You are on page 1of 142

5 Tahun

Pertama;
Teriring Do’a dan
Harapan untuk Anakku

Faizatul Rosyidah
5 Tahun Pertama;
Teriring Do’a dan Harapan untuk
Anakku

Penulis
Faizatul Rosyidah, dr.

Design cover dan Lay Out


Faizah Ali

Editor:
Ali Tamam

Penerbit
Fia Pustaka
Jl. Jemur Wonosari Lebar 58 B
Surabaya 60237
Tlp. 031-72106173, 08813162457
Email : faizah.rosyidah@gmail.com

Cetakan I, Agustus 2008


Untuk

Semua orang tua yang sedang


mendidik anak pada 5 tahun
pertama kehidupan mereka.
semoga menjadi inspirasi untuk
senantiasa optimis dan meiliki
harapan terbaik untuk anak-anak
kita
Semua anak yang sedang meniti
jalan membangun
kepribadian.Semoga menjadi
inspirasi untuk senantiasa
bersyukur kepada Allah SWT dan
kedua orang tua kita.
Anakku, Ahmad Juraij Al
Manshur, amanah terindah yang
diberikan Allah SWt. Semoga bisa
menjadi pengingat dan pemberi
pelajaran bagi perjalanan
kehidupanmu selanjutnya.

Buku ini kami persembahkan


Daftar Isi

Daftar Isi.........................................
Pengantar Editor.............................
Pengantar dari Penulis....................
Sekilas Tentang Ahmad..................
BALITA; GOLDEN PERIODES.......
IBU SEKOLAH PERTAMA DAN
UTAMA.....................................
MENGENAL 3 TIPE ANAK...........
1. Anak yang Mudah.................
2. Anak yang Perlu Pemanasan.
3. Anak yang Sulit....................
METODE MEMPERBAIKI
KESALAHAN ANAK....................
MENGENAL AHMAD...................
Anak Infaq...............................
Hampir Kehilangan Ayah Di Usia
6 Bulan Kandungan..................
Proses Kelahiran Itu.................
4
Hari-Hari Pertama Yang Penuh
Dengan Kesabaran...................
Bertemu Ahmad Pertama
Kalinya....................................
Kehilangan Sang Ayah Yang
Belum Pernah Menyentuh.........
‘Orang Tua Baru: Abi Dan Umi’. .
Mengganti Nama Panggilan......
Batuk; Penyakit Favorit............
Aktiv, Jagoan Dan Pemberani
Sejak Bayi................................
’Bakat’ Temperamental.............
Jarang Menangis, Sering
Menangiskan............................
Cara Berkenalan Dengan Teman
Baru........................................
Susah Makan............................
Tipe Kinestetis Dan Auditory
Dalam Belajar...........................
Ahmad; Hukma Shabiyya
(‘Dewasa’ Sejak Kecil)..............
Berdoa Ketika Menangis...........

5
BERBAGI PENGALAMAN
MENDIDIK AHMAD....................
Mengenalkan Allah SWT dan
Sifat-Sifat-Nya.........................
Mengenalkan Ayah dan Ibu
Kandung..................................
Pembiasaan Sebagai Metode
Pendidikan Awal.......................
Memanfaatkan Photographic
Memory...................................
Belajar Mengendalikan Diri.......
Berdoa…Berdoa…Dan Berdo’a...
Pendekatan ‘Positif’, Jangan
‘Negatif’ (Pelajaran Dari Doa
Untuk Abi Yang ‘Nakal’)............
’Besar ’ Dan Belajar Di Jalan......
Hypnosis Yang Tidak Disadari....
Melakukan Hynoparenting
Dengan Tepat...........................
Mengajar Anak Kinestetis.........
Belajar Mengenal Huruf, Angka
Dan Mengaji.............................
Memilih(Kan) Mainan................
6
Bola…bola…, Puzzle…puzzle…
Untuk Anak Kinestetis.................
Toilet Training..........................
Antara Dot Dan Pampers...........
Jangan Tertawakan...................
Meniti Jalan Menjadi Hafidz Dan
Da’i.........................................
Sayyid Hussein Tabataba’i;
Sang Inspirator........................
Umi Sang Arsitek, Abi Asisten
Dan Guru Yang Luar Biasa.........
Metode Isyarat, Ayat Dan
Hadits Pilihan...........................
Menghafal Dan Belajar Di Jalan
Justru Memudahkan..................
Al Kautsar; Surat Istimewa Di
Hati Ahmad..............................
Antara Laptop, HP Dan
Menghafal Qur’an.....................
Play Group; Berlatih Bermain
Dan Berbagi.............................
Wali Murid Yang ‘Terpesona’,
Wali Murid Yang Resah.............
7
Nakoda Berbicara; Antara Di
Rumah Dan Sekolah..................
Penutup.................................
Bacaan lebih lanjut:................
Sekilas Tentang Penulis...........

8
Pengantar Editor

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Setiap orang tua, pasti menginginkan


agar anaknya menjadi orang yang sukses.
Sukses dalam meraih kehidupan dunia,
terlebih lagi sukses merengkuh kehidupan
akhirat. Inilah do’a yang barangkali selalu
kita panjatkan kepada Allah Robbul’Izzati
setiap selesai ruku’ dan sujud. Kita
bersimpuh dihadapan Allah SWT dengan
berharap agar do’a kita didengar dan
dikabulkan-Nya.

Disamping memerintahkan untuk berdo’a


kepada Allah sebagai senjata bagi orang-
orang yang beriman, Islam juga
mengajarkan kepada kita, agar berusaha
dengan segala kemampuan untuk meraih
tujuan yang kita inginkan. Kita diwajibkan
untuk berikhtiar sesuai dengan tuntunan
syari’ah yang telah diajarkan, sebagai
wujud bakti kita kepada-Nya. Dalam hal
mendidik dan membina anak kita,
berusaha untuk mengetahui potensi-
potensi yang ada pada anak kita
kemudian berusaha mengembangkan dan
mengasahnya, adalah sesuatu yang harus
kita lakukan. Demikian juga berusaha

9
untuk mengetahui setiap kelemahan yang
dimiliki anak kita, kemudian membantu
mereka agar bisa ’mengelola’ dan
mengendalikan kelemahan tersebut agar
bisa menjadi nilai positiv mereka, pun
harus kita lakukan.

Inilah yang coba untuk dipaparkan oleh


buku ini, dimana kita diajak untuk belajar
bersama tentang bagaimana peran yang
bisa dilakukan oleh orang tua ’mengelola’
kekhasan karakter anaknya masing-
masing, melalui perjalanan hidup seorang
anak yang bernama Ahmad Juraij Al-
Mansur sebagai sebuah contoh. Terlepas
dari kelebihan dan kekurangannya, kita
bisa mengambil pelajaran atau ibrah
dalam melakukan proses pendidikan anak
dengan karakter khas mereka.

Semoga apa yang menjadi cita-cita orang


tua kandung Ahmad untuk bisa memiliki
anak yang Sholeh dikabulkan oleh Allah
SWT. Demikian juga dengan segala upaya
orang tua angkatnya untuk mengasuh
dan mendidiknya dicatat oleh Alloh SWT
sebgai amal shalih yang mendapatkan
balasan sebagaimana yang telah
dijanjikan-Nya melalui lisan beliau yang
mulia Rasulullah Muhammad SAW.“ Ana
wa kaafilul yatimi fil jannah“ (saya
bersama orang yang menyantuni anak
10
yatim berada di surga) kemudian
Rosululloh memberikan isyarat kedekatan
beliau dengan orang tersebut bagaikan
jari telunjuk dan jari tengah. Amiin ya
robbal’alamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Surabaya, 26 Juni 2008

Ali Tamam
(Trainer Quantum Learning)

11
Pengantar dari Penulis

Assalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakaatuh

Segala puji bagi Allah SWT, Dzat Yang


memiliki kesempurnaan, Yang telah
memungkinkan kami merasakan
bagaimana indahnya mengasuh dan
mendidik anak di masa emasnya.
Shalawat serta salam bagi Rasul
junjungan kita, teladan terbaik dalam
segala hal, Muhammad SAW beserta
seluruh keluarga beliau, shahabat dan
penerus perjuangan beliau hingga hari
akhir.

Buku ini mulanya kami tulis dengan niat


untuk membuat sebuah catatan
sederhana perjalanan hidup Ahmad (anak
kami yang menginjak usia ke-5 pada
bulan Agustus 2008 ini), sebagai hadiah
ulang tahun baginya. Harapan kami,
semoga apa yang kami catat di sini bisa
menjadi sesuatu yang bermanfaat dan
bernilai tidak hanya sekarang, tapi insya
Allah terlebih kelak ketika dia sudah bisa
memahami segala sesuatu dengan
sempurna. Namun di tengah-tengah
merancang buku ini, terbersit sebuah
12
keinginan untuk berbagi pelajaran dan
pengalaman yang banyak kami dapatkan
ketika mengasuh dan mendidiknya.
Sebagaimana sebelumnya, kami juga
acapkali menggunakan pelajaran dan
pengalaman kami mengasuh dan
mendidik Ahmad sebagai inspirasi ketika
kami mengasuh beberapa rubrik
konsultasi rumah tangga dan pendidikan
anak di beberapa radio ataupun forum-
forum lain.

Maka dengan segala kerendahan hati,


kami mencoba menuliskan perjalanan
hidup Ahmad dengan sebuah
pengemasan yang memungkinkan bagi
kami tidak hanya bercerita tentang
Ahmad, akan tetapi juga sharing dan
mencoba berbagi pengetahuan dan
pengalaman kami dalam melakukan
pendidikan anak utamanya pada golden
periodes (0-5 tahun) mereka.

Buku ini terdiri dua bagian. Pada bagian


pertama berisi artikel-artikel seputar
pendidikan dan pengasuhan anak –
diantara apa yang pernah kami tulis-,
sementara bagian kedua berisi ‘semacam
biografi’ Ahmad dan pengalaman yang
ingin kami bagi selama mengasuh dan
mendidik Ahmad dalam 5 tahun pertama
usianya.
13
Tentu saja apa yang telah kami lakukan –
dalam melakukan pengasuhan dan
pendidikan anak- dan kemudian kami tulis
di sini, bukanlah sesuatu yang istimewa
ataupun sempurna. Justru sebaliknya
kami menyadari bahwa semua yang kami
lakukan penuh dengan kekurangan di
sana-sini. Oleh karenanya, kami hanya
berharap semoga apa yang kami tuliskan
di sini bisa disikapi dengan penyikapan
terbaik. Seandainya ada kebaikan yang
bisa diambil, silakan diamalkan dan
disebarluaskan. Akan tetapi seandainya
terdapat hal-hal yang kurang tepat, agar
kiranya ditinggalkan, dan diluruskan.
Masukan dan saran bagi perbaikan kami
-sebagai orang tua maupun sebagai
penulis buku ini- sangatlah kami
harapkan.

Akhir kalam, kami mengucapkan rasa


syukur dan terimakasih kepada para
Ustadz , Ustadzah dan siapa saja –dengan
caranya masing-masing- yang sudah
membantu kami mendidik Ahmad.
Terimakasih pula kami sampaikan untuk
suamiku tercinta yang senantiasa
mendampingi dan membantu
penyelesaian buku ini. Sekaligus kami
memohon maaf atas segala kesalahan
yang Ahmad dan juga kami selaku orang
14
tuanya lakukan. Semoga kita semua
dikarunai Allah SWT anak-anak yang
barakah (senantiasa bertambah
kebaikannya), hukma shabiyya (memiliki
kematangan dan kedewasaan sejak
kecil), rabbi radliyya (mendapatkan
keridloan dari tuhannya). Anak-anak yang
akan menjadi jalan bagi orang tuanya
mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya.
Amin…Ya Rabbal ‘Alamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 28 April 2008

Faizatul Rosyidah

15
Sekilas Tentang Ahmad

A. Juraij Al Manshur,
itulah nama yang tertulis di
akta kelahirannya. Juraij
atau Joe adalah panggilan
yang diberikan orang tuanya
ketika dalam pengasuhan
mereka. Terlahir pada tanggal 19 Agustus 2003,
dari pasangan Achmad Kautsar dan Yuyun
Masyruchah, Ahmad adalah anak ketiga dari
pasangan tersebut. Kedua kakaknya adalah
Nailul Mufidah (Ilul) dan M. Jalaludin
Muchdlor (Alal), masing-masing sekarang
berusia 8 dan 12 tahun.

Hampir menjadi yatim pada waktu usia 6 bulan


dalam kandungan karena ayahnya sakit keras,
dan akhirnya benar-benar menjadi yatim ketika
berusia 4 bulan setelah kelahirannya, Ahmad
bayi adalah bayi yang ‘sedikit menangis’.
Kelak, semakin tumbuh, Ahmad kecil nampak
menjadi seorang anak yang ‘pemberani’,
dominan dan dikenal ‘jagoan’. Semoga ini
bagian dari modal yang disiapkan Allah SWT
baginya untuk kelak menjadi seorang pemimpin
yang diridlai-Nya bagi umat dan bangsa ini.

16
Sejak usia 5 bulan, Ahmad diambil sebagai
amanah untuk diasuh dan dididik oleh pasangan
Ali Tamam dan Faizatul Rosyidah, Abi dan
Uminya sekarang. Dengan beberapa karakter
dominannya seperti sangat aktif, periang,
lincah, pemberani, cukup PD (percaya diri
dengan kemampuannnya), namun juga cukup
temperamental alias mudah marah, kedua orang
tua baru Ahmad harus memiliki ekstra
kesabaran dan optimisme dalam
mempersiapkan Ahmad kecil -seiring dengan
perkembangan pemahaman dan kesadarannya-
kelak bisa mengendalikan semua potensi dasar
tersebut untuk bisa menjadi seorang pemimpin
yang berkarakter kuat.

Dibawah pengasuhan dan pendidikan orang tua


dan guru-gurunya, Ahmad yang kini berusia 5
tahun masih harus melewati perjalanan panjang
menempa diri untuk menjadi calon pemimpin
masa depan umat ini. Insya Allah.***

17
BALITA; GOLDEN
PERIODES
Banyak penelitian menunjukkan betapa
masa dini usia, yaitu masa lima tahun ke bawah,
merupakan golden ages (masa keemasan) bagi
perkembangan kecerdasan anak. Salah satu hasil
penelitian menyebutkan bahwa pada usia 4 tahun
kapasitas kecerdasan anak telah mencapai 50%.
Seperti diungkapkan Direktur Pendidikan Anak Dini
Usia (PADU), Depdiknas, Dr. Gutama, kapasitas
kecerdasan itu mencapai 80% di usia 8 tahun. Ini
menunjukkan pentingnya memberikan perangsangan
pada anak dini usia, sebelum masuk sekolah.
Setiap bayi memiliki potensi milyaran sel
otak yang siap mendapat rangsangan. Sentuhan,
lingkungan yang ramah otak, dan hands on, adalah
beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk
mengoptimalkan fungsi otak anak. Sebagian ahli
berpendapat, sel otak seorang bayi sebanyak bintang
yang bertebaran di langit. Ada pula yang menduga,
jumlah sel otak kurang lebih 100 milyar. Seluruh sel
ini punya peran penting dalam menunjang fungsi
otak sebagai pengatur semua kemampuan manusia
di masa dewasa.
Namun, meski ada milyaran sel otak,
nyatanya tak semuanya berkembang sempurna,
karena amat tergantung pada stimulasi yang
diterimanya. Konsultan Keluarga Budi Darmawan,

19
menyatakan stimulasi ini memang amat menentukan
sejauh mana jaringan sel-sel otak dapat berkembang.
Jika sedikit mendapat stimulasi, bisa jadi yang
berkembang hanya 1 persen dari sekian milyar sel
otak. Sebaliknya, bila stimulasinya banyak,
perkembangannya pun bisa lebih besar lagi.
Maxwell Malt, seorang peneliti asal
Amerika mengemukakan pendapatnya tentang
hubungan sel otak yang aktif dengan kecerdasan.
Bila manusia dapat mengaktifkan sekitar 7 persen
saja dari sel otaknya, ujar Malt, maka gambaran
kecerdasan orang itu adalah bisa menguasai 12
bahasa dunia, memiliki 5 gelar kesarjanaan, dan
hapal ensiklopedi lembar-demi lembar, huruf demi
huruf, yang satu setnya terdiri dari beberapa puluh
buku. Menanggapi ini, Budi Darmawan menyatakan,
“Kalau kemampuan itu digunakan seorang muslim
untuk menghapal, tentu dia mampu menghapal
Qur’an dan sunnah Rasulullah sekaligus.”
Lima tahun pertama kehidupan anak
merupakan masa pesat perkembangan otak hingga
masa ini sering disebut sebagai golden periodes.
Bahkan, anak di usia 5 tahun pertama diketahui
punya kemampuan photographic memory,
mengingat seperti mata kamera. Di atas lima tahun,
kemampuan memorinya menurun. Tidak sehebat dan
sepeka di masa keemasan ini.Lebih jauh Emmy
Soekresno, Konsultan pendidikan Jerapah Kecil,
menjelaskan, meski secara keseluruhan, fungsi otak
bekerja bersamaan, namun, ada penekanan-
penekanan atau waktu prima (prime time) bagi otak.
Misalnya, untuk belajar bahasa asing, misalnya
20
bahasa Inggris, waktu primanya adalah pada usia 4-
12 tahun. Pada usia ini, belajar dengan permainan
dan sambil ketawa-ketawa pun, anak sudah bisa
bicara bahasa Inggris. Setelah itu, ada second
chance, kesempatan kedua untuk belajar, yaitu pada
usia 12-15 tahun. Setelah usia 15 tahun, masih bisa
belajar bahasa Inggris, tetapi lebih sulit.
Milyaran sel otak ini terbagi dalam
beraneka bagian seumpama wadah yang siap diisi.
Pada usia 12-13 tahun, akan terjadi pemangkasan sel
otak. Pada saat itu, otak akan memeriksa isi otak itu
sendiri. Jika ada tempat kosong, misalnya bagian
kecerdasan emosi yang tidak pernah dilatih sejak
usia 1 hingga 12 tahun, maka bagian itu akan
dibuang.
Itu sebabnya, target orang tua setiap hari
adalah bagaimana caranya mengisi otak dengan
maksimal dengan memberi stimuli yang maksimal
pula. Meskipun Begitu, jangan tergesa-gesa. Bila
suatu ketika guru atau orangtua ingin anaknya
mampu menulis, membaca dan berhitung di usia
dini, sama saja mereka tengah menghilangkan
beberapa aspek kehidupan anak. Karena sebelum
melakukan ketiga hal tersebut, ada tahapan yang
harus dijalani.Sebelum bisa menghitung, anak harus
bisa menggambar. Sebelum bisa menggambar, anak
harus mampu memegang pensil. Sebelum mampu
memegang pensil, maka anak perlu melatih motorik
halusnya misalnya dengan bermain pasir. Dengan
bermain pasir, anak sesungguhnya sedang
menghidupkan otot tangannya dan belajar estimasi
dengan menuang atau menakar, yang kelak semua
21
itu ada dalam matematika.
Masa yang biasa disebut dengan masa
keemasan (the golden ages) ini sekaligus merupakan
periode yang sangat kritis yang akan menentukan
tahap pertumbuhan dan perkembangan anak
selanjutnya. Beberapa penelitian menunjukkan:
Pertama, bahwa informasi awal yang
diterima anak akan cenderung permanen dan
menentukan perilaku anak pada masa berikutnya.
Oleh karena itu sejak lahir anak perlu diberikan
rangsangan-rangsangan berupa psikososial dan
pendidikan agar kelak anak tersebut menjadi
manusia yang berkualitas. Rangsangan pendidikan
itu perlu diberikan pada masa pralahir, karena
pembentukan organ tubuh termasuk otak terjadinya
sejak 10-12 minggu setelah proses pembuahan.
Kedua, perkembangan intelektual anak
terjadi sangat pesat ketika anak usia dini. Kurang
lebih 50% variabilitas kecerdasannya terjadi saat
anak berusia empat tahun, pada usia delapan tahun
bertambah 30% dan 20% lagi akan dicapai pada usia
antara 18-20 tahun. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pada awal usia anak sangat menentukan
kecerdasannya, Bloom, seorang ahli mengatakan
bahwa empat tahun pertama merupakan waktu yang
sangat peka terhadap kaya- miskinnya lingkungan
akan stimulasi.Dengan demikian semakin jelas
bahwa stimulasi yang diberikan kepada anak-anak
sejak dini akan menentukan kualitas anak kelak
dalam kehidupannya
Ketiga, bahwa hubungan antar sel-sel otak
dibentuk dengan adanya saling kirim-dan-terima
22
signal. Signal yang berupa getaran aliran listrik ini
mengalir dari sel yang satu ke sel yang lainnya, dan
dengan bantuan zat kimia seperti serotonin,
terbentuklah hubungan antara sel-sel otak tersebut.
Rangsangan yang terus-menerus, yang diberikan
melalui bentuk kegiatan yang berulang-ulang, akan
semakin memperkuat hubungan antar sel-sel otak.
Satu sel otak mampu membuat 15.000 hubungan
dengan sel otak yang lain. Hubungan yang sangat
rumit inilah yang membentuk jaringan antar sel-sel
otak. Pengalaman yang diterima oleh bayilah yang
akan menentukan bentuk jaringan di dalam otak.
Sejak bayi lahir, jaringan ini akan dibentuk dengan
cepat sekali, dan pada usia anak mencapai 3 tahun,
otak anak akan membuat kira-kira 1000 trilyun
hubungan, dimana jumlah ini adalah 2 kali lipat dari
jumlah hubungan jaringan otak pada orang dewasa.
Hubungan otak yang densitas/kerapatannya sangat
tinggi ini akan tetap dipertahankan sampai dengan
umur 10 tahun. Setelah anak menginjak usia 11
tahun, hubungan antar sel-sel otak tersebut akan
diseleksi secara alami, dimana hubungan yang
sering digunakan akan semakin diperkuat dan
menjadi permanen,sedangkan hubungan yang tidak
pernah digunakan akan diputus/dibuang. Disinilah
pentingnya pengalaman pada usia awal/dini. Dan
disinilah peran orangtua akan sangat menentukan.
Stimulasi yang kita berikan kepada anak kita akan
sangat menentukan apakah hubungan antar sel-sel
otak anak tersebut akan diperkuat atau justru diputus
dan dibuang.
Keempat, Fakta tentang stress, dinyatakan
23
bahwa: Anak yang mengalami stress pada usia kritis
0-3 tahun akan menjadi anak yang hiperaktif, cemas
dan bertingkah laku seenaknya. Demikian pula anak
dari lingkungan stress tinggi akan mengalami
kesulitan konsentrasi dan mengendalikan diri.
Sehingga cara orang tua berinteraksi dengan anak di
awal kehidupan akan membuat dampak pada
perkembangan emosional, kemampuan belajar dan
bagaimana berfungsi di kehidupan yang akan
datang.
Karena saat-saat keemasan ini tidak akan
terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif kita
harus memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan
dengan perkembangan sang buah hati, amanah
Allah.
Urgensi mendidik anak sejak dini juga
banyak disebutkan dalam Al Qur'an dan Al Hadits
antara lain Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya (terdiri dari) manusia dan batu.” (TQS. At
Tahrim: 6)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ali ra. berkata,
“Ajarilah dan didiklah mereka.”Berarti mengajar,
membina, dan mendidik anak adalah surga.
Sedangkan mengabaikan aktivitas tersebut berarti
neraka. Itulah sebabnya, sebenarnya tak ada alasan
bagi siapapun untuk mengabaikan tugas yang mulia
ini.
Dalam hal ini Nabi bersabda:
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka
dengan baik.” (HR. Ibnu Majah)
24
“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya
yang lebih baik dari pendidikan (adab) yang baik”
(HR. Hakim)
“Setiap anak yang dilahirkan berada dalam kondisi
fitrah (Islam) kedua orang tuanyalah yang berperan
menjadikan ia seorang Yahudi, seorang Nasrani,
atau seorang Majusi.” (HR. Bukhari)
Imam al-Ghazali ra. dalam bukunya
Ihya’ Ulumuddin menyatakan, “…Ketahuilah
bahwa mendidik anak merupakan perkara urgen
dan penting. Anak merupakan amanah bagi orang
tua, Hatinya yang masih suci merupakan potensi
yang berharga… Jika ia dibiasakan dan diajari
kebaikan-kebaikan nscaya ia akan tumbuh baik
sehingga ia kelak akan menikmati kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Tetapi jika ia dibiasakan pada
kejahatan dan dibiarkan begitu saja seperti halnya
binatang, maka ia akan sengsara dan celaka…”
Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa kewajiban
mendidik anak ada pada orang tua, dan itu harus
dilakukan sejak dini. Sehingga nyatalah, proses
pembentukan kepribadian pada diri si anak sangat
dipengaruhi oleh cara orang tua mendidiknya. Jika
standar pendidikan yang diberikan oleh orang tua
adalah aqidah Islam, Insya Allah anak akan menjadi
generasi unggulan yang memang patut diteladani.*

