You are on page 1of 27

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING I BLOK NEPHRO-URINARY Anyang Anyangen

Tutor: dr. Afifah

Disusun oleh: Kelompok 11 Tesa Agrawita Cahya Candra P Ulfah Izdihar Pradani Eva A Hesti Putri A Rizka Amalia Fulinda Khoirul Rijal A Eka Rizki Febryanti Tika Wulandari Rizka Oktaviana Puspitasari Mada Oktav Cakradwipa G1A010002 G1A010003 G1A010092 G1A010097 G1A010099 G1A010105 G1A010106 G1A010111 G1A010114 G1A009086 G1A008030

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2012

Anyang-anyangen

Info 1 Ny. Z, 28 tahun, seorang guru TK, datang ke klinik dr.umum dengan keluhan rasa tidak nyaman saat buang air kecil (BAK). Selama 2 hari terakhir dia harus bolakbalik ke kamar kecil untuk BAK meskipun air kencing yang keluar sangat sedikit. Kemaluannya juga terasa perih/panas saat BAK.

A. Klarifikasi istilah 1. Miksi Miksi adalah proses pengeluaran urine. Urine dari ureter secara konstan masuk ke dalam kandung kemih. Ketika terdapat 200 sampai 300 ml urine di dalam kandung kemih, keinginan untuk mengeluarkan urine timbul akibat stimulasi saraf sensori karena tegangan dalam kandung kemih meningkat. Karena jumlah dan frekuensi impuls saraf meningkat, impuls motorik menyimbulkan suatu kontraksi refleks karidung kemih dan relaksasi sfingter internal (Watson, 2002) 2. Polakisuria Frekuensi berkemih yang lebih dari 8 kali dalam sehari. Keadaan ini merupakan keluhan yang paling sering dialami oleh pasien urologi. Frekuensi berkemih yang dikeluhkan pasien bahkan bisa sangat sering, yakni kurang dari 2 jam sekali; hal ini sangat mengganggu pasien. Polakisuria biasa disebut anyang-anyangan. 3. Disuria Nyeri pada saat miksi dan terutama disebabkan karena inflamasi pada vesika urinaria atau uretra. Seringkali nyeri ini dirasa paling sakit di sekitar meatus uretra eksternus. Disuria yang terjadi di awal miksi biasanya berasal dari kelainan pada uretra dan jika terjadi pada akhir miksi adalah kelainan pada vesika urinaria (Purnomo, 2011). 4. Stranguria Berasal dari kata stranx yang berarti tetesan, dan ouron yang berarti urin, jadi, stranguria adalah pengeluaran urin yang lambat dan nyeri

akibat spasme uretra dan kandung kemih. Perasaan miksi yang sangat nyeri dan disertai dengan hematuria (Dorland, 2002; Purnomo,2011).

B. Batasan Masalah 1. Identitas pasien a. Nama b. Umur 2. Keluhan Utama 3. RPS a. Onset b. Progresifitas c. Kuantitas : 2 hari terakhir :: harus bolak balik ke kamar kecil untuk BAK (sering) d. Kualitas e. F. Perberat f. F. Peringan g. Gejala lain 4. RPD 5. RPK 6. RSosEk a. Pekerjaan : guru TK : air kencing yang dikeluarkan sangat sedikit ::: kemaluan terasa perih / panas saat BAK ::: Ny. Z : 28 tahun : rasa tidak nyaman saat BAK

C. Differential Diagnosis 1. Infeksi Saluran Kemih ISK adalah invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri dalam urin. Gejala klinis pada ISK ini tidak khas, yaitu disuria, polakisuria, nyeri supra pubik dan daerah pelvis, stranguria, tenesmus, nokturia, nyeri uretra, dan kolik ureter dan ginjal. ISK dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

a.

ISK bagian bawah Gejalanya: rasa sakit atau rasa panas di uretra sewaktu kencing dengan air kemih sedikit-sedikit serta rasa tidak enak di daerah supra pubik. Contohnya adalah sistitis dan sindroma uretra akut

b.

