Professional Documents
Culture Documents
Pertama;
Teriring Do’a dan
Harapan untuk Anakku
Faizatul Rosyidah
5 Tahun Pertama;
Teriring Do’a dan Harapan untuk
Anakku
Penulis
Faizatul Rosyidah, dr.
Editor:
Ali Tamam
Penerbit
Fia Pustaka
Jl. Jemur Wonosari Lebar 58 B
Surabaya 60237
Tlp. 031-72106173, 08813162457
Email : faizah.rosyidah@gmail.com
Daftar Isi.........................................
Pengantar Editor.............................
Pengantar dari Penulis....................
Sekilas Tentang Ahmad..................
BALITA; GOLDEN PERIODES.......
IBU SEKOLAH PERTAMA DAN
UTAMA.....................................
MENGENAL 3 TIPE ANAK...........
1. Anak yang Mudah.................
2. Anak yang Perlu Pemanasan.
3. Anak yang Sulit....................
METODE MEMPERBAIKI
KESALAHAN ANAK....................
MENGENAL AHMAD...................
Anak Infaq...............................
Hampir Kehilangan Ayah Di Usia
6 Bulan Kandungan..................
Proses Kelahiran Itu.................
4
Hari-Hari Pertama Yang Penuh
Dengan Kesabaran...................
Bertemu Ahmad Pertama
Kalinya....................................
Kehilangan Sang Ayah Yang
Belum Pernah Menyentuh.........
‘Orang Tua Baru: Abi Dan Umi’. .
Mengganti Nama Panggilan......
Batuk; Penyakit Favorit............
Aktiv, Jagoan Dan Pemberani
Sejak Bayi................................
’Bakat’ Temperamental.............
Jarang Menangis, Sering
Menangiskan............................
Cara Berkenalan Dengan Teman
Baru........................................
Susah Makan............................
Tipe Kinestetis Dan Auditory
Dalam Belajar...........................
Ahmad; Hukma Shabiyya
(‘Dewasa’ Sejak Kecil)..............
Berdoa Ketika Menangis...........
5
BERBAGI PENGALAMAN
MENDIDIK AHMAD....................
Mengenalkan Allah SWT dan
Sifat-Sifat-Nya.........................
Mengenalkan Ayah dan Ibu
Kandung..................................
Pembiasaan Sebagai Metode
Pendidikan Awal.......................
Memanfaatkan Photographic
Memory...................................
Belajar Mengendalikan Diri.......
Berdoa…Berdoa…Dan Berdo’a...
Pendekatan ‘Positif’, Jangan
‘Negatif’ (Pelajaran Dari Doa
Untuk Abi Yang ‘Nakal’)............
’Besar ’ Dan Belajar Di Jalan......
Hypnosis Yang Tidak Disadari....
Melakukan Hynoparenting
Dengan Tepat...........................
Mengajar Anak Kinestetis.........
Belajar Mengenal Huruf, Angka
Dan Mengaji.............................
Memilih(Kan) Mainan................
6
Bola…bola…, Puzzle…puzzle…
Untuk Anak Kinestetis.................
Toilet Training..........................
Antara Dot Dan Pampers...........
Jangan Tertawakan...................
Meniti Jalan Menjadi Hafidz Dan
Da’i.........................................
Sayyid Hussein Tabataba’i;
Sang Inspirator........................
Umi Sang Arsitek, Abi Asisten
Dan Guru Yang Luar Biasa.........
Metode Isyarat, Ayat Dan
Hadits Pilihan...........................
Menghafal Dan Belajar Di Jalan
Justru Memudahkan..................
Al Kautsar; Surat Istimewa Di
Hati Ahmad..............................
Antara Laptop, HP Dan
Menghafal Qur’an.....................
Play Group; Berlatih Bermain
Dan Berbagi.............................
Wali Murid Yang ‘Terpesona’,
Wali Murid Yang Resah.............
7
Nakoda Berbicara; Antara Di
Rumah Dan Sekolah..................
Penutup.................................
Bacaan lebih lanjut:................
Sekilas Tentang Penulis...........
8
Pengantar Editor
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
9
untuk mengetahui setiap kelemahan yang
dimiliki anak kita, kemudian membantu
mereka agar bisa ’mengelola’ dan
mengendalikan kelemahan tersebut agar
bisa menjadi nilai positiv mereka, pun
harus kita lakukan.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Ali Tamam
(Trainer Quantum Learning)
11
Pengantar dari Penulis
Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakaatuh
Faizatul Rosyidah
15
Sekilas Tentang Ahmad
A. Juraij Al Manshur,
itulah nama yang tertulis di
akta kelahirannya. Juraij
atau Joe adalah panggilan
yang diberikan orang tuanya
ketika dalam pengasuhan
mereka. Terlahir pada tanggal 19 Agustus 2003,
dari pasangan Achmad Kautsar dan Yuyun
Masyruchah, Ahmad adalah anak ketiga dari
pasangan tersebut. Kedua kakaknya adalah
Nailul Mufidah (Ilul) dan M. Jalaludin
Muchdlor (Alal), masing-masing sekarang
berusia 8 dan 12 tahun.
16
Sejak usia 5 bulan, Ahmad diambil sebagai
amanah untuk diasuh dan dididik oleh pasangan
Ali Tamam dan Faizatul Rosyidah, Abi dan
Uminya sekarang. Dengan beberapa karakter
dominannya seperti sangat aktif, periang,
lincah, pemberani, cukup PD (percaya diri
dengan kemampuannnya), namun juga cukup
temperamental alias mudah marah, kedua orang
tua baru Ahmad harus memiliki ekstra
kesabaran dan optimisme dalam
mempersiapkan Ahmad kecil -seiring dengan
perkembangan pemahaman dan kesadarannya-
kelak bisa mengendalikan semua potensi dasar
tersebut untuk bisa menjadi seorang pemimpin
yang berkarakter kuat.
17
BALITA; GOLDEN
PERIODES
Banyak penelitian menunjukkan betapa
masa dini usia, yaitu masa lima tahun ke bawah,
merupakan golden ages (masa keemasan) bagi
perkembangan kecerdasan anak. Salah satu hasil
penelitian menyebutkan bahwa pada usia 4 tahun
kapasitas kecerdasan anak telah mencapai 50%.
Seperti diungkapkan Direktur Pendidikan Anak Dini
Usia (PADU), Depdiknas, Dr. Gutama, kapasitas
kecerdasan itu mencapai 80% di usia 8 tahun. Ini
menunjukkan pentingnya memberikan perangsangan
pada anak dini usia, sebelum masuk sekolah.
Setiap bayi memiliki potensi milyaran sel
otak yang siap mendapat rangsangan. Sentuhan,
lingkungan yang ramah otak, dan hands on, adalah
beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk
mengoptimalkan fungsi otak anak. Sebagian ahli
berpendapat, sel otak seorang bayi sebanyak bintang
yang bertebaran di langit. Ada pula yang menduga,
jumlah sel otak kurang lebih 100 milyar. Seluruh sel
ini punya peran penting dalam menunjang fungsi
otak sebagai pengatur semua kemampuan manusia
di masa dewasa.
Namun, meski ada milyaran sel otak,
nyatanya tak semuanya berkembang sempurna,
karena amat tergantung pada stimulasi yang
diterimanya. Konsultan Keluarga Budi Darmawan,
19
menyatakan stimulasi ini memang amat menentukan
sejauh mana jaringan sel-sel otak dapat berkembang.
Jika sedikit mendapat stimulasi, bisa jadi yang
berkembang hanya 1 persen dari sekian milyar sel
otak. Sebaliknya, bila stimulasinya banyak,
perkembangannya pun bisa lebih besar lagi.
Maxwell Malt, seorang peneliti asal
Amerika mengemukakan pendapatnya tentang
hubungan sel otak yang aktif dengan kecerdasan.
Bila manusia dapat mengaktifkan sekitar 7 persen
saja dari sel otaknya, ujar Malt, maka gambaran
kecerdasan orang itu adalah bisa menguasai 12
bahasa dunia, memiliki 5 gelar kesarjanaan, dan
hapal ensiklopedi lembar-demi lembar, huruf demi
huruf, yang satu setnya terdiri dari beberapa puluh
buku. Menanggapi ini, Budi Darmawan menyatakan,
“Kalau kemampuan itu digunakan seorang muslim
untuk menghapal, tentu dia mampu menghapal
Qur’an dan sunnah Rasulullah sekaligus.”
Lima tahun pertama kehidupan anak
merupakan masa pesat perkembangan otak hingga
masa ini sering disebut sebagai golden periodes.
Bahkan, anak di usia 5 tahun pertama diketahui
punya kemampuan photographic memory,
mengingat seperti mata kamera. Di atas lima tahun,
kemampuan memorinya menurun. Tidak sehebat dan
sepeka di masa keemasan ini.Lebih jauh Emmy
Soekresno, Konsultan pendidikan Jerapah Kecil,
menjelaskan, meski secara keseluruhan, fungsi otak
bekerja bersamaan, namun, ada penekanan-
penekanan atau waktu prima (prime time) bagi otak.
Misalnya, untuk belajar bahasa asing, misalnya
20
bahasa Inggris, waktu primanya adalah pada usia 4-
12 tahun. Pada usia ini, belajar dengan permainan
dan sambil ketawa-ketawa pun, anak sudah bisa
bicara bahasa Inggris. Setelah itu, ada second
chance, kesempatan kedua untuk belajar, yaitu pada
usia 12-15 tahun. Setelah usia 15 tahun, masih bisa
belajar bahasa Inggris, tetapi lebih sulit.
Milyaran sel otak ini terbagi dalam
beraneka bagian seumpama wadah yang siap diisi.
Pada usia 12-13 tahun, akan terjadi pemangkasan sel
otak. Pada saat itu, otak akan memeriksa isi otak itu
sendiri. Jika ada tempat kosong, misalnya bagian
kecerdasan emosi yang tidak pernah dilatih sejak
usia 1 hingga 12 tahun, maka bagian itu akan
dibuang.
Itu sebabnya, target orang tua setiap hari
adalah bagaimana caranya mengisi otak dengan
maksimal dengan memberi stimuli yang maksimal
pula. Meskipun Begitu, jangan tergesa-gesa. Bila
suatu ketika guru atau orangtua ingin anaknya
mampu menulis, membaca dan berhitung di usia
dini, sama saja mereka tengah menghilangkan
beberapa aspek kehidupan anak. Karena sebelum
melakukan ketiga hal tersebut, ada tahapan yang
harus dijalani.Sebelum bisa menghitung, anak harus
bisa menggambar. Sebelum bisa menggambar, anak
harus mampu memegang pensil. Sebelum mampu
memegang pensil, maka anak perlu melatih motorik
halusnya misalnya dengan bermain pasir. Dengan
bermain pasir, anak sesungguhnya sedang
menghidupkan otot tangannya dan belajar estimasi
dengan menuang atau menakar, yang kelak semua
21
itu ada dalam matematika.
Masa yang biasa disebut dengan masa
keemasan (the golden ages) ini sekaligus merupakan
periode yang sangat kritis yang akan menentukan
tahap pertumbuhan dan perkembangan anak
selanjutnya. Beberapa penelitian menunjukkan:
Pertama, bahwa informasi awal yang
diterima anak akan cenderung permanen dan
menentukan perilaku anak pada masa berikutnya.
Oleh karena itu sejak lahir anak perlu diberikan
rangsangan-rangsangan berupa psikososial dan
pendidikan agar kelak anak tersebut menjadi
manusia yang berkualitas. Rangsangan pendidikan
itu perlu diberikan pada masa pralahir, karena
pembentukan organ tubuh termasuk otak terjadinya
sejak 10-12 minggu setelah proses pembuahan.
Kedua, perkembangan intelektual anak
terjadi sangat pesat ketika anak usia dini. Kurang
lebih 50% variabilitas kecerdasannya terjadi saat
anak berusia empat tahun, pada usia delapan tahun
bertambah 30% dan 20% lagi akan dicapai pada usia
antara 18-20 tahun. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pada awal usia anak sangat menentukan
kecerdasannya, Bloom, seorang ahli mengatakan
bahwa empat tahun pertama merupakan waktu yang
sangat peka terhadap kaya- miskinnya lingkungan
akan stimulasi.Dengan demikian semakin jelas
bahwa stimulasi yang diberikan kepada anak-anak
sejak dini akan menentukan kualitas anak kelak
dalam kehidupannya
Ketiga, bahwa hubungan antar sel-sel otak
dibentuk dengan adanya saling kirim-dan-terima
22
signal. Signal yang berupa getaran aliran listrik ini
mengalir dari sel yang satu ke sel yang lainnya, dan
dengan bantuan zat kimia seperti serotonin,
terbentuklah hubungan antara sel-sel otak tersebut.
Rangsangan yang terus-menerus, yang diberikan
melalui bentuk kegiatan yang berulang-ulang, akan
semakin memperkuat hubungan antar sel-sel otak.
Satu sel otak mampu membuat 15.000 hubungan
dengan sel otak yang lain. Hubungan yang sangat
rumit inilah yang membentuk jaringan antar sel-sel
otak. Pengalaman yang diterima oleh bayilah yang
akan menentukan bentuk jaringan di dalam otak.
Sejak bayi lahir, jaringan ini akan dibentuk dengan
cepat sekali, dan pada usia anak mencapai 3 tahun,
otak anak akan membuat kira-kira 1000 trilyun
hubungan, dimana jumlah ini adalah 2 kali lipat dari
jumlah hubungan jaringan otak pada orang dewasa.
Hubungan otak yang densitas/kerapatannya sangat
tinggi ini akan tetap dipertahankan sampai dengan
umur 10 tahun. Setelah anak menginjak usia 11
tahun, hubungan antar sel-sel otak tersebut akan
diseleksi secara alami, dimana hubungan yang
sering digunakan akan semakin diperkuat dan
menjadi permanen,sedangkan hubungan yang tidak
pernah digunakan akan diputus/dibuang. Disinilah
pentingnya pengalaman pada usia awal/dini. Dan
disinilah peran orangtua akan sangat menentukan.