25
IBU SEKOLAH PERTAMA
DAN UTAMA
Seorang ibu mengandung janin (calon anak
manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah
lahir ke dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta
mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9
tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan
mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang ibu
memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam
proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9
tahun). Bahkan pada masa awal kehidupan anak
inilah, peran ibu sangat menentukan kondisi
perkembangannya.
Seorang ibu memiliki kesempatan dan
potensi yang lebih besar untuk berperan secara
langsung dalam proses pemberian warna dasar pada
anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan
kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat
dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai
dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah
kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah
karena menjalankan tugasnya mencari nafkah
keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut
peran dan tanggung jawabnya dalam proses
pembentukan kepribadian anak. Sebab tugas
mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang
tuanya, bukan hanya ibu.
Seorang ibu bisa memulai proses
26
pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam
kandungan), ketika tidak ada orang lain yang bisa
melakukannya. Minimal yang harus dilakukan
seorang ibu terhadap janin dalam kandungannya
adalah memilihkan makanan yang halal dan baik
untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan
berdo'a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap
gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam
kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang
dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah
diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan
pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala
kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya. Berupaya menenangkan
perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat
Al Qur'an, sehingga suasana hatinya tetap tenang
dan ikhlas menjalani masa kehamilannya. Sebab
kondisi psikologis seorang ibu - menurut pendapat
para ahli akan berpengaruh pada perkembangan
janin yang dikandungnya.
Demikian pula setelah anak lahir, ibu
berperan besar untuk menciptakan kondisi
lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang
pertama didengarnya ketika pertama kali ia bisa
mendengar. Pemandangan seperti apa yang
dilihatnya ketika ia pertama kali melihat. Kata-kata
apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali
berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke
dalam 'rekaman kaset kosong' seorang anak adalah
rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya
itulah yang pertama direkamnya, terutama yang
paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu
27
ibulah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-
anaknya.
Pembinaan oleh ibu yang dilakukan sejak
dini ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa
pada anak, yang tidak akan bisa digantikan oleh
pihak manapun ataupun diganti dengan nilai materi
berapapun. Bukankah ketika ibu menyusui, ibu
mengajarkan rasa aman? Bukankah ketika ibu
menidurkan anak dalam buaian, ibu mengajarkan
kasih sayang? Bukankah saat melatih anak berjalan,
ibu mengajarkan semangat untuk berjuang, saat
menengahi perselisihan anak, ibu mengajarkan
tentang keadilan? Ibu pun mengajarkan kejujuran,
keterbukaan, empati dan tanggung jawab. Dan
terpenting, ibulah yang pertama kali mengajarkan
anak tentang tuhannya, pada siapa dia harus takut,
tunduk dan patuh. Generasi manakah yang lebih
baik dari generasi yang kelak bisa memberikan rasa
aman, kasih sayang, keadilan dan punya empati yang
tinggi terhadap umatnya? Mereka memiliki
kejujuran, tidak tergoda oleh materi,
bertanggungjawab dan pantang menyerah dalam
perjuangannya. Mereka adalah orang yang paling
takut tehadap azab Allah bila lalai dari
tanggungjawab mereka, Mereka yang menjalankan
hukum-hukum Allah tanpa merasa takut pada
sesama manusia. Bukankah generasi seperti ini
yang akan mampu membawa umat pada
kemashlahatan ?
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran ibu
sangat besar artinya dalam pembentukan generasi di
masa datang, mengingat besarnya peluang dan
28
kesempatan seorang ibu tersebut untuk mengawali
proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Mereka
bisa membentuk warna dan corak generasi umat
Islam di masa datang. Seorang ibu yang lemah,
bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan
generasi yang warnanya tidak jauh berbeda dengan
dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan
teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan
kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi
dan perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa
memilah-milah mana yang baik dan mana yang
buruk. Sebaliknya kalau ‘sang ibu’ itu pintar
(menguasai tsaqofah Islam), cerdas, kreatif,
berperilaku baik serta berkepribadian Islam yang
tinggi, maka warna dasar di masa datang akan baik.
Bahkan kalau perannya berjalan optimal, ibu seperti
ini akan mampu membentuk generasi yang tangguh,
yang tidak terombang-ambing oleh ombak
kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan dan
berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya,
apapun kondisi yang menghadangnya.
Dengan demikian agar peran para ibu
dalam pendidikan generasi di masa datang bisa
optimal untuk menghasilkan generasi para mujahid
tangguh, politikus ulung dan para mujtahid, maka
proses pembinaan para ibu tidak boleh
dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Para
ibu harus dibina dengan tsaqofah Islam secara
mapan atau mendalam, sehingga dia mampu
mengarahkan dan bahkan mendidik anak-anaknya
menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu
berperan meraih kejayaan Islam kembali.
29
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu
mendidik anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia
tidak memahami betapa mulianya kedudukan
seorang mujahid. Mana mungkin seorang ibu
mampu menghantarkan seorang anak menjadi ulama
sementara dia buta terhadap tsaqofah Islam.
Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik
anaknya menjadi pejuang-pejuang Islam, aset-aset
bangsa, generasi yang akan menjadi agen perubahan
masyarakatnya yang rusak, kalau dirinya sendiri
masih enggan berkorban untuk Islam. Kalau dirinya
sendiri hanya memandang anaknya adalah sekedar
aset pribadinya yang kelak harus mengembalikan
investasi pribadi yang selama ini dia tanam untuk
membesarkan anaknya, dan tidak lebih dari itu.
Bagaimana mungkin pula seorang ibu yang lebih
mengutamakan kemapanan materi dengan mengejar
karir sembari mengabaikan tugasnya sebagai ibu
bisa mendidik anaknya untuk meraih kemuliaan di
hadapan Allah meskipun dengan mengorbankan
dunianya. Mustahil ibu seperti ini akan mampu
mencetak generasi harapan umat untuk meraih
kebangkitan dan kejayaan Islam kembali. Karena
seperti pepatah bilang: “singa hanya terlahir dari
singa”; “seorang anak yang hebat juga hanya
terlahir dari ibu yang hebat”. Wallahu A’lam. *

30
MENGENAL 3 TIPE
ANAK
Setiap anak adalah istimewa. Masing-
masing anak, dengan berbagai ragam sifat dan
potensi yang dimilikinya adalah individu yang khas
dan unik. Mereka berbeda satu dengan yang lainnya.
Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan
mereka memiliki nilai keistimewaan yang berbeda.
Adalah tugas kita para orang tua dan pendidik, untuk
mengenali karakter dan potensi khas masing-masing
anak, untuk kemudian kita bina, pupuk dan
kembangkan hingga mereka semua tumbuh
menjadi individu-individu istimewa tanpa
meninggalkan karakter khasnya.
Ada beberapa tipe anak yang secara garis
besar bisa dikelompokkan dalam tiga tipe dasar:

1. Anak yang Mudah


Anak-Anak golongan ini biasanya
penampilannya penuh keberanian dan terbuka.
Tampil berbicara apa adanya. Mudah bergaul dengan
orang-orang yang baru dikenalnya,lincah serta
banyak bicara. Mereka sama sekali tidak canggung
berada di lingkungan yang baru. Bahkan beberapa
dari anak-anak ini tergolong sangat aktiv.
Secara sekilas orang sering kagum dengan
anak tipe ini. Pemberani, mandiri dan tidak ”mbok-
mbok’en”. Pendek kata, tidak merepotkan. Memang
tidak merepotkan, karena di rumah pun anak tipe ini

31
biasanya lebih suka main ke luar. Ada banyak orang
dan teman yang bisa ia datangi. Mungkin sesekali
saja dia mengajak temannya ke rumah.
Tetapi ada kelemahan pula pada anak-anak
golongan ini. Karena saking mudahnya beradaptasi,
jadi terlalu sering berpindah tangan ’pengasuh’. Ini
buruk akibatnya bagi dirinya sendiri. Hari ini dia
bersama nenek, besok bersama tante, lusa bersama
orang yang lain lagi. Di manapun tidak menjadi
masalah baginya. Sementara kita tahu, setiap orang
tidak pernah punya pola asuh yang sama. Batasan,
larangan, cara memerintah, cara membujuk hingga
nilai-nilai yang disampaikan dari ibu, tante dan
nenek biasanya pun tidak sama. Bahkan adakalanya
bertolak belakang. Semua itu hanya akan membuat
anak bingung hingga akhirnya mereka menjadi sulit
diberi pengertian.
Selain itu, karena sifat anak-anak ini yang
sangat suka dan tertantang pada hal-hal baru, orang
tua harus ekstra menjaga mereka. Kaki lecet, kepala
benjol, lebam-lebam karena terjatuh adalah
pemandangan sehari-hari yang bakal ditemui oleh
orang tua pada anak dengan tipe ini. Sebentar luput
dari perhatian, ada saja yang sudah mereka lakukan:
naik pagar tidak bisa turun, kepala masuk lubang
pagar tidak bisa keluar, jari-jari berdarah karena
dimasukkan ke lubang kipas angin, dan
semacamnya. Karena itu kewaspadaan tinggi
terhadap barang-barang yang berbahaya (seperti
listrik, benda-benda tajam, dan semacamnya.)
berikut memastikannya tidak mudah terjangkau oleh
anak dengan tipe ini harus dilakukan orang dewasa
32
di sekitarnya.

2. Anak yang Perlu Pemanasan


Tidak terlalu berani, tidak pula penakut.
Yang jelas ia perlu waktu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru. Setelah tenggang waktu
tersebut, mereka telah memperoleh kepercayaan
dirinya kembali. Ia juga bisa menjadi begitu berani
seperti teman-temannya yang bertipe ’mudah’.
Dengan orang yang belum dikenal mereka
hanya diam, walaupun bukan berarti penakut. Tetapi
setelah kenal, mereka bisa saja segera akrab. Anak-
anak ini perlu dorongan semangat dari orang tuanya.
Mereka perlu diberi motivasi terlebih dahulu.
Tindakan orang tua yang terlalu memaksa
bukan pemecahan masalah yang baik. Sering orang
tua ingin anaknya menjadi pemberani seperti anak-
anak ’mudah’. Biasanya ketika anaknya masih
menunjukkan gelagat ragu-ragu atau takut, mereka
menjadi gusar. Tidak jarang kemudian keluarlah
omelan, sindiran bahkan ancaman. Lebih parah lagi
bila memaksakan anak yang sedang dalam proses
penyesuaian untuk segera melakukan yang diminta
orang tua.
Waktu pemanasan yang dibutuhkan anak
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru
bisa dipersingkat dengan latihan-latihan.
Diantaranya adalah dengan membawa mereka ke
tempat-tempat baru agar belajar beradaptasi.
Sebelum anak dilatih dengan membawanya ke
tempat-tempat baru, hendaknya kita beri pengertian
dan motivasi terlebih dahulu. Ini agar anak tidak
33
terlalu terkejut dan sudah sedikit mengenal
lingkungan baru tersebut lewat cerita kita. Cara lain
adalah dengan meningkatkan keberaniannya secara
umum. Misalnya dengan melibatkannya dalam jenis
permainan tertentu yang bisa menumbuhkan
keberaniannya. Demikian pula bisa dilakukan
dengan memperluas sosialisasi dan pergaulannya
secara alami dengan teman-teman sebayanya.

3. Anak yang Sulit


Anak tipe ini mungkin sering bikin orang
tua ’makan hati’. Membuat gemas, jengkel,
sekaligus malu. Bayangkan, kemanapun orang tua
pergi, ia membuntut di belakang, baju ibu tak pernah
boleh lepas dari pegangan tangannya. Bila ada orang
menyapa, justru ia menelusupkan wajah di sela-sela
baju ibu, seakan-akan hendak masuk ke dalamnya.
Anak-anak ini nampaknya kurang tertarik
untuk ikut bermain bersama temannya. Mereka
sering menampakkan rasa takut dan khawatir
berlebihan bila berada di lingkungan yang baru.
Dengan orang-orang yang belum dikenalnya,
mereka sama sekali tak mau bicara. Padahal ketika
di rumah, di tengah keluarga, anak-anak tersebut
adalah anak yang lucu. Wajahnya yang imut,
tingkahnya yang jenaka, serta bibir mungilnya tak
henti-hentinya bercerita tentang satu demi satu
teman barunya, juga pengalaman baru yang
dialaminya. Siapa yang tak heran.
Namun ketika tiba di halaman sekolah, atau
di suatu tempat baru, anak ini menjadi berubah
kembali menjadi penakut, pasif, dan pemalu, yang
34
terus minta ditemani ibu duduk di dekatnya. Di
sekolah, mungkin ia akan melewatkan pekan
pertama bersama ibu ikut ’sekolah’ di sampingnya.
Seminggu berikutnya ibu boleh menunggu di luar
kelas, tapi harus berdiri di dekat jendela sehingga
bisa dilihat dari dalam. Di dalam kelas pun, ia belum
tertarik untuk berkomunikasi dengan teman-
temannya pada minggu-minggu awal. Mungkin
pertama kali mau ikut maju di depan kelas untuk
menyanyi setelah sebulan mereka sekolah.
Satu-satunya yang bisa dilakukan orang tua
terhadap anak seperti ini adalah bersabar menunggu
waktu. Berjalannya waktu akan bisa
menyelesaikannya. Tak ada gunanya capai-capai
mendamprat, mengomel atau ngotot memaksanya
untuk jadi berani. Percuma, mungkin orang tua
malah jadi sakit hati. Bahkan omelan, ejekan,dan
hinaan dalam banyak kasus hanya akan
menghilangkan rasa percaya diri anak.
Banyak orang tua yang ingin menunjukkan
kemampuan anak-anaknya di depan orang lain
menjadi geregetan gara-gara si anak tiba-tiba diam
seribu bahasa, pemalu dan nampak bingung saat
ditanyai macam-macam. Padahal semua pertanyaan
tersebut bisa dijawabnya dengan lancar ketika di
rumah.
Sebenarnya anak-anak ini memang sudah
tahu jawaban-jawaban dari aneka pertanyaan yang
didengarnya. Tetapi mereka sedang malas
menjawab, lantaran tak menyukai suasana yang
seakan menilai dan menguji kepandaian mereka.
Nah, biasanya yang sewot justru orang tua karena
35
merekalah sebenarnya yang ingin anaknya dipuji
orang. (menggelikan bukan?!)
Penyebab utama perilaku ’sulit’ ini bisa jadi
karena faktor kurangnya keberanian, kurang latihan
bersosialisasi dengan lingkungan, namun bisa juga
’bawaan’. Cara mengurangi rasa kekhawatiran yang
berlebihan terhadap lingkungan baru adalah dengan
pembiasaan, pemberian pengertian, dan motivasi di
samping meningkatkan keberanian mereka secara
umum.
Dari setumpuk ’kejengkelan’ yang harus
dipendam orang tua menghadapi perilaku anaknya
yang ’sulit’ ini, ada kelebihan yang mereka miliki.
Sifat sulit beradaptasi dengan situasi yang baru,
membuat anak kerasan berada di rumah dan
senantiasa berada di dekat ibunya. Hubungan batin
dengan ibu biasanya amat erat, sehingga lebih
memudahkan bagi orang tua untuk mengarahkannya
(membuatnya menurut). Juga biasanya anak tumbuh
menjadi lebih sabar dan telaten, meski tidak terlalu
lincah. Mereka mudah diarahkan ke segi-segi
kognisi. Akan tetapi yang harus diperhatikan,
perkembangan keberanian mereka bisa jadi akan
terhambat bila tidak segera ditangani perilaku
ketakutan yang berlebihan mereka terhadap
lingkungan baru.*

36
METODE MEMPERBAIKI
KESALAHAN ANAK
Adalah hal yang lazim, dalam proses
tumbuh kembangnya untuk sampai pada kematangan
dan kedewasaan, seorang anak tidak hanya
melakukan hal-hal yang baik dan benar, namun acap
kali berbagai kesalahan pun mereka lakukan.
Yang harus kita lakukan sebagai orang tua
atau pendidik tentu saja adalah tidak boleh
membiarkan kesalahan anak tersebut berlarut-larut
sampai bisa jadi sang anak malah berjalan di atas
jalan yang salah. Sebaliknya, yang harus dilakukan
adalah segera memperbaiki penyimpangan anak,
mendidik, dan meluruskan kebengkokannya dengan
metode dan cara yang terbaik, sehingga dalam
tempo yang tidak begitu lama kesalahan tersebut
dapat diluruskan.
Beberapa metode untuk memperbaiki
kesalahan (anak) yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW adalah sebagai berikut:

1. Menunjukkan kesalahan dengan


pengarahan
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Umar bin Abi Salmah ra. Ia berkata:
”Ketika aku kecil, berada dalam asuhan Rasulullah
SAW, pada suatu hari ketika tanganku bergerak ke
sana kemari di atas piring berisi makanan,
berkatalah Rasulullah SAW: ”Wahai anak, sebutlah
nama Allah. Makanlah dengan tangan kananmu.
37
Dan makanlah apa yang dekat denganmu”.
Dalam hal ini kita lihat bahwa Rasulullah
SAW memberi petunjuk kepada Umar bin Abi
Salmah terhadap kesalahannya, dengan nasehat yang
baik, pengarahan yang membekas, ringkas dan jelas.

2. Menunjukkan kesalahan dengan


keramahtamahan
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Sahal bin Sa’ad ra. Bahwa Rasulullah SAW diberi
minuman, dan beliau minum sebagian. Di sebelah
kanannya duduk seorang anak, dan di sebelah
kirinya beberapa orang tua. Rasulullah SAW berkata
kepada anak itu:
”Apakah engkau mengizinkanku untuk
memberi kepada mereka?”Maka anak itu
menjawab, ”Tidak, demi Allah. Bagianku yang
diberikan oleh engkau, tidak akan saya berikan
kepada siapapun.” Maka rasulullah meletakkan
minuman di tangan anak itu.
Kita bisa saksikan bahwa Rasulullah SAW
ingin mengajari sang anak mengenai bagaimana
bersopan santun kepada orang dewasa (orang tua)
dalam mendahulukan mereka untuk mendapatkan
minuman dengan mengurbankan haknya. Dan ini
adalah yang terbaik. Dengan ramah Rasulullah telah
meminta izin kepada anak, ” Apakah engkau izinkan
aku memberi kepada mereka?”

3. Menunjukkan kesalahan dengan


memberikan isyarat
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.:
38
”Fadhal pernah mengikuti Rasulullah SAW. Pada
suatu hari datanglah seorang wanita dari Khuts’um
yang membuat Fadhal memandangnya, dan wanita
itu pun memandangnya. Maka rasulullah SAW
memalingkan muka Fadhal ke arah lain............”
Rasulullah dalam hal ini telah memperbaiki
kesalahan melihat wanita bukan muhrim (dengan
pandangan syahwat) yang dilakukan Fadhal dengan
memalingkan mukanya ke arah lain, dan hal ini telah
meninggalkan bekas (pelajaran) pada diri Fadhal.

4. Menunjukkan kesalahan dengan


kecaman
Bukhari meriwayatkan dari Abu Dzar ra., ia
berkata:
”Saya mencaci seorang laki-laki dengan
menjelekkan ibunya, (yaitu dengan berkata, ”hai
anak wanita hitam”). Maka Rasulullah SAW
berkata, ”Wahai Abu Dzar, kamu telah mencacinya
dengan menjelekkan ibunya. Sesungguhnya kamu
orang yang masih berperilaku jahiliyah. Saudara-
saudaramu adalah hamba sahayamu yang Allah
jadikan mereka di bawah tanganmu. Barangsiapa
yang saudaranya berada di bawah tangannya, maka
hendaknya ia memberinya makan dari apa yang ia
makan, memberinya pakaian dari apa yang ia
pakai, janganlah mereka diserahi pekerjaan yang
sekiranya tidak mampu mereka kerjakan, dan jika
diserahkan pekerjaan itu, maka bantulah mereka.”
Dalam hal ini Rasulullah memperbaiki
kesalahan Abu Dzar ketika mencaci seseorang dan
menyebutnya ”anak wanita hitam” dengan
39
mengecam perbuatan tersebut dengan perkataannya,
”Wahai Abu Dzar sesungguhnya kamu masih
berperilaku jahiliyah.” Kemudian memberinya
nasehat yang sesuai dengan tempat dan serasi
dengan pengarahan.

5. Menunjukkan kesalahan dengan


memutuskan hubungan
(isolasi/meninggalkannya)
Bukhari meriwayatkan bahwa Ka’ab bin
Malik ketika tidak ikut Rasulullah SAW dalam
peperangan Tabuk, berkata:
Rasulullah SAW tidak berbicara kepada kami
selama lima puluh malam, hingga turun ayat
tentang taubat mereka dalam Al Qur’an.
Rasulullah SAW dan para sahabatnya
memberi hukuman dengan meninggalkan dan tidak
melakukan interaksi dalam upaya memperbaiki
kesalahan, meluruskan yang bengkok, sehingga yang
menyimpang kembali kepada jalan yang benar.

6. Menunjukkan kesalahan dengan


memberikan hukuman yang menjerakan
Al Quran menetapkan prinsip hukuman
yang menjerakan dengan metode pelaksanaan
hukuman yang disaksikan sekumpulan orang
(anggota masyarakat) sebagaimana pada QS 24:2.
Hukuman, jika dilaksanakan di hadapan orang
banyak, disaksikan anggota masyarakat, akan
merupakan pelajaran yang sangat kuat pengaruhnya.
Ketika pendidik menghukum anak yang
berperangai buruk di depan saudara dan atau
40
temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan
bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara
keseluruhan, dan akan membuat mereka berhitung
seribu kali terhadap hukuman yang bakal menimpa
mereka tersebut kalau mereka mengulangi kesalahan
yang sama. Dengan demikian mereka bisa
mengambil pelajaran daripadanya.

7. Menunjukkan kesalahan dengan


memukul
Abu Daud dan Al Hakim meriwayatkan
dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya
bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Suruhlah anak-
anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka
berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika
melakukannya ketika mereka berusia sepuluh tahun,
dan pisahkan mereka dari tempat tidurnya.”
Memukul dengan maksud ta’dib
(pengajaran dan perbaikan) sebagai perwujudan rasa
sayang adalah hal yang diperintahkan oleh Islam.
Karena adakalanya sebuah kesalahan tidak mempan
dengan upaya perbaikan dalam bentuk nasehat,
keramahan, isyarat, kecaman ataupun dengan
meninggalkan (tidak berinteraksi) dengannya.
Sebagaimana pelajaran dari QS 4:34 tentang
mengembalikan istri-istri yang melakukan
nusyuz/penyelewengan kepada jalan yang benar, ada
tertib/urutan cara-caranya yang harus diikuti oleh
seorang suami (pendidik). Tata cara yang tertib ini
menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh
menggunakan cara yang lebih keras jika yang
lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan
41
adalah hukuman yang paling berat, tidak boleh
menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain
sudah tidak bisa.
Namun demikian, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan ketika kita hendak memberikan
hukuman kepada anak-anak berupa pukulan:
1. Pendidik tidak terburu menggunakan
metode pukulan kecuali setelah
menggunakan semua metode lembut lain
yang mendidik dan membuat jera.
2. Pendidik tidak memukul ketika dalam
keadaan sangat marah karena
dikhawatirkan menimbulkan bahaya
terhadap anak. Perlakuan ini merupakan
realisasi wasiat Rasul SAW ”Janganlah
kamu marah” sebagaimana diriwayatkan
Al Bukhari.
3. Ketika memukul, hendaknya menghindari
anggota badan yang peka, seperti kepala,
muka, dada dan perut. Berdasar sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu
Daud: ”.... dan janganlah kamu memukul
muka (wajah)..” Sementara dada dan perut
adalah bagian tubuh yang juga dilarang
dipukul, karena banyak terdapat organ-
organ vital yang bisa membahayakan jiwa
apabila terdapat gangguan/kerusakan akibat
pukulan. Sebagaimana universalitas
larangan Rasul SAW: ”Tidak boleh
membahayakan (diri sendiri) dan tidak
boleh membahayakan (orang lain). (HR.
Imam Malik dan Ibnu Majah)
42
4. Pukulan pertama untuk hukuman,
hendaknya tidak terlalu keras dan tidak
menyakiti.
5. Tidak memukul anak, sebelum ia berusia
sepuluh tahun sebagaimana perintah
Rasulullah SAW:
”Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat
ketika mereka berusia tujuh tahun, dan
pukullah mereka jika melalaikannya, ketika
mereka berusia sepuluh tahun...”
6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama
kalinya, hendaknya ia diberi kesempatan
untuk bertaubat dari perbuatan yang telah
dilakukan, memberi kesempatan untuk
minta maaf, dan diberi kelapangan untuk
tidak diberikan hukuman, sebaliknya
mengambil janji untuk tidak mengulangi
kesalahannya itu. Upaya ini lebih utama
dibanding menggunakan pukulan atau
mengecamnya di hadapan umum.
7. Pendidik hendaknya memukul anak dengan
tangannya sendiri, dan tidak
menyerahkannya kepada saudara-
saudaranya, atau temannya. Sehingga tidak
timbul api kebencian dan kedengkian
diantara mereka. Adalah perbuatan yang
sangat keliru ketika beberapa waktu yang
lalu kita membaca di media bahwa ada
seorang guru yang menghukum salah satu
murid SD-nya dengan digunduli oleh
teman-temannya. Akibatnya sang murid
tidak lagi mau masuk sekolah. Apa yang
43
dilakukan guru tersebut pada hakikatnya
malah menghancurkan masa depan sang
anak, bukan malah meluruskan dan
melapangkan jalannya menapaki
kebenaran.
8. Jika anak sudah menginjak usia dewasa
(mukallaf/terbebani hukum), dan kita
melihat bahwa pukulan sepuluh kali tidak
juga membuatnya jera, maka ia boleh
menambah dan mengulanginya sehingga
anak menjadi baik kembali.

