You are on page 1of 3

HUKUM RESPONSIF Penganut realisme hukum (legal realism) memiliki tujuan utama yaitu membuat hukum menjadi lebih

responsif terhadap kebutuhan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorng perluasan bidangbidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir dan nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks dinamika kehidupan sosial dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan para penegak atau aparat hukum. Kepentingan-kepentingan sosial merupakan sebuah usaha yang lebih intens dan eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum responsif. Dalam pandangan ini, hukum yang baik memiliki kriteria seharusnya memberikan suatu esensi yang lebih dari sebatas prosedur formalitas hukum. Hukum harus kompeten dan adil, sehingga seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif. Hukum represif, otonom dan responsif dapat dipahami sebagai tiga respons terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. Hukum yang represif ditandai dengan adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial politik. Hukum otonom merupakansuatu reaksi menentang keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau yang menjadi titik perhatian utama adalah bagaimana menjaga integritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengisolasikan dirinya, mempersempit tanggungjawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas. Dan hukum responsif berusaha mengatasi ketegangan tersebut, bukan terbuka dan adaptif, untuk menunjukkan kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab, dengan demikian adaptasi yang selektif dan tidak serampangan. Institusi yang responsif berusaha mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritas sembari tetap memperhitungkan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan ini, hukum responsif memperkuat cara-cara dimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terkadanh harus ada benturan diantara keduanya. Lembaga responsif ini menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan mengoreksi diri. Untuk mencapai tujuan itu, hukum responsif memerlukan tujuan yang menetapkan standarisasi untuk mengkritisi tindakan yang sudah mapan, dan membuka kesempatan untuk melakukan perubahan. Institusi responsif cenderung beradaptasi secara oportunis karena kurang memiliki kriteria untuk secara rasional merekonstruksi yang dipandang sudah ketinggalan zaman dan memerlukan perubahan, namun hal itu bisa diatasi apabila institusi sudah memiliki tujuan yang jelas sehingga bisa mengkombinasikan antara integritas dan keterbukaan, peraturan dan diskersi. Jadi, hukum responsif memandang bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup berkuasa mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif. Kedaulatan Tujuan Masa peralihan dari otonom ke responsif yang merupakan tahapan yang paling kritis adalah generalisasi tujuan-tujuan hukum. Berbagai peraturan, kebijakan dan prosedur tertentu menjadi penting dalam penilaian dan dapat digunakan. Perangkat-perangkat hukum itu tetap dihormati namun sebatas sebagai

sekumpulan pengalaman, sedangkan perangkat-perangkat ini berhenti mendefinisikan komitmen tatanan hukum. Justru penekanan yang dilakukan bergeser pada tujuan yang bersifat universal, yang berisikan premis-premis kebijakan sekedar menyampaikan urusan yang sedang ditangani. Sehingga bisa dikatakan, ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan atau kebijakan. Suatu contoh yang lazim untuk hal ini adalah doktrin due process. Sebagai doktrin konstitusional, due process mungkin hanya dipahami sebagai nama untuk serangkaian peraturan, yang dipaparkan secara historis, yang melindungi hak-hak atas pemberitahuan, untuk didengar dalam persidangan, peradilan dengan sistem juri, dan hal lain semacam itu. Kewajiban dan Kesopanan Dalam mengakui kompleksitas penilaian hukum yang mulai mengendurkan klaim terhadap kepatuhan, hukum responsif mengacu pada suatu ideal yang lebih besar. Hukum responsif menjanjikan kesopanan dalam cara hukum digunakan untuk mendefinisikan dan memelihara ketertiban umum. Dalam idiom kontemporer, gagasan mengenai kesopanan ini cenderung hanya dibatasi pada tingkah laku yang baik atau kepantasan etika dan tingkah laku di tempat-tempat umum. Standar kesopanan menjangkau pula pelaksanaan otoritas dan partisipasi publik. Kesopanan cenderung menyuarakan suatu sikap yang moderat dan terbuka. Hukum yang berorientasikan tujuan memberikan konstribusi kepada kesopanan sebab ia bersifat etik pertanggungjawaban daripada oleh etik tujuan akhir yang utama. Secara lebih spesifik, hukum responsif mendorong mengembangkan kesopanan dalam dua cara pokok; 1. Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal.

