You are on page 1of 9

DEMAM REUMATIK

Gesit Purnama1, Akil Baehaqi2

PENDAHULUAN Demam reumatik merupakan suatu penyakit sistemik yang, dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas. Bakteri streptokokus menular melalui udara (airborne). Bakteri ini biasanya banyak terdapat pada tempattempat yang kumuh dan padat.1 Inilah sebabnya mengapa penyakit demam reumatik lebih banyak dialami oleh anak-anak di negara berkembang daripada negara maju. Demam reumatik biasanya muncul empat minggu setelah radang tenggorokan sembuh. Puncak insiden demam reumatik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Demam reumatik dipandang sebagai penyebab terpenting penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia. Kerusakan jantung pada penderita demam reumatik bukan diakibatkan oleh bakteri streptokokus, namun oleh antibodi yang dibentuk oleh tubuh untuk menangkal infeksi.2 Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik telah jarang ditemui di negara maju. Sebaliknya, hal ini tetap merupakan masalah besar di negara berkembang, di duga ada sekitar 15-20 juta kasus baru demam reumatik di dunia tiap tahun suatu angka yang mungkin lebih kecil dari kenyataannya.1 Prevalensi demam reumatik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung reumatik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam reumatik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat penyakit jantung reumatik merupakan akibat dari demam reumatik.1,2 Angka pasti prevalensi demam reumatik dan penyakit jantung reumatik sangat sukar ditentukan dikarenakan suatu serangan demam reumatik dan sebagian lagi suatu serangan demam reumatik sering hanya menimbulkan gejala ringan sehingga suatu episode penyakit aktif dapat terlewatkan. Insidensi yang sebenarnya sangat sukar

1 2

Gesit Purnama. Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. dr. Akil Baehaqi, Sp. A. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

untuk ditentukan, karena penyakit ini bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan, serta tidak adanya keseragaman dalam kriteria diagnosis.2,3 Oleh karena itu penyakit ini masih menjadi suatu permasalahan terutama di suatu negara berkembang.

Definisi Demam reumatik ialah penyakit peradangan yang diakibatkan oleh reaksi autoimun terhadap infekai Streptococcus beta hemolyticus group A yang mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Penyakit ini menyerang jantung, persendian, susunan saraf pusat, lapisan serosa dan jaringan subkutan.1,4

Insidensi Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik masih merupakan masalah penting bagi negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, India, negara-negara Afrika, bahkan di beberapa bagian benua Amerika. Hanya di beberapa negeri saja demam reumatik sudah sangat sedikit ditemukan, seperti di negara-negara Skandinavia.2 Di negara-negara yang sudah maju, insidensi demam reumatik, baik berupa serangan pertama maupun serangan ulangan telah menurun dengan tajam dalam 30-40 tahun terakhir ini. Demikian pula beratnya penyakit serta angka kematian juga telah berubah. Perbaikan yang terus-menerus dalam keadaan sosial ekonomi, higiene, penggunaan obat anti streptokok serta mungkin perubahan yang terjadi pada kumannya sendiri telah menurunkan angka kejadian demam reumatik. Di negaranegara yang mencatat demam reumatik dan penyakit jantung reumatik, pada umumnya dilaporkan 10-30 kasus baru setiap 10.000 penduduk setiap tahun, tetapi di negara-negara berkembang angka kejadian demam reumatik masih lebih tinggi.1,2,3

Etiologi Agen penyebab adalah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan utama atau pada serangan ulang.4 Hubungan etiologis antara kuman Streptokokus dengan demam reumatik diketahui dari data sebagai berikut 1,2,5 :

1.

Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap Streptokokus, atau dapat diisolasi kuman Streptococcus beta hemolyticus group A, atau keduanya.

2.

Insidensi demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidensi infeksi oleh Streptococcus beta hemolyticus group A yang tinggi pula. Kira-kira 3% penderita infeksi saluran nafas oleh kuman tersebut akan mengalami komplikasi demam reumatik atau penyakit jantung reumatik. Hal ini diamati pada masyarakat tertutup seperti asrama tentara. Di masyarakat diperkirakan sekitar 0,3% dari penderita infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus beta hemolyticus group A akan menderita demam reumatik atau penyakit jantung reumatik. Sebaliknya insidensi demam reumatik akan menurun bila infeksi kuman tersebut pada suatu golongan penduduk diobati dengan baik.

3.

Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat pencegahan yang teratur dengan antibiotika.

Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada keadaan lingkungan. 1,2,6 Faktor-faktor pada individu 1. Faktor Genetik Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada suatu keluarga maupun pada anak-anak kembar. Meskipun pengetahuan tentang faktor genetik pada demam reumatik ini tidak lengkap, namun pada umumnya disetujui bahwa ada faktor keturunan pada demam reumatik ini, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan. 2. Faktor Jenis Kelamin Dahulu sering dinyatakan bahwa demam reumatik lebih sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah satu jenis kelamin. Misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki. Kelainan katup sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis mitral

lebih sering didapatkan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering ditemukan pada laki-laki. 3. Golongan Etnik dan Ras Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibandingkan dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai secara hati-hati, sebab mungkin pelbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah terjadinya stenosis mitral. Di negara-negara barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif singkat, hanya 6 bulan sampai 3 tahun setelah serangan pertama. 4. Umur Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik atau penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak yang berumur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidensi infeksi Streptokokus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa 40% penderita infeksi Streptokokus adalah mereka yang berumur antara 2-6 tahun. Mereka ini justru jarang menderita demam reumatik. Mungkin diperlukan infeksi berulang-ulang sebelum dapat timbul komplikasi demam reumatik.7 5. Keadaan Gizi dan lain-lain Keadaan gizi anak serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik. Hanya sudah diketahui bahwa penderita anemia sel sabit (sickle cell anemia) jarang yang menderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

Faktor-faktor lingkungan 1. Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidensi demam reumatik di negara-negara 4

yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotika. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk ialah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang, pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik. 2. Iklim dan Geografi Demam reumatik adalah penyait kosmopolit. Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidensi yang tinggi, lebih tinggi daripada yang diduga semula. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidensi demam reumatik lebih tinggi daripada di dataran rendah. 3. Cuaca Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidensi infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidensi demam reumatik juga meningkat.

Patogenesis Banyak yang diketahui tentang Streptococcus beta hemolyticus group A dan banyak pula yang diketahui tentang demam reumatik, tetapi sedikit sekali diketahui tentang apa yang menghubungkan keduanya. Pertanyaan mengenai bagaimana rantai proses antara Streptokokus pada tenggorok dengan demam reumatik yang mulai setelah faringitis mereda dan yang mengenai organ dan jaringan yang jauh dari tenggorok. Satu hal telah pasti yakni streptokokus tidak berpindah dari tenggorok ke jantung atau sendi semuanya terbukti karena organ tersebut setelah diperiksa ternyata steril. Para ahli menyatakan bahwa kejadian demam reumatik yang mempengaruhi beberapa organ berhubungan dengan hiperaktivitas terhadap antigen streptokokus. 8 Streptokokus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel, yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, sreptolisin S,

hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi. Demam reumatik diduga sebagai akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi 5

silang antibodi terhadap Streptokokus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen yang mirip dengan antigen Streptokokus, hal ini yang menyebabkan reaksi autoimun.6,9

Diagnosis Banyak manifestasi klinis demam reumatik muncul pada gangguan vaskular kolagen. Seorang pasien dengan kelaianan jantung, sendi dan kulit sebaiknya dievaluasi untuk penyakit demam reumatik, arthritis reumatoid dan SLE. Setiap orang dengan gangguan ini hanya dapat didiagnosis dengan evaluasi klinis dan laboratorium yang lengkap terhadap ketiga penyakit tersebut diatas.2 Diagnosis demam reumatik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones yang kemudian dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam reumatik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya (Tabel 1). Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam reumatik. Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis. 2,10

Tabel 1. Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnostik demam reumatik Kriteria Mayor Karditis Poliartritis Korea Eritema Marginatum Nodul Subkutan Kriteria Minor Klinik Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumaik sebelumnya Atralgia Demam Laboratorium : Laju sedimentasi eritrosit meningkat