Stimulasi yang kita berikan kepada anak kita akan
sangat menentukan apakah hubungan antar sel-sel
otak anak tersebut akan diperkuat atau justru diputus
dan dibuang.
Keempat, Fakta tentang stress, dinyatakan
23
bahwa: Anak yang mengalami stress pada usia kritis
0-3 tahun akan menjadi anak yang hiperaktif, cemas
dan bertingkah laku seenaknya. Demikian pula anak
dari lingkungan stress tinggi akan mengalami
kesulitan konsentrasi dan mengendalikan diri.
Sehingga cara orang tua berinteraksi dengan anak di
awal kehidupan akan membuat dampak pada
perkembangan emosional, kemampuan belajar dan
bagaimana berfungsi di kehidupan yang akan
datang.
Karena saat-saat keemasan ini tidak akan
terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif kita
harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan
dengan perkembangan sang buah hati, amanah
Allah.
Urgensi mendidik anak sejak dini juga
banyak disebutkan dalam Al Qur'an dan Al Hadits
antara lain Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya (terdiri dari) manusia dan batu.” (TQS. At
Tahrim: 6)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ali ra. berkata,
“Ajarilah dan didiklah mereka.”Berarti mengajar,
membina, dan mendidik anak adalah surga.
Sedangkan mengabaikan aktivitas tersebut berarti
neraka. Itulah sebabnya, sebenarnya tak ada alasan
bagi siapapun untuk mengabaikan tugas yang mulia
ini.
Dalam hal ini Nabi bersabda:
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka
dengan baik.” (HR. Ibnu Majah)
24
“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya
yang lebih baik dari pendidikan (adab) yang baik”
(HR. Hakim)
“Setiap anak yang dilahirkan berada dalam kondisi
fitrah (Islam) kedua orang tuanyalah yang berperan
menjadikan ia seorang Yahudi, seorang Nasrani,
atau seorang Majusi.” (HR. Bukhari)
Imam al-Ghazali ra. dalam bukunya
Ihya’ Ulumuddin menyatakan, “…Ketahuilah
bahwa mendidik anak merupakan perkara urgen
dan penting. Anak merupakan amanah bagi orang
tua, Hatinya yang masih suci merupakan potensi
yang berharga… Jika ia dibiasakan dan diajari
kebaikan-kebaikan nscaya ia akan tumbuh baik
sehingga ia kelak akan menikmati kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Tetapi jika ia dibiasakan pada
kejahatan dan dibiarkan begitu saja seperti halnya
binatang, maka ia akan sengsara dan celaka…”
Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa kewajiban
mendidik anak ada pada orang tua, dan itu harus
dilakukan sejak dini. Sehingga nyatalah, proses
pembentukan kepribadian pada diri si anak sangat
dipengaruhi oleh cara orang tua mendidiknya. Jika
standar pendidikan yang diberikan oleh orang tua
adalah aqidah Islam, Insya Allah anak akan menjadi
generasi unggulan yang memang patut diteladani.*
25
IBU SEKOLAH PERTAMA
DAN UTAMA
Seorang ibu mengandung janin (calon anak
manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah
lahir ke dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta
mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9
tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan
mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang ibu
memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam
proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9
tahun). Bahkan pada masa awal kehidupan anak
inilah, peran ibu sangat menentukan kondisi
perkembangannya.
Seorang ibu memiliki kesempatan dan
potensi yang lebih besar untuk berperan secara
langsung dalam proses pemberian warna dasar pada
anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan
kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat
dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai
dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah
kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah
karena menjalankan tugasnya mencari nafkah
keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut
peran dan tanggung jawabnya dalam proses
pembentukan kepribadian anak. Sebab tugas
mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang
tuanya, bukan hanya ibu.
Seorang ibu bisa memulai proses
26
pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam
kandungan), ketika tidak ada orang lain yang bisa
melakukannya. Minimal yang harus dilakukan
seorang ibu terhadap janin dalam kandungannya
adalah memilihkan makanan yang halal dan baik
untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan
berdo'a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap
gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam
kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang
dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah
diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan
pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala
kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Berupaya menenangkan
perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat
Al Qur'an, sehingga suasana hatinya tetap tenang
dan ikhlas menjalani masa kehamilannya. Sebab
kondisi psikologis seorang ibu - menurut pendapat
para ahli akan berpengaruh pada perkembangan
janin yang dikandungnya.
Demikian pula setelah anak lahir, ibu
berperan besar untuk menciptakan kondisi
lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang
pertama didengarnya ketika pertama kali ia bisa
mendengar. Pemandangan seperti apa yang
dilihatnya ketika ia pertama kali melihat. Kata-kata
apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali
berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke
dalam 'rekaman kaset kosong' seorang anak adalah
rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya
itulah yang pertama direkamnya, terutama yang
paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu
27
ibulah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-
anaknya.
Pembinaan oleh ibu yang dilakukan sejak
dini ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa
pada anak, yang tidak akan bisa digantikan oleh
pihak manapun ataupun diganti dengan nilai materi
berapapun. Bukankah ketika ibu menyusui, ibu
mengajarkan rasa aman? Bukankah ketika ibu
menidurkan anak dalam buaian, ibu mengajarkan
kasih sayang? Bukankah saat melatih anak berjalan,
ibu mengajarkan semangat untuk berjuang, saat
menengahi perselisihan anak, ibu mengajarkan
tentang keadilan? Ibu pun mengajarkan kejujuran,
keterbukaan, empati dan tanggung jawab. Dan
terpenting, ibulah yang pertama kali mengajarkan
anak tentang tuhannya, pada siapa dia harus takut,
tunduk dan patuh. Generasi manakah yang lebih
baik dari generasi yang kelak bisa memberikan rasa
aman, kasih sayang, keadilan dan punya empati yang
tinggi terhadap umatnya? Mereka memiliki
kejujuran, tidak tergoda oleh materi,
bertanggungjawab dan pantang menyerah dalam
perjuangannya. Mereka adalah orang yang paling
takut tehadap azab Allah bila lalai dari
tanggungjawab mereka, Mereka yang menjalankan
hukum-hukum Allah tanpa merasa takut pada
sesama manusia. Bukankah generasi seperti ini
yang akan mampu membawa umat pada
kemashlahatan ?
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran ibu
sangat besar artinya dalam pembentukan generasi di
masa datang, mengingat besarnya peluang dan
28
kesempatan seorang ibu tersebut untuk mengawali
proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Mereka
bisa membentuk warna dan corak generasi umat
Islam di masa datang. Seorang ibu yang lemah,
bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan
generasi yang warnanya tidak jauh berbeda dengan
dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan
teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan
kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi
dan perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa
memilah-milah mana yang baik dan mana yang
buruk. Sebaliknya kalau ‘sang ibu’ itu pintar
(menguasai tsaqofah Islam), cerdas, kreatif,
berperilaku baik serta berkepribadian Islam yang
tinggi, maka warna dasar di masa datang akan baik.
Bahkan kalau perannya berjalan optimal, ibu seperti
ini akan mampu membentuk generasi yang tangguh,
yang tidak terombang-ambing oleh ombak
kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan dan
berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya,
apapun kondisi yang menghadangnya.
Dengan demikian agar peran para ibu
dalam pendidikan generasi di masa datang bisa
optimal untuk menghasilkan generasi para mujahid
tangguh, politikus ulung dan para mujtahid, maka
proses pembinaan para ibu tidak boleh
dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Para
ibu harus dibina dengan tsaqofah Islam secara
mapan atau mendalam, sehingga dia mampu
mengarahkan dan bahkan mendidik anak-anaknya
menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu
berperan meraih kejayaan Islam kembali.
29
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu
mendidik anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia
tidak memahami betapa mulianya kedudukan
seorang mujahid. Mana mungkin seorang ibu
mampu menghantarkan seorang anak menjadi ulama
sementara dia buta terhadap tsaqofah Islam.
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik
anaknya menjadi pejuang-pejuang Islam, aset-aset
bangsa, generasi yang akan menjadi agen perubahan
masyarakatnya yang rusak, kalau dirinya sendiri
masih enggan berkorban untuk Islam. Kalau dirinya
sendiri hanya memandang anaknya adalah sekedar
aset pribadinya yang kelak harus mengembalikan
investasi pribadi yang selama ini dia tanam untuk
membesarkan anaknya, dan tidak lebih dari itu.
Bagaimana mungkin pula seorang ibu yang lebih
mengutamakan kemapanan materi dengan mengejar
karir sembari mengabaikan tugasnya sebagai ibu
bisa mendidik anaknya untuk meraih kemuliaan di
hadapan Allah meskipun dengan mengorbankan
dunianya. Mustahil ibu seperti ini akan mampu
mencetak generasi harapan umat untuk meraih
kebangkitan dan kejayaan Islam kembali. Karena
seperti pepatah bilang: “singa hanya terlahir dari
singa”; “seorang anak yang hebat juga hanya
terlahir dari ibu yang hebat”. Wallahu A’lam. *
30
MENGENAL 3 TIPE
ANAK
Setiap anak adalah istimewa. Masing-
masing anak, dengan berbagai ragam sifat dan
potensi yang dimilikinya adalah individu yang khas
dan unik. Mereka berbeda satu dengan yang lainnya.
Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan
mereka memiliki nilai keistimewaan yang berbeda.
Adalah tugas kita para orang tua dan pendidik, untuk
mengenali karakter dan potensi khas masing-masing
anak, untuk kemudian kita bina, pupuk dan
kembangkan hingga mereka semua tumbuh
menjadi individu-individu istimewa tanpa
meninggalkan karakter khasnya.
Ada beberapa tipe anak yang secara garis
besar bisa dikelompokkan dalam tiga tipe dasar:
31
biasanya lebih suka main ke luar. Ada banyak orang
dan teman yang bisa ia datangi. Mungkin sesekali
saja dia mengajak temannya ke rumah.
Tetapi ada kelemahan pula pada anak-anak
golongan ini. Karena saking mudahnya beradaptasi,
jadi terlalu sering berpindah tangan ’pengasuh’. Ini
buruk akibatnya bagi dirinya sendiri. Hari ini dia
bersama nenek, besok bersama tante, lusa bersama
orang yang lain lagi. Di manapun tidak menjadi
masalah baginya. Sementara kita tahu, setiap orang
tidak pernah punya pola asuh yang sama. Batasan,
larangan, cara memerintah, cara membujuk hingga
nilai-nilai yang disampaikan dari ibu, tante dan
nenek biasanya pun tidak sama. Bahkan adakalanya
bertolak belakang. Semua itu hanya akan membuat
anak bingung hingga akhirnya mereka menjadi sulit
diberi pengertian.
Selain itu, karena sifat anak-anak ini yang
sangat suka dan tertantang pada hal-hal baru, orang
tua harus ekstra menjaga mereka. Kaki lecet, kepala
benjol, lebam-lebam karena terjatuh adalah
pemandangan sehari-hari yang bakal ditemui oleh
orang tua pada anak dengan tipe ini. Sebentar luput
dari perhatian, ada saja yang sudah mereka lakukan:
naik pagar tidak bisa turun, kepala masuk lubang
pagar tidak bisa keluar, jari-jari berdarah karena
dimasukkan ke lubang kipas angin, dan
semacamnya. Karena itu kewaspadaan tinggi
terhadap barang-barang yang berbahaya (seperti
listrik, benda-benda tajam, dan semacamnya.)
berikut memastikannya tidak mudah terjangkau oleh
anak dengan tipe ini harus dilakukan orang dewasa
32
di sekitarnya.
36
METODE MEMPERBAIKI
KESALAHAN ANAK
Adalah hal yang lazim, dalam proses
tumbuh kembangnya untuk sampai pada kematangan
dan kedewasaan, seorang anak tidak hanya
melakukan hal-hal yang baik dan benar, namun acap
kali berbagai kesalahan pun mereka lakukan.
Yang harus kita lakukan sebagai orang tua
atau pendidik tentu saja adalah tidak boleh
membiarkan kesalahan anak tersebut berlarut-larut
sampai bisa jadi sang anak malah berjalan di atas
jalan yang salah. Sebaliknya, yang harus dilakukan
adalah segera memperbaiki penyimpangan anak,
mendidik, dan meluruskan kebengkokannya dengan
metode dan cara yang terbaik, sehingga dalam
tempo yang tidak begitu lama kesalahan tersebut
dapat diluruskan.
Beberapa metode untuk memperbaiki
kesalahan (anak) yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW adalah sebagai berikut:
45
MENGENAL AHMAD
Anak Infaq
Anak Infaq, itulah frasa yang kami pernah
gunakan untuk menggambarkan Ahmad. Yah
memang, Ahmad adalah seorang anak yang sejak
awal pertama kali direncanakan untuk hadir di bumi
ini adalah dalam rangka untuk di’infaq’kan kepada
orang tua lain yang sangat membutuhkan. Apakah
itu berarti Ahmad adalah anak yang tidak
diinginkan? Jawabannya adalah SAMA SEKALI
TIDAK. Justru kehadirannya sangat diharapkan.
Berawal dari permintaan tulus Pakde Ahmad yang
sudah belasan tahun menikah akan tetapi belum juga
dikaruniai seorang putra, agar sekiranya berkenan
memiliki putra lagi untuk kelak mereka adopsi, ayah
dan ibu Ahmad -yang memang dikenal sangat gemar
mengulurkan tangan kepada siapa saja yang
membutuhkan pertolongan mereka- tak kuasa
menolak permintaan tersebut. Meski pada saat itu
usia ibu Ahmad sudah tidak tergolong muda lagi
untuk melahirkan, sementara ayah Ahmad pun sudah
dalam keadaan kesehatan yang tidak lagi prima
karena beberapa penyakit metabolik yang
dimilikinya, ditambah dengan sebenarnya mereka
sudah merasa cukup dan bersyukur dengan 2 orang
putra-putri yang mereka miliki, akan tetapi dorongan
niat baik untuk membantu saudara yang
membutuhkan pertolongan mereka, membuat
keduanya merealisir keinginan saudaranya untuk
47
menambah putra agar kelak bisa mereka adopsi.
