadaan mendesak serta

ada keterkaitan permasalahan yang dikemukakan, surat itu cukup tembusannya diarahkan atau ditujukan kepada Pimpinan Mahkamah Agung RI. D. Kesimpulan 1. Teori etnometodologi banyak ditemukan dalam pergaulan kehidupan sosial masyarakat, termasuk dalam pergaulan hukum dan etika, baik di Pengadilan maupun di luar Pengadilan. 2. Teori etnometodologi sangat berguna dalam melahirkan penalaran praktis. 3. Teori etnometodologi sangat berguna bagi pimpinan di dalam melahirkan sebuah kebijakan. 4. Teori etnometodologi sangat bermanfaat bagi seseorang bawahan di dalam memahami atas sebuah kebijakan pimpinan.

You might also like