ISK bagian atas Gejalanya: sakit kepala, malaise, mual, muntah, demam, menggigil, rasa tidak enak atau nyeri di pinggang. Contohnya: pielonefritis akut, kronis. Pasien dengan cystitis biasanya dilaporkan dengan disuria, frekuensi,

urgency dan nyeri suprapubik. Pemeriksaan fisik biasanya ditemukan hanya rasa nyeri pada uretra atau pada area suprapubik, sedangkan pada infeksi saluran kemih bagian atas, biasanya didapatkan nyeri ketok kostovertebra (Fauci et al, 2008). Gejala klinis yang ditemukan dari informasi 1 adalah disuria dan polakisuria. Salah satu gejala klinis yang tidak khas pada ISK adalah disuria dan polakisuria. 2. Tuberculosis Urogenital Gejala Tbc UG pada traktus urinaria adalah keluhan miksi dan urgensi kronik yang tidak sembuh setelah pemberian antibiotik. Gejala yang lain adalah nyeri punggung atau pinggang, suprapubik, hematuria, frekuensi, dan nokturia. Biasanya pasien wanita datang dengan keluhan infertilitas, menstruasi tidak teratur, dan nyeri. Pada informasi 1 didapatkan bahwa pasien mengeluhkan sering bolak balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. 3. Sindroma Nyeri Buli-buli Sindroma nyeri buli-buli adalah sindroma berupa nyeri suprapubik yang berhubungan dengan pengisian buli-buli, dan diikuti dengan gejala frekuensi dan nokturia, tanpa didapatkan adanya infeksi saluran kemih dan kelainan patologi pada buli-buli. Dari inforamasi 1 didapatkan bahwa pasien mengeluhkan sering bolak-balik kamar mandi untuk buang air kecil.

4.

Diabetes Mellitus Diabetes mellitus tipe 2, manifestasi klinik yang dapat ditemukan adalah polyuri dan polydipsi. Hal ini harus ditanyakan riwayat DM keluarga pasien, dan gejala 3P pada pasien (Kumar et al, 2007)

Info 2 Ny Z baru menikah 1 minggu yang lalu. Dalam keluarganya tidak ada yang menderita DM. Ny. Z juga tidak merasakan mudah haus, lapar, dan sering buang air kecil. Ny.Z mengaku tidak mengalami keputihan, tidak merasa demam, mual, maupun nyeri pinggang. Sebelum menikah, Ny. Z cukup sering mengalami hal seperti ini sekitar 3-4 kali dalam setahun. Setiap kali berobat ke dokter umum kemudian sembuh setelah minum obat.

Pemeriksaan fisik : Kesadaran Vital sign : compos mentis, keadaan umum : sedang : TD 120/80 mmHg ,Nadi 88x/mnt, RR 20x/mnt

Kepala dan leher : dbn Thorax Abdomen : cor dan pulmo dbn : nyeri tekan suprapubik (+), nyeri ketok kostovertebrae ( -)

Gejala ISK Atas ISK Bawah Sindroma (sistitis Tb

Nyeri Buli- Urogenital Buli

Anyang-anyangan (polakisuria)

Rasa perih atau terbakar + saat miksi (disuria) Anyang-anyangen yang +

berulang 3-4 kali dalam setahun (rekuren)

Suhu normal

Cenderung + meningkat Tanda

Meningkat

Meningkat

Nyeri kostovertebrae

ketok +

Nyeri tekan suprapubik

Berdasarkan tanda dan gejala pasien pada info 2 dapat mengeliminasi sindroma nyeri buli buli, Tb Urogenital, dan ISK Atas. Sehingga dari hasil tersebut didapatkan satu diagnosis yaitu ISK bawah. = tidak sesuai dengan yang diharapkan

Info 3 Hasil pemeriksaan urin Ny. Z: Leukosit esterase +2, darah +2, leukosit 50/lapang pandang pembesaran kuat (hpf), eritrosit 10/hpf, bakteri +, beberapa sel epitel skuamosa. Interpretasi info 3 Leukosit esterase +2 Leukosit 50/hpf Eritrosit 10/hpf Bakteri + : curiga infeksi (normal: negative) : piuria (normal: 2 4 sel/LPB) : hematuria (normal: 0 3 sel/LPB) : bakteriuria

Beberapa sel epitel skuamosa : normal

Diagnosis Kerja : Sistitis Akut

Gambaran Sistitis Akut (Purnomo,2011) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Polakisuria Disuria Hematuria Bakteriuria Piuria Nyeri tekan suprapubik Tidak ada demam, mual, muntah

5.