Maka seizin Allah, janin Ahmad pun mulai
ada dan berkembang di perut ibunya.Akan tetapi
rupanya Allah juga memiliki skenario lain untuk
Ahmad. Ketika Ahmad baru berusia kurang lebih 1
bulan dalam kandungan, pakde Ahmad yang juga
berikhtiar -sekian lama- untuk memiliki anak dengan
cara mengadopsi bayi lain diperkenankan Allah
mendapatkan calon bayi adopsi. Proses adopsi yang
tidak mudah tersebut berjalan bersamaan dengan
kehamilan Ahmad yang belum diketahui keduanya.
Akhirnya pakde Ahmad berhasil mendapatkan bayi
adopsi yang baru berusia 7 hari tersebut untuk
dibawa pulang setelah semua proses adopsi yang
‘tidak mudah’ mereka lalui. Tentu moment itu
menjadi sesuatu yang sangat membahagiakan
mereka setelah sekian lama mereka berikhtiar untuk
mendapatkan anak.
Itulah salah satu rahasia skenario Allah
yang tengah Dia persiapkan untuk Ahmad. Umur
kehamilan Ahmad pun terus bertambah seiring
dengan kerepotan keluarga pakdenya yang juga
tengah mengasuh seorang bayi. Janin Ahmad pun
tumbuh dalam keadaan yang membinanya untuk
memiliki kesabaran dan ketangguhan. Sang Ayah
karena sakitnya beberapa kali masuk RS untuk
opname. Janin Ahmad pun sudah terbiasa ikut
ibunya yang harus tidur di RS merawat sang ayah,
sambil bolak-balik memastikan 2 anak kecilnya
(saudara-saudara ahmad) juga terawat dan terpenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Bisa kita bayangkan,
Ahmad sudah terbiasa dengan suasana kesabaran,
48
ketegaran dan perjuangan yang dilakukan oleh
ibunya sejak dia dalam kandungan.
Keadaan seperti ini berjalan hampir
sepanjang usia kehamilan Ahmad. Ibunya harus
merawat ayahnya yang sakit sambil mengasuh dua
kakaknya yang juga masih kecil-kecil. Pada waktu
usia kehamilan Ahmad 6 bulan, Ahmad hampir
kehilangan sang ayah yang belum pernah melihat
maupun dilihatnya. (Tentang ini akan kami ceritakan
tersendiri) Tapi Allah menghendaki sang ayah bisa
menyaksikan bayi Ahmad lahir di dunia. Meskipun
selang beberapa bulan kemudian, tepatnya ketika
Ahmad berusia 4 bulan, Allah sang Khaliq akhirnya
benar-benar mengambil ayah Ahmad kembali ke
sisi-Nya. Satu lagi episode perjalanan hidup yang
disiapkan Allah untuk Ahmad. Kami sendiri sangat
yakin semua skenario tersebut pada masanya nanti
akan bisa dimengerti sebagai pendidikan tersendiri
yang dilakukan Allah kepada Ahmad.
Ketika Ahmad lahir ke dunia tentu saja
rencana untuk memberikannya kepada Pakdenya
tidak bisa serta merta direalisir karena pada saat itu
mereka sudah memiliki tanggungan bayi untuk
diasuh yang sudah cukup merepotkan mereka.
Namun kemudian akhirnya kami yang
diperkenankan Allah merawat Ahmad, filosofi
bahwa Ahmad adalah anak yang memang sudah
diikhlaskan oleh orang tuanya dengan niat baik
untuk menjadi tabungan kebaikan pun kami bawa.
Kami bertekad untuk mempersiapkan Ahmad untuk
menjadi anak yang di’infaq’kan di jalan-Nya;
menjadi hamba-Nya yang diridloi-Nya dan dia pun
49
ridlo kepada Tuhan-Nya; menjadi seorang anak yang
kelak menjadi salah satu dari generasi terbaik yang
pernah dilahirkan untuk kemuliaan Islam.
Dengannya kami berharap Ahmad bukan hanya bisa
menjadi jalan teraihnya kemuliaan bagi kedua orang
tuanya, maupun kami yang membesarkannya, akan
tetapi lebih jauh lagi bagi umat ini secara
keseluruhan. Itulah mengapa kami menyebutnya
Anak Infaq….
50
tekanan darah sudah tidak terukur, nadi teraba sangat
lemah, semua tubuhnya sudah dingin,basah dan agak
membiru. Beliau sudah jatuh dalam keadaan shock.
Di sekelilingnya saya dapati saudara-saudara yang
lain membacakan ayat-ayat Al Qur’an. Ibu Ahmad
sendiri yang waktu itu sedang hamil Ahmad 6 bulan
sudah pasrah dan ikhals seandainya sang suami saat
itu dipanggil oleh-Nya.
Tapi Allah berkehendak lain. Ketika Ayah
Ahmad berhasil kami antarkan ke RS terdekat,
beliau masuk dengan diagnosa sementara Gagal
jantung karena yang dominan terlihat saat itu adalah
tubuhnya yang keseluruhannya memang
membengkak (oedema anasarka). Biasanya ini
terjadi pada kelainan jantung atau ginjal. Namun
pada proses diagnosa berikutnya diketahui ternyata
yang membuat beliau koma adalah shock
hipoglikemik (sebuah keadaaan yang terjadi ketika
kadar gula darah seseorang sangat rendah dan
menurun dengan cepat). Ini adalah komplikasi yang
cukup sering terjadi pada pasien dengan kadar gula
tinggi (Diabetes Mellitus) yang kemudian
mendapatkan terapi untuk menurunkan kadar
gulanya tetapi pasien tersebut tidak
mengimbanginya dengan makan yang seharusnya
dilakukan. Jadi akhirnya kadar gulanya turun drastis.
Pada perjalanan berikutnya ayah Ahmad
setelah pulih dari keadaan koma hipoglikemik yang
sebelumnya dialaminya, ternyata harus opname
cukup lama di RS tersebut karena ternyata sekarang
ditemukan kelainan gagal jantung dan ginjalnya
yang salah satu sebabnya adalah shock yang beliau
51
alami sebelumnya. Begitulah, ayah Ahmad harus
opname lagi pada hari beliau diijinkan pulang dari
RS setelah opname 2 mingguan. Di RS yang kedua
ini, opname lebih lama, hampir 3 bulan
lamanya.Ayah Ahmad diperbolehkan pulang dalam
kondisi kekuatan jantung yang kurang dari 60%
menjelang kelahiran Ahmad.
52
mengurus bayi dan anak-anaknya yang masih kecil
sekaligus mengurus ayah Ahmad yang sedang sakit.
Memang ada seorang pembantu yang membantu
beliau di rumah, akan tetapi tetap saja tanggung
jawab dan beban yang harus ditanggung ibu Ahmad
tidaklah ringan. Saya kira suasana kesabaran,
ketegaran dan penuh perjuangan yang sudah ditemui
Ahmad sejak detik awal kehidupannya juga adalah
skenario Allah yang membantu Ahmad untuk
mencapai kematangan dan kemandiriannya sejak
kecil.
54
dan 4 bulan (Ahmad). Sementara di luar rumah, ibu
Ahmad yang seorang guru juga harus memenuhi
kewajibannya tersebut. Apalagi pasca meninggalnya
ayah Ahmad ada banyak hal berkaitan dengan
wafatnya tersebut yang harus diurus, praktis ibu
Ahmad cukup kepontal-pontal mengurus semua itu.
Pada saat yang sama ketika sang ibu sibuk dengan
beberapa urusan terkait wafatnya sang ayah dan
beberapa tanggung jawab lain, Ahmad lebih sering
diasuh oleh pengasuhnya; seorang wanita paruh
baya yang cocok menjadi nenek Ahmad. Karena
rumah pengasuhnya tidak jauh dengan rumah
Ahmad, seringkali dia dibawa pulang oleh
pengasuhnya tersebut ke rumahnya. Kadang dibawa
cukup lama tanpa sepengetahuan ibunya. Saat itu
Ahmad -yang sejak bayi memang cukup sering
batuk- sakit batuk lagi dan agak parah. Ketika kami
mengetahui kondisi Ahmad seperti itu, kami yang
saat itu baru menikah dan belum dikaruniai
momongan, mencoba menawarkan diri untuk
membantu mengasuh Ahmad kepada ibu Ahmad.
Ternyata penawaran kami tersebut disambut baik
oleh tante saya tersebut. Beliau yang secara psikis
mungkin memang sudah sejak awal siap untuk
melepas Ahmad, lebih merasa sreg dan tidak
khawatir Ahmad bersama kami daripada bersama
pembantunya dengan pola asuh ’gaya jaman
dulunya’.
Rencananya kami mau membawa Ahmad
ketika sudah berusia 6 bulan, agar Ahmad bisa
mendapatkan ASI eksklusifnya. Namun ternyata
menurut ibunya, karena ASI nya tidak cukup
55
banyak, sejak bayi Ahmad sudah tidak mendapat
ASI eksklusif, sehingga kami dipersilahkan
membawa Ahmad meski usianya belum 6 bulan.
Jadilah Ahmad kami bawa untuk kami asuh sejak
usia 5 bulan. Untuk membedakan dengan ayah dan
ibu kandungnya kami memilih untuk memanggilkan
diri kami dengan panggilan abi dan umi untuk
Ahmad.
Komitmen kami sejak awal, bukan
mengambil dan memisahkan Ahmad dari ibunya.
Kami hanya berniat membantu membesarkan dan
mendidiknya dengan sebaik-baiknya, agar kelak dia
bisa menjadi jalan kemuliaan bagi kedua orang
tuanya dan umat ini. Seandainya sewaktu-waktu
Ahmad diminta ibunya kembali, Insya Allah sejak
awal kami sudah menyiapkan diri dan tidak akan
berusaha menghalanginya. Hal yang sama juga kami
siapkan terhadap Ahmad. Dan Allah SWT Maha
Mengetahui atas segala sesuatu dan Dialah sebaik-
baik pemberi balasan.
’Bakat’ Temperamental
Nah sifat temperamental inilah yang
senantiasa menjadi PR bagi kami, abi dan uminya
untuk membantu Ahmad bisa mengendalikannya.
Ahmad mudah sekali marah dan ’mengambil
tindakan’ kalau menurutnya ada orang lain atau
62
temannya yang ’nakal’. Tentu ’nakal’ di sini adalah
sesuai persepsinya sebagai anak kecil (yang daya
nalarnya masih dangkal, egosentrisnya masih tinggi,
kualitas pemahamannya masih sangat sempit).
Karena sebenarnya tidak ada anak kecil yang nakal.
Yang ada adalah anak kecil yang aktif atau pendiam,
yang berani atau penakut memulai sesuatu, yang
ketrampilan motoriknya berbeda-beda, dan
sebagainya. Tetapi itu semua tidak serta merta bisa
menjadikan mereka yang pendiam kita judge sebagai
anak ’baik’ sebaliknya yang sangat aktif sebagai
anak ’nakal’. Karena saat itu mereka belum
memiliki pemahaman yang sempurna yang bisa
mereka jadikan sebagai pengikat tingkah laku
mereka. Mereka masih dalam proses belajar mana
dan apa sesuatu yang benar dan salah, yang baik
atau buruk, yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Sehingga memang belum ada pembebanan hukum
atas mereka.
Nah, kembali kepada kemarahan Ahmad
kepada teman atau seseorang yang menurutnya
nakal itu adalah bisa jadi karena hal-hal yang
lazimnya terjadi pada anak-anak, seperti rebutan
mainan, tidak sengaja tersenggol temannya, tabrakan
ketika berkejaran, diledek dengan sebutan tertentu,
dan semacamnya. Hanya bedanya dengan teman-
temannya yang biasanya menangis ketika
mengalami hal yang sama, Ahmad justru marah
kepada seseorang yang menurutnya ’nakal’ tadi.
Tidak jarang langsung dipukulnya seseorang
tersebut. Dengan potensi keberanian yang dia punya
bahkan dia tidak takut sekalipun yang dia pukul
63
tubuhnya jauh lebih besar, usianya jauh lebih tua
atau tidak. Biasanya hal tersebut bisa dicegah kalau
’kejadian’ yang membuat marah Ahmad tadi, kami,
gurunya atau orang lain ketahui sebelum Ahmad
melampiaskan kemarahannya, sehingga bisa
disampaikan kepada Ahmad ’tafsir kejadian’ tadi
dengan arif. Misalnya bahwa tadi Ahmad ketabrak
temannya yang sedang lari-lari, hingga jatuh itu
karena tidak sengaja, bahwa mainan Ahmad bukan
direbut tapi cuman mau dilihat sebentar, bahwa
temannya bukan mau melempar Ahmad tapi bolanya
terbang terbawa angin yang keras hingga mengenai
Ahmad, bahwa harusnya Ahmad lebih hati-hati,
meminta maaf, atau memaafkan temannya dan
seterusnya. Tapi tentu saja, tidak semua yang terjadi
ketika anak-anak tersebut bergaul dan bermain
dalam kekuasaan pengawasan kita.
Sehingga di sinilah sebenarnya kearifan
kita sebagai orang dewasa dalam menyikapi apa
yang terjadi diantara mereka sangat dibutuhkan.
Yang harus kita pahami, bahwa ’pertengkaran’ atau
’permusuhan’ diantara mereka (anak-anak kita)
sebenarnya tidaklah ada. Mereka bahkan belum
paham apa itu ’musuh’, ’nakal’ dan ’bertengkar’.
Bisa jadi seorang ibu yang tidak mau membelikan
anaknya permen agar sang anak tidak sakit radang
tenggorokan, dianggap oleh sang anak sebagai orang
nakal dan harus dimusuhi. Justru dengan
pertengkaran atau perkelahian-perkelahian ’semu’
itulah mereka akan dibawa pada kematangan emosi
yang kelak mereka butuhkan. Dengan mengenal rasa
senang dan sakit pada waktu yang bersamaan itu
64
pulalah, mereka akan belajar untuk bergaul dengan
’sehat’. Dengan berbagai pengalaman warna rasa itu
pula seorang anak akan belajar tentang kehidupan
yang sesungguhnya dan dipersiapkan untuk menjadi
individu yang siap mengarunginya. Tentang
bagaimana kami berusaha mengajari Ahmad
mengendalikan diri insya Allah di bagian lain buku
ini.