Jika kita melihat anak kita, -setelah diberi


hukuman- perilakunya terus membaik dan lurus,
hendaknya kita bersikap lunak, beramah tamah dan
menampilkan muka yang berseri-seri. Hal itu agar
anak menangkap kesan bahwa hukuman yang kita
lakukan tidak dimaksudkan untuk menyakitinya,
melainkan untuk kebaikan dan kebahagiaan,
kemaslahatan dunia, agama dan akhiratnya. Inilah
yang dicontohkan oleh Rasul ketika mendidik para
sahabatnya dan perlakuan Nabi terhadap mereka
setelah menurunkan hukuman itu.
Anak, ketika merasakan bahwa kita –
setelah menurunkan hukuman- berbuat baik
kepadanya, beramah tamah, berlemah lembut dan
bermanis muka, disamping bahwa kita sama sekali
tidak bermaksud dengan hukuman itu kecuali
mendidik dan memperbaiknya, maka sang anak
tidak akan merasa sempit jiwanya, sakit hatinya dan
menjadi menyimpang moralnya, ataupun merasa
minder dan hina. Akan tetapi ia akan
44
menanggapinya dengan perlakuan baik, menunaikan
haknya, dan berjalan di jalan orang-orang yang
bertakwa.
Metode-metode ini adalah bertingkat sesuai
dengan tingkatan anak dalam kecerdasan, kultur,
kepekaan dan pembawaan atau wataknya. Diantara
mereka ada yang cukup dengan isyarat yang
menggetarkan hatinya, seperti warna muka kita yang
berubah, mata yang membelalak, gelengan kepala,
dsb. Diantara mereka ada yang tidak jera, kecuali
dengan pandangan cemberut dan marah yang terus
terang. Diantara mereka ada yang cukup dengan
ancaman siksaan yang akan dilaksanakan kemudian.
Sebagian ada yang lebih sesuai dengan metode
ditinggalkan, tidak digauli atau diajak bicara.
Sebagian mereka ada yang dapat berubah dengan
kecaman. Dan diantara mereka, ada yang tidak
mempan dengan cara-cara tersebut kecuali mereka
merasakan hukuman yang mengenai badannya agar
menjadi lurus.
Dan Islam –seperti telah diterangkan-
mensyariatkan hukuman ini, dan membolehkan kita
untuk menggunakannya. Kita harus menggunakan
kecerdasan dan kebijaksanaan kita dalam memilih
dan memakai metode yang paling sesuai, sehingga
merealisasikan kemashlahatan anak, di samping
selalulah berdoa untuk anak-anak kita agar
senantiasa dijaga dan diluruskan oleh Allah SWT.
Dan Allah jualah yang menentukan segalanya.
Wallahu A’lam bish Showaab*

45
MENGENAL AHMAD
Anak Infaq
Anak Infaq, itulah frasa yang kami pernah
gunakan untuk menggambarkan Ahmad. Yah
memang, Ahmad adalah seorang anak yang sejak
awal pertama kali direncanakan untuk hadir di bumi
ini adalah dalam rangka untuk di’infaq’kan kepada
orang tua lain yang sangat membutuhkan. Apakah
itu berarti Ahmad adalah anak yang tidak
diinginkan? Jawabannya adalah SAMA SEKALI
TIDAK. Justru kehadirannya sangat diharapkan.
Berawal dari permintaan tulus Pakde Ahmad yang
sudah belasan tahun menikah akan tetapi belum juga
dikaruniai seorang putra, agar sekiranya berkenan
memiliki putra lagi untuk kelak mereka adopsi, ayah
dan ibu Ahmad -yang memang dikenal sangat gemar
mengulurkan tangan kepada siapa saja yang
membutuhkan pertolongan mereka- tak kuasa
menolak permintaan tersebut. Meski pada saat itu
usia ibu Ahmad sudah tidak tergolong muda lagi
untuk melahirkan, sementara ayah Ahmad pun sudah
dalam keadaan kesehatan yang tidak lagi prima
karena beberapa penyakit metabolik yang
dimilikinya, ditambah dengan sebenarnya mereka
sudah merasa cukup dan bersyukur dengan 2 orang
putra-putri yang mereka miliki, akan tetapi dorongan
niat baik untuk membantu saudara yang
membutuhkan pertolongan mereka, membuat
keduanya merealisir keinginan saudaranya untuk
47
menambah putra agar kelak bisa mereka adopsi.
Maka seizin Allah, janin Ahmad pun mulai
ada dan berkembang di perut ibunya.Akan tetapi
rupanya Allah juga memiliki skenario lain untuk
Ahmad. Ketika Ahmad baru berusia kurang lebih 1
bulan dalam kandungan, pakde Ahmad yang juga
berikhtiar -sekian lama- untuk memiliki anak dengan
cara mengadopsi bayi lain diperkenankan Allah
mendapatkan calon bayi adopsi. Proses adopsi yang
tidak mudah tersebut berjalan bersamaan dengan
kehamilan Ahmad yang belum diketahui keduanya.
Akhirnya pakde Ahmad berhasil mendapatkan bayi
adopsi yang baru berusia 7 hari tersebut untuk
dibawa pulang setelah semua proses adopsi yang
‘tidak mudah’ mereka lalui. Tentu moment itu
menjadi sesuatu yang sangat membahagiakan
mereka setelah sekian lama mereka berikhtiar untuk
mendapatkan anak.
Itulah salah satu rahasia skenario Allah
yang tengah Dia persiapkan untuk Ahmad. Umur
kehamilan Ahmad pun terus bertambah seiring
dengan kerepotan keluarga pakdenya yang juga
tengah mengasuh seorang bayi. Janin Ahmad pun
tumbuh dalam keadaan yang membinanya untuk
memiliki kesabaran dan ketangguhan. Sang Ayah
karena sakitnya beberapa kali masuk RS untuk
opname. Janin Ahmad pun sudah terbiasa ikut
ibunya yang harus tidur di RS merawat sang ayah,
sambil bolak-balik memastikan 2 anak kecilnya
(saudara-saudara ahmad) juga terawat dan terpenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Bisa kita bayangkan,
Ahmad sudah terbiasa dengan suasana kesabaran,
48
ketegaran dan perjuangan yang dilakukan oleh
ibunya sejak dia dalam kandungan.
Keadaan seperti ini berjalan hampir
sepanjang usia kehamilan Ahmad. Ibunya harus
merawat ayahnya yang sakit sambil mengasuh dua
kakaknya yang juga masih kecil-kecil. Pada waktu
usia kehamilan Ahmad 6 bulan, Ahmad hampir
kehilangan sang ayah yang belum pernah melihat
maupun dilihatnya. (Tentang ini akan kami ceritakan
tersendiri) Tapi Allah menghendaki sang ayah bisa
menyaksikan bayi Ahmad lahir di dunia. Meskipun
selang beberapa bulan kemudian, tepatnya ketika
Ahmad berusia 4 bulan, Allah sang Khaliq akhirnya
benar-benar mengambil ayah Ahmad kembali ke
sisi-Nya. Satu lagi episode perjalanan hidup yang
disiapkan Allah untuk Ahmad. Kami sendiri sangat
yakin semua skenario tersebut pada masanya nanti
akan bisa dimengerti sebagai pendidikan tersendiri
yang dilakukan Allah kepada Ahmad.
Ketika Ahmad lahir ke dunia tentu saja
rencana untuk memberikannya kepada Pakdenya
tidak bisa serta merta direalisir karena pada saat itu
mereka sudah memiliki tanggungan bayi untuk
diasuh yang sudah cukup merepotkan mereka.
Namun kemudian akhirnya kami yang
diperkenankan Allah merawat Ahmad, filosofi
bahwa Ahmad adalah anak yang memang sudah
diikhlaskan oleh orang tuanya dengan niat baik
untuk menjadi tabungan kebaikan pun kami bawa.
Kami bertekad untuk mempersiapkan Ahmad untuk
menjadi anak yang di’infaq’kan di jalan-Nya;
menjadi hamba-Nya yang diridloi-Nya dan dia pun
49
ridlo kepada Tuhan-Nya; menjadi seorang anak yang
kelak menjadi salah satu dari generasi terbaik yang
pernah dilahirkan untuk kemuliaan Islam.
Dengannya kami berharap Ahmad bukan hanya bisa
menjadi jalan teraihnya kemuliaan bagi kedua orang
tuanya, maupun kami yang membesarkannya, akan
tetapi lebih jauh lagi bagi umat ini secara
keseluruhan. Itulah mengapa kami menyebutnya
Anak Infaq….

Hampir Kehilangan Ayah Di


Usia 6 Bulan Kandungan
Siang itu saya ditelpon ibu mengabarkan
kalau paman saya (ayah Ahmad) baru pulang dari
opname di sebuah RS Pemerintah di Surabaya
karena kadar asam urat dan kadar gulanya yang
tinggi. Tetapi begitu sampai di dalam rumah ternyata
paman saya tersebut mendadak tidak sadar hingga
sekarang. Saya diminta untuk segera melihat
keadaannya.
Ketika saya sampai di sana saya
mendapatkan cerita bahwa baru saja paman diijinkan
oleh dokter yang merawat untuk pulang dari RS
karena sudah sembuh dan keadaannya sudah stabil.
Namun begitu menginjakkan kakinya ke dalam
rumah ternyata paman saya tiba-tiba tidak sadar
hingga ketika saya menemui beliau. Yang saya
saksikan saat itu adalah paman saya yang sudah
tidak bereaksi dengan rangsangan apapun, termasuk
rangsang nyeri, nafas sudah satu-satu, kadang ada
cepat kadang melambat bahkan kadang tidak ada,

50
tekanan darah sudah tidak terukur, nadi teraba sangat
lemah, semua tubuhnya sudah dingin,basah dan agak
membiru. Beliau sudah jatuh dalam keadaan shock.
Di sekelilingnya saya dapati saudara-saudara yang
lain membacakan ayat-ayat Al Qur’an. Ibu Ahmad
sendiri yang waktu itu sedang hamil Ahmad 6 bulan
sudah pasrah dan ikhals seandainya sang suami saat
itu dipanggil oleh-Nya.
Tapi Allah berkehendak lain. Ketika Ayah
Ahmad berhasil kami antarkan ke RS terdekat,
beliau masuk dengan diagnosa sementara Gagal
jantung karena yang dominan terlihat saat itu adalah
tubuhnya yang keseluruhannya memang
membengkak (oedema anasarka). Biasanya ini
terjadi pada kelainan jantung atau ginjal. Namun
pada proses diagnosa berikutnya diketahui ternyata
yang membuat beliau koma adalah shock
hipoglikemik (sebuah keadaaan yang terjadi ketika
kadar gula darah seseorang sangat rendah dan
menurun dengan cepat). Ini adalah komplikasi yang
cukup sering terjadi pada pasien dengan kadar gula
tinggi (Diabetes Mellitus) yang kemudian
mendapatkan terapi untuk menurunkan kadar
gulanya tetapi pasien tersebut tidak
mengimbanginya dengan makan yang seharusnya
dilakukan. Jadi akhirnya kadar gulanya turun drastis.
Pada perjalanan berikutnya ayah Ahmad
setelah pulih dari keadaan koma hipoglikemik yang
sebelumnya dialaminya, ternyata harus opname
cukup lama di RS tersebut karena ternyata sekarang
ditemukan kelainan gagal jantung dan ginjalnya
yang salah satu sebabnya adalah shock yang beliau
51
alami sebelumnya. Begitulah, ayah Ahmad harus
opname lagi pada hari beliau diijinkan pulang dari
RS setelah opname 2 mingguan. Di RS yang kedua
ini, opname lebih lama, hampir 3 bulan
lamanya.Ayah Ahmad diperbolehkan pulang dalam
kondisi kekuatan jantung yang kurang dari 60%
menjelang kelahiran Ahmad.

Proses Kelahiran Itu


Selang tidak lama setelah kepulangan sang
suami, ibu Ahmad pun melahirkan. Tepatnya tanggal
18 Agustus 2003 dini hari. Tentu saja ayahnya tidak
bisa mendampingi ibunya melahirkan. Terlahir
dengan berat badan 2.8 kg dan panjang badan 51 cm,
alhamdulillah Ahmad adalah bayi yang sehat dan
sempurna.

Hari-Hari Pertama Yang Penuh


Dengan Kesabaran
Hari-hari pertama dalam kehidupan Ahmad
tentu saja masih diliputi suasana keprihatinan karena
meski ayahnya sudah tidak lagi opname, namun
karena keterbatasan fisik yang dimilikinya saat ini
membuat beliau tidak bisa membantu ibu Ahmad
untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga.
Jangankan membantu mengasuh anak-anaknya atau
membantu pekerjaan sehari-hari di rumah,
membawa diri sendiri saja sudah cukup
memberatkan beliau. Sering beliau terjatuh ketika
berjalan dan semacamnya. Justru ibu Ahmad yang
saat itu harus ekstra sabar dan tegar karena harus

52
mengurus bayi dan anak-anaknya yang masih kecil
sekaligus mengurus ayah Ahmad yang sedang sakit.
Memang ada seorang pembantu yang membantu
beliau di rumah, akan tetapi tetap saja tanggung
jawab dan beban yang harus ditanggung ibu Ahmad
tidaklah ringan. Saya kira suasana kesabaran,
ketegaran dan penuh perjuangan yang sudah ditemui
Ahmad sejak detik awal kehidupannya juga adalah
skenario Allah yang membantu Ahmad untuk
mencapai kematangan dan kemandiriannya sejak
kecil.

Bertemu Ahmad Pertama


Kalinya
Kami bertemu dengan Ahmad pertama
kalinya ketika dia berusia 2 minggu. Saat itu kami
ketahui nama lengkap Ahmad adalah A. Juraij Al
Manshur. Juraij adalah nama seorang Sholeh yang
dikenal sebagai ahli ibadah pada masa dulu,
sementara Manshur adalah nama kakek Ahmad dari
jalur ibunya. Nama panggilan Ahmad sendiri saat itu
adalah Juraij, kadang disingkat dengan panggilan
Joe. Kami sempat sedikit mempertanyakan kenapa
memilih nama Juraij sebagai panggilan. Karena pada
mereka yang tidak terlalu mengenal tokoh Juraij
dengan baik, mungkin justru sepenggal kisahnya --
yang menceritakan bahwa ulama Juraij tersebut
pernah tidak memenuhi satu kali panggilan ibunya
ketika memanggil dan karenanya beliau kemudian
mendapatkan fitnah sebagaimana doa ibunya yang
saat itu merasa sakit hati kepada Allah agar anaknya
diberi pelajaran— saja yang mungkin mereka
53
ketahui. Saat itu ayahnya mengatakan mau
memanggil Ahmad dengan A’ad sebagai singkatan
dari Ahmad, tapi akhirnya pilihan jatuh pada Juraij
atau Joe.
Kami sendiri tidak pernah mengira suatu
saat Ahmad akan menjadi anak (asuh) kami.

Kehilangan Sang Ayah Yang


Belum Pernah Menyentuh
Ayah Ahmad, biasa saya kenalkan ke
Ahmad dengan sebutan Ayah Kautsar adalah tipe
ayah yang kurang berani memegang, menggendong
ataupun kontak fisik lain dengan anaknya ketika
masih bayi. Menurut Ibu Ahmad, hal itu dilakukan
karena ketakutan dan kekhawatiran yang dimilikinya
kalau-kalau karena kecerobohan atau
ketidaktahuannya, akan terjadi sesuatu yang
membahayakan sang bayi. Itulah mengapa sejak
Ahmad lahir hingga usia 4 bulan, yakni ketika beliau
meninggal, ayah Ahmad relatif jarang ’menyentuh’
maupun kontak-kontak fisik lainnya untuk
mengungkapkan kasih sayangnya kepada Ahmad.
Yang sering beliau lakukan adalah menatap sambil
menyapa/memanggil-manggil Ahmad yang kala itu
dipanggilnya ”Juraij...Juraij...”

‘Orang Tua Baru: Abi Dan Umi’


Setelah sang ayah meninggal dunia, praktis
ibu Ahmad bertambah kerepotannya. Pada saat
meninggalnya, ayah Ahmad meninggalkan 3 putra
yang pertama berusia 7 tahun, putrra ke dua 4 tahun

54
dan 4 bulan (Ahmad). Sementara di luar rumah, ibu
Ahmad yang seorang guru juga harus memenuhi
kewajibannya tersebut. Apalagi pasca meninggalnya
ayah Ahmad ada banyak hal berkaitan dengan
wafatnya tersebut yang harus diurus, praktis ibu
Ahmad cukup kepontal-pontal mengurus semua itu.
Pada saat yang sama ketika sang ibu sibuk dengan
beberapa urusan terkait wafatnya sang ayah dan
beberapa tanggung jawab lain, Ahmad lebih sering
diasuh oleh pengasuhnya; seorang wanita paruh
baya yang cocok menjadi nenek Ahmad. Karena
rumah pengasuhnya tidak jauh dengan rumah
Ahmad, seringkali dia dibawa pulang oleh
pengasuhnya tersebut ke rumahnya. Kadang dibawa
cukup lama tanpa sepengetahuan ibunya. Saat itu
Ahmad -yang sejak bayi memang cukup sering
batuk- sakit batuk lagi dan agak parah. Ketika kami
mengetahui kondisi Ahmad seperti itu, kami yang
saat itu baru menikah dan belum dikaruniai
momongan, mencoba menawarkan diri untuk
membantu mengasuh Ahmad kepada ibu Ahmad.
Ternyata penawaran kami tersebut disambut baik
oleh tante saya tersebut. Beliau yang secara psikis
mungkin memang sudah sejak awal siap untuk
melepas Ahmad, lebih merasa sreg dan tidak
khawatir Ahmad bersama kami daripada bersama
pembantunya dengan pola asuh ’gaya jaman
dulunya’.
Rencananya kami mau membawa Ahmad
ketika sudah berusia 6 bulan, agar Ahmad bisa
mendapatkan ASI eksklusifnya. Namun ternyata
menurut ibunya, karena ASI nya tidak cukup
55
banyak, sejak bayi Ahmad sudah tidak mendapat
ASI eksklusif, sehingga kami dipersilahkan
membawa Ahmad meski usianya belum 6 bulan.
Jadilah Ahmad kami bawa untuk kami asuh sejak
usia 5 bulan. Untuk membedakan dengan ayah dan
ibu kandungnya kami memilih untuk memanggilkan
diri kami dengan panggilan abi dan umi untuk
Ahmad.
Komitmen kami sejak awal, bukan
mengambil dan memisahkan Ahmad dari ibunya.
Kami hanya berniat membantu membesarkan dan
mendidiknya dengan sebaik-baiknya, agar kelak dia
bisa menjadi jalan kemuliaan bagi kedua orang
tuanya dan umat ini. Seandainya sewaktu-waktu
Ahmad diminta ibunya kembali, Insya Allah sejak
awal kami sudah menyiapkan diri dan tidak akan
berusaha menghalanginya. Hal yang sama juga kami
siapkan terhadap Ahmad. Dan Allah SWT Maha
Mengetahui atas segala sesuatu dan Dialah sebaik-
baik pemberi balasan.

Mengganti Nama Panggilan


Ketika Ahmad kami asuh, nama panggilan
Juraij kami ganti dengan Ahmad. Pertimbangannya
sebagaimana yang sempat kami ceritakan di atas,
adalah karena tidak semua orang ketika mendengar
nama Juraij dipanggil, memiliki persepsi tentang
seseorang alim, sholeh dan ahli ibadah sebagaimana
yang dimaksudkan oleh orang tuanya. Akan tetapi
bisa jadi malah hanya mengetahui dan mengingat
sepenggal kisahnya ketika Allah memberi pelajaran
kepada beliau akibat pernah satu kali tidak bersegera
56
memenuhi panggilan ibunya hingga membuat sang
ibu sakit hati.
Pilihan akhirnya jatuh kepada nama
Ahmad. Tanpa disingkat. Nama yang sama dengan
manusia termulia yang pernah ada, yakni nabi
Muhammad. Harapan kami tentu agar panggilan
yang kami maupun siapa saja lakukan kepada
Ahmad akan menjadi doa agar Ahmad kelak
senantiasa bisa meneladani kepribadian Rasul
tercinta tersebut.

Batuk; Penyakit Favorit


Anak kecil sakit adalah suatu hal yang
wajar. Tinggal kita sebagai orang tua mereka yang
harus tahu bagaimana bersikap dengan tepat dan
tetap tenang. Ada beberapa penyakit yang sangat
sering dialami seorang anak bayi, bisa berkembang
ke arah membahayakan, namun pencegahan yang
bisa kita lakukan sebagai orang tua sebenarnya
sangat sederhana. Diantaranya adalah demam/panas,
batuk dan diare. Terkait dengan demam, komplikasi
yang kita khawatirkan adalah terjadinya kejang
demam. Ketika terjadi kejang, maka suplai oksigen
akan banyak habis di otot yang mengalami kejang
sehingga suplai oksigen ke otak menurun. Inilah
yang kita khawatirkan. Kalau terlalu sering anak
kejang, bisa kita bayangkan proses perkembangan
otak tentu terganggu, lebih lanjut hal itu akan
berimplikasi kepada kecerdasan seorang anak. Masa
rawan seorang anak mengalami kejang demam
adalah usia 0-2 tahun, meski kadang juga terjadi
pada usia diatasnya. Pada usia itu, orang tua harus
57
selalu memiliki persediaan obat penurun panas yang
harus juga diberikan ketika kita mendapati anak kita
mengalami demam.
Sejak sebelum kami bawa, Ahmad sudah
seringkali sakit. Dan sakitnya hampir selalu batuk.
Ketika anak bayi batuk dan tidak segera tertangani,
biasanya cepat sekali menjadi sesak karena saluran
pernafasan mereka yang memang masih berukuran
kecil ditambah riak/lendir gampang sekali
menumpuk karena mereka belum bisa secara aktif
mengeluarkan riak/lendir tersebut. Pertolongan
pertama yang perlu disiapkan orang tua kalau anak
bayi kita batuk adalah memberikan obat batuk yang
mengandung mukolitik (pengencer dahak) dan
memastikan makan minumnya tetap tercukupi.
Karena biasanya ketika anak bayi batuk seringkali
diiringi dengan muntah. Tidak usah panik, hal itu
wajar terjadi karena panjang saluran pencernaan
anak bayi sangatlah pendek, sehingga ketika ada
sedikit rangsangan saja di tenggorokannya (misanya
batuk) sudah cukup bisa membuatnya mengeluarkan
isi lambungnya (muntah). Kekenyangan saja pun
sudah bisa membuat mereka muntah. Makanya
orang tua harus tetap tenang, dan juga sabar kalau
harus berulangkali memasukkan makanan/minuman
ataupun obat karena berulangkali pula dimuntahkan.
Satu hal yang penting lagi, adalah segera bawa anak
kita ke dokter untuk mendapatkan pengobatan
sesegera mungkin.
Terkait dengan Ahmad sendiri, menggerus
obat dan membuat puyer untuk Ahmad hampir
menjadi agenda rutin tiap bulan saya lakukan.
58
Kadang untuk batuk pilek, kadang diare, kadang
untuk demamnya.Yang paling sering hingga
sekarang adalah sakit batuknya. Kalau sekarang
penyebab batuknya yang paling sering adalah kalau
kebanyakan permen atau snack (jajanan anak yang
banyak mengandung penguat rasa). Apakah saya dan
abinya yang membelikannya permen? Tentu tidak.
Salah satu kelemahan anak dengan tipe ’mudah’
bergaul dan mandiri adalah dia sering ’lepas’ alias
bisa bermain dan bergaul ke mana saja, dengan siapa
saja. Tidak harus dengan orang tuanya. Nah,
biasanya orang-orang dewasa yang ditemui dan
berinteraksi dengan Ahmad itulah yang paling sering
memberikan permen. Meski kadangkala Ahmad bisa
disiplin tidak menghisap permen atau makan jajan
seperti yang saya pesankan, tapi tidak jarang pula
dia lupa. Namanya juga masih anak-anak...

Aktiv, Jagoan Dan Pemberani


Sejak Bayi
Sikap pemberani Ahmad sangat mudah
dilihat sejak dia masih bayi. Dia memiliki
keberanian untuk mencoba sesuatu yang untuk
ukuran anak seusianya mestinya belum waktunya
dilakukan. Tapi karena dia punya modal berani
tersebut, seringkali dia bisa melakukan hal-hal
tersebut lebih cepat dari kemampuan anak seusianya.
Ketika Ahmad berumur kurang lebih 7-8 bulan,
sering tetangga depan rumah sampai memanggil-
manggil kami karena khawatir melihatnya naik turun
kursi setinggi dadanya waktu dia masih baru bisa
merangkak. Saya sih khawatir hanya pada waktu
59
permulaan saja, ketika dia belum tahu caranya turun
yang benar. Biasanya anak bayi yang baru bisa
merangkak begitu ketika turun dari kursi atau kasur
yang tinggi, menggunakan tangan dan kepalanya
dulu. Namun setelah kami ajari dengan menjulurkan
kedua kaki turun ke bawah dulu, maka bayi Ahmad
segera merubah caranya turun. Pada waktu Ahmad
berumur satu tahun dia mulai bisa jalan. Begitu
merasa sudah bisa jalan, meskipun tentu saja sangat
sering terjatuh, Ahmad seperti sudah ’alergi’ dengan
merangkak. Jatuh berkali-kali tetap tidak
membuatnya takut ataupun ragu untuk berdiri dan
berjalan lagi. Besar sedikit mulai naik turun motor
abinya. Mula-mula masih pegangan, lama-lama
duduk di atasnya tanpa pegangan apapun sangat
santai dinikmatinya. Beberapa waktu kemudian
malah sudah tidur-tiduran di atas motor. Ya
Allah...saya dan suami kadang sampai terheran-
heran dengan nyalinya. Ketika masih play group,
ketika tidak ada teman-temannya yang berani
bermain di besi yang diperuntukkan anak-anak TK,
malah dia bergelantungan di sana sambil
berpegangan pada besi yang tingginya hampir dua
kali tingginya, dengan santainya. Usia 4 tahun ini,
ketika mendapati abinya menonton TV sambil duduk
di lantai, Ahmad mulanya dengan alasan gendong
dan memijit pundak abinya, sebentar kemudian pasti
sudah berdiri di pundak abinya dengan tangan tanpa
berpegangan apapun sambil tertawa-tawa
kegirangan. Seperti adegan akrobat. Sekarang
menjelang usia 5 tahun ini, malah naik sepeda
dengan berusaha mengangkat roda depannya ke atas,
60
maksudnya meniru sebuah iklan yang pernah
dilihatnya. Masya Allah....kami harus ekstra
menjaganya karena keingintahuannya yang tinggi
sejalan dengan nyalinya yang besar pula.
Keberanian dan kepercayaan dirinya yang
tinggi tidak hanya terlihat dari kemampuan motorik
kasarnya, tapi juga terlihat pada ke-PD-annya untuk
bergaul, berbincang atau berteman bahkan dengan
orang yang tidak dikenalnya. Waktu di rumah kami
di Sedati, yang kanan kirinya masih berupa sawah,
Ahmad bisa kami dapati sedang berbincang-bincang
asyik di pinggir sawah dengan seorang kakek petani
penggarap di seberang rumah kami. Ketika saya ajak
ke tempat cucian motor, pasti dia duduk jongkok di
sebelah tukang cucinya sambil bertanya apa saja
yang dilihatnya. Demikian pula ketika terpaksa
harus nambal ban, dengan PD nya Ahmad pasti
ngajak omong tukang tambal ban seputar
aktivitasnya. Saya ajak ke swalayan untuk belanja,
malah ngomong-ngomong dengan kasirnya. Ke
tukang cukur ngajak jagongan tukang cukur atau
orang yang lagi antre mau cukur. Begitulah, sampai-
sampai di lingkungan rumah orang tua saya (karena
Ahmad sering ke sana), Ahmad sudah kenal dan
dikenal oleh tukang jualan es, buah, kue lekker,
rujak sampai pentol yang biasa mangkal di belakang
kampus IAIN, tepatnya di gang rumah orang tua
saya. Ahmad kelihatan menikmati dan nyaman
berteman ataupun sekedar berbincang dengan orang-
orang besar tersebut. Sebaliknya, ketika bertemu
dengan teman-teman sebayanya, sikap dominannya
bisa jadi menimbulkan masalah. Karena kadang dia
61
bersikap merasa harus bertanggung jawab dengan
apa yang dilakukan temannya. Ketika menurutnya
tidak tepat, langsung berusaha untuk ’diselesaikan’.
Contohnya, saya ingat cerita salah satu gurunya di
play group yang pura-pura menangis sambil
bercerita ke guru yang lain karena tangannya terjepit
meja disebabkan ada anak-anak (murid di kelas
tersebut) yang bermain meja (didorong,dsb). Nah,
ketika kemudian Ahmad mendapati ada diantara
temannya yang sedang mainan meja, maka bisa
diperkirakan dia akan langsung ’mengambil
tindakan’ (baca: mulai dari megangi tangan hingga
memukul sang teman tersebut).
Gabungan antara potensi keberanian
mengambil inisiatif dan menghadapi resiko, PD
(kepercayaan diri) yang tinggi, ketrampilan motorik
kasar yang mantap, dengan bakat temperamental
yang sangat dominan, ego anak kecil yang tinggi,
tapi masih belum diiringi kematangan pemahaman
dan emosi, seringkali membuat Ahmad dikenal
’jagoan’ dimana saja dia berada. Jagoan di sini
memang konotasinya masih ke arah bersikap
dominan, menang sendiri, tahan banting (meski
kesakitan), sering membuat temannya menangis,
sementara dia sendiri sangat jarang menangis.

