You are on page 1of 9

GIGITAN ULAR BERBISA Diperkirakan sekitar 5 juta kasus gigitan ular terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, menyebabkan

sekitar 125.000 kematian. Gigitan ular lebih umum terjadi di wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya adalah agrikultural. Di daerah-daerah ini, sejumlah besar orang hidup berdampingan bersama sejumlah besar ular. Orang-orang yang digigit oleh ular dikarenakan memegang atau bahkan menyerang ular merupakan penyebab yang signifikan di Amerika Serikat. Diperkirakan ada 45.000 gigitan ular per tahun di Amerika Serikat, terbanyak pada musim panas, sekitar 8000 digigit oleh ular berbisa. Di Amerika Serikat, 76% korban adalah laki-laki kulit putih. Studi nasional di Negara tersebut melaporkan angka perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 9:1, dengan 50% korban berada pada rentang usia 18-28 tahun. Sedangkan studi UTMCK melaporkan perbandingan lakilaki dengan perempuan hanya 2.1:1, dengan jumlah korban dalam rentang usia yang sama hanya 25%. UTMCK juga melaporkan 96% gigitan berlokasi pada ekstremitas, dengan 56% pada lengan. Jenis-jenis ular berbisa Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu : Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai. Famili Crotalidae/Viperidae misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo. Famili Hydrophidae misalnya ular laut. Famili Colubridae misalnya ular pohon.

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau ular tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut : Tampakan Bentuk kepala Morfologi gigi Ular Berbisa Kepala seperti segi empat Gigi taring kecil Ular tidak Berbisa Kepala segi tiga Dua gigi taring besar di rahang atas

Bekas gigitan

Luka halus berbentuk lengkungan

Dua luka gigitan utama akibat gigi taring.

Patofisiologi Gigitan Ular Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan. Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Protease, kolagenase, dan arginin ester hydrolase telah diidentifikasi pada bisa ular viper. Neurotoxin merupakan mayoritas bisa pada ular koral. Detail spesifik diketahui beberapa enzim seperti berikut ini: 1. Hyaluronidase memungkinkan bisa dapat cepat menyebar melalui jaringan subkutan dengan merusak mukopolisakarida; 2. Phospholipase A2 memainkan peranan penting pada hemolisis sekunder dari efek esterolitik pada membran eritrosit dan menyebabkan nekrosis otot

3. Enzim trombogenik menyebabkan terbentuknya bekuan fibrin yang lemah, dimana, pada waktunya mengaktivasi plasmin dan menyebabkan koagulopati konsumtif dan konsekuensi hemoragiknya. Variasi derajat toksisitas juga membuat bisa ular dapat berguna untuk membunuh mangsa. Selama envenomasi (gigitan yang menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus menuju taring ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai substansi dengan efek yang bervariasi. Dalam istilah sederhana, protein-protein ini dapat dibagi menjadi 4 kategori : Cytotoxin menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Hemotoxin, bisa yang menghancurkan eritrosit, atau mempengaruhi kemampuan darah untuk berkoagulasi, menyebabkan perdarahan internal. Neurotoxin menyerang sistem syaraf, menyebabkan paralisis transmisi saraf ke otot dan pada kasus terburuk paralisis melibatkan otot-otot menelan dan pernafasan. Cardiotoxin berefek buruk langsung pada jantung dan mengarah pada kegagalan sirkulasi dan syok. Gambaran klinis Diagnosa gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut : 1. Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekomisis (dalam 30 menit 24 jam) 2. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala dan pandangan kabur. 3. Gejala khusus gigitan ular berbisa : - Hematotoksik : perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekia, ekimosis), hemoptoe, hematuria, koagulasi intravascular diseminata (KID). - Neuritoksik : hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang dan koma. - Kardiotoksik : hipotensi, henti jantung, koma.

- Sindrom kompartemen : edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulsesness) Derajat 0 I II Venerasi 0 +/+ Luka + + + Nyeri +/+++ Edema/eritema <3cm / 12 jam 3-12cm/12 jam >12-25 cm/12jam Sistemik 0 O + Neurotoksik, mual, pusing, syok III + + +++ >25cm/12 jam ++ Petekia, syok, ekimosis IV +++ + +++ >Ekstremitas ++ Gagal ginjal akut, koma, perdarahan Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbissa adalah : Menghalangi/memperlambat absorpsi bisa ular Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah Mengatasi efek lokal dan sistemik

Tindakan penatalaksanaan A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu dipehatikan adalah : Penderita diistrahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan Jangan memanipulasi daerah gigitan Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol.

Apabila gejala timbul secara cepat sebelum tersedia anti bisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan ini adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri.

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan Penatalaksanaan jalan napas Penatalaksanaan fungsi pernapasan Penatalaksanaan sirkulasi : beri infus cairan kristaloid Beri pertolongan pertama pada luka gigitan : verban ketat dan luas di atas luka, imobilisasi (dengan bidai) Ambil 5-10ml darah untuk pemeriksaan : waktu protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen dan HB, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukan kemungkinan adanya koagulopati. Apus tempat gigitan dengan venom detection. Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dikebalkan. Tehnik pemberian : 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi local pada luka tidak dianjurkan. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.

Derajat

Beratnya evenomasi

Taring atau gigi

Ukuran zona edema/eritemato kulit (cm)

Gejala Sistemik

Jumlah vial venom

0 I II III IV

Tidak ada Minimal Sedang Berat Berat

+ + + + +

<2 2-15 15-30 >30 <2

+ ++ +++

0 5 10 15 15

Pedoman terapi SABU : Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom Jika koagulapati tidak membaik : ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya dst. Jika koagulapati membaik : monitor ketat diteruskan dan diulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan hingga 2 x 24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Terapi suportif lainnya pada keadaan : Gangguan koagulasi berat : beri plasma fresh-frozen (dan antivenin) Perdarahan : beri transfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, transfusi trombosit Hipotensi : beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis : beri cairan dan natrium bikarbonat. Sindrom kompartemen : lakukan fasiotomi Gangguan neurotoksik : beri Neostigmin diawali dengan sulfas tropin Beri tetanus profilaksis jika dibutuhkan Untuk mengurangi rasa sakit berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obatobatan narkotik depresan. Terapi profilaksis Beri antibiotika spectrum luas. Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus : sesuai indikasi.

KOMPLIKASI Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ular koral.

Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid.

Sumber Pustaka : Syamsuhidayat & De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC; Jakarta Sudoyo Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Warrel, A David. 2010. Guideline for the management of snake bites. WHO regional office of South-East Asian. WHO. 2002. Management of Snake Bite and research Braunwald, Eugene et al. 2008. Harrisons Priciples of Intenal Medicine. The McGrawHill Companies.USA Depkes. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Depkes RI. Jakarta Tintinalli, E Judith. 2004. Emergency Medicine A Comprehensive Study Guide. Mc Graw Hill; USA

You might also like