66
Cara Berkenalan Dengan
Teman Baru
Ini hal lain yang sempat saya perhatikan
ketika membawa Ahmad (saat berusia 1-2 tahun)
bermain di luar rumah bersama dengan teman-
temannya. Kalau bertemu dengan anak kecil yang
belum dikenalnya pasti didekati Ahmad. Kalau
kemudian anak tersebut berlari-lari atau bergerak,
maka biasanya Ahmad akan bermain-main
dengannya, kejar-kejaran ataupun yang lainnya.
Masalahnya, kalau kemudian temannya tersebut,
setelah didekati, coba disapa dengan bahasa anak
yang belum bisa bicara jelas ternyata diam saja,
tidak memberi respons, biasanya oleh Ahmad
temannya tersebut kemudian didorong, kadang
sampai jatuh dan akhirnya menangis. (Mungkin
maunya mengajak temannya tersebut agar tidak
diam saja). Akhirnya bisa jadi banyak anak yang
ditangiskan Ahmad ketika bermain. Yang lain lagi,
kalau kemudian dia menemukan temannya tersebut
sebentar-sebentar menangis karena takut dengan
dirinya, Ahmad malah lebih senang menggoda
mereka. Entah mainannya seperti hendak
diambilnya, temannya tersebut seperti hendak
dikejarnya, mendekatinya atau hal lain yang pada
anak-anak tertentu sudah cukup membuat mereka
menangis berkali-kali. Apakah hal tersebut saya
biarkan? Tentu saja tidak. Berusaha menasehati dan
memahamkannya tentu saja saya lakukan. Hanya
pada saat itu, karakter khasnya lebih sering
mendominasi daripada pemahamannya, karena
memang belum usianya. Sama dengan anak
67
seusianya yang cenderung cengeng, meskipun
mereka juga berusaha untuk difahamkan dan
dinasehati agar jadi anak pemberani dan tidak
cengeng juga tidak serta merta berubah. Tapi dengan
bertambahnya usia dan berkembangnya mafhum
(pemahaman), anak-anak tersebut akan bersikap
sebagaimana pemahaman yang mereka miliki, tentu
tetap dengan kekhasan masing-masing yang berbeda
satu sama lain.
Alhamdulillah, sekarang tentu saja sudah
berbeda. Sekarang Ahmad sudah bisa untuk
difahamkan. Sudah bisa diajari konsekuensi/akibat
bersikap tidak baik.Dan pemahaman-pemahaman
tersebut sudah mulai mengendalikan sikapnya.
Meskipun tentu saja, pada waktu-waktu tertentu
sikap temperamentalnya kadang masih keluar dan
pemahaman yang dimiliki terkalahkan. Yang jelas,
sekarang dia tidak serta merta mendorong temannya
yang tidak mau lari-lari, sudah bisa bermain dan
berbagi mainan bersama. Meskipun bukan berarti
tidak pernah bertengkar dengan temannya. Rebutan
mainan atau salah paham sih adalah hal yang biasa
... Namanya saja anak-anak. Biar mereka belajar
warna dunia ini dengan berbagai rasa di dalamnya.
Susah Makan
Ini mungkin salah satu kesulitan umum
yang dialami oleh banyak orang tua. Saya sendiri
menghadapi masalah susah makan Ahmad ini sejak
awal. Yakni sejak dia seharusnya mulai
mendapatkan makanan pendamping ASI (bubur
susu). Ahmad sama sekali tidak mau makan bubur.
68
Berbagai cara kami lakukan mulai dari
memvariasikan rasa, membawanya jalan-jalan,
bujukan-bujukan hingga bubur itu kami jadikan
seperti air minum yang kami coba minumkan ke
Ahmad. Masalah susah makan ini berjalan hingga di
usia 3 tahunan. Alhamdulillah, meski susah makan
Ahmad sangat suka minum susu. Jadi asupan
untuknya masih lumayan. Sekarang Alhamdulillah
Ahmad sudah ’pintar’ makannya. Bukan hanya
dalam hal memakan semua jenis makanan dan tidak
hanya nasi+kuah seperti sebelumnya, tapi juga
kemandiriannya dalam makan juga semakin bagus.
Pelajaran yang kami dapatkan dari susah
makannya Ahmad ini adalah bahwa kita sebagai
orang tua memang harus telaten, sabar dan kreatif
mencari cara untuk bisa memastikan asupan yang
didapatkan anak kita cukup.
75
BERBAGI PENGALAMAN
MENDIDIK AHMAD
Mengenalkan Allah SWT dan
Sifat-Sifat-Nya
Imam Syafi’i mengatakan, kewajiban
pertama seorang hamba adalah ma’rifatullah
(mengenal Allah), Tuhan yang telah
menciptakannya. Begitu pula, hal mendasar yang
berusaha kami bangun pada diri Ahmad sebagai
pondasi bangunan kepribadiannya adalah
keyakinannya kepada keberadaan Allah berikut sifat-
sifat-Nya agar terbentuk kesadaran akan
hubungannya dengan Allah, dan apa
konsekuensinya. Tentu dengan tahapan pendidikan
yang sesuai dengan usianya.
Menunjukkan dan membuktikan bahwa
Allah ada, beserta sifat-sifat yang melekat pada-Nya
kepada seorang anak balita bisa dilakukan melalui
wasilah dan metode apa saja. Pada prinsipnya,
mengenalkan Allah pada anak adalah membuat
mereka percaya dan meyakini bahwa Allah adalah
sumber dari segala sesuatu. Allah adalah sumber
dari keberadaan ’apa saja’ yang mereka lihat, mereka
rasakan, mereka kenal dan apa saja yang bisa
mereka ketahui. Allah memiliki ’kehebatan’ dan
kekuatan yang tidak dimiliki oleh makhluk
manapun, dan sebaliknya Dia tidak memiliki sifat-
sifat lemah apapun sebagaimana yang bisa dijumpai
anak pada makhluk ciptaan Allah.
76
Proses menjelaskan Allah beserta sifat-
sifat-Nya kepada seorang anak yang masih berada
pada tahapan ’pra kritis’ ini selalu bergerak dari hal
yang konkret menuju abstrak, dari
pengenalan/pemberian informasi menuju
terbentuknya keyakinan, dari pemahaman yang
dimengerti menuju pengamalan sebagai implikasi.
Kami sendiri melakukan upaya tersebut
secara alami saja melalui peristiwa sehari-hari yang
ditemui atau dialami Ahmad. Pemberian informasi
bisa kita berikan melalui cerita, pemberitahuan,
nyanyian ataupun cara lainnya.
Ketika Ahmad sakit, sembari kami beri
Ahmad obat kami sampaikan, ”Dikasih Umi
Betadine ya, nanti disembuhkan Allah”. Ketika di
sekolah kami tinggal sendiri, sambil pamit kami
sampaikan ”Ahmad dijaga Allah ya”. Ketika dia
meminta kami membelikan sesuatu, kami jawab
dengan mengatakan ”Insya Allah kalau nanti ada
rezeki dari Allah, abi/umi belikan ya...” dan
seterusnya. Hingga membuat Ahmad terbiasa
mengetahui bahwa Sang Penyembuh adalah Allah,
Sang Penjaga adalah Allah, Sang Pemberi Rezeki
adalah Allah, dan seterusnya. Kelak dia pun terbiasa
menjadikan informasi tersebut dalam amal
kesehariannya. Ketika merasa demamnya mulai
turun setelah minum obat, dia mengatakan ”Umi
Ahmad sebentar lagi mau sembuh, disembuhkan
Allah”. Ketika mempersilahkan kami pergi
(sebentar) tanpa dia ikut, dia bilang ”Ahmad tunggu
di rumah saja, ga papa, Ahmad dijaga Allah”. Atau
ketika dia bercerita dengan temannya tentang
77
mainan yang ingin dia beli, dia mengatakan ”Besok-
besok kalau ada rezeki dari Allah aku mau beli yang
kayak gini...” Ini adalah contoh pembiasaan amal
yang bisa digunakan untuk memberikan informasi
sekaligus aplikasi amalnya.
Di lain kesempatan untuk menggambarkan
kehebatan Allah, saya bercerita tentang kisah
dikalahkannya pasukan Gajah oleh Allah pada surat
Al Fiil, bagaimana Allah bisa membelah lautan pada
kisah nabi Nuh AS, bagaimana api bisa dibuat Allah
menjadi dingin pada kisah nabi Ibrahim dan
sejenisnya. Biasanya Ahmad akan bertanya untuk
membandingkan kehebatan Allah tersebut dengan
tokoh-tokoh ’hebat’ lain yang ada di benaknya.
Inilah contoh proses pembuktian yang dilakukan
oleh anak kecil. Misalnya dia bertanya: ”kalau Allah
sama Ultraman menang siapa Mi?Kalau sama
Cosmos?”. ”Kalau Allah ditembak, bisa mati ga?”
Ketika menemukan jawaban tidak mati, tidak kalah
dan sejenisnya, maka Ahmad akan terus mengejar
dengan memberikan ’tantangan’ yang menurutnya
lebih hebat: ”Kalau dibom..? ....ditembak roket.?
...dibuldozer?” dan seterusnya hingga dia
teryakinkan (dengan proses pembuktiannya yang
’sangat konkret’ tersebut) bahwa Allah itu Hebat.
Untuk menunjukkan bahwa abi dan umi
(yang mungkin dianggapnya ’super’, sebagaimana
anak lain menganggap orang tuanyalah yang hebat)
adalah makhluk yang penuh keterbatasan, saya
mengikuti penjelasan akan kelemahan kami sebagai
makhluk dengan penjelasan akan kehebatan Allah.
Atau sebaliknya. Ketika menerangkan kehebatan
78
Allah, langsung saya ikuti dengan menunjukkan
kelemahan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya
ketika saya bertanya kepada Ahmad: ”Tadi di
sekolah bagaimana Nak? Pinter? Ngajinya keras?”
Biasanya anak seusianya akan menjawab dengan
bertanya dulu: ”Tadi Abi Umi dengar ya?”Kami pun
menjawab ”Tidak Nak, Abi sama Umi ga bisa
dengar, karena jauh. Kalau dekat, abi sama Umi
bisa dengar. Tapi Allah bisa dengar. Semua Allah
bisa dengar...”
Demikianlah, kita hanya tinggal
menginspirasi mereka berfikir tentang Allah,
berikutnya proses berfikir mereka itulah yang akan
mengalirkan proses pengenalan mereka kepada
Allah, sejalan dengan taraf berfikir yang mereka
miliki. Kita tinggal memastikan setiap kali mereka
membutuhkan informasi yang benar untuk
’berbagai’ pertanyaan yang muncul di benak mereka,
kita siap dan bisa memberikannya dengan bahasa
dan cara yang bisa memuaskan mereka (baca:
mereka pahami).
79
siapa sebenarnya orang tua kandungnya, siapa
sebenarnya kami ’orang tua baru’nya dan apa
konsekuensinya, secara bertahap sejalan dengan
perkembangan pemahaman yang dimiliki Ahmad,
kami sampaikan dan jelaskan.
Yang pertama kami lakukan adalah
memanggilkan diri kami dengan panggilan yang
berbeda (abi-umi) dengan panggilan untuk ayah dan
ibunya Ahmad, berikut penjelasan siapa nama ayah
Ahmad, siapa nama ibu Ahmad, lalu siapa kami,
sehingga nantinya tidak ada kejumbuhan. Demikian
pula, kami memanggilkan semua saudara-saudara
kami (saya dan Ahmad adalah sepupu) dengan
panggilan sesuai hubungan kekerabatannya dengan
Ahmad. Sehingga hubungan kekerabatan yang
dipahami Ahmad adalah yang berdasarkan bahwa
Ahmad adalah sepupu kami, dan bukan anak kami.
Sementara mengapa dia memanggil kami dengan abi
dan umi, dan bukannya mbak atau mas sebagaimana
kakak-kakaknya, karena kami adalah orang tua
(baru) yang mengasuh dan membesarkan dia.
Selain mengenalkan siapa orang tua dan
saudara-saudara kandungnya, kami juga secara
bertahap jelaskan kepada Ahmad bahwa dia harus
berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya.
Penjelasan ini tentu dengan pilihan bahasa yang bisa
dipahami Ahmad. Kami berikan contoh dan
langsung kami biasakan Ahmad untuk
melakukannya. Diantaranya adalah biasa berdoa
untuk orang tuanya, menurut dengan nasehat ibunya,
memenuhi panggilan ibunya, membantu ibunya, dan
semacamnya yang bisa dilakukan oleh anak seusia
80
Ahmad. Demikian juga sering saya sampaikan
bahwa besok kalau Ahmad sudah besar, harus bisa
menjaga ibunya dan hal-hal lain yang kelak kami
harapkan dia lakukan untuk orang tuanya.
Tentu untuk bisa tidak asing dengan ayah
dan ibu kandungnya, Ahmad harus juga biasa
bertemu mereka, dan tidak boleh kami isolir dari
keluarga kandungnya. Oleh karenanya secara
berkala kami mengajaknya ke rumah ibunya dan
keluarga dari ayahnya. Kadang bahkan Ahmad
menginap tanpa kami. Pada waktu hari raya, selain
Ahmad kami pertemukan dengan keluarga besar dari
pihak ibunya (keluarga besar kami), juga dibawa
oleh ibunya bertemu dengan keluarga besar ayahnya.
Hal itu dilakukan tidak sekedar agar Ahmad
mengenal orang tua dan saudara-saudaranya, akan
tetapi lebih dari itu untuk menunjukkan
perkembangan Ahmad kepada ibu dan juga saudara-
saudaranya agar Ahmad senantiasa juga didoakan
oleh mereka.
Hingga sekarang, ketika saya mendaftarkan
Ahmad sekolah, nama wali murid tetaplah orang tua
kandungnya. Ibunya selalu kami beritahu
perkembangan Ahmad baik di sekolah maupun di
rumah.