’Bakat’ Temperamental
Nah sifat temperamental inilah yang
senantiasa menjadi PR bagi kami, abi dan uminya
untuk membantu Ahmad bisa mengendalikannya.
Ahmad mudah sekali marah dan ’mengambil
tindakan’ kalau menurutnya ada orang lain atau
62
temannya yang ’nakal’. Tentu ’nakal’ di sini adalah
sesuai persepsinya sebagai anak kecil (yang daya
nalarnya masih dangkal, egosentrisnya masih tinggi,
kualitas pemahamannya masih sangat sempit).
Karena sebenarnya tidak ada anak kecil yang nakal.
Yang ada adalah anak kecil yang aktif atau pendiam,
yang berani atau penakut memulai sesuatu, yang
ketrampilan motoriknya berbeda-beda, dan
sebagainya. Tetapi itu semua tidak serta merta bisa
menjadikan mereka yang pendiam kita judge sebagai
anak ’baik’ sebaliknya yang sangat aktif sebagai
anak ’nakal’. Karena saat itu mereka belum
memiliki pemahaman yang sempurna yang bisa
mereka jadikan sebagai pengikat tingkah laku
mereka. Mereka masih dalam proses belajar mana
dan apa sesuatu yang benar dan salah, yang baik
atau buruk, yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Sehingga memang belum ada pembebanan hukum
atas mereka.
Nah, kembali kepada kemarahan Ahmad
kepada teman atau seseorang yang menurutnya
nakal itu adalah bisa jadi karena hal-hal yang
lazimnya terjadi pada anak-anak, seperti rebutan
mainan, tidak sengaja tersenggol temannya, tabrakan
ketika berkejaran, diledek dengan sebutan tertentu,
dan semacamnya. Hanya bedanya dengan teman-
temannya yang biasanya menangis ketika
mengalami hal yang sama, Ahmad justru marah
kepada seseorang yang menurutnya ’nakal’ tadi.
Tidak jarang langsung dipukulnya seseorang
tersebut. Dengan potensi keberanian yang dia punya
bahkan dia tidak takut sekalipun yang dia pukul
63
tubuhnya jauh lebih besar, usianya jauh lebih tua
atau tidak. Biasanya hal tersebut bisa dicegah kalau
’kejadian’ yang membuat marah Ahmad tadi, kami,
gurunya atau orang lain ketahui sebelum Ahmad
melampiaskan kemarahannya, sehingga bisa
disampaikan kepada Ahmad ’tafsir kejadian’ tadi
dengan arif. Misalnya bahwa tadi Ahmad ketabrak
temannya yang sedang lari-lari, hingga jatuh itu
karena tidak sengaja, bahwa mainan Ahmad bukan
direbut tapi cuman mau dilihat sebentar, bahwa
temannya bukan mau melempar Ahmad tapi bolanya
terbang terbawa angin yang keras hingga mengenai
Ahmad, bahwa harusnya Ahmad lebih hati-hati,
meminta maaf, atau memaafkan temannya dan
seterusnya. Tapi tentu saja, tidak semua yang terjadi
ketika anak-anak tersebut bergaul dan bermain
dalam kekuasaan pengawasan kita.
Sehingga di sinilah sebenarnya kearifan
kita sebagai orang dewasa dalam menyikapi apa
yang terjadi diantara mereka sangat dibutuhkan.
Yang harus kita pahami, bahwa ’pertengkaran’ atau
’permusuhan’ diantara mereka (anak-anak kita)
sebenarnya tidaklah ada. Mereka bahkan belum
paham apa itu ’musuh’, ’nakal’ dan ’bertengkar’.
Bisa jadi seorang ibu yang tidak mau membelikan
anaknya permen agar sang anak tidak sakit radang
tenggorokan, dianggap oleh sang anak sebagai orang
nakal dan harus dimusuhi. Justru dengan
pertengkaran atau perkelahian-perkelahian ’semu’
itulah mereka akan dibawa pada kematangan emosi
yang kelak mereka butuhkan. Dengan mengenal rasa
senang dan sakit pada waktu yang bersamaan itu
64
pulalah, mereka akan belajar untuk bergaul dengan
’sehat’. Dengan berbagai pengalaman warna rasa itu
pula seorang anak akan belajar tentang kehidupan
yang sesungguhnya dan dipersiapkan untuk menjadi
individu yang siap mengarunginya. Tentang
bagaimana kami berusaha mengajari Ahmad
mengendalikan diri insya Allah di bagian lain buku
ini.

Jarang Menangis, Sering


Menangiskan
Ketika Ahmad masih bayi (usia di bawah 1
tahun) saya kadang sampai bertanya dalam hati, apa
Ahmad ini gak ngerti caranya menangis ya kok
sangat jarang sekali menangis dibandingkan anak
seusianya yang memang lazimnya cukup sering
menangis. Saya amati, tangisan Ahmad hanya terjadi
kalau dia merasa (sangat) kesakitan. Sementara
tangisan-tangisan manja seperti karena ada
keinginannya yang tidak terpenuhi, sangat jarang.
Kalaupun menangis, pasti sangat sebentar saja. Tapi
kalau bikin temannya menangis...wah sepertinya
cukup sering.
Tapi hal itu beberapa waktu kemudian
-pasca Ahmad sakit diare hingga opname- berubah.
Ahmad jadi pintar sekali menangis. Ada hal yang
membuatnya tidak nyaman sedikit, ada maksudnya
yang tidak segera dipenuhi, sudah menangis,
menyerah. Hal yang sebelumnya sangat jarang dia
lakukan. Biasanya kalau ada keinginannya yang
belum terpenuhi, lebih cenderung membuatnya
marah dan berusaha untuk bisa mendapatkannya.
65
Misalkan mainan yang dimiliki temannya. Kalau
mencoba pinjam tidak berhasil, Ahmad hampir gak
pernah menangis, sebaliknya justru akhirnya dia
membuat temannya tersebut menangis karena
akhirnya mainan yang coba dia pinjam tadi dia
ambil paksa. Kebiasaan baru menjadi anak cengeng
dan gampang menyerah ini mungkin karena trauma
ketika dia harus dipasang infus berkali-kali karena
gagal, sembari kaki tangannya terbungkus rapat
selimut hingga tidak bisa bergerak, sementara saat
itu dia sudah berusaha menghentikan dengan
berteriak-teriak ”sudah....sudah...” hingga
menangis.
Bagi kami sendiri, pengalaman selama
menjadi abi dan uminya ketika dia sementara
berubah jadi gampang menyerah dan cengeng
merupakan pengalaman baru. Dari sebelumnya yang
harus ekstra berusaha mengendalikan dominansi dan
agresifitas Ahmad, menjadi harus banyak
memberikan dorongan agar Ahmad tidak mudah
menyerah ataupun menangis.
Alhamdulillah, tidak lama setelahnya,
Ahmad yang pemberani dan tidak cengeng sudah
kembali lagi. Dan kami pun harus belajar untuk bisa
mendampingi Ahmad menjadikan modal sifat-sifat
pemberani dan dominan yang dimilikinya sebagai
pembangun sifat kepemimpinannya. Kami yakin,
Insya Allah sejalan dengan perkembangan mafhum
yang dimilikinya, Ahmad akan semakin bisa
mengendalikan karakter-karakter bawaannya dengan
tepat.

66
Cara Berkenalan Dengan
Teman Baru
Ini hal lain yang sempat saya perhatikan
ketika membawa Ahmad (saat berusia 1-2 tahun)
bermain di luar rumah bersama dengan teman-
temannya. Kalau bertemu dengan anak kecil yang
belum dikenalnya pasti didekati Ahmad. Kalau
kemudian anak tersebut berlari-lari atau bergerak,
maka biasanya Ahmad akan bermain-main
dengannya, kejar-kejaran ataupun yang lainnya.
Masalahnya, kalau kemudian temannya tersebut,
setelah didekati, coba disapa dengan bahasa anak
yang belum bisa bicara jelas ternyata diam saja,
tidak memberi respons, biasanya oleh Ahmad
temannya tersebut kemudian didorong, kadang
sampai jatuh dan akhirnya menangis. (Mungkin
maunya mengajak temannya tersebut agar tidak
diam saja). Akhirnya bisa jadi banyak anak yang
ditangiskan Ahmad ketika bermain. Yang lain lagi,
kalau kemudian dia menemukan temannya tersebut
sebentar-sebentar menangis karena takut dengan
dirinya, Ahmad malah lebih senang menggoda
mereka. Entah mainannya seperti hendak
diambilnya, temannya tersebut seperti hendak
dikejarnya, mendekatinya atau hal lain yang pada
anak-anak tertentu sudah cukup membuat mereka
menangis berkali-kali. Apakah hal tersebut saya
biarkan? Tentu saja tidak. Berusaha menasehati dan
memahamkannya tentu saja saya lakukan. Hanya
pada saat itu, karakter khasnya lebih sering
mendominasi daripada pemahamannya, karena
memang belum usianya. Sama dengan anak
67
seusianya yang cenderung cengeng, meskipun
mereka juga berusaha untuk difahamkan dan
dinasehati agar jadi anak pemberani dan tidak
cengeng juga tidak serta merta berubah. Tapi dengan
bertambahnya usia dan berkembangnya mafhum
(pemahaman), anak-anak tersebut akan bersikap
sebagaimana pemahaman yang mereka miliki, tentu
tetap dengan kekhasan masing-masing yang berbeda
satu sama lain.
Alhamdulillah, sekarang tentu saja sudah
berbeda. Sekarang Ahmad sudah bisa untuk
difahamkan. Sudah bisa diajari konsekuensi/akibat
bersikap tidak baik.Dan pemahaman-pemahaman
tersebut sudah mulai mengendalikan sikapnya.
Meskipun tentu saja, pada waktu-waktu tertentu
sikap temperamentalnya kadang masih keluar dan
pemahaman yang dimiliki terkalahkan. Yang jelas,
sekarang dia tidak serta merta mendorong temannya
yang tidak mau lari-lari, sudah bisa bermain dan
berbagi mainan bersama. Meskipun bukan berarti
tidak pernah bertengkar dengan temannya. Rebutan
mainan atau salah paham sih adalah hal yang biasa
... Namanya saja anak-anak. Biar mereka belajar
warna dunia ini dengan berbagai rasa di dalamnya.

Susah Makan
Ini mungkin salah satu kesulitan umum
yang dialami oleh banyak orang tua. Saya sendiri
menghadapi masalah susah makan Ahmad ini sejak
awal. Yakni sejak dia seharusnya mulai
mendapatkan makanan pendamping ASI (bubur
susu). Ahmad sama sekali tidak mau makan bubur.
68
Berbagai cara kami lakukan mulai dari
memvariasikan rasa, membawanya jalan-jalan,
bujukan-bujukan hingga bubur itu kami jadikan
seperti air minum yang kami coba minumkan ke
Ahmad. Masalah susah makan ini berjalan hingga di
usia 3 tahunan. Alhamdulillah, meski susah makan
Ahmad sangat suka minum susu. Jadi asupan
untuknya masih lumayan. Sekarang Alhamdulillah
Ahmad sudah ’pintar’ makannya. Bukan hanya
dalam hal memakan semua jenis makanan dan tidak
hanya nasi+kuah seperti sebelumnya, tapi juga
kemandiriannya dalam makan juga semakin bagus.
Pelajaran yang kami dapatkan dari susah
makannya Ahmad ini adalah bahwa kita sebagai
orang tua memang harus telaten, sabar dan kreatif
mencari cara untuk bisa memastikan asupan yang
didapatkan anak kita cukup.

Tipe Kinestetis Dan Auditory


Dalam Belajar
Di atas sudah saya ceritakan bahwa Ahmad
adalah anak yang sangat aktif (meskipun bukan
terkategori anak dengan kelainan hiperaktif). Itulah
anak kinestetik. Sangat aktif. Kalau diajak ke tempat
yang baru, dimana saja, biasanya justru lebih suka
jauh dari orang tuanya untuk mendapatkan
pengalaman baru. Demikian pula Ahmad, ia akan
mencoba untuk menyapa orang-orang yang ada
disekelilingnya di mana saja dia berada. Inilah salah
satu keuntungan anak kinestetik, yakni mudah
bergaul dan lebih mandiri alias tidak mbok-mbok’en,
sekalipun kadang kala perlu pengawasan lebih.
69
Dalam belajar pun dia adalah anak dengan
tipe kinestetik. Ciri-cirinya menonjol diantaranya
adalah tidak bisa duduk manis, khusyu’ dan
konsentrasi dalam waktu yang cukup panjang.
Sehingga cara belajar yang paling ’nyaman’ dan
cepat untuk mereka justru adalah cara belajar yang
mengakomodasi ’ketidakbisadiaman’ mereka.
Karena justru ketika mereka dipaksa duduk manis
dengan anggota tubuh yang khusyuk agar bisa
diajari, maka konsentrasi mereka lebih banyak
terforsir pada upaya mereka untuk ’mengendalikan’
tubuh mereka agar bisa diam dan duduk manis.
Sementara justru mereka sulit berkonsentrasi pada
pelajaran yang disampaikan.
Sebenarnya keaktifan anak kinestetik tidak
kemudian membuat mereka menjadi susah
menerima pelajaran. Tapi setiap anak akan
mendapatkan kemampuan memahaminya secara
optimal dan lebih cepat ketika pemberian pelajaran
tersebut dengan metode belajar yang sesuai dengan
tipe belajar mereka.
Sebenarnya tipe belajar anak ada 3 :
1.Visual : tipe pebelajar dengan
menggunakan daya tangkap mata sebagai alat
belajar yang dominan. Sehinggga tipe pebelajar
ini lebih efektif dengan menggunakan gambar-
gambar atau bentuk-bentuk yang secara visual
bisa dirasakan.
2.Auditori : tipe pebelajar dengan
menggunakan daya pendengarannya sebagai
alat belajar yang dominan. Kalau pebelajar tipe
ini lebih cenderung bisa lebih menerima materi
70
melalui suara.
3.Kinestetik : tipe pebelajar melalui praktek
langsung. Anak yang memiliki tipe kinestetik
inilah, perlu adanya sarana sebagai action
pembelajaran.
Tipe-tipe belajar ini tidak kemudian secara
mutlak terpisah satu sama lain. Adakalanya seorang
anak adalah pebelajar dengan tipe auditori sekaligus
visual misalnya. Hanya biasanya selalu ada yang
lebih dominan. Kita bisa melihatnya dari cara belajar
yang mana yang paling nyaman dan memudahkan
anak kita memahami pelajaran dengan lebih cepat
dan optimal.
Ahmad sendiri, disamping memiliki tipe
kinestetik lebih dominan, dia juga memiliki
kecenderungan tipe auditori. Dia sangat mudah
menerima dan memahami rangsangan suara yang
dia dengar, sekalipun sepertinya tidak
memperhatikan. Misal, ketika sedang asyik bermain,
sementara di ruang sebelah ada orang lain sedang
berdiskusi, seringkali Ahmad tiba-tiba ikut nyeletuk
menyampaikan sesuatu yang ada hubungannya
dengan diskusi tersebut, padahal dia kelihatannya
sangat konsentrasi bermain dan tidak memberi
perhatian sedikitpun pada sekitarnya. Inilah tipe
yang dimiliki oleh Ahmad sebagai tipe dasar
pembelajarannya.

Ahmad; Hukma Shabiyya


(‘Dewasa’ Sejak Kecil)
Banyak orang bilang Ahmad itu adalah
anak yang dewasa. Gaya dia berbicara memang gaya
71
bertutur anak-anak, tapi content pembicaraannya
yang memang sering seperti ‘terlalu dewasa’ untuk
seumurnya, kadang malah membuat kami lupa kalau
dia bahkan belum lima tahun.
Suatu ketika, keluarga besar kami
melakukan ziarah dan doa bersama di pusara buyut
dan kakek kami. Kebetulan masih satu lokasi dengan
pusara ayah Ahmad. Maka kami beritahu dia dimana
kuburan ayahnya berada. Ketika rombongan
keluarga besar kami sedang berdoa di pusara buyut
kami, Ahmad ternyata justru pergi ke pusara
ayahnya yang berjarak sekitar 20 meter dari tempat
kami. Di sana dia duduk di persis di depan nisan
ayahnya, berjongkok, kepala menunduk dan kedua
tangan ditengadahkannya seperti posisi orang
berdoa. Khusyuk sekali. Tidak lama Ahmad berdiri,
pergi ke tempat lain, lalu kembali lagi. Ternyata dia
mengambil batu bata untuk didudukinya. Maka
sebentar kemudian dia tampak khusyuk kembali.
Cukup lama dia disana sambil mulutnya seperti
membaca sesuatu. Kelak, kami tahu ternyata yang
dia baca adalah surat al Kautsar yang dia ulang-
ulang dimaksudkannya untuk mendoakan ayahnya
yang bernama Kautsar.
Di lain kesempatan ketika kami melewati
lokasi kuburan umum tempat ayahnya dikubur,
Ahmad selalu mengucap salam dan menyapa
ayahnya yang sudah di dalam kubur. Suatu ketika
dia mengatakan “Mi di sana lho ayah kautsar
dikubur, tapi sekarang sudah gak di situ lagi.” Saya
bertanya “Dimana lho nak sekarang ayah
Kautsar?” “Di surga. Mi besok-besok kita semua ke
72
surga ya Mi, biar bisa ketemu sama ayah Kautsar.
Soalnya Ahmad kangen mau lihat wajah Ayah
Kautsar....”
Meski termasuk anak yang suka nggodain
teman atau orang lain, saya mengamati, terhadap
orang yang sudah tua (seperti ayah dan ibu saya),
Ahmad seperti menahan diri tidak melakukannya.
Malah kadang kesan berusaha menghibur atau
menjaga ayah saya sangat terlihat. Ahmad pula yang
sering diminta ibu saya membantu menemani dan
menjaga ayah saya yang sakit stroke ketika tidak ada
orang lain di rumah sementara beliau harus
menangani pekerjaan di ruang lain. Pernah kami
sempat terheran-heran ketika mendapati ayah saya
bisa turun dari kursi rodanya dan berjalan
menggunakan alat bantu berjalannya yang cukup
besar ke dalam rumah, padahal tadi beliau
didudukkan di luar, sementara alat bantu berjalannya
di dalam rumah. Ternyata Ahmadlah yang
membantu beliau turun dari kursi roda, membuka
kunci-kuncinya, mengambilkan alat bantu berjalan
dari dalam rumah hingga membantu beliau berjalan.
Padahal ayah saya tersebut tidak bisa berbicara. Kata
seseorang yang kebetulan melihatnya, dengan agak
kesulitan memang Ahmad melakukannya, tapi
dengan gaya ‘dewasa’nya Ahmad bisa melakukan
tugasnya dengan sangat baik.
Ketika melihat ayah saya kesakitan ketika
sedang dilakukan terapi, tanpa diminta dia akan
menunggu di samping beliau sambil menghiburnya
“Sabar ya Wak Abah, ini biar Wak Abah bisa jalan
lagi...”. Kalau kami pamitan pulang, dia pasti
73
mencium dan mendoakan ayah saya, padahal Ahmad
itu terkenal susah untuk dicium, kecuali oleh abi dan
uminya. Tapi untuk ayah saya yang sakit, dia sama
sekali tidak menghindar seperti yang biasa
dilakukannya. Dan banyak pengalaman lain tentang
‘kedewasaannya’ yang ‘mengesankan’ bagi kami.

Berdoa Ketika Menangis


Menangis adalah hiasan kehidupan, terlebih
lagi buat anak-anak bahwa menangis merupakan
ungkapan perasaannya. Tak jarang juga bagi anak-
anak menangis dijadikan sebagai senjata untuk
mengalahkan orang lain. Ahmad juga sama dengan
anak-anak lainnya meskipun mungkin hampir tidak
pernah menjadikan menangisnya sebagai senjata,
karena dia tipe yang justru dominan ’fight’ daripada
mudah menyerahnya. Tipe ’fight’ ini juga
membutuhkan kesabaran dan teknik tersendiri untuk
menghadapinya. Selama dia belum menyadari
kesalahannya, maka selama itu pula apa yang kami
lakukan selalu dilawannya. Ngomong dilawan
dengan ngomong, Suara kami keraskan, dia
menjawab dengan mengeraskan suara. Dipandang
dengan tajam, Ahmad pun cukup bernyali untuk
menajamkan pandangannya pada kami. Dan
seterusnya.
Ketika ada sesuatu yang membuatnya sedih
seperti kemauannya tidak dituruti atau kami ’marahi’
karena suatu hal, setelah bersikap ’menantang’ kami
hingga cukup lama, biasanya kami akhiri
’pertengkaran’ tersebut dengan berdoa dan ’metode
isolasi’ untuk meluruskan kesalahan yang belum
74
disesalinya tersebut. Dengan tidak terpancing
kemarahannya, kami angkat tangan untuk berdoa
dengan keras di depannya ”Ya Allah, semoga Ahmad
menjadi anak shalih, yang sabar, baik dan nurut
sama abi uminya. Amiin”. Setelahnya kami bilang
”Sudah sana masuk kamar ! Berdoa biar jadi anak
shalih, nanti kalau sudah baik boleh ngomong sama
abi-umi”. Pada saat kami ’isolasi’ (tidak kami sapa
dan gauli) itulah biasanya kemudian Ahmad
menghentikan ’perlawanannya’ dan memulai
menangis. Yang khas lagi, pada saat menangis
itulah dia pasti berdoa kepada Allah, dan segera
setelah selesai berdoa, nangisnya pun kemudian
berhenti. Jadi menangisnya sangat singkat, dan
berhenti setelah dia berdoa. Seperti sudah lega
karena sudah mengadu kepada Allah. Selalu seperti
itu. Biasanya setelah dia merasa bersalah, dengan
sendirinya dia keluar kamar dan mulai mencoba
menyapa kami, atau mulai usil untuk cari perhatian
kami. Pada saat itulah kami memahami bahwa dia
sebenarnya sudah menyesal, namun karena bakat
kadar ’gengsinya’ yang tinggi, kadangkala masih
sulit untuk disuruh meminta maaf. Alhamdulillah
seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya
pemahaman dan kematangan emosinya, Ahmad
sekarang lebih pandai ’mengendalikan’ diri. Dan
kebiasaan berdoa setiap menangis sambil
menyendiri, sampai sekarang pun masih dilakukan.

75
BERBAGI PENGALAMAN
MENDIDIK AHMAD
Mengenalkan Allah SWT dan
Sifat-Sifat-Nya
Imam Syafi’i mengatakan, kewajiban
pertama seorang hamba adalah ma’rifatullah
(mengenal Allah), Tuhan yang telah
menciptakannya. Begitu pula, hal mendasar yang
berusaha kami bangun pada diri Ahmad sebagai
pondasi bangunan kepribadiannya adalah
keyakinannya kepada keberadaan Allah berikut sifat-
sifat-Nya agar terbentuk kesadaran akan
hubungannya dengan Allah, dan apa
konsekuensinya. Tentu dengan tahapan pendidikan
yang sesuai dengan usianya.
Menunjukkan dan membuktikan bahwa
Allah ada, beserta sifat-sifat yang melekat pada-Nya
kepada seorang anak balita bisa dilakukan melalui
wasilah dan metode apa saja. Pada prinsipnya,
mengenalkan Allah pada anak adalah membuat
mereka percaya dan meyakini bahwa Allah adalah
sumber dari segala sesuatu. Allah adalah sumber
dari keberadaan ’apa saja’ yang mereka lihat, mereka
rasakan, mereka kenal dan apa saja yang bisa
mereka ketahui. Allah memiliki ’kehebatan’ dan
kekuatan yang tidak dimiliki oleh makhluk
manapun, dan sebaliknya Dia tidak memiliki sifat-
sifat lemah apapun sebagaimana yang bisa dijumpai
anak pada makhluk ciptaan Allah.