Protein C- Reaktif meningkat Interval P-R memanjang Ditambah Tanda-tanda yang mendukung adanya infeksi streptokokus sebalumnya : - Kenaikaan titer antistreptolisin O (ASTO) atau antibodi antistreptokokus lainya. - Biakan usapan tenggorok yang positif untuk streptokokus grup A atau baru menderita demam skarlatina. Penatalaksanaan Penatalaksanaan demam reumatik meliputi: (1) tirah baring di rumah sakit, (2) iradikasi kuman streptokokus, (3) pemberian obat-obat antiradang, (4) pengobatan korea, (5) penanganan komplikasi seperti gagal jantung, endokarditis bakteri atau tromboemboli, serta (6) pemberian diet bergizi tinggi mengandung cukup vitamin.1,2,10 Tirah Baring Semua penderita demam reumatik harus tinggal di rumah sakit. Penderita dengan artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak perlu menjalani tirah baring secara ketat. Akan tetapi, apabila terdapat karditis yang berat dengan gagal jantung, penderita harus tirah baring total paling tidak selama pengobatan kortikosteroid. Lama tirah baring yang diperlukan sekitar 6-8 minggu, yang paling menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah penilaian klinik dokter yang merawat. Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda demam reumatik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring tanpa pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan istirahat, dan pulihnya fungsi jantung secara optimal.2,10 Eradikasi Kuman Streptokokus Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam reumatik dapat ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah penisilin G benzatin karena dapat diberikan dalam dosis tunggal, sebesar 600.000 unit untuk anak di bawah 30 kg dan 1 ,2 juta unit untuk penderita di atas 30 kg.10 Obat Antiradang Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam. Obat ini dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam reumatik memberikan respon yang cepat terhadap pemberian salisi1at. Natrium salisilat diberikan dengan dosis 100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4 minggu, kemudian

diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Aspirin dapat dipakai untuk mengganti salisilat dengan dosis 100 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama seminggu, untuk kemudian diturunkan menjadi separuhnya. Prednison dapat diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 1 mg/kg/hari selama minggu ke 3 dan 4.1,10

Pengobatan demam reumatik akut diringkas dalam tabel 2. Tabel. 2 Pengobatan demam reumatik akut Pengobatan dan profilaksis infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A : - Benzatine Penisilin 1, 2 juta unit intramuskular tiap bulan Pengobatan Supresif : Tanpa Kelainan Jantung : - Aspirin 100 mg/kg/hari dalam dosis terbagi empat - Turunkan dosis bila kadar salisilat melebihi 25 mg/100 ml - Turunkan dosis bila timbul gejala tinitus - Turunkan dosis 25% setelah satu minggu bila respon kliniknya baik dan lanjutkan sampai 6-8 minggu, turunkan dosis pada 2 minggu terakhir. Dengan kelainan Katup : - Prednison 2,0 mg/kg/hari selama 2 minggu, kemudian berangsur-angsur turunkan dosis selama 2 minggu. - Bila respon baik, mulai aspirin 75 mg/kg/hari pada minggu ke 3 dan lanjutkan samapai minggu ke 8, berangsur-angsur turunkan pada 2 minggu terakhir. - Tingkatkan dosis supresi bila gejala kambuh kembali atau laju endap darah meningkat.

Prognosis Prognosis demam reumatik tergantung pada stadium saat diagnosis ditegakkan, umur, ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan yang diberikan, serta jumlah serangan sebelumnya. Prognosis pada umumnya buruk pada penderita dengan karditis pada masa kanak-kanak. Serangan ulang dalam waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20% penderita dan kekambuhan semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun. Kira-kira 75% pasien dengan demam reumatik akut sembuh kembali setelah 6 minggu, dan kurang dari 5 % tetap memiliki gejala korea atau karditis yang tidak diketahui lebih dari 6 bulan setelah pengobatan rutin.1,4

DAFTAR PUSTAKA

1. Fyler, D, 1998. Kardiologi Anak Nadas, Edisi 2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 2. Kisworo, 2000. Demam Reumatik, Cermin Dunia Kedokteran Jurnal no:116, Surakarta. 3. Ontoseno, et al, 2003. Demam Reumatik, Pediatrika Jurnal hal:247-250, Jakarta. 4. Rudolph, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph, Edisi 20, EGC, Jakarta. 5. Thomas G., et al, 2005. Pediatrics Just The Fact, International Edition 05. Mc Graw Hill, Singapore. 6. Hasan, et al, 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2, Edisi 11, Infomedika, Jakarta. 7. Markowitz M. And Gordis L, 2000. Rheumatic Fever, 2nd Edition. Philadelphia. 8. Meadow and J. Newell, 2005. Lecture Notes Pediatrics 7th Edition, Erlangga, Jakarta. 9. Kaplan EL, 1999. Global Assessment of Rheumatic Fever and Rheumatik Heart Disease at The Close Of The Century. Influences and Dynamics of Population and Pathogens. Circulation Journal, 88:1964-1993. 10. Levin, 2003. Current Pediatric Diagnosis and Treatment, 18th Edition International Edition, Mc Graw Hill, Singapore.

You might also like