Alhamdulillah, dalam perjalanannya,
pemahaman Ahmad tentang siapa orang tua
kandungnya berikut konsekuensinya sepertinya
semakin dia pahami. Terkadang kami dibuat
terperangah mendengar pertanyaan-pertanyaan
ataupun pernyataannya yang menunjukkan
sepertinya hal tersebut sudah dia pahami betul.
81
Pernah suatu saat di atas motor dalam
perjalan kami pulang ke rumah dia berkata ”
Umi...dulu kan ayah Ahmad ayah Kautsar, trus
sudah meninggal, trus sekarang ayah Ahmad jadi
Abi. Alhamdulillah ya Mi, jadi Ahmad punya ayah
dua”, sambil memeluk abinya dari belakang. Di lain
kesempatan –mungkin setelah proses berfikir yang
dia lakukan- Ahmad bertanya pada saya dimanakah
abinya ketika ayahnya masih ayah Kautsar. Di lain
kesempatan, ketika saya mengeluh kecapekan, dan
badan sakit semua, Ahmad langsung memijit tangan
saya bergantian kiri dan kanan dengan sangat enak
dan cukup lama. Ketika tangan sudah selesai, tidak
saya kira dia meminta kaki saya juga untuk dia pijit.
Pada saat itulah kemudian saya mencoba bertanya
pada Ahmad ”Ahmad, besok kalau Ahmad sudah
besar, Ahmad njagain umi atau ibu Yun?” Agak
lama Ahmad tidak menjawab, hingga akhirnya dia
bilang begini ”Atau Ahmad diiris jadi dua saja ya
Mi?”, sambil tangannya memperagakan membelah
dirinya jadi dua. Saya segera menyahut ”Ga usah
Nak. Besok kalau Ahmad sudah besar, Ahmad
njagain Ibu Yun aja ya!” Yang kemudian dengan
riang dia jawab ”Iya. Umi dijagain abi saja
ya!”....Dalam hati, selain terharu, saya juga
bertanya-tanya apa yang dipahami Ahmad tentang
menjaga ibunya. Di atas semua itu, tentu saja rasa
syukur saya kepada Allah karena Ahmad bisa
memiliki niat mulia seperti itu. Semoga Allah SWT
mendidiknya menjadi jalan kemuliaan bagi orang
tuanya, kami yang mengasuhnya, dan juga umat ini
secara keseluruhan. Amiin Ya Rabbal ’Alamiin.
82
Pembiasaan Sebagai Metode
Pendidikan Awal
Seorang bayi adalah ibarat kaset kosong
yang siap digunakan untuk merekam apa saja. Dia
bisa digunakan untuk merekam dan menyimpan
cacian, umpatan, makian, kemarahan ataupun hal
buruk lainnya. Pun demikian bisa kita gunakan
untuk merekam kata-kata indah penuh kelembutan,
perkataan-perkataan bijak penuh hikmah, senandung
kesyukuran, lantunan kalam suci ilahiy dan hal-hal
bermanfaat dan terpuji lainnya. Semua itu
tergantung pada kita sebagai pihak yang bertugas
memberikan hal-hal yang hendak dia rekam. Kitalah
sekolah pertama bagi mereka.
Seorang anak sendiri dalam proses tumbuh
dan kembangnya akan melalui beberapa tahapan
pendidikan. Hingga usia 5 tahun, paling tidak
seorang anak akan melewati tahapan pendidikan
pembiasaan, pengenalan hukum, pengenalan disiplin
dan membangun pemahaman dasar dengan
pendekatan yang bergerak dari yang bersifat konkret
ke abstrak, dari aqidah ke pengenalan
hukum/syariat, dari hal-hal pokok ke detil/cabang.
Diantara pembiasaan yang kita bisa lakukan
sejak dini adalah terbiasa berdoa setiap melakukan
apa pun, terbiasa sholat, terbiasa mendengar bacaan
al qur’an, terbiasa makan dengan tangan kanan,
terbiasa senyum ramah pada orang, terbiasa gosok
gigi sebelum tidur, dan kebiasaan-kebiasaan lain
yang menjadi aktivitas keseharian kita. Untuk bisa
83
melakukannya memang mengharuskan kita sebagai
ibu harus bisa menjadi teladan pertama dan utama
bagi anak. Tidak jarang malah sebelum jadi guru
bagi anak kita, kita harus menjadi guru bagi tim
yang akan mendidik anak kita, termasuk di
dalamnya ayah dan mungkin pembantu kita.
Demikian pula ketika saya memulai
pembiasaan sesuatu kepada Ahmad, misal kebiasaan
memulai apapun dengan doa, maka saya sampaikan
kepada abi Ahmad bahwa sekarang target yang harus
kami lakukan adalah begini....untuk itu setiap kali
Ahmad sedang bersama abi maka abilah yang harus
bisa menjadi guru bagi Ahmad. Sehingga tentu saja
abi juga harus tahu dan mengamalkan apa saja doa
aktivitas keseharian. Tidak jarang saya mendapati
ternyata tidak semua doa aktivitas keseharian
dihapal dan terbiasa dilakukan oleh suami saya,
sehingga saya harus terlebih dahulu mengajari beliau
sambil membantu mengingatkan agar istiqomah
dilaksanakan. Khan kita mau menjadikan Ahmad
seperti itu. Akhirnya, jadilah proses pembiasaan bagi
Ahmad untuk berdoa ketika keluar rumah, naik
kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, pakai
baju, makan, tidur dan bangunnya, mendengar petir
atau kilat dan lainnya sekaligus menjadi proses
pembiasaan pula bagi abinya, dan tentu saja bagi
saya sendiri.
Yang perlu diingat oleh kita selaku orang
tua pada waktu melakukan proses pembiasaan ini
adalah keistiqomahan atau keberlangsungan.
Jangan kadang dilakukan, tapi kadang tidak. Hal itu
akan mempersulit kita meraih keberhasilan. Kalau
84
kita istiqomah, rasa sulit atau berat hanya akan kita
rasakan di awal-awal kita memulai kebiasaan baru
tersebut saja, berikutnya akan mengalir dengan jauh
lebih mudah. Terkadang, diantara alasan mengapa
kita para orang tua kurang bisa istiqomah melakukan
pembiasaan tersebut adalah rasa malas, merasa tidak
ada manfaatnya karena saat itu anak kita belum bisa
bicara, merasa masih cukup memiliki waktu untuk
melakukannya di lain waktu, menunggu anak kita
lebih besar dan pintar dulu dan beberapa alasan lain
yang mungkin lebih karena ketidaktahuan kita akan
potensi daya rekam sang anak pada usia dini
tersebut. Maka lihatlah, ketika kita istiqomah
membaca doa memakai baju setiap memakaikan
anak kita baju, membaca doa sebelum tidur ketika
menemaninya tidur dan lain sebagainya, kita akan
takjub ketika suatu saat anak kita bisa bicara,
meluncurlah dari mulut mungilnya segala bacaan,
doa atau perkataan yang dulu pernah dia dengar.
Begitu bisa bicara, mungkin anak kita langsung bisa
menghafal surat al Ikhlas yang sering kita
perdengarkan untuknya.
Memanfaatkan Photographic
Memory
Sebagaimana yang sudah saya tuliskan di
awal, bahwa usia balita adalah masa dimana seorang
anak mempunyai kualitas memori seperti foto.
Selain itu anak-anak balita tersebut sering juga
disebut sebagai ’the Great plagiator” alias peniru
ulung. Apa yang dia lihat, itulah yang akan dia ingat.
85
Apa yang dia dengar, itupun yang akan dia tirukan.
Karenanya salah satu prinsip pendidikan pada usia
ini adalah bagaimana memastikan mereka
mendapatkan stimuli/rangsangan/informasi
sebanyak-banyaknya, dan dipastikan semua
stimuli/rangsangan/informasi yang dia indera,
apapun itu, adalah hal yang baik dan benar.
Di sinilah orang tua sangat memegang
peran sebagai guru pertama yang akan jadi teladan
bagi anak. Dan rumahnya adalah lingkungan sekolah
pertama bagi anak.
Terkait dengan memberikan beragam
informasi, dalam masa-masa awal ketika anak kita
belum bisa bicara, bukan berarti mereka belum bisa
menyimpan informasi yang kita berikan. Sehingga
orang tua memang harus ’banyak omong’ dan
’banyak cerita’ ketika sedang mengasuh anak-
anaknya. Hal ini perlu dilakukan agar masa dengan
daya rekam yang luar biasa ini tidak hanya
terlewatkan dengan minim rangsangan dan
informasi.
Saya sendiri sejak Ahmad bayi berusaha
mengajaknya ngomong dengan menyebutkan apa
dan siapa yang sedang dilihatnya atau ditemuinya.
Adakalanya saya menyebutkan jenis-jenis kendaraan
yang kami temui di jalan (bus, truk, sedan, motor,
mobil molen, mobil box, dll), ada kalanya saya
sebutkan jenis-jenis bangunan yang ada di pinggir
jalan (kantor, warung, toko, POM bensin, dll.), ada
kalanya warna benda, ukurannya, dan apa saja yang
bisa saya sampaikan. Kelak ketika dia berumur satu
tahunan, ketika sudah mulai bicara sedikit, ketika
86
saya diam justru dia yang akan selalu bertanya terus
”ini apa? itu apa?” terus menerus sebagaimana
sebelumnya saya terus menerus juga memberitahu
dia ketika belum bisa bicara.
Pada saat anak kita sudah memiliki
simpanan informasi lumayan banyak, kita bisa
mengasah kepekaan penginderaannya dengan
memanggil memori tersebut dalam permainan-
permainan yang bisa kita lakukan bersamanya.
Misalnya, saya meminta Ahmad menyebutkan
sepuluh hal yang dia temui sepanjang perjalanan
kami dengan cepat. Saya membuat suara tertentu
yang berbeda ketika dia bisa menyebutkan dengan
cepat (misal ”cliing...”), atau terlalu lama melebihi
waktu yang saya tentukan (misal ”teett..”), atau
yang disebutkannya ternyata pengulangan (misal
”ding dong..”), dan lain sebagainya. Kita bisa
teruskan dengan sepuluh berikutnya, dan seterusnya.
Jadi seperti permainan kuis. Kita akan bisa melihat
sejauh mana kepekaan penginderaan anak kita, dan
kecepatannya. Pada awal saya melakukannya
dengan setelah beberapa kali saya melakukannya,
terdapat perbedaan yang saya dapati pada hasil
penginderaan Ahmad. Misal pada awal-awal saya
melakukannya dia hanya menyebutkan : ”mobil,
sepeda , orang, motor, rumah, sungai, pohon .....”,
di kesempatan berikutnya lebih tajam dan lebih
cepat, misal ” truk molen, truk tanki, bus, pickup,
pagar biru, orang lagi makan, sampah di sungai,
anak kecil menangis, kakek lagi duduk,...” dan
seterusnya
Di kesempatan lain, mungkin kita
87
mengulang dan me-recall informasi yang sudah
tersimpan dalam benak anak kita dengan
memintanya bercerita tentang kejadian apa saja yang
mereka temui hari ini, atau ingin mereka ceritakan.
Dengan metode ini sering kita akan mendapati
cerita-cerita ’hebat’, lucu dan bahkan tidak masuk
akal, meluncur dari mulut mereka dalam rangkaian
kalimat-kalimat yang mungkin masih sangat
sederhana.
Metode apapun bisa kita lakukan untuk
memanfaatkan photographic memory ini. Pada
prinsipnya, jangan pernah biarkan kemampuan
’kamera’ mereka hanya kita biarkan ’tergeletak’ dan
’terpakai’ ala kadarnya karena kita tidak membantu
mereka mengoptimalkan potensi tersebut, dengan
memberikan arahan bagaimana menggunakannya
dengan sebaik-baiknya.
Berdoa…Berdoa…Dan Berdo’a
Sebagaimana kita fahami, doa adalah
senjata bagi orang beriman, bahkan disebutkan juga
90
bahwa doa adalah inti dari ibadah. Maka kami
sebagai orang tua juga meyakini bahwa dengan doa
itulah manusia memiliki sandaran yang kuat. Sejak
kecil kami mengenalkan doa-doa sekaligus
pentingnya kedekatan dengan Sang Maha Kuasa
yakni Alloh SWT kepada Ahmad.
Pengenalan pentingnya doa tersebut tidak
hanya kami lakukan dengan mengajarinya
menghafal dan mengamalkan doa-doa tertentu. Akan
tetapi lebih dari itu kami membiasakan Ahmad
melihat bahwa berdoa bisa dilakukan dimana saja
dan untuk maksud apa saja. Berikutnya juga
membiasakan dia berdoa di mana saja dan terkait
hal/maksud apa saja.
Salah satu bentuk doa yang sering kami
perlihatkan kepada Ahmad adalah berdoa untuk
dirinya agar menjadi anak baik, shalih, sabar,
tangannya dipakai untuk yang baik-baik, mulutnya
dipakai ngomong yang baik-baik, dan doa kebaikan
apapun itu untuknya sesuai dengan konteks yang
sedang terjadi. Itu adalah salah satu cara andalan
kami untuk ’mengendalikan’ Ahmad, karena dengan
metode ’berdoa langsung di hadapannya’ tersebutlah
Ahmad langsung luluh dan nurut. Adakalanya saya
sendiri yang berdoa. Adakalanya abinya sendiri,
ketika beliau yang sedang bersamanya. Tapi
adakalanya juga abi yang berdoa, sementara saya
meng-aminkan doa yang dibaca oleh abi Ahmad,
atau sebaliknya, ketika kami berdua bersama
Ahmad.
Sehingga dalam kehidupan Ahmad,
meskipun terlihat seperti tidak bisa diam, akan tetapi
91
perasaannya sangat halus dan mudah
disentuh/tersentuh. Ketika di televisi ada berita
tentang musibah, kami ajari dia berdo’a untuk
mereka yang tertimpa musibah tersebut. Ketika
melihat anak busung lapar atau mereka yang sakit,
kami biasakan dia berdoa untuk mereka, dan
seterusnya.