76
Proses menjelaskan Allah beserta sifat-
sifat-Nya kepada seorang anak yang masih berada
pada tahapan ’pra kritis’ ini selalu bergerak dari hal
yang konkret menuju abstrak, dari
pengenalan/pemberian informasi menuju
terbentuknya keyakinan, dari pemahaman yang
dimengerti menuju pengamalan sebagai implikasi.
Kami sendiri melakukan upaya tersebut
secara alami saja melalui peristiwa sehari-hari yang
ditemui atau dialami Ahmad. Pemberian informasi
bisa kita berikan melalui cerita, pemberitahuan,
nyanyian ataupun cara lainnya.
Ketika Ahmad sakit, sembari kami beri
Ahmad obat kami sampaikan, ”Dikasih Umi
Betadine ya, nanti disembuhkan Allah”. Ketika di
sekolah kami tinggal sendiri, sambil pamit kami
sampaikan ”Ahmad dijaga Allah ya”. Ketika dia
meminta kami membelikan sesuatu, kami jawab
dengan mengatakan ”Insya Allah kalau nanti ada
rezeki dari Allah, abi/umi belikan ya...” dan
seterusnya. Hingga membuat Ahmad terbiasa
mengetahui bahwa Sang Penyembuh adalah Allah,
Sang Penjaga adalah Allah, Sang Pemberi Rezeki
adalah Allah, dan seterusnya. Kelak dia pun terbiasa
menjadikan informasi tersebut dalam amal
kesehariannya. Ketika merasa demamnya mulai
turun setelah minum obat, dia mengatakan ”Umi
Ahmad sebentar lagi mau sembuh, disembuhkan
Allah”. Ketika mempersilahkan kami pergi
(sebentar) tanpa dia ikut, dia bilang ”Ahmad tunggu
di rumah saja, ga papa, Ahmad dijaga Allah”. Atau
ketika dia bercerita dengan temannya tentang
77
mainan yang ingin dia beli, dia mengatakan ”Besok-
besok kalau ada rezeki dari Allah aku mau beli yang
kayak gini...” Ini adalah contoh pembiasaan amal
yang bisa digunakan untuk memberikan informasi
sekaligus aplikasi amalnya.
Di lain kesempatan untuk menggambarkan
kehebatan Allah, saya bercerita tentang kisah
dikalahkannya pasukan Gajah oleh Allah pada surat
Al Fiil, bagaimana Allah bisa membelah lautan pada
kisah nabi Nuh AS, bagaimana api bisa dibuat Allah
menjadi dingin pada kisah nabi Ibrahim dan
sejenisnya. Biasanya Ahmad akan bertanya untuk
membandingkan kehebatan Allah tersebut dengan
tokoh-tokoh ’hebat’ lain yang ada di benaknya.
Inilah contoh proses pembuktian yang dilakukan
oleh anak kecil. Misalnya dia bertanya: ”kalau Allah
sama Ultraman menang siapa Mi?Kalau sama
Cosmos?”. ”Kalau Allah ditembak, bisa mati ga?”
Ketika menemukan jawaban tidak mati, tidak kalah
dan sejenisnya, maka Ahmad akan terus mengejar
dengan memberikan ’tantangan’ yang menurutnya
lebih hebat: ”Kalau dibom..? ....ditembak roket.?
...dibuldozer?” dan seterusnya hingga dia
teryakinkan (dengan proses pembuktiannya yang
’sangat konkret’ tersebut) bahwa Allah itu Hebat.
Untuk menunjukkan bahwa abi dan umi
(yang mungkin dianggapnya ’super’, sebagaimana
anak lain menganggap orang tuanyalah yang hebat)
adalah makhluk yang penuh keterbatasan, saya
mengikuti penjelasan akan kelemahan kami sebagai
makhluk dengan penjelasan akan kehebatan Allah.
Atau sebaliknya. Ketika menerangkan kehebatan
78
Allah, langsung saya ikuti dengan menunjukkan
kelemahan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya
ketika saya bertanya kepada Ahmad: ”Tadi di
sekolah bagaimana Nak? Pinter? Ngajinya keras?”
Biasanya anak seusianya akan menjawab dengan
bertanya dulu: ”Tadi Abi Umi dengar ya?”Kami pun
menjawab ”Tidak Nak, Abi sama Umi ga bisa
dengar, karena jauh. Kalau dekat, abi sama Umi
bisa dengar. Tapi Allah bisa dengar. Semua Allah
bisa dengar...”
Demikianlah, kita hanya tinggal
menginspirasi mereka berfikir tentang Allah,
berikutnya proses berfikir mereka itulah yang akan
mengalirkan proses pengenalan mereka kepada
Allah, sejalan dengan taraf berfikir yang mereka
miliki. Kita tinggal memastikan setiap kali mereka
membutuhkan informasi yang benar untuk
’berbagai’ pertanyaan yang muncul di benak mereka,
kita siap dan bisa memberikannya dengan bahasa
dan cara yang bisa memuaskan mereka (baca:
mereka pahami).

Mengenalkan Ayah dan Ibu


Kandung
Sebagai seseorang yang paham akan
bagaimana penjelasan Islam tentang kedudukan
seorang anak angkat, dan pentingnya kejelasan dan
penjagaan atas nasab, kami pun mendidik Ahmad
sebagaimana penjelasan Islam tersebut. Bahwa
status Ahmad sebagai anak angkat tidak boleh
dikaburkan atau disamarkan menjadi anak kandung,

79
siapa sebenarnya orang tua kandungnya, siapa
sebenarnya kami ’orang tua baru’nya dan apa
konsekuensinya, secara bertahap sejalan dengan
perkembangan pemahaman yang dimiliki Ahmad,
kami sampaikan dan jelaskan.
Yang pertama kami lakukan adalah
memanggilkan diri kami dengan panggilan yang
berbeda (abi-umi) dengan panggilan untuk ayah dan
ibunya Ahmad, berikut penjelasan siapa nama ayah
Ahmad, siapa nama ibu Ahmad, lalu siapa kami,
sehingga nantinya tidak ada kejumbuhan. Demikian
pula, kami memanggilkan semua saudara-saudara
kami (saya dan Ahmad adalah sepupu) dengan
panggilan sesuai hubungan kekerabatannya dengan
Ahmad. Sehingga hubungan kekerabatan yang
dipahami Ahmad adalah yang berdasarkan bahwa
Ahmad adalah sepupu kami, dan bukan anak kami.
Sementara mengapa dia memanggil kami dengan abi
dan umi, dan bukannya mbak atau mas sebagaimana
kakak-kakaknya, karena kami adalah orang tua
(baru) yang mengasuh dan membesarkan dia.
Selain mengenalkan siapa orang tua dan
saudara-saudara kandungnya, kami juga secara
bertahap jelaskan kepada Ahmad bahwa dia harus
berbuat baik dan berbakti kepada orang tuanya.
Penjelasan ini tentu dengan pilihan bahasa yang bisa
dipahami Ahmad. Kami berikan contoh dan
langsung kami biasakan Ahmad untuk
melakukannya. Diantaranya adalah biasa berdoa
untuk orang tuanya, menurut dengan nasehat ibunya,
memenuhi panggilan ibunya, membantu ibunya, dan
semacamnya yang bisa dilakukan oleh anak seusia
80
Ahmad. Demikian juga sering saya sampaikan
bahwa besok kalau Ahmad sudah besar, harus bisa
menjaga ibunya dan hal-hal lain yang kelak kami
harapkan dia lakukan untuk orang tuanya.
Tentu untuk bisa tidak asing dengan ayah
dan ibu kandungnya, Ahmad harus juga biasa
bertemu mereka, dan tidak boleh kami isolir dari
keluarga kandungnya. Oleh karenanya secara
berkala kami mengajaknya ke rumah ibunya dan
keluarga dari ayahnya. Kadang bahkan Ahmad
menginap tanpa kami. Pada waktu hari raya, selain
Ahmad kami pertemukan dengan keluarga besar dari
pihak ibunya (keluarga besar kami), juga dibawa
oleh ibunya bertemu dengan keluarga besar ayahnya.
Hal itu dilakukan tidak sekedar agar Ahmad
mengenal orang tua dan saudara-saudaranya, akan
tetapi lebih dari itu untuk menunjukkan
perkembangan Ahmad kepada ibu dan juga saudara-
saudaranya agar Ahmad senantiasa juga didoakan
oleh mereka.
Hingga sekarang, ketika saya mendaftarkan
Ahmad sekolah, nama wali murid tetaplah orang tua
kandungnya. Ibunya selalu kami beritahu
perkembangan Ahmad baik di sekolah maupun di
rumah.
Alhamdulillah, dalam perjalanannya,
pemahaman Ahmad tentang siapa orang tua
kandungnya berikut konsekuensinya sepertinya
semakin dia pahami. Terkadang kami dibuat
terperangah mendengar pertanyaan-pertanyaan
ataupun pernyataannya yang menunjukkan
sepertinya hal tersebut sudah dia pahami betul.
81
Pernah suatu saat di atas motor dalam
perjalan kami pulang ke rumah dia berkata ”
Umi...dulu kan ayah Ahmad ayah Kautsar, trus
sudah meninggal, trus sekarang ayah Ahmad jadi
Abi. Alhamdulillah ya Mi, jadi Ahmad punya ayah
dua”, sambil memeluk abinya dari belakang. Di lain
kesempatan –mungkin setelah proses berfikir yang
dia lakukan- Ahmad bertanya pada saya dimanakah
abinya ketika ayahnya masih ayah Kautsar. Di lain
kesempatan, ketika saya mengeluh kecapekan, dan
badan sakit semua, Ahmad langsung memijit tangan
saya bergantian kiri dan kanan dengan sangat enak
dan cukup lama. Ketika tangan sudah selesai, tidak
saya kira dia meminta kaki saya juga untuk dia pijit.
Pada saat itulah kemudian saya mencoba bertanya
pada Ahmad ”Ahmad, besok kalau Ahmad sudah
besar, Ahmad njagain umi atau ibu Yun?” Agak
lama Ahmad tidak menjawab, hingga akhirnya dia
bilang begini ”Atau Ahmad diiris jadi dua saja ya
Mi?”, sambil tangannya memperagakan membelah
dirinya jadi dua. Saya segera menyahut ”Ga usah
Nak. Besok kalau Ahmad sudah besar, Ahmad
njagain Ibu Yun aja ya!” Yang kemudian dengan
riang dia jawab ”Iya. Umi dijagain abi saja
ya!”....Dalam hati, selain terharu, saya juga
bertanya-tanya apa yang dipahami Ahmad tentang
menjaga ibunya. Di atas semua itu, tentu saja rasa
syukur saya kepada Allah karena Ahmad bisa
memiliki niat mulia seperti itu. Semoga Allah SWT
mendidiknya menjadi jalan kemuliaan bagi orang
tuanya, kami yang mengasuhnya, dan juga umat ini
secara keseluruhan. Amiin Ya Rabbal ’Alamiin.
82
Pembiasaan Sebagai Metode
Pendidikan Awal
Seorang bayi adalah ibarat kaset kosong
yang siap digunakan untuk merekam apa saja. Dia
bisa digunakan untuk merekam dan menyimpan
cacian, umpatan, makian, kemarahan ataupun hal
buruk lainnya. Pun demikian bisa kita gunakan
untuk merekam kata-kata indah penuh kelembutan,
perkataan-perkataan bijak penuh hikmah, senandung
kesyukuran, lantunan kalam suci ilahiy dan hal-hal
bermanfaat dan terpuji lainnya. Semua itu
tergantung pada kita sebagai pihak yang bertugas
memberikan hal-hal yang hendak dia rekam. Kitalah
sekolah pertama bagi mereka.
Seorang anak sendiri dalam proses tumbuh
dan kembangnya akan melalui beberapa tahapan
pendidikan. Hingga usia 5 tahun, paling tidak
seorang anak akan melewati tahapan pendidikan
pembiasaan, pengenalan hukum, pengenalan disiplin
dan membangun pemahaman dasar dengan
pendekatan yang bergerak dari yang bersifat konkret
ke abstrak, dari aqidah ke pengenalan
hukum/syariat, dari hal-hal pokok ke detil/cabang.
Diantara pembiasaan yang kita bisa lakukan
sejak dini adalah terbiasa berdoa setiap melakukan
apa pun, terbiasa sholat, terbiasa mendengar bacaan
al qur’an, terbiasa makan dengan tangan kanan,
terbiasa senyum ramah pada orang, terbiasa gosok
gigi sebelum tidur, dan kebiasaan-kebiasaan lain
yang menjadi aktivitas keseharian kita. Untuk bisa

83
melakukannya memang mengharuskan kita sebagai
ibu harus bisa menjadi teladan pertama dan utama
bagi anak. Tidak jarang malah sebelum jadi guru
bagi anak kita, kita harus menjadi guru bagi tim
yang akan mendidik anak kita, termasuk di
dalamnya ayah dan mungkin pembantu kita.
Demikian pula ketika saya memulai
pembiasaan sesuatu kepada Ahmad, misal kebiasaan
memulai apapun dengan doa, maka saya sampaikan
kepada abi Ahmad bahwa sekarang target yang harus
kami lakukan adalah begini....untuk itu setiap kali
Ahmad sedang bersama abi maka abilah yang harus
bisa menjadi guru bagi Ahmad. Sehingga tentu saja
abi juga harus tahu dan mengamalkan apa saja doa
aktivitas keseharian. Tidak jarang saya mendapati
ternyata tidak semua doa aktivitas keseharian
dihapal dan terbiasa dilakukan oleh suami saya,
sehingga saya harus terlebih dahulu mengajari beliau
sambil membantu mengingatkan agar istiqomah
dilaksanakan. Khan kita mau menjadikan Ahmad
seperti itu. Akhirnya, jadilah proses pembiasaan bagi
Ahmad untuk berdoa ketika keluar rumah, naik
kendaraan, masuk dan keluar kamar mandi, pakai
baju, makan, tidur dan bangunnya, mendengar petir
atau kilat dan lainnya sekaligus menjadi proses
pembiasaan pula bagi abinya, dan tentu saja bagi
saya sendiri.
Yang perlu diingat oleh kita selaku orang
tua pada waktu melakukan proses pembiasaan ini
adalah keistiqomahan atau keberlangsungan.
Jangan kadang dilakukan, tapi kadang tidak. Hal itu
akan mempersulit kita meraih keberhasilan. Kalau
84
kita istiqomah, rasa sulit atau berat hanya akan kita
rasakan di awal-awal kita memulai kebiasaan baru
tersebut saja, berikutnya akan mengalir dengan jauh
lebih mudah. Terkadang, diantara alasan mengapa
kita para orang tua kurang bisa istiqomah melakukan
pembiasaan tersebut adalah rasa malas, merasa tidak
ada manfaatnya karena saat itu anak kita belum bisa
bicara, merasa masih cukup memiliki waktu untuk
melakukannya di lain waktu, menunggu anak kita
lebih besar dan pintar dulu dan beberapa alasan lain
yang mungkin lebih karena ketidaktahuan kita akan
potensi daya rekam sang anak pada usia dini
tersebut. Maka lihatlah, ketika kita istiqomah
membaca doa memakai baju setiap memakaikan
anak kita baju, membaca doa sebelum tidur ketika
menemaninya tidur dan lain sebagainya, kita akan
takjub ketika suatu saat anak kita bisa bicara,
meluncurlah dari mulut mungilnya segala bacaan,
doa atau perkataan yang dulu pernah dia dengar.
Begitu bisa bicara, mungkin anak kita langsung bisa
menghafal surat al Ikhlas yang sering kita
perdengarkan untuknya.

Memanfaatkan Photographic
Memory
Sebagaimana yang sudah saya tuliskan di
awal, bahwa usia balita adalah masa dimana seorang
anak mempunyai kualitas memori seperti foto.
Selain itu anak-anak balita tersebut sering juga
disebut sebagai ’the Great plagiator” alias peniru
ulung. Apa yang dia lihat, itulah yang akan dia ingat.

85
Apa yang dia dengar, itupun yang akan dia tirukan.
Karenanya salah satu prinsip pendidikan pada usia
ini adalah bagaimana memastikan mereka
mendapatkan stimuli/rangsangan/informasi
sebanyak-banyaknya, dan dipastikan semua
stimuli/rangsangan/informasi yang dia indera,
apapun itu, adalah hal yang baik dan benar.
Di sinilah orang tua sangat memegang
peran sebagai guru pertama yang akan jadi teladan
bagi anak. Dan rumahnya adalah lingkungan sekolah
pertama bagi anak.
Terkait dengan memberikan beragam
informasi, dalam masa-masa awal ketika anak kita
belum bisa bicara, bukan berarti mereka belum bisa
menyimpan informasi yang kita berikan. Sehingga
orang tua memang harus ’banyak omong’ dan
’banyak cerita’ ketika sedang mengasuh anak-
anaknya. Hal ini perlu dilakukan agar masa dengan
daya rekam yang luar biasa ini tidak hanya
terlewatkan dengan minim rangsangan dan
informasi.
Saya sendiri sejak Ahmad bayi berusaha
mengajaknya ngomong dengan menyebutkan apa
dan siapa yang sedang dilihatnya atau ditemuinya.
Adakalanya saya menyebutkan jenis-jenis kendaraan
yang kami temui di jalan (bus, truk, sedan, motor,
mobil molen, mobil box, dll), ada kalanya saya
sebutkan jenis-jenis bangunan yang ada di pinggir
jalan (kantor, warung, toko, POM bensin, dll.), ada
kalanya warna benda, ukurannya, dan apa saja yang
bisa saya sampaikan. Kelak ketika dia berumur satu
tahunan, ketika sudah mulai bicara sedikit, ketika
86
saya diam justru dia yang akan selalu bertanya terus
”ini apa? itu apa?” terus menerus sebagaimana
sebelumnya saya terus menerus juga memberitahu
dia ketika belum bisa bicara.
Pada saat anak kita sudah memiliki
simpanan informasi lumayan banyak, kita bisa
mengasah kepekaan penginderaannya dengan
memanggil memori tersebut dalam permainan-
permainan yang bisa kita lakukan bersamanya.
Misalnya, saya meminta Ahmad menyebutkan
sepuluh hal yang dia temui sepanjang perjalanan
kami dengan cepat. Saya membuat suara tertentu
yang berbeda ketika dia bisa menyebutkan dengan
cepat (misal ”cliing...”), atau terlalu lama melebihi
waktu yang saya tentukan (misal ”teett..”), atau
yang disebutkannya ternyata pengulangan (misal
”ding dong..”), dan lain sebagainya. Kita bisa
teruskan dengan sepuluh berikutnya, dan seterusnya.
Jadi seperti permainan kuis. Kita akan bisa melihat
sejauh mana kepekaan penginderaan anak kita, dan
kecepatannya. Pada awal saya melakukannya
dengan setelah beberapa kali saya melakukannya,
terdapat perbedaan yang saya dapati pada hasil
penginderaan Ahmad. Misal pada awal-awal saya
melakukannya dia hanya menyebutkan : ”mobil,
sepeda , orang, motor, rumah, sungai, pohon .....”,
di kesempatan berikutnya lebih tajam dan lebih
cepat, misal ” truk molen, truk tanki, bus, pickup,
pagar biru, orang lagi makan, sampah di sungai,
anak kecil menangis, kakek lagi duduk,...” dan
seterusnya
Di kesempatan lain, mungkin kita
87
mengulang dan me-recall informasi yang sudah
tersimpan dalam benak anak kita dengan
memintanya bercerita tentang kejadian apa saja yang
mereka temui hari ini, atau ingin mereka ceritakan.
Dengan metode ini sering kita akan mendapati
cerita-cerita ’hebat’, lucu dan bahkan tidak masuk
akal, meluncur dari mulut mereka dalam rangkaian
kalimat-kalimat yang mungkin masih sangat
sederhana.
Metode apapun bisa kita lakukan untuk
memanfaatkan photographic memory ini. Pada
prinsipnya, jangan pernah biarkan kemampuan
’kamera’ mereka hanya kita biarkan ’tergeletak’ dan
’terpakai’ ala kadarnya karena kita tidak membantu
mereka mengoptimalkan potensi tersebut, dengan
memberikan arahan bagaimana menggunakannya
dengan sebaik-baiknya.

Belajar Mengendalikan Diri


Mengendalikan diri tidaklah berarti tidak
boleh marah. Hanya saja marah pun bukan berarti
harus berteriak-teriak, membentak-bentak,
mengeluarkan kata-kata tidak pantas atau bahkan
melayangkan cubitan, pukulan atau hal lain yang
menyakitkan. Marah di sini adalah ketegasan untuk
menunjukkan bahwa sesuatu ’yang salah’ tidak
boleh disetujui dan dibiarkan, akan tetapi harus
ditolak dan diluruskan. Tentu dengan cara yang
membuat kita bisa menyampaikan pesan tersebut
kapada anak, dengan kontrol emosi dan fisik yang
harus bagus.
Ketika Ahmad marah, hal pertama yang
88
harus kami lakukan adalah tidak terpancing
memarahinya. Kontrol diri betul-betul harus terlihat
oleh Ahmad. Mulai dari roman muka, mimik,
bahasa, intonasi, hingga bahasa tubuh kami yang
lain harus terbaca oleh Ahmad bahwa kami tidak
terpancing ikut marah dan sangat terkendali. Ini
tentu bukan perkara yang begitu saja mudah untuk
dilakukan. Kami pun harus belajar melakukannya
dengan kerja keras dalam kondisi apapun (meski
adakalanya juga kami ’terpancing’ pada keadaan dan
situasi tertentu).
Setelah memastikan kami dalam keadaan
pengendalian diri yang benar-benar bagus, biasanya
kami menjawab kemarahan Ahmad tersebut dengan
kalimat-kalimat berintonasi rendah yang berusaha
mengarahkan Ahmad untuk menceritakan
kemarahannya dalam bentuk verbal. Kami tanya dia
apa yang membuatnya marah dan memberikan
penjelasan atau tafsir terbaik dari apa yang ia alami
dengan penuh ketelatenan dan yang penting ’tidak
menampakkan’ sedikitpun emosi kemarahan. Ketika
upaya mengajaknya bicara belum memungkinkan
untuk dilakukan karena masih didominasi nafsu
amarah, biasanya mendoakannya secara langsung
dengan dikeraskan di hadapannya saat itu juga
adalah hal yang kami lakukan. Bisa jadi panjang dan
macam-macam doa yang kami baca, sambil
meredam kemarahan Ahmad. Maka emosi meluap-
luap yang tadi ditunjukkan dengan memukul atau
membanting sesuatu, atau warna muka memerah
dengan pandangan mata yang menantang, juga nafas
yang memburu akan berangsur-angsur menghilang
89
tertransfer dalam bentuk kemarahan secara verbal.
Dari kemarahan secara verbal yang masih disertai
tingginya intonasi bicaranya, perlahan-lahan berubah
hanya dalam bentuk content/isi pembicaraannya saja
yang menunjukkan dia marah, namun intonasi sudah
mulai merendah dan terkontrol. Hingga akhirnya
Ahmad bisa untuk kami belai, pangku, berikan
pelukan dan ciuman sambil mengajaknya tarik nafas
panjang sembari membaca istighfar untuk
menyudahi dan menyesali kesalahannya tadi.
Dari proses marah hingga bisa
mengendalikan diri yang membutuhkan waktu
panjang -di awal-awal kami melatih pengendalian
dirinya-, kini Alhamdulillah Ahmad sudah jauh lebih
bagus dan lebih cepat dalam mengendalikan
kemarahannya. Kini ketika dia marah, dia tunjukkan
kemarahannya itu dengan mengatakannya secara
verbal (”aku marah....”), meski kadang masih
terlihat roman muka marah di wajahnya. Insya
Allah, dengan bertambahnya mafhum dan
ketundukanya pada apa yang dipahaminya,
kemampuan pengendalian diri Ahmad semakin hari
semakin baik. Hingga pada saatnya nanti, dia bisa
dengan tepat meletakkan kapan dia boleh dan harus
marah, serta bagaimana mengekspresikan
amarahnya tersebut dengan benar. Semoga kami
dimudahkan Allah membantu Ahmad
melakukannya. Amiin.

Berdoa…Berdoa…Dan Berdo’a
Sebagaimana kita fahami, doa adalah
senjata bagi orang beriman, bahkan disebutkan juga
90
bahwa doa adalah inti dari ibadah. Maka kami
sebagai orang tua juga meyakini bahwa dengan doa
itulah manusia memiliki sandaran yang kuat. Sejak
kecil kami mengenalkan doa-doa sekaligus
pentingnya kedekatan dengan Sang Maha Kuasa
yakni Alloh SWT kepada Ahmad.
Pengenalan pentingnya doa tersebut tidak
hanya kami lakukan dengan mengajarinya
menghafal dan mengamalkan doa-doa tertentu. Akan
tetapi lebih dari itu kami membiasakan Ahmad
melihat bahwa berdoa bisa dilakukan dimana saja
dan untuk maksud apa saja. Berikutnya juga
membiasakan dia berdoa di mana saja dan terkait
hal/maksud apa saja.
Salah satu bentuk doa yang sering kami
perlihatkan kepada Ahmad adalah berdoa untuk
dirinya agar menjadi anak baik, shalih, sabar,
tangannya dipakai untuk yang baik-baik, mulutnya
dipakai ngomong yang baik-baik, dan doa kebaikan
apapun itu untuknya sesuai dengan konteks yang
sedang terjadi. Itu adalah salah satu cara andalan
kami untuk ’mengendalikan’ Ahmad, karena dengan
metode ’berdoa langsung di hadapannya’ tersebutlah
Ahmad langsung luluh dan nurut. Adakalanya saya
sendiri yang berdoa. Adakalanya abinya sendiri,
ketika beliau yang sedang bersamanya. Tapi
adakalanya juga abi yang berdoa, sementara saya
meng-aminkan doa yang dibaca oleh abi Ahmad,
atau sebaliknya, ketika kami berdua bersama
Ahmad.
Sehingga dalam kehidupan Ahmad,
meskipun terlihat seperti tidak bisa diam, akan tetapi
91
perasaannya sangat halus dan mudah
disentuh/tersentuh. Ketika di televisi ada berita
tentang musibah, kami ajari dia berdo’a untuk
mereka yang tertimpa musibah tersebut. Ketika
melihat anak busung lapar atau mereka yang sakit,
kami biasakan dia berdoa untuk mereka, dan
seterusnya.
Begitulah, hingga Ahmad akhirnya
memang terbiasa berdoa di mana saja, untuk maksud
apa saja dan untuk siapa saja. Termasuk terbiasa
mendoakan kebaikan untuk orang lain yang
mungkin tidak dikenalnya. Sering dia kami dapati
berdoa di atas motor ketika kami sedang di
perjalanan. Ketika saya tanya “berdoa apa nak?”
Jawabannya bisa macam-macam, karena ada banyak
hal yang ditemui di perjalanan. Adakalanya dia
mendoakan anak kecil yang lagi jualan koran, pak
polisi, pengemis, seseorang yang sakit, cacat atau
orang lain. Seringkali pula dia berdoa untuk kami,
misalnya ketika di perjalanan siang yang sangat
terik, ketika kami termasuk Ahmad merasa
kepanasan, dia nyeletuk ”Abi-Abi, besok-besok kalo
ada rezeki kita beli mobil ya”. Dijawab oleh abinya
“Ahmad doakan agar Allah memberikan rezeki
untuk beli mobil”. Maka saat itu juga dia berdoa
dengan bahasanya sendiri ....dan apapun bisa
menjadi doanya.