2. Mendorong suatu pendekatan baru terhadap krisis-krisis keterlibatan umum yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada masalah dan integritas secara sosial. Dampaknya adalah untuk memfasilitasi usaha pencarian resolusi krisis yang integratif. Bentuk ini mengasumsikan bahwa kondisi-kondisi atau syarat-syarat ketertiban umum bukanlah sesuatu yang benar-benar kaku, namun sesuatu yang masih terbuka untuk dibicarakan kembali sehingga kondisi tersebut lebih memperhatikan kepentingan sosial yang dipengaruhi. Karena itu, rekonstruksi hubungan sosial dianggap sebagai sumber utama mencapai ketertiban umum. Partisipasi Hukum dan Partisipasi Politik Disaat sistem hukum memperluas sumber-sumber kritisnya, sistem hukum itu mendelegasikan lebih banyak diskresi untuk memutuskan hal-hal yang otoritatif. Partisipasi hukum memiliki arti yang baru; bukan saja partisipasi ini menjadi kurang pasif dan kurang patuh; namun ia diperluas hingga menjangkau perbuatan dam interpretasi kebijakan hukum. Perluasan hukum responsif tidak hanya mengembangkan nilai demokratik tatan hukum, tapi juga mampu memberikan konstribusi kepada kompetensi institusi-institusi hukum. Ada suatu kondisi paralel

yang memberikan instruksi dalam upaya berbagai organisasi modern untuk membuat keputusan yang partisipatif. Gaya administrasi baru ini meminjam banyak dari pengalaman demokrasi, namun hal ini terutama merupakan sarana menuju suatu organisasi yang lebih berorientasi pada tujuan, yang bebas dari kekangan otoritas birokratik. Organisasi post-birokratik tidak terlalu peduli atau tidak banyak berurusan dengan keteraturan administratif. Organisasi seperti ini menerima sebagai kebenaran suatu konteks dimana nilai rasionalitas ditetapkan dengan tegas dan terpeliharanya integritas jabatan tidak lagi menjadi prioritas dalam agenda kerjanya. Sebenarnya, penyebaran otoritas hukum dan perluasan partisipasi hukum menghasilkan semakin lemahnya negara. Secara paradoks, ledakan administratif zaman modern telah mengaburkan dan melemahkan konsepsi negara sebagai agen kekuatan publik yang khas dan tunggal. Model baru sistem hukum dan politik terlihat oleh kemunculan cabang keempat dari pemerintahan, yang mencerminkan aspirasi dan permasalahan hukum responsif dan purposif. Dari Keadilan Menuju Kompetensi Dalam konteks hukum responsif, klaim-klaim hak dipahami sebagai kesempatan untuk menyingkap ketidakteraturan atau kerusakan, dan karenanya dapat dinilai dari sumber daya administratif. Namun penyelesaian kontroversi tidak dapat dibiarkan sebagai persoalan paradigmatik, demikian pula hukum tidak dapat bergantung pada proses tersebut untuk memenuhi tanggung jawabnya. Keadilan prosedural hanyalah salah satu kewajiban dan sumber diantara begitu banyak kewajiban dan sumber yang ada. Namun tidak berarti pula bahwa fairness dan keadilan individual kurang penting nilainya. Ide pokok hukum responsif sebagaimana otonom adalah legalitas. Bahwa kontinuitas dipertahankan. Namun ideal mengenai legalitas seharusnya tidak dikacaukan dengan pernak-pernik legalisasipengembangan peraturan dan formalitas prosedural. Ideal mengenai legalitas perlu dipahami secara lebih unversal dan dibebaskan dari formalisme. Jika fungsi paradigmatik hukum responsif, fungsi tersebut adalah fungsi regulasi, bukan ajudikasi. Dipahami secara luas, regulasi adalah proses elaborasi dan mengoreksi kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan hukum. Jadi, regulasi dipahami sebagai mekanisme untuk mengklarifikasi kepentingan publik. Ia juga melibatkan kegiatan menguji strategi alternatif untuk mengimplementasikan mandat-mandat tersebut dengan bangtuan hal yang telah dipelajari. Hukum responsif mempunyai tujuan berupa memberikan kemampuan dan memfasilitasi; akuntabilitas restriktif hanya menjadi prioritas kedua. Ada visi akan suatu jenis baru keahlian pembelaan hukumkeahlian dalam mengartikulasikan prinsip-prinsip mengenai model diagnosis institusional.

You might also like