Begitulah, hingga Ahmad akhirnya
memang terbiasa berdoa di mana saja, untuk maksud
apa saja dan untuk siapa saja. Termasuk terbiasa
mendoakan kebaikan untuk orang lain yang
mungkin tidak dikenalnya. Sering dia kami dapati
berdoa di atas motor ketika kami sedang di
perjalanan. Ketika saya tanya “berdoa apa nak?”
Jawabannya bisa macam-macam, karena ada banyak
hal yang ditemui di perjalanan. Adakalanya dia
mendoakan anak kecil yang lagi jualan koran, pak
polisi, pengemis, seseorang yang sakit, cacat atau
orang lain. Seringkali pula dia berdoa untuk kami,
misalnya ketika di perjalanan siang yang sangat
terik, ketika kami termasuk Ahmad merasa
kepanasan, dia nyeletuk ”Abi-Abi, besok-besok kalo
ada rezeki kita beli mobil ya”. Dijawab oleh abinya
“Ahmad doakan agar Allah memberikan rezeki
untuk beli mobil”. Maka saat itu juga dia berdoa
dengan bahasanya sendiri ....dan apapun bisa
menjadi doanya.
Melakukan Hynoparenting
Dengan Tepat
Hypnoparenting adalah suatu ilmu yang
menggabungkan pengetahuan tentang mendidik dan
membesarkan anak dengan pengetahuan hipnosis.
Kata ’Hipnosis’ mengacu pada proses penurunan
kondisi kesadaran. Kondisi ini kita alami tiap hari
minimal dua kali. Pada waktu kita akan tidur kita
melewati kondisi ini, dan pada waktu kita akan
bangun dari tidur kita juga melewati kondisi ini. Jadi
singkatnya, ’kondisi terhipnosis’ adalah kondisi
antara mata terbuka dan tidur nyenyak. Hipnosis
adalah fenomena alamiah yang dialami setiap
manusia.
Penjelasan yang lebih ilmiah bisa kita
dapatkan dengan mengerti tentang gelombang otak
97
yang bisa diukur dengan alat EEG
(Electroencephalogarphy). Otak manusia
memancarkan frekuensi (yang membentuk
gelombang ) tertentu untuk setiap kondisi. Ada
empat gelombang yang sering dibicarakan. Yang
paling rendah adalah gelombang delta (0,1-4 Hz).
Gelombang ini kita alami saat kita tidur nyenyak
tanpa mimpi. Gelombang berikutnya dalah
gelombang theta (4-8 Hz). Yang mana pada
gelombang theta inilah ide-ide kreatif dan inspiratif
muncul. Informasi yang diterima saat otak dalam
kondisi seperti ini akan langsung menjangkau bawah
sadar dan tersimpan dalam memori jangka panjang.
Karena itu kondisi ini disebut kondisi yang sangat
sugestif. Frekuensi theta juga muncul saat kita dalam
kondisi meditasi atau tidur dengan mimpi. Jika
kesadaran kita lebih naik lagi, muncullah
gelombang alfa (8-12 Hz). Pada kondisi ini, pikiran
hanya terpusat pada satu perhatian. Kondisi ini dapat
terjadi ketika kita berdoa dengan sangat khusyuk.
Dan ketika gelombang otak mencapai frekuensi
lebih dari 12 Hz, maka kita berada pada kondisi
gelombang beta. Pada kondisi beta, kita dapat
mencurahkan pikiran ke banyak hal. Inilah kondisi
kesadaran mata terbuka (sadar penuh). Sebagai
contoh, pada kondisi ini kita bisa membaca buku
sambil makan kacang dan mendengarkan musik
sekaligus.
Kondisi hipnosis dicapai ketika gelombang
otak berada di kisaran gelombang alpha dan theta.
Saat berada dalam wilayah alpha dan thetha tubuh
kita bisa melakukan proses regenerasi sel dengan
98
jauh lebih baik dan lebih sempurna daripada saat
kita terjaga. Dengan hal ini, tubuh akan jauh lebih
sehat. Kemampuan berpikir logis pun akan
meningkat tajam dan kita lebih mudah mengontrol
diri dalam memutuskan sesuatu karena akurasi
dalam berpikir ikut meningkat. Karena itu jika kita
bisa membantu seorang anak memasuki wilayah
gelombang otak alpha dan thetha, kemudian kita
ajari suatu pengetahuan dalam kondisi ini, apa yang
diterimanya akan langsung dicerna dengan mudah.
Kita tidak perlu mengajarinya berulang-ulang karena
bisa dikatakan semua proses belajarnya dalam
keadaan sadar dipercepat tanpa menghilangkan
esensi dari ilmu pengetahuan tersebut.
Mengapa hal itu bisa terjadi?Jika dalam
kondisi sadar kita mengajar seorang anak, maka
kelima inderanya sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya. Bisa jadi matanya melihat kita
mengajar, tetapi telinganya mendengarkan teman-
temannya yang berteriak dengan gembira di luar
sana, sehingga imajinasinya membayangkan
bagaimana asyiknya bermain bersama mereka. Jika
ini terjadi, informasi yang kita sampaikan tidak
mendapat perhatiannya sehingga dia tidak mengerti,
apalagi mengingat apa yang sudah kita sampaikan.
Lain halnya jika pelajaran/informasi
disampaikan saat anak/subyek dalamwilayah
gelombang otak alpha dan thetha. Pada kondisi ini,
semua perhatiannya hanya tertuju pada satu titik,
yaitu si pemberi informasi. Semua panca inderanya
bekerjasama menangkap informasi baru yang masuk
dan dicerna langsung setelah diproses dengan cepat
99
untuk kemudian disimpan dalam memori jangka
panjang. Pada saat gelombang otak dalam keadaan
alpha dan thetha adalah saaat dimana kita sangat
terbuka terhadap informasi baru dan perubahan.
Otak berfungsi sebagai spons yang menyerap
apapun di sekitarnya.
Bagaimana dengan gelombang otak anak?
Ternyata ketika seorang anak berusia 5 tahun diukur
gelombang otaknya dengan Brain Wave I
(perpaduan EEG dan rangsang optik-akustik)
ternyata didapatkan hasil rekaman otaknya terlihat
dominan beroperasi di gelombang otak thetha dan
alpha. Beberapa pakar teknologi pikiran menyebut
fase itu sebagai fase ‘pikiran pra-kritis’. Informasi
diserap dan diintegrasikan tanpa pertanyaan. Apapun
yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh seorang
anak akan langsung masuk dan mengendap di
pikiran bawah sadar. Ketika ada kata-kata, peristiwa,
tindakan yang ’kurang’ baik akan sangat mudah
masuk dan mengendap di pikiran bawah sadar anak.
Jika banyak disalahkan, secara bawah sadar ia juga
belajar untuk mengkritik dan mengutuk segala
sesuatu. Jika banyak dicemooh dan diejek, ia akan
belajar menjadi seorang yang pemalu dan selalu
merasa bersalah. Jika banyak mengalami ketakutan,
ia akan belajar untuk menjadi pencemas dan selalu
khatir terhadap kehidupannya. Sebaliknya, jika
banyak dipuji, ia akan belajar untuk menghargai dan
menghormati. Jika diterima apa adanya, ia juga
belajar mengerti dan mengasihi orang lain. Jika
selalu didukung untuk melakukan sesuatu, ia belajar
untuk menyukai dirinya sendiri yang akhirnya
100
mengembangkan rasa percaya diri dan harga dirinya.
Sebuah keadaan yang kadangkala kita kurang
perhatikan, tapi sangat berpengaruh dalam
kesehariannya.
Maka, di saat menjelang tidur (ketika otak
dalam gelombang alpha-thetha) seperti inilah saat
yang tepat kita mendampingi tidur anak kita sembari
menceritakan kisah-kisah teladan para sahabat
Rasulullah, maupun kisah-kisah inspiratif bermakna
lainnya sambil menunggu ia mengantuk dan
menjelang tertidur. Maka di saat itulah, yakni ketika
anak baru menuju tidur, tetapi juga tidak dalam
kondisi sadar, kita masukkan kata-kata hipnosis
sesuai dengan yang kita inginkan.
Sebagai catatan, jika mau menghipnosis
anak, yang pertama adalah tidak boleh
menggunakan kata-kata negatif. Misalnya:
Ahmad mulai besok jadi anak yang tidak nakal ya.
Jangan nangisan. Jangan suka bertengkar, dan lain
sebagainya. Tapi kata-kata yang di masukkan ke
telinga anak kita haruslah kata-kata positif.
Misalnya: Ahmad anak yang sholeh, nurut sama abi
dan umi, sayang sama teman, dan sejenisnya.
Kemudian kata-kata yang dibisikkan tidak boleh
terlalu panjang, sehingga sulit untuk dimengerti
oleh anak.
Sebagai bukti, coba Anda dengarkan
kalimat saya di bawah ini, hafalkan dan ulangilah
sambil memejamkan mata:
”Tolong jangan Anda bayangkan di benak
Anda seekor monyet hitam, besar, jelek,
menakutkan dan bau ada di depan Anda. Saya
101
ulangi, jangan pernah Anda bayangkan di benak
Anda seekor monyet hitam, besar, jelek,
menakutkan dan bau ada di depan Anda.
SEKALI-KALI JANGAN PERNAH ANDA
BAYANGKAN DI BENAK ANDA, SEEKOR
MONYET HITAM, BESAR, JELEK,
MENAKUTKAN DAN BAU ADA DI DEPAN
ANDA.”
Bagaimana? Semakin saya (atau Anda)
ulang kalimat tersebut, apakah semakin tidak Anda
bayangkan gambaran monyet hitam, besar, jelek,
menakutkan dan bau tersebut? Atau justru
sebaliknya, Anda semakin membayangkan bahkan
memvisualisaikannya dalam benak Anda? Pasti
jawaban yang kedualah yang terjadi. Sekalipun di
dalam kalimat saya tersebut juga saya ulang-ulang
kalimat ”jangan Anda bayangkan, jangan pernah
Anda bayangkan, sekali-kali jangan pernah Anda
bayangkan!”
Itulah mengapa melakukan hipnosis tidak
boleh menggunakan kata-kata ’negatif’.
Demikian pula, dalam keseharian kita
bersama anak kita, jangan pernah menggunakan
kata-kata ’negatif’ karena bisa jadi kita telah
melakukan hipnosis tanpa pernah kita sadari.
Ingat! Anak-anak dalam keseharian mereka,
sangatlah sering/biasa berada dalam kondisi
gelombang otak alfa-thetha secara alami.
Memilih(Kan) Mainan
Memilihkan mainan yang tepat juga
menjadi bagian tak terpisahkan dari proses
pembelajaran yang kita lakukan. Mainan yang tepat
untuk tipe anak yang tepat akan membantunya
mengembangkan potensi yang dimilikinya lebih
optimal dengan tanpa membebani sang anak.
Mainan bisa menjadi alat belajar bagi anak
untuk mengasah kognitif, motorik halus dan
105
kasarnya, mainan juga bisa menjadi rangsangan bagi
berkembangnya naluri keibuan atau kebapakan
seorang anak, mainan juga bisa menjadi sarana
berlatih mereka.
Bola…bola…, Puzzle…
puzzle…Untuk Anak Kinestetis
Bagi anak kinestetik seperti Ahmad yang
memang cenderung sangat aktiv, kita akan melihat
pada awal tumbuh kembangnya mereka cenderung
lebih tertarik melakukan eksplorasi pada hal-hal
yang bersifat bergerak atau melatih motorik kasar
(seperti berjalan, berlari, melompat, mengejar, dsb) ,
dan relatif kurang tertarik pada hal-hal yang
cenderung ‘tidak atau kurang bergerak’ seperti
bermain boneka, mobil diam atau robot yang harus
digerakkan, dan sejenisnya. Maka pada masa-masa
awal tersebut ketika mereka memang relatif lebih
susah untuk ‘didudukkan’ sementara mereka justru
memiliki potensi dan perhatian pada hal-hal yang
menantang secara motorik kasar, biarkanlah mereka
memuaskan minat eksplorasinya dan memantapkan
ketrampilan motorik kasarnya lebih dulu ketimbang
temannya yang tidak bertipe sama. Karena
sekaranglah memang saat yang tepat bagi mereka
untuk melakukannya. Kelak, biasanya mereka harus
mengejar ketrampilan motorik halus mereka
dibanding dengan temannya yang bertipe
sebaliknya. Pada waktu ini, mainan yang sangat
cocok untuk mereka adalah bola dan sejenisnya.
Berikan bola pada mereka, dan biarkan mereka
106
mengeksplorasi apa saja hal-hal menantang yang
bisa mereka lakukan: menendang, melempar,
mengejar, melompat, menangkap, tiarap, berguling
dan berbagai ketrampilan motorik kasar lainnya bisa
mereka lakukan dengan ‘enak’ ketika mereka punya
bola bundar yang ‘mudah bergerak’.
Pada saatnya ketika usia mereka bertambah,
ketika perhatian sudah pula mengarah kepada
eksplorasi hal-hal yang ‘lebih tidak bergerak’ dan
lebih bisa berkonsentrasi, maka saatnya kita
membantu mereka agar lebih mudah melakukannya
dengan mengganti/menambah jenis mainan. Untuk
membantu anak kinestetik agar bisa diajak lebih
‘khusyuk’ anggota tubuhnya, maka permainan
berikutnya yang sangat cocok untuk dipilih adalah
puzzle dengan berbagai ragamnya. Dengan puzzle –
apakah itu merakit rancang bangun, menyusun
gambar, mengolah bentuk dan lainnya- seorang anak
kinestetis bisa dibuat terbiasa ‘duduk lebih manis’
karena kelebihan energi yang dimilikinya sedang
tersalurkan pada olah tangannya yang terus bergerak
menyusun puzzle yang sedang dimainkannya. Selain
bisa ‘duduk lebih manis’, sebenarnya inilah salah
satu momentum untuknya belajar, karena
sesungguhnya pada saat itu dia siap untuk
memberikan konsentrasi pada hal lain tanpa merasa
susah untuk membuat anggota tubuhnya ‘diam’.