Pendekatan ‘Positif’, Jangan


‘Negatif’ (Pelajaran Dari Doa
Untuk Abi Yang ‘Nakal’)
Pakailah pendekatan positif ketika memberi
92
pelajaran dan bukan pendekatan negatif. Katakan
‘tidak baik’ dan jangan katakan ‘nakal’. Katakan
‘tidak sabar’ dan jangan katakan ‘pemarah’. Pakailah
pendekatan ‘hadiah’ daripada ‘pendekatan
sanksi/hukuman’.
Hal ini sebenarnya juga sudah kami
pahami. Tetapi satu peristiwa yang pernah terjadi
membuat kami lebih berhati-hati lagi untuk
memastikan pelajaran apapun kepada anak kita
harus tersampaikan dengan ‘pendekatan positif’ dan
bukan ‘pendekatan negatif’ terutama ketika
mengajari anak usia dini.
Saya sangat ingat betul, waktu itu saya dan
Ahmad lagi menonton televisi. Acara yang kami
tonton saat itu adalah sinetron “Rahasia Ilahi”.
Biasanya sinetron ini bercerita tentang seseorang
yang gemar melakukan maksiat/kejahatan, lalu
mendapatkan balasan dari Allah atas
kemaksiatan/kejahatannya. Pada saat channel baru
saya pindah, ada adegan seorang bapak yang sedang
memukuli dan membentak istrinya. Seperti biasa,
Ahmad langsung tersentuh perasaannya hingga mau
menangis dan meminta channel segera diganti. Saya
pun segera mengganti channel sambil
mendudukkannya di pangkuan, sembari menjelaskan
bahwa yang seperti itu tidak bagus, tidak boleh
dilakukan. Maka mengalirlah pertanyaan darinya tak
putus-putusnya. “Kenapa Mi?” tanyanya. “Karena
itu bisa menyakiti ibunya, itu namanya gak bagus,
orang jahat”, jawab saya. “Orang jahat nanti sama
Allah diapakan Mi?”, tanyanya lagi. “Sama Allah
nanti akan dihukum di akhirat”, jawab saya.
93
“Dihukum sama Allah apa Mi?”, tanyanya belum
puas. “Dimasukkan ke dalam neraka Nak”, jawab
saya.. “Diapakan di neraka Mi?” kejarnya terus.
Saya pun jawab “dibakar sama api yang sangat
panas”. “Iya, dibakar ya Mi sama Allah”.... Ahmad
mengangguk-angguk sambil pandangannya
mengisyaratkan dia sedang memikirkan sesuatu.
Beberapa hari berlalu. Suatu waktu, Ahmad
dinasehati abinya karena suatu hal tidak tepat yang
dilakukannya. Seperti biasa, bakat
temperamentalnya muncul dan membuatnya
‘menantang’ terus abinya, hingga kemudian abinya
menghentikan ‘pertengkarannya’ dengan Ahmad dan
memintanya masuk kamar dan berdoa agar jadi anak
baik. Ahmad pun masuk kamar sambil menangis.
Seperti biasanya pula, pada saat menangis itulah dia
berdoa pelan, namun cukup terdengar oleh saya
yang waktu itu kebetulan di dekatnya: “Ya
Allah...itu... abi nakal, hukum Ya Allah, dibakar...”.
Sontak saya kaget, lalu memberikan penjelasan
padanya kalau abinya tidak nakal. Abinya itu karena
saking sayangnya sama Ahmad melarang Ahmad
melakukan hal-hal yang membahayakan....dan
seterusnya.
Sejak itu, kami membuat re-komitmen
baru. Bahwa tidak boleh ada pendekatan ‘hukuman’
dulu dalam menerangkan apapun meskipun
konteksnya untuk orang jahat. Jadi kalau ada
fenomena ‘orang jahat’ yang ditemui Ahmad, kami
sampaikan dan ajarkan agar kita mendoakan mereka
agar segera taubat jadi orang baik dan besok bisa
masuk surga Allah...
94
Jadi sekali lagi, gunakan pendekatan
‘positif’ dan membangun! Dan bukan sebaliknya!

’Besar ’ Dan Belajar Di Jalan


Yang saya maksudkan besar di jalan ini
bukan berarti Ahmad menjadi anak jalanan. Akan
tetapi karena jarak antara rumah kami dengan
beberapa tempat kami biasa beraktivitas lumayan
jauh, kendaraan (Alhamdulillah) baru ada satu,
sementara kami hanya bertiga (tanpa pembantu), dan
belum ada kendaraan umum yang bisa kami naiki
hingga sampai rumah, seringkali kami bertiga harus
berangkat dan pulang dalam ’satu paket’ (baca:
bersama-sama). Dengan agenda di tengah-tengahnya
bisa macam-macam dan di beberapa tempat.
Karenanya, berperjalanan adalah hal yang biasa
dilakoni Ahmad karena seringkali dia ikut kemana
saja kami beraktivitas. Adakalanya dia ikut saya,
adakalanya dia bersama abinya, adakalanya dia
milih sendiri minta ditinggal di mana (rumah ibunya
atau ibu saya), untuk nanti kami jemput kembali.
Kesempatan banyak berperjalanan ini pula yang
kemudian juga kami optimalkan untuk banyak
memberikan pelajaran kepada Ahmad, selain ketika
ada di rumah tentunya.
Termasuk hal yang bisa dan biasa kami
lakukan sembari ada dalam perjalanan adalah belajar
bersama Ahmad. Belajar apa pun, sesuai dengan
perkembangan yang sedang dijalaninya. Dan kami
melakukannya dengan kemasan seperti melakukan
permainan. Mulai dari belajar mengenal huruf dan
angka, berhitung, mengeja, belajar memberi
95
taushiyah (ceramah agama), hingga menghafal Al
Qur’an bisa kami lakukan sambil ada di tengah
perjalanan. Sehingga perjalanan yang sering kami
lakukan tidak hanya terasa menyenangkan dan
singkat, tetapi bisa memudahkan kami ’memaksa’
Ahmad belajar dengan cara yang tidak dia sadari
bahwa dia sedang belajar bersama kami.

Hypnosis Yang Tidak Disadari


Seringkali dalam perjalanan pulang ke
rumah maupun perjalanan ke suatu tempat yang
agak jauh, Ahmad mengantuk hingga tertidur di atas
kendaraan. Pada kesempatan menjelang tidur itulah
saya seringkali kemudian membisikkan beberapa
kalimat nasehat yang saya harapkan mengendap di
benak Ahmad lebih kuat. Karena menurut yang
pernah saya baca, memori yang akan bertahan lebih
kuat adalah yang dimasukkan ketika menjelang
tidur. Meski pada waktu itu saya belum mengetahui
penjelasan lebih lanjutnya.
Karena waktu itu Ahmad cukup sering
membuat nangis teman-temannya di sekolah
maupun di rumah, nasehat yang saya bisikkan pun
rata-rata seputar hal tersebut. Harapan saya besok
ketika pulang sekolah saya tanya, hari itu dia pinter-
pinter saja, dan tidak menangiskan temannya. Saya
bisikkan: ”Ahmad, jadi anak yang pinter ya. Baik
sama teman. Mainan sama teman. Tidak bertengkar.
Tidak nakal sama teman.” Dan kalimat lain
semacamnya yang kemudian saya ulang-ulang.
Namun apa yang terjadi? Besoknya ketika kami
tanya ternyata Ahmad masih membuat temannya
96
menangis. Saya ulang lagi memberi bisikan-bisikan
menjelang dia tidur agar tidak nakal, tidak
bertengkar sama temannya, dan sebagainya. Namun
ternyata, besoknya Ahmad masih saja membuat
temannya menangis. Hingga suatu saat saya
membaca buku tentang hipnoparenting.
Dari buku itu, saya mengetahui, ternyata
tanpa saya sadari sebenarnya saya sudah melakukan
hipnosis ke alam bawah sadar Ahmad, namun
dengan cara yang keliru. Ketika saya sudah
mengetahui bagaimana yang seharusnya, hipnosis
yang saya lakukan itupun saya koreksi. Bagaimana
melakukan hipnoparenting yang tepat? Silakan baca
penjelasan di bawah ini.

Melakukan Hynoparenting
Dengan Tepat
Hypnoparenting adalah suatu ilmu yang
menggabungkan pengetahuan tentang mendidik dan
membesarkan anak dengan pengetahuan hipnosis.
Kata ’Hipnosis’ mengacu pada proses penurunan
kondisi kesadaran. Kondisi ini kita alami tiap hari
minimal dua kali. Pada waktu kita akan tidur kita
melewati kondisi ini, dan pada waktu kita akan
bangun dari tidur kita juga melewati kondisi ini. Jadi
singkatnya, ’kondisi terhipnosis’ adalah kondisi
antara mata terbuka dan tidur nyenyak. Hipnosis
adalah fenomena alamiah yang dialami setiap
manusia.
Penjelasan yang lebih ilmiah bisa kita
dapatkan dengan mengerti tentang gelombang otak

97
yang bisa diukur dengan alat EEG
(Electroencephalogarphy). Otak manusia
memancarkan frekuensi (yang membentuk
gelombang ) tertentu untuk setiap kondisi. Ada
empat gelombang yang sering dibicarakan. Yang
paling rendah adalah gelombang delta (0,1-4 Hz).
Gelombang ini kita alami saat kita tidur nyenyak
tanpa mimpi. Gelombang berikutnya dalah
gelombang theta (4-8 Hz). Yang mana pada
gelombang theta inilah ide-ide kreatif dan inspiratif
muncul. Informasi yang diterima saat otak dalam
kondisi seperti ini akan langsung menjangkau bawah
sadar dan tersimpan dalam memori jangka panjang.
Karena itu kondisi ini disebut kondisi yang sangat
sugestif. Frekuensi theta juga muncul saat kita dalam
kondisi meditasi atau tidur dengan mimpi. Jika
kesadaran kita lebih naik lagi, muncullah
gelombang alfa (8-12 Hz). Pada kondisi ini, pikiran
hanya terpusat pada satu perhatian. Kondisi ini dapat
terjadi ketika kita berdoa dengan sangat khusyuk.
Dan ketika gelombang otak mencapai frekuensi
lebih dari 12 Hz, maka kita berada pada kondisi
gelombang beta. Pada kondisi beta, kita dapat
mencurahkan pikiran ke banyak hal. Inilah kondisi
kesadaran mata terbuka (sadar penuh). Sebagai
contoh, pada kondisi ini kita bisa membaca buku
sambil makan kacang dan mendengarkan musik
sekaligus.
Kondisi hipnosis dicapai ketika gelombang
otak berada di kisaran gelombang alpha dan theta.
Saat berada dalam wilayah alpha dan thetha tubuh
kita bisa melakukan proses regenerasi sel dengan
98
jauh lebih baik dan lebih sempurna daripada saat
kita terjaga. Dengan hal ini, tubuh akan jauh lebih
sehat. Kemampuan berpikir logis pun akan
meningkat tajam dan kita lebih mudah mengontrol
diri dalam memutuskan sesuatu karena akurasi
dalam berpikir ikut meningkat. Karena itu jika kita
bisa membantu seorang anak memasuki wilayah
gelombang otak alpha dan thetha, kemudian kita
ajari suatu pengetahuan dalam kondisi ini, apa yang
diterimanya akan langsung dicerna dengan mudah.
Kita tidak perlu mengajarinya berulang-ulang karena
bisa dikatakan semua proses belajarnya dalam
keadaan sadar dipercepat tanpa menghilangkan
esensi dari ilmu pengetahuan tersebut.
Mengapa hal itu bisa terjadi?Jika dalam
kondisi sadar kita mengajar seorang anak, maka
kelima inderanya sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya. Bisa jadi matanya melihat kita
mengajar, tetapi telinganya mendengarkan teman-
temannya yang berteriak dengan gembira di luar
sana, sehingga imajinasinya membayangkan
bagaimana asyiknya bermain bersama mereka. Jika
ini terjadi, informasi yang kita sampaikan tidak
mendapat perhatiannya sehingga dia tidak mengerti,
apalagi mengingat apa yang sudah kita sampaikan.
Lain halnya jika pelajaran/informasi
disampaikan saat anak/subyek dalamwilayah
gelombang otak alpha dan thetha. Pada kondisi ini,
semua perhatiannya hanya tertuju pada satu titik,
yaitu si pemberi informasi. Semua panca inderanya
bekerjasama menangkap informasi baru yang masuk
dan dicerna langsung setelah diproses dengan cepat
99
untuk kemudian disimpan dalam memori jangka
panjang. Pada saat gelombang otak dalam keadaan
alpha dan thetha adalah saaat dimana kita sangat
terbuka terhadap informasi baru dan perubahan.
Otak berfungsi sebagai spons yang menyerap
apapun di sekitarnya.
Bagaimana dengan gelombang otak anak?
Ternyata ketika seorang anak berusia 5 tahun diukur
gelombang otaknya dengan Brain Wave I
(perpaduan EEG dan rangsang optik-akustik)
ternyata didapatkan hasil rekaman otaknya terlihat
dominan beroperasi di gelombang otak thetha dan
alpha. Beberapa pakar teknologi pikiran menyebut
fase itu sebagai fase ‘pikiran pra-kritis’. Informasi
diserap dan diintegrasikan tanpa pertanyaan. Apapun
yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh seorang
anak akan langsung masuk dan mengendap di
pikiran bawah sadar. Ketika ada kata-kata, peristiwa,
tindakan yang ’kurang’ baik akan sangat mudah
masuk dan mengendap di pikiran bawah sadar anak.
Jika banyak disalahkan, secara bawah sadar ia juga
belajar untuk mengkritik dan mengutuk segala
sesuatu. Jika banyak dicemooh dan diejek, ia akan
belajar menjadi seorang yang pemalu dan selalu
merasa bersalah. Jika banyak mengalami ketakutan,
ia akan belajar untuk menjadi pencemas dan selalu
khatir terhadap kehidupannya. Sebaliknya, jika
banyak dipuji, ia akan belajar untuk menghargai dan
menghormati. Jika diterima apa adanya, ia juga
belajar mengerti dan mengasihi orang lain. Jika
selalu didukung untuk melakukan sesuatu, ia belajar
untuk menyukai dirinya sendiri yang akhirnya
100
mengembangkan rasa percaya diri dan harga dirinya.
Sebuah keadaan yang kadangkala kita kurang
perhatikan, tapi sangat berpengaruh dalam
kesehariannya.
Maka, di saat menjelang tidur (ketika otak
dalam gelombang alpha-thetha) seperti inilah saat
yang tepat kita mendampingi tidur anak kita sembari
menceritakan kisah-kisah teladan para sahabat
Rasulullah, maupun kisah-kisah inspiratif bermakna
lainnya sambil menunggu ia mengantuk dan
menjelang tertidur. Maka di saat itulah, yakni ketika
anak baru menuju tidur, tetapi juga tidak dalam
kondisi sadar, kita masukkan kata-kata hipnosis
sesuai dengan yang kita inginkan.
Sebagai catatan, jika mau menghipnosis
anak, yang pertama adalah tidak boleh
menggunakan kata-kata negatif. Misalnya:
Ahmad mulai besok jadi anak yang tidak nakal ya.
Jangan nangisan. Jangan suka bertengkar, dan lain
sebagainya. Tapi kata-kata yang di masukkan ke
telinga anak kita haruslah kata-kata positif.
Misalnya: Ahmad anak yang sholeh, nurut sama abi
dan umi, sayang sama teman, dan sejenisnya.
Kemudian kata-kata yang dibisikkan tidak boleh
terlalu panjang, sehingga sulit untuk dimengerti
oleh anak.
Sebagai bukti, coba Anda dengarkan
kalimat saya di bawah ini, hafalkan dan ulangilah
sambil memejamkan mata:
”Tolong jangan Anda bayangkan di benak
Anda seekor monyet hitam, besar, jelek,
menakutkan dan bau ada di depan Anda. Saya
101
ulangi, jangan pernah Anda bayangkan di benak
Anda seekor monyet hitam, besar, jelek,
menakutkan dan bau ada di depan Anda.
SEKALI-KALI JANGAN PERNAH ANDA
BAYANGKAN DI BENAK ANDA, SEEKOR
MONYET HITAM, BESAR, JELEK,
MENAKUTKAN DAN BAU ADA DI DEPAN
ANDA.”
Bagaimana? Semakin saya (atau Anda)
ulang kalimat tersebut, apakah semakin tidak Anda
bayangkan gambaran monyet hitam, besar, jelek,
menakutkan dan bau tersebut? Atau justru
sebaliknya, Anda semakin membayangkan bahkan
memvisualisaikannya dalam benak Anda? Pasti
jawaban yang kedualah yang terjadi. Sekalipun di
dalam kalimat saya tersebut juga saya ulang-ulang
kalimat ”jangan Anda bayangkan, jangan pernah
Anda bayangkan, sekali-kali jangan pernah Anda
bayangkan!”
Itulah mengapa melakukan hipnosis tidak
boleh menggunakan kata-kata ’negatif’.
Demikian pula, dalam keseharian kita
bersama anak kita, jangan pernah menggunakan
kata-kata ’negatif’ karena bisa jadi kita telah
melakukan hipnosis tanpa pernah kita sadari.
Ingat! Anak-anak dalam keseharian mereka,
sangatlah sering/biasa berada dalam kondisi
gelombang otak alfa-thetha secara alami.

Mengajar Anak Kinestetis


Memang tidak mudah mengajar anak yang
memiliki potensi kinestetik lebih dominan. Perlu
102
banyak energi yang kita keluarkan guna lebih
memberikan ketertarikan padanya. Oleh karena itu
seorang guru atau pengajar harus memiliki skill dan
kreatifitas yang tinggi untuk bisa mengakomodir
anak kinestetik dalam pembelajaran. Mungkin
banyaknya permainan yang memerlukan gerak
tubuh justru lebih disukai anak-anak kinestetik.
Disamping permainan gerak tubuh, maka di
dalamnya harus dimasukkan materi-materi yang
akan kita sampaikan. Sehingga secara tidak sadar dia
belajar akan tetapi dengan sesuatu yang
menyenangkan anak.

Belajar Mengenal Huruf, Angka


Dan Mengaji
Belajar mengenal huruf dan angka bagi
anak-anak pada umumnya mungkin sesuatu yang
mudah dan bukan sesuatu yang istimewa. Tetapi
mengajar anak dengan tipe seperti Ahmad yang agak
sulit untuk ’duduk manis’ dan memberi perhatian
kepada sesuatu yang ’statis’ mungkin justru
dibutuhkan banyak sekali ide dan kreativitas untuk
membuatnya bisa dan mau terlibat dalam proses
belajar mengajar itu.
Menghafal angka, huruf latin, hijaiyyah
bahkan surat dalam Al Qur’an tentu bisa kita
lakukan sejak sedini mungkin, karena itu terkait
dengan pembiasaan saja. Tetapi belajar membaca
huruf dan angkanya mestilah dilakukan tidak dengan
dipaksakan kepada seorang anak kecil yang belum
memiliki ketertarikan mengenali huruf. Tertarik
untuk mengenali huruf adalah sesuatu yang harus
103
kita biasakan dulu kepada anak sebelum mengajari
mereka konsentrasi melihat dan membacanya.
Memasang gambar berisi angka, huruf latin dan
hijaiyyah dengan berbagai variasinya di tempat-
tempat yang mudah terlihat oleh Ahmad adalah
langkah pertama untuk membiasakan melihatnya
dan menumbuhkan ketertarikannya. Berikutnya saya
biasa bercerita dengan menggunakan gambar-
gambar yang ada tersebut sambil sedikit-sedikit
mengenalkan tulisan huruf-huruf maupun angka
yang terdapat di dalamnya. Pada kesempatan lain
saya menggunakan buku mengenal huruf dengan
contoh sesuatu yang digambarkan, sebagai alat tebak
gambar bersama Ahmad. Di lain kesempatan saya
tuliskan huruf-huruf hijaiyyah di karton tebal yang
saya potong-potong sebesar kartu mainan. Lalu
dengan kartu-kartu tersebut saya bisa bermain sulap,
tebak huruf maupun bercerita sambil memastikan
Ahmad mengenali mana huruf alif, ba’, ta’, jim dan
seterusnya.
Ketika dia sudah bisa menikmati tontonan
CD, saya putarkan CD mengenal huruf dan angka.
Tapi baginya hal itu masih cukup membosankan
kalau hanya melihat terus huruf atau angka-angka itu
dibacakan tokoh kartun yang ada di CD, sehingga
saya kadang menjadikan acara menonton CD
tersebut seperti kita bermain kuis/tebak-tebakan
dengan suasana bermain. Kalau di tengahnya ada
waktunya bernyanyi sambil menari, maka saya
lakukan itu bersama Ahmad. Kadang saya harus
berteriak bersahut-sahutan dengan Ahmad untuk
berlomba menyebutkan huruf atau angkanya, kadang
104
saya berlaku seperti tidak tahu atau lupa sehingga
Ahmad yang mengajari, kadang saya membuat suara
seperti bel tanda waktu habis dan sebagainya.
Ketika Ahmad sudah terbiasa dan suka
dengan acara belajar membaca, saya mulai
menggunakan buku seperti iqra’ atau buku latihan
membaca lainnya. Itupun tidak mudah membuatnya
mau membaca sampai satu halaman penuh langsung.
Di tengah-tengah membaca/mengaji tidak jarang
harus kami selingi dengan berbagai macam hal.
Kalau yang dibaca panjang biasanya 3-4 baris saya
beri kesempatan istirahat dan bermain sebentar. Lalu
kita lanjutkan lagi. Demikian seterusnya.
Alhamdulillah, sekarang di sekolah, dalam
hal membaca Ahmad termasuk cukup bagus.
Mengajinya pun jauh dibanding yang sedang
dipelajari di sekolah, yang baru sampai Tilawatiy
jilid 1, sementara di rumah Ahmad sudah menjelang
Iqra’ 5. Hafalan Qur’an pun sudah dikuasainya dari
An Nas sampai Asy Syam (sekitar 25 surat pendek),
ketika tidak semua temannya bisa hafal sampai Al
Quraisy.

Memilih(Kan) Mainan
Memilihkan mainan yang tepat juga
menjadi bagian tak terpisahkan dari proses
pembelajaran yang kita lakukan. Mainan yang tepat
untuk tipe anak yang tepat akan membantunya
mengembangkan potensi yang dimilikinya lebih
optimal dengan tanpa membebani sang anak.
Mainan bisa menjadi alat belajar bagi anak
untuk mengasah kognitif, motorik halus dan
105
kasarnya, mainan juga bisa menjadi rangsangan bagi
berkembangnya naluri keibuan atau kebapakan
seorang anak, mainan juga bisa menjadi sarana
berlatih mereka.

Bola…bola…, Puzzle…
puzzle…Untuk Anak Kinestetis
Bagi anak kinestetik seperti Ahmad yang
memang cenderung sangat aktiv, kita akan melihat
pada awal tumbuh kembangnya mereka cenderung
lebih tertarik melakukan eksplorasi pada hal-hal
yang bersifat bergerak atau melatih motorik kasar
(seperti berjalan, berlari, melompat, mengejar, dsb) ,
dan relatif kurang tertarik pada hal-hal yang
cenderung ‘tidak atau kurang bergerak’ seperti
bermain boneka, mobil diam atau robot yang harus
digerakkan, dan sejenisnya. Maka pada masa-masa
awal tersebut ketika mereka memang relatif lebih
susah untuk ‘didudukkan’ sementara mereka justru
memiliki potensi dan perhatian pada hal-hal yang
menantang secara motorik kasar, biarkanlah mereka
memuaskan minat eksplorasinya dan memantapkan
ketrampilan motorik kasarnya lebih dulu ketimbang
temannya yang tidak bertipe sama. Karena
sekaranglah memang saat yang tepat bagi mereka
untuk melakukannya. Kelak, biasanya mereka harus
mengejar ketrampilan motorik halus mereka
dibanding dengan temannya yang bertipe
sebaliknya. Pada waktu ini, mainan yang sangat
cocok untuk mereka adalah bola dan sejenisnya.
Berikan bola pada mereka, dan biarkan mereka

106
mengeksplorasi apa saja hal-hal menantang yang
bisa mereka lakukan: menendang, melempar,
mengejar, melompat, menangkap, tiarap, berguling
dan berbagai ketrampilan motorik kasar lainnya bisa
mereka lakukan dengan ‘enak’ ketika mereka punya
bola bundar yang ‘mudah bergerak’.
Pada saatnya ketika usia mereka bertambah,
ketika perhatian sudah pula mengarah kepada
eksplorasi hal-hal yang ‘lebih tidak bergerak’ dan
lebih bisa berkonsentrasi, maka saatnya kita
membantu mereka agar lebih mudah melakukannya
dengan mengganti/menambah jenis mainan. Untuk
membantu anak kinestetik agar bisa diajak lebih
‘khusyuk’ anggota tubuhnya, maka permainan
berikutnya yang sangat cocok untuk dipilih adalah
puzzle dengan berbagai ragamnya. Dengan puzzle –
apakah itu merakit rancang bangun, menyusun
gambar, mengolah bentuk dan lainnya- seorang anak
kinestetis bisa dibuat terbiasa ‘duduk lebih manis’
karena kelebihan energi yang dimilikinya sedang
tersalurkan pada olah tangannya yang terus bergerak
menyusun puzzle yang sedang dimainkannya. Selain
bisa ‘duduk lebih manis’, sebenarnya inilah salah
satu momentum untuknya belajar, karena
sesungguhnya pada saat itu dia siap untuk
memberikan konsentrasi pada hal lain tanpa merasa
susah untuk membuat anggota tubuhnya ‘diam’.
Demikian pula dengan Ahmad, sambil
tangannya bermain puzzle kami ajak dia mengulang
hafalan quran atau doa-doanya. Sambil tangannya
terus bergerak, dia memperhatikan VCD mengenal
huruf dan angka yang sedang kami putar. Sambil
107
bermain asyik dengan fantasi robot rancangannya
yang setiap saat bisa diubahnya, Ahmad kami minta
menjawab soal-soal hitungan yang kami ajukan, cara
mengeja kata yang kami sebutkan, dan sebagainya.
Tentu saja, tidak semua pelajaran bisa dilakukan
sambil bermain pada saat yang bersamaan. Menulis
misalnya, memang membutuhkan konsentrasi dari
tangan sang anak untuk melakukan ketrampilan
motorik halus tersebut. Makanya biasanya mereka
dalam hal ini sedikit agak kesulitan melakukannya.
Bisa, tapi mungkin lebih lama dibanding temannya
yang tidak bertipe sama.