Demikian pula dengan Ahmad, sambil
tangannya bermain puzzle kami ajak dia mengulang
hafalan quran atau doa-doanya. Sambil tangannya
terus bergerak, dia memperhatikan VCD mengenal
huruf dan angka yang sedang kami putar. Sambil
107
bermain asyik dengan fantasi robot rancangannya
yang setiap saat bisa diubahnya, Ahmad kami minta
menjawab soal-soal hitungan yang kami ajukan, cara
mengeja kata yang kami sebutkan, dan sebagainya.
Tentu saja, tidak semua pelajaran bisa dilakukan
sambil bermain pada saat yang bersamaan. Menulis
misalnya, memang membutuhkan konsentrasi dari
tangan sang anak untuk melakukan ketrampilan
motorik halus tersebut. Makanya biasanya mereka
dalam hal ini sedikit agak kesulitan melakukannya.
Bisa, tapi mungkin lebih lama dibanding temannya
yang tidak bertipe sama.
Toilet Training
Salah satu pelatihan penting yang pasti kita
lakukan pada pengasuhan anak balita adalah toilet
training. Bagaimana agar anak kita segera memiliki
keterampilan dalam mengendalikan rangsangan
berkemih maupun hajat besar mereka, hingga
bagaimana agar anak kita trampil melakukan
perawatan diri sendiri sehari-hari (mandi, buang air
kecil dan buang air besar secara mandiri).
Toilet training ini bagi ibu-ibu jaman dulu
malah sudah menjadi sebuah keahlian yang mereka
miliki turun temurun. Anak-anak yang mereka asuh
biasanya sudah sangat terlatih mengendalikan
rangsangan berkemih maupun buang air besar
mereka meskipun masih bayi (kurang dari 1 tahun).
Hal itu karena mereka (para ibu jaman dulu) tersebut
sudah terbiasa langsung memulai toilet training
anak-anak mereka sejak lahir (secepat mungkin).
Mungkin inilah, diantara hal yang saat ini tidak
108
banyak dilakukan oleh para ibu di jaman ini karena
kita sekarang mengenal pampers/diapers. Dengan
pampers, kita tidak harus terbangun setiap saat
untuk mengganti popok/celana anak kita yang basah.
Hanya salah satu kerugian yang sekarang bisa kita
lihat, diantaranya adalah para ibu/orang tua saat ini
lebih ‘malas’ untuk melakukan toilet training sejak
dini. Alhasil, anak-anak mereka pun ‘agak terlambat’
memiliki ketrampilan mengendalikan rangsang
berkemih maupun buang air besar mereka.
Bagaimana kita mengawali melakukan
toilet training? Yang pertama tentu adalah kita
sebagai orang tua harus memiliki komitmen yang
kuat, pada perjalanan berikutnya komitmen tersebut
akan teruji pada kesabaran, kedisiplinan dan
kerelaan untuk berkorban yang mutlak kita butuhkan
untuk sukses melakukan toilet training. Untuk
memudahkan dan meringankan, alangkah baiknya
kita melakukannya dalam bentuk kerja tim. Mungkin
dengan suami kita, pembantu kita, atau orang lain
yang biasa ada bersama anak-anak kita di rumah.
Hanya yang perlu diingat, kitalah leader tim
tersebut. Sebagai leader, tentu saja mestinya kitalah
orang yang paling bagus memberikan contoh
komitmen, kesabaran, kedisiplinan maupun
pengorbanan dalam melakukan toilet training.
Karena seringkali, justru para pembantu lebih telaten
dari ibunya sendiri. Alhasil ketika suatu saat
misalnya sang pembantu tidak ada, jadilah pelatihan
tersebut harus ‘bubar’ karena sang ibu yang lebih
memilih ‘gampangnya’ dari ‘repotnya’ dengan
memakaikan pampers pada anaknya.
109
Inti dari toilet training ini pada anak sehat
(yang tidak memiliki gangguan pada sistem syaraf)
adalah melakukan pembiasaan untuk dapat menahan
kencing dan buang air besar, dan melakukannya di
tempat yang benar. Sehingga karena pembiasaan,
bisa kita mulai sejak dini. Mulanya kita biasakan
anak kita setiap waktu tertentu untuk buang air
kecil/buang air besar, bisa dengan mengangkat kaki
mereka, menekuk pantat mereka (ketika masih bayi),
membasahi/menyiram kaki dan kelamin mereka,
sambil kita meminta mereka untuk kencing disertai
menirukan suara orang yang sedang BAK/BAB
misalnya. Waktu-waktu tepat untuk melakukannya
diantaranya adalah saat bangun tidur, akan tidur,
beberapa waktu lain secara berkala saat kita
perkirakan asupan makan/minum yang masuk sudah
cukup banyak untuk butuh dikeluarkan. Yang
penting setelah membuat jadwal tetap tersebut, kita
harus mengulang apa yang kita lakukan tersebut
terus menerus dengan cara yang sama, hingga
mereka ‘terbiasa’ dan mengenali bahwa itulah
saatnya dan tempatnya mereka boleh melakukan
BAK/BAB.
Pada waktu anak sudah mulai bisa duduk,
merangkak atau berdiri tetapi belum bisa bicara,
maka kita harus mengenali tanda-tanda seorang anak
sudah merasakan rangsangan ingin ke ‘belakang’.
Biasanya beberapa ekspresi yang mudah kita kenali
adalah tiba-tiba diam, tidak mau bergerak padahal
sebelumnya aktif, wajah seperti konsentrasi pada
sesuatu, bahkan mungkin terlihat agak tegang
memerah, memegangi kelaminnya dan beberapa
110
tanda lain yang mana orang tua masing-masinglah
yang lebih tahu kebiasaaan masing-masing anak.
Adakalanya beberapa tanda tersebut juga luput dari
perhatian kita karena kesibukan kita, oleh karenanya
untuk memastikan ‘kotoran/air seni’ anak tidak
tercecer di mana-mana, hendaknya anak kita
pakaikan celana dalam yang memungkinkan
menahan jatuhnya kotoran untuk sementara waktu
sebelum kita ketahui. Bila perlu bisa kita tambah
satu lembar popok kain yang lembut sebagai
penyerap air seni bila mereka ngompol, sehingga
tidak tercecer basah dimana-mana yang malah bisa
membahayakan anak kita karena terpeleset, atau
malah dipakai mainan sehingga najis tersebut malah
menyebar ke tempat yang lebih luas. Itu tips ketika
anak kita dalam keadaan terjaga.
Dalam keadaan tidur panjang, di malam
hari misalnya, masa aman adalah ketika anak
tertidur pulas. Namun ketika nampak sang anak
bergerak, ganti posisi dan semacamnya, ketika
kesadaran meningkat dari sebelumnya, maka saat
itulah air seni yang sudah tertampung penuh di
kandung kemih mereka biasanya -tanpa mereka
sadari- mereka keluarkan. Sehingga bila tidak ingin
kecolongan, segera angkat anak kita dan bawa ke
kamar mandi untuk mengeluarkan air seninya di
sana. Itu berlaku bagi anak-anak yang sudah cukup
besar namun belum cukup terlatih menahan kencing
dalam jangka waktu yang panjang (sekitar 2
tahunan). Bagi anak-anak usia sekitar 3 tahun ke atas
yang sudah cukup terlatih di siang hari, lebih mudah
lagi. Kita tinggal membiasakan mereka buang air
111
kecil sebelum tidur, mungkin diperlukan satu kali
membangunkan tidur mereka untuk diajak ke
belakang, dan membiasakan segera ke kamar mandi
begitu bangun tidur.
By the way, pampers tetap bisa menjadi alat
bantu bagi kita ketika keadaan membutuhkan. Bukan
berarti tidak boleh sama sekali menggunakannya.
Akan tetapi, filosofi yang menjadikan pampers
sebagai ‘alasan’ bagi kita para orang tua malas
melakukan toilet training bagi anak-anak kita harus
segera dihapuskan dari benak kita.
118
Ahmad seorang hafidz. Beliau, sesuai dengan
skenario atau jadwal hafalan yang saya buat cukup
disiplin mengajak Ahmad menghafal ayat-ayat Al
Quran. Saya tinggal mengkomunikasikan surat apa
yang sekarang sedang saya programkan untuk
Ahmad, lagu/irama bacaan seperti apa yang
digunakan agar sama dengan yang saya gunakan
(biasanya qiroati), dan momen-momen tepat kapan
saja yang bisa dipakai untuk melakukan hafalan.
Alhamdulillah, abi melakukannya dengan sangat
luar biasa. Bahkan saat ini, beliau sudah merancang
satu sistem menghafal indeks nama dan surat dalam
Al Quran menggunakan metode cantolan untuk
kelak diajarkan kepada Ahmad ketika sudah agak
besar.
121
yang ternyata sangat memudahkan kami mengajar
Ahmad. Karena saya merasa perjalanan cukup
panjang, maka dalam perjalanan tersebut saya isi
dengan menyampaikan berbagai hal secara verbal;
dari bercerita, menyanyi, menyebutkan berbagai
benda, menghafal doa, hingga mengaji di atas
kendaraan (yang sudah menjadi kebiasaan kami
sebelum ada Ahmad.)
Terkait dengan hafalan Qur’an, pada waktu
Ahmad belum memiliki satu hafalan sedikitpun,
saya dan abinyalah yang bergantian mengaji di atas
kendaraan. Hingga ketika kemudian kami dapati
Ahmad mulai sedikit hafal suatu surat, kami minta
dia menghafalnya dengan saya mengiringinya pelan.
Begitu seterusnya hingga ketika kemudian dia hafal
betul, kami biarkan Ahmad mengulang hafalannya
sendiri, sementara kami mendengarkan saja sesekali
mengoreksi apa yang kurang tepat. Setelah semua
hafalannya habis, baru giliran kami untuk
memperkenalkan satu hingga tiga surat baru yang
kami targetkan untuk dihafal berikutnya. Sebagai
variasi, ketika masih ada kesempatan, saya gunakan
untuk memberi contoh kepada Ahmad satu paket
taushiyah singkat semacam kultum ala da’iy cilik
dengan menggunakan 1-2 dalil qur’an atau hadits
yang sudah saya ajarkan dengan metode isyarat
kepada Ahmad. Siapa yang berceramah? Ya tentu
saya sendiri, karena baru mengawali
memperkenalkannya kepada Ahmad. Biasanya, pada
kesempatan berikutnya dia mulai mau membuka dan
menutup taushiyah tersebut dengan mengucap
salam, tapi isi di tengahnya masih saya yang
122
menyampaikan. Lambat laun selain salam, Ahmad
mulai mau meneruskan ke tahmid dan shalawatnya.
Berikutnya bahkan hingga menyampaikan sapaan ke
audiens seperti: ”Apa kabar teman-teman? Di sini
ada yang suka bohong ga? Teman-teman mau ga
dengar Ahmad cerita tentang akibat suka
bohong?....” Sampai di sini biasanya kemudian dia
kembalikan lagi ke saya agar bercerita. Mungkin
karena mendengar cerita itu dari saya lebih
menyenangkan bagi Ahmad, meskipun ketika saya
bercerita biasanya dia ikut-ikutan menimpali atau
menyambung cerita saya. Hingga kalau sudah
sampai pada kalimat pamitan kepada penonton
seperti: ”sudah dulu ya teman-teman......” hingga
salam penutup biasanya dia ambil alih lagi.
Demikianlah, yang seperti ini berjalan setiap hari,
baik dengan saya maupun dengan abinya.
Ketika hafalan Ahmad sudah agak banyak
dan cukup melelahkan kalau Ahmad sendiri yang
terus menerus menghafal, maka kami gunakan
metode seperti permainan. Siapa yang selesai
menghafal satu surat, dia boleh menunjuk siapa dan
apa surat yang dibaca pada giliran berikutnya.
Biasanya Ahmad memilih duluan dan nanti akan
menunjuk siapa yang dikehendakinya untuk
membaca. Nah di sinilah, ’bakat’ usil atau ngerjain
orangnya muncul lagi. Biasanya dia akan memilih
abi untuk giliran menghafal berikutnya dengan
memilihkan surat-surat yang terpanjang, dia mengira
dengan begitu abinya akan kapok (padahal tentu saja
kami tetap saja senang karena menyaksikan Ahmad
belajar menghafalnya dengan enjoy).
123
Alhasil, belajar di jalan (ketika keadaan
membutuhkan) bisa jadi justru sangat
menyenangkan dan ternyata sangat memudahkan.
124
Antara Laptop, HP Dan
Menghafal Qur’an
Menghafal qur’an ini juga saya siasati
dengan menggunakan sarana apapun dan metode
apapun yang bisa saya lakukan untuk membantu
Ahmad menghafal dengan mudah. Diantaranya
adalah dengan memperdengarkan bacaan al qur’an.
Ini sudah kami lakukan sejak dia bayi. Tidurnya
pasti diiringi dengan lantunan ayat suci Al Qur’an.
Sewaktu bermain, juga kami iringi dengan suara
CD/kaset bacaan Al qur’an yang kami seling dengan
nyanyian anak muslim. Di jalan, di atas kendaraan,
secara bergiliran saya dan abinya memperdengarkan
hafalan Al Quran di jalan, seringkali hingga dia
tertidur. Itu ketika programnya masih sebatas
membiasakan Ahmad dengan bacaan Al Qur’an.
Ketika program hafalan ini sudah mulai
bertarget memastikan surat-surat tertentu untuk
dihafal Ahmad, maka sekedar memutar CD tanpa
diprogram surat apa yang dibaca tentu kurang
membantu, karena tidak terjadi pengulangan yang
intensif. Sehingga kemudian saya buatkan program
Winamp di laptop saya dengan playlist surat-surat
yang sudah dihafalnya –untuk penguatan memori-
dengan saya tambah satu hingga 3 surat baru –yang
saya targetkan untuk dihafalkan Ahmad berikutnya-.
Play list itulah yang kemudian selalu saya putar.
Ketika menjelang tidur ataupun ketika menemani
Ahmad bermain. Surat-surat di play list itu juga
yang kami bertiga hafalkan bergantian ketika di
125
perjalanan. Ketika abinya atau saya menjadi imam
sholat di rumah, pilihan surat yang dibaca keras juga
disesuaikan dengan surat yang sedang dihafalkan
Ahmad.