Toilet Training
Salah satu pelatihan penting yang pasti kita
lakukan pada pengasuhan anak balita adalah toilet
training. Bagaimana agar anak kita segera memiliki
keterampilan dalam mengendalikan rangsangan
berkemih maupun hajat besar mereka, hingga
bagaimana agar anak kita trampil melakukan
perawatan diri sendiri sehari-hari (mandi, buang air
kecil dan buang air besar secara mandiri).
Toilet training ini bagi ibu-ibu jaman dulu
malah sudah menjadi sebuah keahlian yang mereka
miliki turun temurun. Anak-anak yang mereka asuh
biasanya sudah sangat terlatih mengendalikan
rangsangan berkemih maupun buang air besar
mereka meskipun masih bayi (kurang dari 1 tahun).
Hal itu karena mereka (para ibu jaman dulu) tersebut
sudah terbiasa langsung memulai toilet training
anak-anak mereka sejak lahir (secepat mungkin).
Mungkin inilah, diantara hal yang saat ini tidak
108
banyak dilakukan oleh para ibu di jaman ini karena
kita sekarang mengenal pampers/diapers. Dengan
pampers, kita tidak harus terbangun setiap saat
untuk mengganti popok/celana anak kita yang basah.
Hanya salah satu kerugian yang sekarang bisa kita
lihat, diantaranya adalah para ibu/orang tua saat ini
lebih ‘malas’ untuk melakukan toilet training sejak
dini. Alhasil, anak-anak mereka pun ‘agak terlambat’
memiliki ketrampilan mengendalikan rangsang
berkemih maupun buang air besar mereka.
Bagaimana kita mengawali melakukan
toilet training? Yang pertama tentu adalah kita
sebagai orang tua harus memiliki komitmen yang
kuat, pada perjalanan berikutnya komitmen tersebut
akan teruji pada kesabaran, kedisiplinan dan
kerelaan untuk berkorban yang mutlak kita butuhkan
untuk sukses melakukan toilet training. Untuk
memudahkan dan meringankan, alangkah baiknya
kita melakukannya dalam bentuk kerja tim. Mungkin
dengan suami kita, pembantu kita, atau orang lain
yang biasa ada bersama anak-anak kita di rumah.
Hanya yang perlu diingat, kitalah leader tim
tersebut. Sebagai leader, tentu saja mestinya kitalah
orang yang paling bagus memberikan contoh
komitmen, kesabaran, kedisiplinan maupun
pengorbanan dalam melakukan toilet training.
Karena seringkali, justru para pembantu lebih telaten
dari ibunya sendiri. Alhasil ketika suatu saat
misalnya sang pembantu tidak ada, jadilah pelatihan
tersebut harus ‘bubar’ karena sang ibu yang lebih
memilih ‘gampangnya’ dari ‘repotnya’ dengan
memakaikan pampers pada anaknya.
109
Inti dari toilet training ini pada anak sehat
(yang tidak memiliki gangguan pada sistem syaraf)
adalah melakukan pembiasaan untuk dapat menahan
kencing dan buang air besar, dan melakukannya di
tempat yang benar. Sehingga karena pembiasaan,
bisa kita mulai sejak dini. Mulanya kita biasakan
anak kita setiap waktu tertentu untuk buang air
kecil/buang air besar, bisa dengan mengangkat kaki
mereka, menekuk pantat mereka (ketika masih bayi),
membasahi/menyiram kaki dan kelamin mereka,
sambil kita meminta mereka untuk kencing disertai
menirukan suara orang yang sedang BAK/BAB
misalnya. Waktu-waktu tepat untuk melakukannya
diantaranya adalah saat bangun tidur, akan tidur,
beberapa waktu lain secara berkala saat kita
perkirakan asupan makan/minum yang masuk sudah
cukup banyak untuk butuh dikeluarkan. Yang
penting setelah membuat jadwal tetap tersebut, kita
harus mengulang apa yang kita lakukan tersebut
terus menerus dengan cara yang sama, hingga
mereka ‘terbiasa’ dan mengenali bahwa itulah
saatnya dan tempatnya mereka boleh melakukan
BAK/BAB.
Pada waktu anak sudah mulai bisa duduk,
merangkak atau berdiri tetapi belum bisa bicara,
maka kita harus mengenali tanda-tanda seorang anak
sudah merasakan rangsangan ingin ke ‘belakang’.
Biasanya beberapa ekspresi yang mudah kita kenali
adalah tiba-tiba diam, tidak mau bergerak padahal
sebelumnya aktif, wajah seperti konsentrasi pada
sesuatu, bahkan mungkin terlihat agak tegang
memerah, memegangi kelaminnya dan beberapa
110
tanda lain yang mana orang tua masing-masinglah
yang lebih tahu kebiasaaan masing-masing anak.
Adakalanya beberapa tanda tersebut juga luput dari
perhatian kita karena kesibukan kita, oleh karenanya
untuk memastikan ‘kotoran/air seni’ anak tidak
tercecer di mana-mana, hendaknya anak kita
pakaikan celana dalam yang memungkinkan
menahan jatuhnya kotoran untuk sementara waktu
sebelum kita ketahui. Bila perlu bisa kita tambah
satu lembar popok kain yang lembut sebagai
penyerap air seni bila mereka ngompol, sehingga
tidak tercecer basah dimana-mana yang malah bisa
membahayakan anak kita karena terpeleset, atau
malah dipakai mainan sehingga najis tersebut malah
menyebar ke tempat yang lebih luas. Itu tips ketika
anak kita dalam keadaan terjaga.
Dalam keadaan tidur panjang, di malam
hari misalnya, masa aman adalah ketika anak
tertidur pulas. Namun ketika nampak sang anak
bergerak, ganti posisi dan semacamnya, ketika
kesadaran meningkat dari sebelumnya, maka saat
itulah air seni yang sudah tertampung penuh di
kandung kemih mereka biasanya -tanpa mereka
sadari- mereka keluarkan. Sehingga bila tidak ingin
kecolongan, segera angkat anak kita dan bawa ke
kamar mandi untuk mengeluarkan air seninya di
sana. Itu berlaku bagi anak-anak yang sudah cukup
besar namun belum cukup terlatih menahan kencing
dalam jangka waktu yang panjang (sekitar 2
tahunan). Bagi anak-anak usia sekitar 3 tahun ke atas
yang sudah cukup terlatih di siang hari, lebih mudah
lagi. Kita tinggal membiasakan mereka buang air
111
kecil sebelum tidur, mungkin diperlukan satu kali
membangunkan tidur mereka untuk diajak ke
belakang, dan membiasakan segera ke kamar mandi
begitu bangun tidur.
By the way, pampers tetap bisa menjadi alat
bantu bagi kita ketika keadaan membutuhkan. Bukan
berarti tidak boleh sama sekali menggunakannya.
Akan tetapi, filosofi yang menjadikan pampers
sebagai ‘alasan’ bagi kita para orang tua malas
melakukan toilet training bagi anak-anak kita harus
segera dihapuskan dari benak kita.

Antara Dot Dan Pampers


Hal lain yang harus kita bahas ketika kita
ingin ‘menyapih’ anak kita dari pampers adalah dot
(botol minum susu). Selama anak kita masih minum
menggunakan dot, selama itu pula kita akan
kesulitan membiasakan anak untuk tidak ngompol
meski tanpa pampers. Memang bisa, tapi itu berarti
kita harus cukup sering membawanya ke kamar
mandi untuk ‘ditatur’ sebelum kecolongan.
Adakalanya frekuensi kita harus membawa mereka
ke kamar mandi sangatlah sering, sehingga tidak
sekedar terasa merepotkan, akan tetapi hal itu
kemudian seringkali juga membuat beberapa
tugas/aktivitas kita yang lain terganggu.
Kenapa ketika anak minum susu/air dari dot
membuat mereka sering berkemih? Yang utama
adalah karena biasanya jumlah air/susu yang mereka
minum dengan dot jumlahnya lebih banyak
ketimbang ketika mereka minum dari gelas.
Mengontrol jumlah air/susu yang diminum dengan
112
menggunakan dot biasanya lebih susah dibanding
ketika mereka minum dengan gelas (dan berbagai
variasinya). Ketika menggunakan dot, anak bahkan
masih bisa terus minum ketika mereka dalam
keadaan tidur atau setengah tidur, meski pada waktu
itu dia sudah tidak haus/membutuhkan. Malah
kadang dot bisa dibawa kemana saja anak bergerak
sehingga –tanpa disadari anak- mereka sebentar-
sebentar minum di tengah-tengah aktivitas mereka,
meski sebenarnya tidak membutuhkan.
Sehingga ketika seorang anak sudah mulai
disapih dari ASI (ketika sudah berusia 2 tahunan),
sebaiknya juga mulai diupayakan untuk disapih dari
dot, dan mulai dibiasakan untuk selalu minum dari
gelas. Hal ini akan sangat baik bagi anak. Tidak
hanya dia lebih mudah mengontrol rangsang
berkemihnya, tetapi lebih dari itu anak akan tampil
lebih mandiri dan lebih ‘dewasa’. Mereka harus
minum dalam keadaaan tidak berbaring. Sehingga
kebiasaaan ‘asal ngglundung’ (baca: tiduran
sembarangan) ketika minum tidak akan lagi mereka
lakukan.
Tentu saja, proses penyapihan yang kita
lakukan bertahap sesuai dengan kondisi anak. Hanya
saja, sebagai patokan, usia dua tahun adalah waktu
yang tepat bagi orang tua untuk memasang target
segera membiasakan anak untuk bisa minum dari
gelas, dan untuk terlatih mengendalikan rangsang
BAK dan BABnya sehingga tidak tergantung pada
pampers.
Maka menyapih pampers harus dilakukan
seiring dengan menyapih dot.
113
Jangan Tertawakan
Ini adalah salah satu pelajaran yang kami
dapatkan dari Ahmad tentang perasaan dan pikiran
seorang anak kecil. Ketika Ahmad berusia sekitar
2,5 tahunan, Alhamdulillah Ahmad sudah terbiasa
ikut sholat berjamaah di rumah bersama kami atau
dia sholat sendiri. Kami dorong dan biasakan agar
dia membaca Al Fatihah dan surat pendeknya
dengan keras. Kebetulan waktu itu paling tidak dia
sudah hafal sekitar 3-4 surat pendek. Pada suatu
maghrib ketika kami sedang berada di rumah orang
tua saya, Ahmad saya suruh ikut shalat berjamaah
bersama orang tua, adik, dan kakak saya. Maka
seperti biasanya dia ambil posisi ikut jadi imam di
depan bersama ayah saya yang waktu itu jadi imam.
Setelah takbir yang keras, mulailah dia membaca
“bismillahiromaanirohim....ahambulillahirobil
alamiin. Arohmaanirohiim” dan seterusnya dengan
cadel, bacaan yang tidak jelas tapi sangat keras,
bahkan lebih keras dari ayah saya yang waktu itu
memang tidak bisa lagi bersuara keras karena sakit.
Di tengah-tengah Ahmad membaca, tiba-tiba satu
demi satu jamaah shalat itu tertawa terbahak-bahak
dengan keras juga. Ternyata mereka tidak bisa
menahan tawa karena merasa lucu mendengar
bacaan Ahmad. Seketika Ahmad diam dan menangis
ketika mengetahui bahwa yang mereka tertawakan
ternyata adalah dirinya karena bacaannya. Sejak saat
itu Ahmad tidak mau lagi sholat dengan bacaan yang
dikeraskan. Bahkan setiap kami minta Ahmad
melakukan apa saja, ketika dia merasa apa yang
114
dilakukannya tersebut akan diperhatikan orang,
maka dia tidak pernah mau melakukan. Apakah itu
mengaji, menyanyi, berhitung, atau sekedar
menjawab pertanyaan. Kalau nuansanya adalah agar
orang lain tahu kemampuannya, maka dia justru
akan berbuat sebaliknya. Hingga suatu saat –cukup
lama dari kejadian tersebut- kami mengetahui bahwa
ternyata memang hal itu karena dia masih trauma
dengan pengalaman ditertawakan tersebut. Ketika
suatu waktu dia ikut abinya mengisi pengajian,
Ahmad seperti ingin juga untuk bicara di depan
microphone. Tapi ketika diberi kesempatan selalu
tidak dia lakukan, hingga kemudian ketika pulang
kami pun bertanya kenapa Ahmad tadi disuruh salam
atau mengaji di microphone kok gak mau? Di luar
dugaan, ternyata dia menjawab “Iya, trus biar
semua teman-teman abi tertawa ta?” , sambil agak
marah dia keluarkan pertanyaan retoris tersebut.
Rasa senang dan terhibur kita
menertawakan tingkah laku anak-anak kita bisa jadi
tergores dalam jiwa anak-anak kita sebagai
pengalaman memalukan yang kontra produktif untuk
perkembangan mereka selanjutnya. Jadi ariflah
ketika mau mentertawakan mereka.

Meniti Jalan Menjadi Hafidz


Dan Da’i
Menyiapkan Ahmad untuk kelak menjadi
seorang penyeru Islam (da’i) dan penjaga Al Quran
dengan (salah satunya) menghafalnya, adalah cita-
cita kami yang sedang kami rintis sejak awal Ahmad
kami asuh. Melazimkannya dengan Al Quran dan
115
kehidupan dakwah adalah salah satunya yang sudah
bisa kami lakukan sejak pertama kali kami
membawa Ahmad. Lantunan ayat suci Al Qur’an
sering menjadi suara pengantar perjalanan, tidur
maupun bermainnya. Demikian pula terlibat dalam
agenda-agenda dakwah yang kami jalani juga sudah
dirasakan oleh Ahmad sejak awal dia bersama kami.
Mengikuti kami dari satu forum kajian ke forum
kajian yang lain, dari satu seminar ke seminar yang
lain, dari satu masjid ke masjid yang lain, siaran
radio, browsing bahan makalah ke warnet,
menyaksikan kami menjadi murid atau guru dalam
suatu majelis ilmu adalah hal yang biasa dialami
Ahmad. Bahkan ketika dakwah mengharuskan
dilakukannya muhasabah (koreksi) terhadap
kebijakan penguasa yang salah, dengan cara aksi
damai (mashirah) pun Ahmad sering ikut. Tak jarang
dia ikut jalan bersama saya, atau kadang ikut abinya
di mobil orasi. Harapan kami melibatkan dia sejak
awal tentu adalah agar Ahmad terbiasa sejak awal
dengan kehidupan dakwah yang kelak akan dia
jalani juga sebagai seorang da’i (pejuang dan
penyeru Islam).
.
Sayyid Hussein Tabataba’i;
Sang Inspirator
Terkait dengan upaya kami untuk
mempersiapkannya menjadi hafidz, ada sebuah
kisah ’anak ajaib’ yang menginspirasi kami. Nama
anak ajaib tersebut adalah Sayyid Hussein
Tabataba’i. Seorang anak Iran yang berhasil meraih
gelar Doktor Honoris Causa pada usia 7 tahun dari
116
Hijaz College Islamic University Inggris karena
menghafal Al Qur’an dan memahaminya. Sekarang
anak tersebut sudah berusia 17 tahun. Namun
metode yang dipakai oleh orang tua Sayyid Hussein
ketika mengajarkan anak mereka menghafal dan
memahami Al Qur’an masih dipraktekkan di
beberapa sekolah hafalan Qur’an yang mereka
dirikan (Jamiatul Qur’an) untuk mencetak sayyid
Hussein, sayyid hussein yang lain.
Diantara alasan mengapa kisah tersebut
sangat menginspirasi saya adalah: yang pertama,
Sayyid Hussein tidak sekedar menghafalnya namun
juga memahami setiap apa yang dihafalnya. Bahkan
dia bisa menjawab beragam pertanyaan yang
diajukan oleh masyarakat kepadanya dengan
jawaban yang sangat memukau dari Al Qur’an yang
dihafal dan dipahaminya tersebut. Yang kedua,
bahasa Al Qur’an (bahasa Arab) bukanlah bahasa
ibunya karena dia berbahasa Iran, itulah mengapa
sang ayah pada waktu awal mengajar hafalan Sayyid
Hussein menggunakan metode bahasa isyarat yang
beliau temukan sendiri. Sementara yang ketiga,
Sayyid Hussein adalah sebuah contoh pribadi anak
di abad ini, sehingga kondisi yang melingkupinya
tentu tidak terlalu jauh berbeda dengan yang kita
hadapi saat ini.
Karena kami mencita-citakan Ahmad
nantinya tidak sekedar hafal, namun juga memahami
berikutnya mengamalkan apa yang dipahaminya dari
Al Qur’an, sementara bahasa Arab juga bukanlah
bahasa ibu bagi kami dan Ahmad, maka metode
isyarat yang diperkenalkan ayah Hussein taba Taba’i
117
tersebut sangatlah menginspirasi saya. Saya sendiri
memiliki seorang keponakan perempuan yang saat
ini sudah memasuki hafalan juz ke-3, ketika usianya
baru sembilan tahun. Apa yang dilakukan ibunya
kepada keponakan saya ini juga sedikit banyak
menginspirasi saya dengan cara yang lain. Hanya,
dibandingkan dengan Ahmad, kelihatannya,
mengajar keponakan saya ini jauh lebih terasa
mudah karena tipenya adalah ’anak manis’.
Sehingga sekalipun inspirasi bisa dari mana saja,
tetapi pada akhirnya kita sendirilah yang paling
tahu metode apa yang terbaik untuk mengajar
anak kita.

Umi Sang Arsitek, Abi Asisten


Dan Guru Yang Luar Biasa
Dalam melakukan semua proses pendidikan
dan pembelajaran apapun kepada Ahmad, asisten
terpenting saya adalah abi Ahmad. Karena tidak kita
pungkiri, guru terpenting bagi anak di sekolah
pertamanya (rumah) adalah ibu dan ayahnya. Bukan
ibu saja. Dan bukan pula ayah saja. Keduanya
adalah tim yang harus kompak. Masing-masing juga
harus tahu peran apa yang bisa dan harus dimainkan.
Terkait dengan mengajarkan Ahmad
menghafal Al Qur’an, saya sangat terbantu dengan
Abi Ahmad. Bukan sekedar karena suara dan
bacaaannya yang memang bagus, atau karena
memiliki hafalan Qur’an yang cukup untuk saat ini
mengajari Ahmad, tapi lebih kepada kemauan dan
komitmennya yang bagus pula untuk menjadikan

118
Ahmad seorang hafidz. Beliau, sesuai dengan
skenario atau jadwal hafalan yang saya buat cukup
disiplin mengajak Ahmad menghafal ayat-ayat Al
Quran. Saya tinggal mengkomunikasikan surat apa
yang sekarang sedang saya programkan untuk
Ahmad, lagu/irama bacaan seperti apa yang
digunakan agar sama dengan yang saya gunakan
(biasanya qiroati), dan momen-momen tepat kapan
saja yang bisa dipakai untuk melakukan hafalan.
Alhamdulillah, abi melakukannya dengan sangat
luar biasa. Bahkan saat ini, beliau sudah merancang
satu sistem menghafal indeks nama dan surat dalam
Al Quran menggunakan metode cantolan untuk
kelak diajarkan kepada Ahmad ketika sudah agak
besar.

Metode Isyarat, Ayat Dan


Hadits Pilihan
Sebelum Ahmad mulai menghafal surat-
surat tertentu dari Al Quran, kami mengawali
program hafalan itu dengan ayat dan hadits pilihan
yang kami ajarkan ke Ahmad menggunakan metode
isyarat seperti yang digunakan oleh ayah Sayyid
Hussein Tabataba’iy ketika mula-mula mengajarkan
hafalan Qur’an ke anaknya. Bagaimana bahasa
isyarat yang saya pakai, saya karang sendiri. Lalu
saya sampaikan ke abi Ahmad biar sama ketika
mengajar Ahmad. Biasanya ayat atau hadits tersebut
saya pilih sesuai dengan kondisi Ahmad yang
berkesesuaian. Misalnya ketika masih sering
kesulitan mengendalikan amarahnya, saya pilihkan
ayat-ayat dan hadits yang berbicara tentang sabar,
119
larangan marah, perintah untuk bicara yang baik-
baik, larangan membentak orangtua, dan seterusnya.
Misalnya: ”fashabrun jamiil...(maka bersabarlah
dengan kesabaran yang indah) ”sambil sewaktu
menyebut kata shabrun (sabar) saya menggerakkan
tangan seperti mengelus dada, ketika menyebut
jamiil (bagus/indah) saya mengacungkan dua ibu
jari saya ke depan. Hadits lain yang saya gunakan
tentang konteks menahan marah adalah ”laa
taghdlab....(janganlah marah)” sambil sewaktu
menyebut kata laa (jangan) saya menggerak-
gerakkankan tangan saya yang menunjukkan
melarang, dan ketika menyebut kata taghdlab
(marah) saya menggerakkan telunjuk saya
menuding-nuding sambil memasang wajah seperti
orang marah. Atau ketika menyebut hadits ”fal
yaqul khoir aw liyasmut...(hendaklah bicara yang
bagus, atau diam) saya mengatupkan jari-jari tangan
kanan saya menjadi seperti mulut lalu
menggerakkannya buka tutup seperti mulut
berbicara untuk menggambarkan makna falyaqul
(hendaklah bicara) , acungkan dua jempol untuk
mewakili khoir (baik), dan menaruh jari telunjuk di
bibir untuk menyuruh diam (liyasmut).
Demikian seterusnya, saya tentukan ayat
dan hadits pilihannya lalu saya juga tentukan
bagaimana bahasa isyarat yang akan mempermudah
Ahmad mengerti apa yang dia hafalkan.Lalu kami
mengamalkannya/mengulang menyampaikan ke
Ahmad setiap ada kejadian yang sesuai. Misalnya
ketika dia marah lalu bicara keras kepada kami saya
ingatkan dengan membaca ”fa laa taqul lahumaa
120
uffin...(maka jangan berkata kepada kedua orang tua
dengan perkataan ’ah’)” sambil menggerakkan
tangan seperti melarang pada waktu mengucapkan
”laa” (jangan), membentuk mulut dari ibu jari dan
empat jari lainnya sambil digerakkan buka tutup
ketika mengatakan ”taqul” (kamu bicara),
menunjuk abi-umi ketika mengatakan ”lahumaa”
(kepada kedua orang tua), dan mengangkat
telunjuk ke atas seperti orang marah ketika
mengatakan ”uffin (uh/ah/perkataan kasar
lainnya)....

Menghafal Dan Belajar Di Jalan


Justru Memudahkan
Satu hal yang kemudian kami sadari dan
syukuri karena Ahmad sering ’berperjalanan’
bersama kami adalah ternyata menghafal di jalan
justru memudahkan bagi anak dengan tipe Ahmad.
Kenapa? Karena ketika kami di atas kendaraan,
dengan Ahmad duduk ’terjepit’ diantara kami
berdua, maka yang jelas Ahmad akan ’dipaksa
secara suka rela’ memiliki kesempatan untuk
mendengar semua yang kami katakan. Sekalipun itu
terjadi dalam jangka waktu yang panjang, sekitar
setengah hingga satu jam. Itu adalah durasi yang
cukup lama bahkan hampir tidak pernah terjadi bagi
anak seperti Ahmad untuk bisa berkonsentrasi
belajar selama itu tanpa ada episode dia harus lari
atau bermain ke sana kemari.
Mulanya kami tidak meyadari bahwa
belajar ketika di perjalanan memang menjadi hal

121
yang ternyata sangat memudahkan kami mengajar
Ahmad. Karena saya merasa perjalanan cukup
panjang, maka dalam perjalanan tersebut saya isi
dengan menyampaikan berbagai hal secara verbal;
dari bercerita, menyanyi, menyebutkan berbagai
benda, menghafal doa, hingga mengaji di atas
kendaraan (yang sudah menjadi kebiasaan kami
sebelum ada Ahmad.)
Terkait dengan hafalan Qur’an, pada waktu
Ahmad belum memiliki satu hafalan sedikitpun,
saya dan abinyalah yang bergantian mengaji di atas
kendaraan. Hingga ketika kemudian kami dapati
Ahmad mulai sedikit hafal suatu surat, kami minta
dia menghafalnya dengan saya mengiringinya pelan.
Begitu seterusnya hingga ketika kemudian dia hafal
betul, kami biarkan Ahmad mengulang hafalannya
sendiri, sementara kami mendengarkan saja sesekali
mengoreksi apa yang kurang tepat. Setelah semua
hafalannya habis, baru giliran kami untuk
memperkenalkan satu hingga tiga surat baru yang
kami targetkan untuk dihafal berikutnya. Sebagai
variasi, ketika masih ada kesempatan, saya gunakan
untuk memberi contoh kepada Ahmad satu paket
taushiyah singkat semacam kultum ala da’iy cilik
dengan menggunakan 1-2 dalil qur’an atau hadits
yang sudah saya ajarkan dengan metode isyarat
kepada Ahmad. Siapa yang berceramah? Ya tentu
saya sendiri, karena baru mengawali
memperkenalkannya kepada Ahmad. Biasanya, pada
kesempatan berikutnya dia mulai mau membuka dan
menutup taushiyah tersebut dengan mengucap
salam, tapi isi di tengahnya masih saya yang
122
menyampaikan. Lambat laun selain salam, Ahmad
mulai mau meneruskan ke tahmid dan shalawatnya.
Berikutnya bahkan hingga menyampaikan sapaan ke
audiens seperti: ”Apa kabar teman-teman? Di sini
ada yang suka bohong ga? Teman-teman mau ga
dengar Ahmad cerita tentang akibat suka
bohong?....” Sampai di sini biasanya kemudian dia
kembalikan lagi ke saya agar bercerita. Mungkin
karena mendengar cerita itu dari saya lebih
menyenangkan bagi Ahmad, meskipun ketika saya
bercerita biasanya dia ikut-ikutan menimpali atau
menyambung cerita saya. Hingga kalau sudah
sampai pada kalimat pamitan kepada penonton
seperti: ”sudah dulu ya teman-teman......” hingga
salam penutup biasanya dia ambil alih lagi.
Demikianlah, yang seperti ini berjalan setiap hari,
baik dengan saya maupun dengan abinya.
Ketika hafalan Ahmad sudah agak banyak
dan cukup melelahkan kalau Ahmad sendiri yang
terus menerus menghafal, maka kami gunakan
metode seperti permainan. Siapa yang selesai
menghafal satu surat, dia boleh menunjuk siapa dan
apa surat yang dibaca pada giliran berikutnya.
Biasanya Ahmad memilih duluan dan nanti akan
menunjuk siapa yang dikehendakinya untuk
membaca. Nah di sinilah, ’bakat’ usil atau ngerjain
orangnya muncul lagi. Biasanya dia akan memilih
abi untuk giliran menghafal berikutnya dengan
memilihkan surat-surat yang terpanjang, dia mengira
dengan begitu abinya akan kapok (padahal tentu saja
kami tetap saja senang karena menyaksikan Ahmad
belajar menghafalnya dengan enjoy).
123
Alhasil, belajar di jalan (ketika keadaan
membutuhkan) bisa jadi justru sangat
menyenangkan dan ternyata sangat memudahkan.