Selain itu, setiap kali Ahmad meminta main
games di laptop/komputer selalu saya persyaratkan
harus sambil mendengarkan ngaji (play list winamp)
yang saya sudah siapkan tadi. Saya ajari bagaimana
menyalakan winamp dan memilih play list yang saya
kehendaki. Dan ketika dia bermain apa saja di
laptop, saya minta dilakukan sambil mulutnya
menghafal surat yang diputar winamp tadi. Maka
jadilah Ahmad tanganya asyik bermain roket-
roketan, kartu, bola ataupun permainan yang
lainnya, sementara mulutnya bersuara
mengahafalkan surat seperti yang dia dengar. Ya
memang, sesekali hafalannnya terputus karena dia
terbawa oleh keasyikan permainannya, namun cukup
dengan mengingatkannnya dari jauh...”Ahmad,
mana umi kok ga dengar ngajinya?” maka Ahmad
pun menghafalkan lagi.
Di lain kesempatan, suara Ahmad
menghafal qur’an kami rekam. Sebagian kami
rekam di HP, sebagian kami rekam di MP3. Kami
rekam di HP untuk kemudian kami jadikan ring
tone. Jadi setiap kali ada telepon masuk, maka suara
Ahmad mengajilah yang keluar. Dan itu seringkali
mengundang perhatian orang yang membuat Ahmad
senang. Di MP3 saya masukkan ke komputer untuk
kemudian saya buatkan play list tersendiri untuk
diputar Ahmad kalau dia ingin mendengar hafalan
(suara) nya sendiri.
126
Pendek kata, tanpa dia sadari, pengulangan
secara alami yang terus menerus tersebut memang
membantu Ahmad untuk mengahafal Al Quran lebih
mudah dan lebih menyenangkan. Alhamdulillah,
sekarang hafalan Ahmad sudah kurang lebih 25 surat
pendek di juz 30. Semoga kami bisa merealisir target
Ahmad bisa hafal juz 30 sebelum masuk SD. Untuk
itu kami harus memastikan Ahmad sudah bisa
membaca Al Qur’an dan mengetahui dasar-dasar
tajwidnya dengan lancar. Dan secara mental, dia
sudah siap untuk kami bawa ke Ustadz dan forum
hafalan Qur’an yang membutuhkan kesiapannya
untuk bisa duduk lebih ’manis’. Semoga Allah
memberi kemudahan, kemampuan dan keberhasilan
kepada kami merealisir niat kami mencetak Ahmad
menjadi seorang Haafidz al Qur’an. Amiin.
127
menghilang keluar kelas untuk bermain sendiri. Dia
sangat sulit dibikin duduk manis kecuali ketika
mengantuk karena baru saja minum obat batuk/pilek
misalnya. Kami sendiri tidak terlalu terusik dengan
hal tersebut. Karena memang target kami
memasukkan ke play group lebih ke arah
pematangan emosi Ahmad, pengalaman dan
pembiasaan Ahmad untuk bisa bermain dan berbagi
bersama teman-temannya, yang saat itu masih sulit
dilakukan Ahmad. Sementara aspek kognitif,
pelajaran maupun pembiasaan-pembiasaan yang
lain, tentu lebih banyak kesempatan yang
memungkinkan kami lakukan sendiri daripada para
guru Ahmad yang hanya bertemu dengannya 3x 2
jam tiap minggunya.
128
murid yang biasa menunggu anak-anak mereka
sekolah ‘cukup terpesona’ melihat keberanian dan
kemandirian Ahmad. Namun wali murid yang
merasa ‘resah’ melihat Ahmad yang seringkali
menangiskan anak-anak mereka mungkin juga tidak
sedikit. Pada titik inilah kita sebagai orang tua dan
guru harus bisa menempatkan diri dan juga bersikap
arif. Satu sisi sebagai orang tua atau guru kita tidak
boleh melakukan stigmatisasi kepada seorang anak
‘jagoan’ dengan stigma ‘nakal’ , ‘jahat’ dan
semisalnya, karena sebenarnya memang mereka
tidaklah demikian. Namun kita juga harus bisa
berempati kepada anak-anak ‘korban’ anak ‘jagoan’
dan orang tuanya yang khawatir terhadap anak-anak
mereka.
Kami sendiri, tentu saja tidak pernah
membiarkan Ahmad melakukan sesuatu yang tidak
‘tepat’ kepada teman-temannya. Berbagai cara yang
bisa kami tempuh untuk ‘meluruskan’ Ahmad pun
kami lakukan. Namun pada saat usia anak belum
mencapai usia berpikir kritis (sekitar 7-8 tahunan)
yang perkembangannya baru dimulai sekitar usia 3
tahun, maka memang sifat-sifat dasar yang dimiliki
merekalah yang lebih sering muncul ketimbang
pemahaman mereka. Tentu saja bagi seorang anak
yang cenderung pemalu dan penakut, dia akan
sangat jarang menangiskan temannya, namun
mungkin seringkali justru sering menangis. Bisa
karena temannya, bisa pula tanpa harus ada alasan
yang ‘pantas’ membuatnya menangis. Ini pun sebuah
karakter bawaan yang adakalanya membuat orang
tua juga ‘gemas’ namun harus tetap sabar kepada
129
sang anak, kala membantunya untuk bisa
mengendalikan rasa takut dan pemalunya.
Demikian pula dengan anak-anak yang
bertipe seperti Ahmad. Mereka memiliki potensi
untuk menjadi seseorang yang dominan dengan
keberanian dan kemandiriannya. Namun ketika
proses menuju terbentuknya mafhum yang akan
mengendalikan potensi tersebut belum sepenuhnya
sempurna, sedikit banyak pasti mereka memang
akan menjadi anak-anak yang tampil dominan dan
‘jagoan’ di tengah-tengah temannya yang bertipe
lain. Namun kalau anak ‘jagoan’ bertemu anak
‘jagoan, maka ada dua kemungkinan. Mereka bisa
terlihat sangat cocok ketika bermain, namun ketika
ada hal yang memicu ‘pertengkaran’ maka
‘pertengkaran’ yang terjadi pun bisa lebih hebat,
karena tidak ada yang merasa ‘pantas’ untuk
mengalah/dikalahkan.
Sebuah panduan yang pernah saya dengar
dari seorang pakar pendidikan anak tentang
‘perkelahian’ antar anak (sebaya) adalah sepanjang
anak-anak tersebut berkelahi dalam keadaaan
tangan kosong (tidak membawa sesuatu yang
berbahaya), bukan keroyokan, sedahsyat apapun
kelihatannya perkelahian tersebut, sekeras
apapun tangisan anak yang terjadi di situ, tidak
akan berbahaya bagi mereka. Jadi ketika kita sudah
memastikan bahwa anak-anak kita bermain dalam
keadaan ‘aman’, sedikit terjatuh, tercakar, terdorong,
hingga menangis karena pukulan yang dirasakan
oleh anak kita, bisa menjadi pelajaran berharga bagi
mereka untuk tumbuh menjadi individu yang peka,
130
‘kuat’ dan siap mengarungi kehidupan yang memang
kaya warna dan rasa ini.
Ada terlalu banyak hal yang bisa
membuat dua anak berkelahi. Semuanya wajar,
sebagai proses pembelajaran dalam mengurangi rasa
keakuan (ego) nya untuk bisa memahami dan
menghormati hak teman. Justru ketika seorang anak
tak pernah bertengkar, selalu mengalah dan
menghindari perselisihan, maka perkembangan
kepribadian mereka menjadi pasif dan kurang
memiliki inisiatif. Orang tua tidak perlu cemas
dengan perselisihan antar anak.
Sebaliknya yang jangan sampai terjadi
adalah orang tua kemudian terpancing masuk dan
intervensi ke dalam ‘pertengkaran’ semu anak-anak
mereka. Misalnya orang tua jadi musuhan dengan
orang tua yang lain gara-gara anak mereka. Karena
sebenarnya anak-anak itu bisa segera dan secepat
mungkin lupa dengan perselisihan mereka. Jarak
berpikir mereka demikian pendeknya, sehingga apa
yang terjadi bisa terlupakan dengan demikian
cepatnya. Adu pukul yang terjadi pagi hari, bisa
segera disambung main bersama di siang harinya.
Saling tendang di sore hari, pagi harinya bisa
bercanda dan berangkat sekolah bersama-sama.
Seperti itulah fitrah mereka.
Fitrah ’bermusuhan’ dan berdamai’ bisa
begitu cepat terjadi, karena merupakan bagian dari
fase normal perkembangan anak. Jika ada pihak
ketiga yang mengganggu, menghambat dan terlalu
turut campur di dalamnya, justru akan merusak
fitrah ini sehingga tidak berlaku lagi. Nasehat yang
131
bersifat provokatif dan justru mengajarkan anak agar
memendam permusuhan seperti: ”khan sudah
Mama bilang, jangan main sama si Momo, memang
dia itu anak nakal. Kamu pasti nanti dipukulnya.
Biar saja, biar nanti dia gak punya teman”,atau
”Dibilangin Bunda berapa kali, jangan main sama
si Mimi! Anaknya itu emang nangisan, manja.
Kalau kamu mainan sama dia, kesenggol dikit pasti
nangis, nanti kamu dimarahin mamanya lho!”,
ketika mendapati anak atau murid kita mengadukan
seorang temannya yang dianggap nakal atau
cengeng, adalah salah satu hal yang bisa merusak
fitrah anak sehingga mereka justru terbiasa
’memelihara’ permusuhan ketimbang ’memupuk’
perdamaian dan kemaafan.
Saya ingat sebuah kisah yang disampaikan
kakak saya tentang dua tetangganya di suatu daerah
yang saling berseteru hingga ke pengadilan gara-
gara ‘perkelahian’ yang terjadi antar anak mereka.
Orang tua yang merasa anaknya jadi korban
kenakalan temannya melaporkan anak ‘nakal’
tersebut ke pihak berwajib. Begitu seterusnya
hingga kedua orang tua tersebut pun berhadapan
sebagai ‘musuh’ untuk membela anak masing-
masing. Apa yang terjadi? Ketika kedua orang tua
tersebut harus berhadapan di kantor polisi dalam
keadaan ‘berseteru’, ternyata anak-anak yang
menjadi pangkal ‘perseteruan’ mereka, di tempat
yang sama malah bermain bersama dengan
rukunnya, tidak nampak sedikit pun sisa-sisa
‘permusuhan’ diantara mereka.
Nah, kalau sudah begini, pantaskah kita
132
sebagai orang tua tetap memelihara ’sakit hati’
sementara anak-anak kita bahkan tidak merasa ada
yang salah?!
133
adakalanya juga tidak berhasil membuat Ahmad
dengan mudahnya menurut untuk melakukan apa
yang kami minta.
Selain itu, memang Ahmad juga memiliki
’bakat’ sense of humour dan sedikit usil yang kadang
membuatnya ’melawak/mbanyol’ di tengah hal yang
sebenarnya ’serius’.
Saya mengamati ketika Ahmad diminta
melakukan atau menjawab sesuatu hanya untuk
’ngetest’ dan tidak dalam rangka sesuatu yang
’bermakna’, misalnya dia ditanya: ”Ahmad ini
warna apa? Berapa jumlah bola di gambar ini? Ini
bu guru siapa?”, maka pertanyaan terbuka semacam
ini seringkali akan dia ’mainkan’ dengan menjawab
ngawur untuk kemudian dia nikmati respons
penanya terhadap jawabannya. Warna yang
sebenarnya biru akan dia jawab pink, gambar bola
tadi akan dia hitung ”sataw, duaw, tigaw, empaw,
limaw...”hingga muter terus dan gak selesai-selesai,
nama bu guru sebenarnya akan dia jawab nama bu
guru yang lain. Hal yang mungkin tidak terjadi
ketika dia ditanya dengan cara seperti ini: ”Ahmad
nanti pulang naik bemo warna apa? Coba tolong
dihitung tadi umi belanja sabun ada berapa? Atau
Ahmad tolong kasihkan buku ini ke bu guru Tita!”.
Dengan cara yang kedua, kami bisa ketahui kalau
Ahmad sudah mengenal warna, bisa berhitung dan
mengenal guru yang dimaksud. Hanya saja, karakter
khas Ahmad yang seperti ini belum tentu dikenali
oleh orang lain, termasuk gurunya.
Alhasil, adakalanya kami mendapati
laporan NAKODA atau laporan gurunya tentang
134
Ahmad yang ’bisa jadi berbeda’ dengan yang selama
ini kami ketahui. Tapi justru di sinilah kepentingan
NAKODA tadi dibuat, dan komunikasi dua arah
dilakukan. Orang tua akan mendapat gambaran
tentang anak di sekolah, sebaliknya guru pun bisa
mengkonfirmasinya dengan keadaan anak di rumah
untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan
proses pendidikan berikutnya. Yang penting semua
pelaku pendidikan (sekolah dan orang tua) harus
bisa menjalin kerjasama yang sinergis untuk
mendapatkan hasil yang terbaik.
135
Penutup
136
Bacaan lebih lanjut:
139
Sekilas Tentang Penulis
140
Sebelumnya, perhatiannya pada kehidupan remaja
menggerakkannya untuk menulis beberapa buku
berkaitan dengan kehidupan remaja. Beberapa buku
yang sudah ditulisnya: “Islam Ngomongin Narkoba
dan Perilaku Seksual remaja” (2001) dan “Sobat,
Temukanlah Hidupmu” (2002) yang sempat
dijadikan sebagai bahan pembinaan remaja di
beberapa sekolah menengah dan kampus di
Surabaya. Ketika menikah di tahun 2002 dengan M.
Ali Tamam (33 tahun) penulis sempat membuat satu
risalah sederhana yang dibukukan berjudul
“Bingkisan untuk Pernikahan-pernikahan yang
Barakah” sebagai souvenir pernikahannya.
Sementara pada tahun 2006 sebagai upaya untuk
melakukan counter terhadap pendidikan kesehatan
reproduksi / pendidikan seksual remaja ala
sekulerisme-liberalisme, penulis membuat buku
“Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja
(Perspektif Islam).
141
142