Al Kautsar; Surat Istimewa Di


Hati Ahmad
Surat Al Kautsar adalah salah satu surat
pertama yang dihafal Ahmad. Bukan hanya karena
pendek, namun dia merasa kenal dan dekat dengan
nama surat tersebut yang sama dengan nama ayah
yang sudah dihafalnya. Pertama kali saya sampaikan
padanya nama surat yang akan saya ajarkan ini
adalah surat Al Kautsar, Ahmad langsung nyeletuk
“seperti ayah kautsar ya Mi”, dengan ekspresi yang
menunjukkan kegembiraan dan antusiasmenya pada
surat ini. Dia menyebut surat ini surat ayah
Kautsar, meski sudah kami koreksi bukan surat
ayah Kautsar tapi surat Al Kautsar, dia tetap saja
kukuh menyebutnya surat ayah Kautsar. Maka setiap
pagi ketika kami baru berangkat, di atas kendaraan,
ketika dia belum menghafalnya dia selalu meminta
“baca surat ayah Kautsar Mi” sebelum meminta
kami membaca yang lain. Hingga ketika kemudian
akhirnya dia hafal (sebelum playgroup) dia pun
sangat senang mengulang-ulang surat ini. Bahkan
ketika berada di pusara ayahnya, ternyata dia berdoa
dengan mengulang-ulang membaca surat ini,
Sendiri. (baca Ahmad Hukma Shabiyya....di bagian
lain buku ini)

124
Antara Laptop, HP Dan
Menghafal Qur’an
Menghafal qur’an ini juga saya siasati
dengan menggunakan sarana apapun dan metode
apapun yang bisa saya lakukan untuk membantu
Ahmad menghafal dengan mudah. Diantaranya
adalah dengan memperdengarkan bacaan al qur’an.
Ini sudah kami lakukan sejak dia bayi. Tidurnya
pasti diiringi dengan lantunan ayat suci Al Qur’an.
Sewaktu bermain, juga kami iringi dengan suara
CD/kaset bacaan Al qur’an yang kami seling dengan
nyanyian anak muslim. Di jalan, di atas kendaraan,
secara bergiliran saya dan abinya memperdengarkan
hafalan Al Quran di jalan, seringkali hingga dia
tertidur. Itu ketika programnya masih sebatas
membiasakan Ahmad dengan bacaan Al Qur’an.
Ketika program hafalan ini sudah mulai
bertarget memastikan surat-surat tertentu untuk
dihafal Ahmad, maka sekedar memutar CD tanpa
diprogram surat apa yang dibaca tentu kurang
membantu, karena tidak terjadi pengulangan yang
intensif. Sehingga kemudian saya buatkan program
Winamp di laptop saya dengan playlist surat-surat
yang sudah dihafalnya –untuk penguatan memori-
dengan saya tambah satu hingga 3 surat baru –yang
saya targetkan untuk dihafalkan Ahmad berikutnya-.
Play list itulah yang kemudian selalu saya putar.
Ketika menjelang tidur ataupun ketika menemani
Ahmad bermain. Surat-surat di play list itu juga
yang kami bertiga hafalkan bergantian ketika di

125
perjalanan. Ketika abinya atau saya menjadi imam
sholat di rumah, pilihan surat yang dibaca keras juga
disesuaikan dengan surat yang sedang dihafalkan
Ahmad.
Selain itu, setiap kali Ahmad meminta main
games di laptop/komputer selalu saya persyaratkan
harus sambil mendengarkan ngaji (play list winamp)
yang saya sudah siapkan tadi. Saya ajari bagaimana
menyalakan winamp dan memilih play list yang saya
kehendaki. Dan ketika dia bermain apa saja di
laptop, saya minta dilakukan sambil mulutnya
menghafal surat yang diputar winamp tadi. Maka
jadilah Ahmad tanganya asyik bermain roket-
roketan, kartu, bola ataupun permainan yang
lainnya, sementara mulutnya bersuara
mengahafalkan surat seperti yang dia dengar. Ya
memang, sesekali hafalannnya terputus karena dia
terbawa oleh keasyikan permainannya, namun cukup
dengan mengingatkannnya dari jauh...”Ahmad,
mana umi kok ga dengar ngajinya?” maka Ahmad
pun menghafalkan lagi.
Di lain kesempatan, suara Ahmad
menghafal qur’an kami rekam. Sebagian kami
rekam di HP, sebagian kami rekam di MP3. Kami
rekam di HP untuk kemudian kami jadikan ring
tone. Jadi setiap kali ada telepon masuk, maka suara
Ahmad mengajilah yang keluar. Dan itu seringkali
mengundang perhatian orang yang membuat Ahmad
senang. Di MP3 saya masukkan ke komputer untuk
kemudian saya buatkan play list tersendiri untuk
diputar Ahmad kalau dia ingin mendengar hafalan
(suara) nya sendiri.
126
Pendek kata, tanpa dia sadari, pengulangan
secara alami yang terus menerus tersebut memang
membantu Ahmad untuk mengahafal Al Quran lebih
mudah dan lebih menyenangkan. Alhamdulillah,
sekarang hafalan Ahmad sudah kurang lebih 25 surat
pendek di juz 30. Semoga kami bisa merealisir target
Ahmad bisa hafal juz 30 sebelum masuk SD. Untuk
itu kami harus memastikan Ahmad sudah bisa
membaca Al Qur’an dan mengetahui dasar-dasar
tajwidnya dengan lancar. Dan secara mental, dia
sudah siap untuk kami bawa ke Ustadz dan forum
hafalan Qur’an yang membutuhkan kesiapannya
untuk bisa duduk lebih ’manis’. Semoga Allah
memberi kemudahan, kemampuan dan keberhasilan
kepada kami merealisir niat kami mencetak Ahmad
menjadi seorang Haafidz al Qur’an. Amiin.

Play Group; Berlatih Bermain


Dan Berbagi
Masa sekolah playgroup bisa dibilang
Ahmad hanya pindah tempat bermain dengan teman-
teman bermain yang jarang dia jumpai kalau di
rumah. Sementara dari sisi transfer pelajaran,
mungkin sangat minim bisa dilakukan mengingat
tipe kinestetis Ahmad. Sementara kesempatan yang
dimiliki para guru di sekolah tentu saja tidak seperti
orang tua Ahmad sendiri. Karena mereka juga harus
berbagi perhatian untuk murid-murid yang lain. Jadi
ketika teman-temannya mendengarkan bu guru
bercerita, diminta mewarnai atau mengerjakan
aktivitas motorik halus lainnya, Ahmad pasti sudah

127
menghilang keluar kelas untuk bermain sendiri. Dia
sangat sulit dibikin duduk manis kecuali ketika
mengantuk karena baru saja minum obat batuk/pilek
misalnya. Kami sendiri tidak terlalu terusik dengan
hal tersebut. Karena memang target kami
memasukkan ke play group lebih ke arah
pematangan emosi Ahmad, pengalaman dan
pembiasaan Ahmad untuk bisa bermain dan berbagi
bersama teman-temannya, yang saat itu masih sulit
dilakukan Ahmad. Sementara aspek kognitif,
pelajaran maupun pembiasaan-pembiasaan yang
lain, tentu lebih banyak kesempatan yang
memungkinkan kami lakukan sendiri daripada para
guru Ahmad yang hanya bertemu dengannya 3x 2
jam tiap minggunya.

Wali Murid Yang ‘Terpesona’,


Wali Murid Yang Resah
Sebagai anak dengan tipe yang ‘mandiri’,
sejak awal sekolah play group kami tidak perlu
menunggunya sekolah secara penuh. Kami hanya
perlu memastikan bahwa semua kebutuhannya
selama di sekolah sudah kami siapkan. Tasnya selain
berisi buku, juga kami isi dengan makanan,
minuman, baju ganti hingga persiapan pampers.
Sekalipun waktu itu Ahmad sudah tidak lagi
memakai pampers. Kami tunjukkan dimana kami
meletakkan tasnya, kami beritahu kalau dia
membutuhkan bantuan tinggal cari bu guru, dan
sebagainya.
Dari sisi kemandiriannya ini banyak wali

128
murid yang biasa menunggu anak-anak mereka
sekolah ‘cukup terpesona’ melihat keberanian dan
kemandirian Ahmad. Namun wali murid yang
merasa ‘resah’ melihat Ahmad yang seringkali
menangiskan anak-anak mereka mungkin juga tidak
sedikit. Pada titik inilah kita sebagai orang tua dan
guru harus bisa menempatkan diri dan juga bersikap
arif. Satu sisi sebagai orang tua atau guru kita tidak
boleh melakukan stigmatisasi kepada seorang anak
‘jagoan’ dengan stigma ‘nakal’ , ‘jahat’ dan
semisalnya, karena sebenarnya memang mereka
tidaklah demikian. Namun kita juga harus bisa
berempati kepada anak-anak ‘korban’ anak ‘jagoan’
dan orang tuanya yang khawatir terhadap anak-anak
mereka.
Kami sendiri, tentu saja tidak pernah
membiarkan Ahmad melakukan sesuatu yang tidak
‘tepat’ kepada teman-temannya. Berbagai cara yang
bisa kami tempuh untuk ‘meluruskan’ Ahmad pun
kami lakukan. Namun pada saat usia anak belum
mencapai usia berpikir kritis (sekitar 7-8 tahunan)
yang perkembangannya baru dimulai sekitar usia 3
tahun, maka memang sifat-sifat dasar yang dimiliki
merekalah yang lebih sering muncul ketimbang
pemahaman mereka. Tentu saja bagi seorang anak
yang cenderung pemalu dan penakut, dia akan
sangat jarang menangiskan temannya, namun
mungkin seringkali justru sering menangis. Bisa
karena temannya, bisa pula tanpa harus ada alasan
yang ‘pantas’ membuatnya menangis. Ini pun sebuah
karakter bawaan yang adakalanya membuat orang
tua juga ‘gemas’ namun harus tetap sabar kepada
129
sang anak, kala membantunya untuk bisa
mengendalikan rasa takut dan pemalunya.
Demikian pula dengan anak-anak yang
bertipe seperti Ahmad. Mereka memiliki potensi
untuk menjadi seseorang yang dominan dengan
keberanian dan kemandiriannya. Namun ketika
proses menuju terbentuknya mafhum yang akan
mengendalikan potensi tersebut belum sepenuhnya
sempurna, sedikit banyak pasti mereka memang
akan menjadi anak-anak yang tampil dominan dan
‘jagoan’ di tengah-tengah temannya yang bertipe
lain. Namun kalau anak ‘jagoan’ bertemu anak
‘jagoan, maka ada dua kemungkinan. Mereka bisa
terlihat sangat cocok ketika bermain, namun ketika
ada hal yang memicu ‘pertengkaran’ maka
‘pertengkaran’ yang terjadi pun bisa lebih hebat,
karena tidak ada yang merasa ‘pantas’ untuk
mengalah/dikalahkan.
Sebuah panduan yang pernah saya dengar
dari seorang pakar pendidikan anak tentang
‘perkelahian’ antar anak (sebaya) adalah sepanjang
anak-anak tersebut berkelahi dalam keadaaan
tangan kosong (tidak membawa sesuatu yang
berbahaya), bukan keroyokan, sedahsyat apapun
kelihatannya perkelahian tersebut, sekeras
apapun tangisan anak yang terjadi di situ, tidak
akan berbahaya bagi mereka. Jadi ketika kita sudah
memastikan bahwa anak-anak kita bermain dalam
keadaan ‘aman’, sedikit terjatuh, tercakar, terdorong,
hingga menangis karena pukulan yang dirasakan
oleh anak kita, bisa menjadi pelajaran berharga bagi
mereka untuk tumbuh menjadi individu yang peka,
130
‘kuat’ dan siap mengarungi kehidupan yang memang
kaya warna dan rasa ini.
Ada terlalu banyak hal yang bisa
membuat dua anak berkelahi. Semuanya wajar,
sebagai proses pembelajaran dalam mengurangi rasa
keakuan (ego) nya untuk bisa memahami dan
menghormati hak teman. Justru ketika seorang anak
tak pernah bertengkar, selalu mengalah dan
menghindari perselisihan, maka perkembangan
kepribadian mereka menjadi pasif dan kurang
memiliki inisiatif. Orang tua tidak perlu cemas
dengan perselisihan antar anak.
Sebaliknya yang jangan sampai terjadi
adalah orang tua kemudian terpancing masuk dan
intervensi ke dalam ‘pertengkaran’ semu anak-anak
mereka. Misalnya orang tua jadi musuhan dengan
orang tua yang lain gara-gara anak mereka. Karena
sebenarnya anak-anak itu bisa segera dan secepat
mungkin lupa dengan perselisihan mereka. Jarak
berpikir mereka demikian pendeknya, sehingga apa
yang terjadi bisa terlupakan dengan demikian
cepatnya. Adu pukul yang terjadi pagi hari, bisa
segera disambung main bersama di siang harinya.
Saling tendang di sore hari, pagi harinya bisa
bercanda dan berangkat sekolah bersama-sama.
Seperti itulah fitrah mereka.
Fitrah ’bermusuhan’ dan berdamai’ bisa
begitu cepat terjadi, karena merupakan bagian dari
fase normal perkembangan anak. Jika ada pihak
ketiga yang mengganggu, menghambat dan terlalu
turut campur di dalamnya, justru akan merusak
fitrah ini sehingga tidak berlaku lagi. Nasehat yang
131
bersifat provokatif dan justru mengajarkan anak agar
memendam permusuhan seperti: ”khan sudah
Mama bilang, jangan main sama si Momo, memang
dia itu anak nakal. Kamu pasti nanti dipukulnya.
Biar saja, biar nanti dia gak punya teman”,atau
”Dibilangin Bunda berapa kali, jangan main sama
si Mimi! Anaknya itu emang nangisan, manja.
Kalau kamu mainan sama dia, kesenggol dikit pasti
nangis, nanti kamu dimarahin mamanya lho!”,
ketika mendapati anak atau murid kita mengadukan
seorang temannya yang dianggap nakal atau
cengeng, adalah salah satu hal yang bisa merusak
fitrah anak sehingga mereka justru terbiasa
’memelihara’ permusuhan ketimbang ’memupuk’
perdamaian dan kemaafan.
Saya ingat sebuah kisah yang disampaikan
kakak saya tentang dua tetangganya di suatu daerah
yang saling berseteru hingga ke pengadilan gara-
gara ‘perkelahian’ yang terjadi antar anak mereka.
Orang tua yang merasa anaknya jadi korban
kenakalan temannya melaporkan anak ‘nakal’
tersebut ke pihak berwajib. Begitu seterusnya
hingga kedua orang tua tersebut pun berhadapan
sebagai ‘musuh’ untuk membela anak masing-
masing. Apa yang terjadi? Ketika kedua orang tua
tersebut harus berhadapan di kantor polisi dalam
keadaan ‘berseteru’, ternyata anak-anak yang
menjadi pangkal ‘perseteruan’ mereka, di tempat
yang sama malah bermain bersama dengan
rukunnya, tidak nampak sedikit pun sisa-sisa
‘permusuhan’ diantara mereka.
Nah, kalau sudah begini, pantaskah kita
132
sebagai orang tua tetap memelihara ’sakit hati’
sementara anak-anak kita bahkan tidak merasa ada
yang salah?!

Nakoda Berbicara; Antara Di


Rumah Dan Sekolah
Bagaimanapun juga sekolah bukanlah
rumah. Anak-anak kita menghabiskan waktu mereka
di sekolah juga sangat sebentar. Perhatian yang
mereka terima dari guru-guru mereka juga harus
dibagi dengan teman-teman mereka yang cukup
banyak. Adakalanya kita para orang tua menemukan
hal yang berbeda dengan yang ditemukan oleh para
guru sekolah tersebut pada diri anak kita.
Adakalanya seorang anak dikenali oleh gurunya
adalah anak yang pendiam, pasif dan pemalu.
Padahal menurut orang tuanya, ketika di rumah
justru sang anak berkarakter sebaliknya.
Demikian pula dengan Ahmad, yang
memang bertipe ’sulit’ untuk ’ditundukkan’. Meski
sebenarnya dia sudah hafal surat Al Kautsar,
misalnya, bahkan sebelum play group, tetapi laporan
perkembangan yang tertulis di NAKODA ketika dia
duduk di TK A (Sarana Komunikasi Dua
Arah/semacam buku penghubung sekolah dan wali
murid) adalah belum hafal, bahkan hingga 3-4 kali
laporan mingguan berikutnya.
Kami menyadari, jangankan guru-gurunya
di sekolah yang hanya bertemu Ahmad dalam waktu
yang singkat, dan harus membagi perhatian ke
banyak anak pada waktu yang bersamaan, kami saja

133
adakalanya juga tidak berhasil membuat Ahmad
dengan mudahnya menurut untuk melakukan apa
yang kami minta.
Selain itu, memang Ahmad juga memiliki
’bakat’ sense of humour dan sedikit usil yang kadang
membuatnya ’melawak/mbanyol’ di tengah hal yang
sebenarnya ’serius’.
Saya mengamati ketika Ahmad diminta
melakukan atau menjawab sesuatu hanya untuk
’ngetest’ dan tidak dalam rangka sesuatu yang
’bermakna’, misalnya dia ditanya: ”Ahmad ini
warna apa? Berapa jumlah bola di gambar ini? Ini
bu guru siapa?”, maka pertanyaan terbuka semacam
ini seringkali akan dia ’mainkan’ dengan menjawab
ngawur untuk kemudian dia nikmati respons
penanya terhadap jawabannya. Warna yang
sebenarnya biru akan dia jawab pink, gambar bola
tadi akan dia hitung ”sataw, duaw, tigaw, empaw,
limaw...”hingga muter terus dan gak selesai-selesai,
nama bu guru sebenarnya akan dia jawab nama bu
guru yang lain. Hal yang mungkin tidak terjadi
ketika dia ditanya dengan cara seperti ini: ”Ahmad
nanti pulang naik bemo warna apa? Coba tolong
dihitung tadi umi belanja sabun ada berapa? Atau
Ahmad tolong kasihkan buku ini ke bu guru Tita!”.
Dengan cara yang kedua, kami bisa ketahui kalau
Ahmad sudah mengenal warna, bisa berhitung dan
mengenal guru yang dimaksud. Hanya saja, karakter
khas Ahmad yang seperti ini belum tentu dikenali
oleh orang lain, termasuk gurunya.
Alhasil, adakalanya kami mendapati
laporan NAKODA atau laporan gurunya tentang
134
Ahmad yang ’bisa jadi berbeda’ dengan yang selama
ini kami ketahui. Tapi justru di sinilah kepentingan
NAKODA tadi dibuat, dan komunikasi dua arah
dilakukan. Orang tua akan mendapat gambaran
tentang anak di sekolah, sebaliknya guru pun bisa
mengkonfirmasinya dengan keadaan anak di rumah
untuk bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan
proses pendidikan berikutnya. Yang penting semua
pelaku pendidikan (sekolah dan orang tua) harus
bisa menjalin kerjasama yang sinergis untuk
mendapatkan hasil yang terbaik.

135
Penutup

Segala puji bagi Allah yang telah memungkinkan


kami menyelesaikan risalah sederhana ini.
Banyak hal tentang pengasuhan dan pendidikan anak
pada usia dini yang sebenarnya ingin kami bahas
dan sharing-kan di sini. Akan tetapi karena
keterbatasan tempat dan kesempatan, beberapa
bahasan tersebut terpaksa kami batalkan. Kami
hanya bisa berharap sembari menancapkan azam
(tekad kuat) dalam hati, semoga Allah SWT
memberikan kesempatan dan kemampuan kepada
kami untuk bisa merealisir niat kami tersebut.

Semoga segala pengorbanan, kepayahan, maupun


kegelisahan yang kita –para orang tua- alami ketika
membesarkan dan mempersiapkan anak-anak kita
menjadi Khalifah terbaik-Nya di muka bumi, dibalas
oleh Allah dengan kegembiraan, kebahagiaan dan
ketenangan yang abadi di surga-Nya. Dan semoga
dari tangan-tangan kitalah kelak lahir generasi-
generasi terbaik yang dijanjikan Allah akan
mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum
muslimin di muka bumi ini setelah sekian lama
mengalami keterpurukan dan kehinaan.

Wallahu A’lam bish Showaab.

136
Bacaan lebih lanjut:

1. Adhim, Mohammad Fauzil, Bersikap


Terhadap Anak, Pengaruh Perilaku Orang
Tua Terhadap Kenakalan Anak , Jogjakarta:
Titian Ilahi Press, 2000
2. Adhim, Mohammad Fauzil, Mendidik
Anak Menuju Taklif, Pustaka Pelajar, 1996
3. Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Power
Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan,
Jakarta: Arga, 2003
4. Al Qarashi, Baqir Sharif, Seni Mendidik
Islami: Kiat-kiat Menciptakan Generasi
Unggul, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003
5. Amini, Ibrahim, Anakmu Amanat-Nya,
Jakarta: Penerbit Al Huda, 2006
6. An Nabhani, Taqiyuddin, Nidlam al Islam
(edisi Mu’tamadah), Hizbut Tahrir, 2001
7. An Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pergaulan
dalam Islam, Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2001
8. De Porter, Bobbi, Quantum Learning:
Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan, Bandung: Kaifa, 2001
9. De Porter, Bobbi; Reardon, Mark; Singer-
Nouri, Sarah, Quantum Teaching;
Mempraktikkan Quantum Learning di
Ruang-ruang Kelas, Bandung: Kaifa, 2001
10. Doe, Mimi; Walch, Marsha, Ph. D., 10
137
prinsip Spriritual Parenting: Bagaimana
Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak-
anak Anda, Bandung: Kaifa, 2001
11. Hizbut Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh
Nafsiyah Islamiyah, Jakarta: Hizbut Tahrir
Indonesia, 2004
12. Istadi, Irawati, Mendidik dengan Cinta,
Jakarta: Pustaka Inti, 2005
13. Segal, Jeanne, Ph. D., Melejitkan Kepekaan
Emosional: Cara Baru-Praktis untuk
Mendayagunakan Potensi Insting dan
Kekuatan Emosi Anda, Bandung: Kaifa,
2001
14. Setyono, Ariesandi, Hypnoparenting;
Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006
15. Solohin, O, Menjadi Penulis Hebat: 25
Tips Agar Menulis Gampang dan
Menyenangkan / Tuntunan Bagi Pemula,
Bogor: IdeA Pustaka Utama, 2003
16. Sulaeman, Dina ., Mukjizat Abad 20:
Doktor Cilik Hafal dan Paham Al Qur’an,
Wonderful Profile of Hussein Tabataba’i,
Depok: Pustaka IIMaN, 2007
17. Thalib, Muhammad, Drs., Praktek
Rasulullah SAW Mendidik Anak Bidang
Akhlaq, Pergaulan, Inteligensi dan Emosi,
Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001
18. Thohari, Hamim; Rais, Ika; Tim Nasma,
Tumbuh Kembang Kecerdasan Emosi Nabi,
Bekasi: Pustaka Inti, 2006
19. Treays, Rebecca, Mempelajari Otak,
138
Bandung: Penerbit Pakar Raya, 2004
20. Ulwan, Nashih Abdullah, DR., Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, Bandung:
Asy Syifa’, 1988
21. Van de Carr, F. Rene, M.D.; Lehner, Marc,
Ph. D, Cara Baru Mendidik Anak Sejak
dalam Kandungan, Bandung: Kaifa, 1999

139
Sekilas Tentang Penulis

Faizatul Rosyidah (31 tahun), yang


juga dikenal dengan nama pena Farihah
Al Rosyidah, adalah seorang dokter
alumnus Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga pada tahun 2001.
Selain dikenal sebagai seorang dokter, Faizah juga
dikenal sebagai seorang aktivis dakwah dan penulis
sejak masih di bangku sekolah/kuliah.

Pernah dipercaya menjadi pengasuh tetap “Rubrik


Keluarga Sakinah” di Radio Colours Surabaya,
program “Mutiara Subuh” RRI Programa I,
pengasuh “Syiar Pagi” Radio El Victor, “Mitra
Religi” Radio Suara Mitra Polda Jatim dan menjadi
pengasuh Majelis Ta’lim Dosen dan karyawati di
beberapa kampus di Surabaya, juga menjadi
narasumber lepas di beberapa radio dan forum-
forum keilmuan yang lain, penulis mendapatkan
kesempatan untuk mengasah dan memperluas ilmu
serta pemahamannya tentang Islam sebagai way of
life serta problem solver atas segala permasalahan
kehidupan, termasuk di dalamnya tentang rumah
tangga dan pendidikan anak.

Buku ini adalah buku kelima yang ditulisnya.

140
Sebelumnya, perhatiannya pada kehidupan remaja
menggerakkannya untuk menulis beberapa buku
berkaitan dengan kehidupan remaja. Beberapa buku
yang sudah ditulisnya: “Islam Ngomongin Narkoba
dan Perilaku Seksual remaja” (2001) dan “Sobat,
Temukanlah Hidupmu” (2002) yang sempat
dijadikan sebagai bahan pembinaan remaja di
beberapa sekolah menengah dan kampus di
Surabaya. Ketika menikah di tahun 2002 dengan M.
Ali Tamam (33 tahun) penulis sempat membuat satu
risalah sederhana yang dibukukan berjudul
“Bingkisan untuk Pernikahan-pernikahan yang
Barakah” sebagai souvenir pernikahannya.
Sementara pada tahun 2006 sebagai upaya untuk
melakukan counter terhadap pendidikan kesehatan
reproduksi / pendidikan seksual remaja ala
sekulerisme-liberalisme, penulis membuat buku
“Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja
(Perspektif Islam).

Bersama dengan sang suami, yang memang


memiliki basis pendidikan di bidang kependidikan,
dan aktiv di Konsorsium Pendidikan Islam
Surabaya, penulis mencoba menyelesaikan beberapa
tulisan tentang kerumah tanggaan dan pendidikan
anak. Kini mereka berdua tinggal dengan Ahmad –
inspirator ditulisnya buku ini- di Sidoarjo. Saran,
kritik, masukan ataupun sharing bisa dilakukan
melalui telpon 031-72106173, 08813162457 atau
email: faizah.rosyidah@gmail.com atau
www.faizatulrosyidahblog.blogspot.com ***

141
142

You might also like