Sasaran Belajar a. Anatomi Ginjal berwarna coklat kemerahan, berbentuk kacang, dengan permukaan halus. Terletak di samping columna vertebra di cavitas abdomen dinding posterior, setinggi T12 sampai L3. Ginjal juga termasuk organ retroperitoneal, yang berarti dibelakang peritoneum parietal. Ginjal memiliki beberapa bagian. Bagian lateral yang convex dan medial yang concave. Pada bagian medial, terdapat sinus renalis, dan hilum sebagai tempat lewatnya vasa renalis, saraf, pembuluh limfa dan ureter. Bagian terluar ginjal diselimuti capula renalis, cortex tepat dibawahnya, diikuti medulla. Bagian medulla ini terdiri dari piramida renalis. Setiap bagian piramida renalis, akan menyalurkan urin ke calyx minor lewat papilla renalis. Calyx minor akan diteruskan ke calyx mayor, pelvis renalis, dan terakhir lewat ureter ke vesica urinaria (Shier et al, 2001).

Gambar 1. Gambaran radiografi ginjal, ureter, dan vesica urinaria dengan zat kontras (Shier et al, 2001). Perdarahan Ginjal Ginjal mendapat suplai darah dari arteri renalis yang berasal dari cabang aorta descendens pars abdominalis. Arteri renalis ini akan bercabang menjadi arteri segmentalis-arteri lobaris-arteri interlobarisarteri arcuata-arteri interlobularis dan berlanjut menjadi arteriole afferent di glomerulus, vena mengikuti nama arteri (Shier et al, 2001).

Gambar 2. Perdarahan Ginjal (Shier et al, 2001).

Gambar 3. Potongan transversal abdomendilihat dari ventral superior (Shier et al, 2001).

Gambar 4. Potongan sagital, tampak ren dibungkus fascia renalis, corpus adiposum pararenal dan perirenal (Shier et al, 2001). b. Fisiologi Ginjal berfungsi mempertahankan stabilitas volume cairan dan komposisi elektrolit tubuh. Selain itu ginjal juga merupakan jalan penting untuk mengeluarkan berbagai zat sisa metabolik yang toksik dan senyawa senyawa asing dari tubuh. Secara spesifik fungsi ginjal antara lain (Sherwood, 2001): 1) Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh. 2) Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4-, PO4-, dan H+. 3) Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O. 4) Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.

5) Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O. 6) Mengekskresikan (eliminasi) produk produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak. 7) Mengekskresikan banyak senyawa asing, missal obat, zat penambah pada makanan, pestisida, dan bahan bahan eksogen non nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh. 8) Mengekskresikan eritropoietin, suatu hormone yang dapat

merangsang pembentukan sel darah merah. 9) Mengekskresikan rennin, suatu hormone enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting dalam proses konservasi garam dalam ginjal. 10) Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Ginjal disusun oleh nephron yang berperan sebagai satuan fungsional ginjal. Nephron berperan dalam pembentukan urin.

Komponen penyusun nephron adalah (Sherwood, 2001): 1) Komponen vaskular: arteriol aferen, glomerulus, arteriol eferen, kapiler peritubular 2) Komponen tubulus: kapsul bowman, tubulus proksimal, lengkung henle, tubulus distal, tubulus kolektivus. 3) Kombinasi komponen vaskular dan tubulus: apparatus

jukstaglomerulus Terdapat 2 jenis nephron yaitu: 1) Nephron korteks 2) Nephron juxtamedular Proses dasar pembentukan urin (Sherwood, 2001): a. Filtrasi glomerulus Pada saat darah mengalir melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsul

bowman. Setiap hari terbentuk rata rata 180 liter ( sekitar 47,5 galon) filtrate glomerulus (cairan yang difiltrasi). b. Reabsorpsi tubulus Reabsorpsi tubulus merupakan perpindahan bahan bahan yang bersifat selektif dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah. Pada saat filtrate mengalir melalui tubulus, zat zat yang bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Zat zat yang direabsorpsi seperti Na+, Cl-, air, urea. c. Sekresi tubulus Perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus, merupakan rute kedua bagi zat dari darah untuk masuk ke dalam tubulus ginjal. Urin yang terbentuk disalurkan ke ureter dan kemudian di tamping di dalam vesica urinaria selanjutnya melewati urethra terjadilah proses eliminasi (proses mikturisi atau berkemih). Mikturisi atau berkemih merupakan proses pengosongan kandung kemih, diatur oleh 2 mekanisme yaitu refleks berkemih dan kontrol berkemih. Refleks berkemih dicetuskan apabila reseptor reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang. Kandung kemih pada seorang dewasa dapat menampung sampai 250 atau 400 ml urin sebelum tegangan di dindingnya mulai meningkat untuk mengaktifkan reseptor regang ambang ini, semakin besar tingkat pengaktifan reseptor. Serat serat aferen dari reseptor regang membawa impuls ke korda spinalis dan akhirnya melalui antarneuron merangsang saraf parasimpatis yang berjalan ke kandung kemih dan menghambat neuron motorik yang mempersarafi sfingter eksterna. Stimulasi parasimpatis pada kandung kemih menyebabkan organ ini berkontraksi. Untuk membuka sfingter interna tidak diperlukan mekanisme khusus; perubahan bentuk kandung kemih sewaktu organ tersebut berkontraksi secara mekanis menarik sfingter interna terbuka. Secara simultan, sfingter eksterna melemas karena neuron neuron motoriknya dihambat. Sekarang kedua sfingter

terbuka dan urin terdorong keluar melalui uretra akibat gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi kandung kemih (Sherwood, 2001). Pengisian kandung kemih, selain memicu refleks berkemih, juga menyebabkan timbulnya keinginan sadar untuk berkemih. Persepsi kandung kemih yang penuh muncul sebelum sfingter eksterna secara refleks melemas, sehingga hal tersebut member peringatan bahwa proses berkemih ajan segera dimulai. Akibatnya kontrol volunteer terhadap berkemih, yang dipelajari selama toilet training pada masa anak anak dini, dapat mengalahkan refleks berkemih, sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang bersangkutan dan bukan pada saat pengisian kandung kemih pertama kali mencapai titik yang menyebabkan pengaktifan reseptor regang. Apabila saat berkemih tidak tepat sementara refleks berkemih sudah dimulai, pengosongan kandung kemih dapat secara sengaja dicegah dengan mengencangkan sfingter eksterna dan diafragma pelvis. Impuls eksitatorik volunteer yang berasal dari korteks serebrum mengalahkan masukan inhibitorik refleks dari reseptor regang ke neuron neuron motorik yang terlibat, sehingga otot otot ini tetap berkontraksi dan urin tidak dikeluarkan (Sherwood, 2001). c. Histologi 1. Renal Renal potongan sagital dibagi menjadi korteks dan medulla 1. Korteks terpulas gelap, berada di sebelah luar yang terdiri dari corpuskulum renal, tubulus kontortus proksimal dan distal, columna renalis, arteri dan vena interllobularis. 2. Medulla terpulas terang, berada disebelah dalam yang terdiri dari pyramid-piramid renalis dengan apeks membentuk papilla renalis dan basisnya menghadap kortek. Dimedula juga terdapat duktus koligentes atau duktus collectivus yang merupakan lanjutan dari tubulus kontortus distal (Eroschenko, 2010)

Gambar 2.1 Renal

Gambar 2.2 corpuskulum renal dan tubulus renal Tubulus kontortus proksimal 1. Saluran berwarna merah 2. Lumen tidak rata, celah sempit karena sel dipermukaannya memiliki brush border 3. Sel kolumner selapis, batas tidak jelas Henle dinding tipis 1. Lumen kecil, pipih 2. Sel pipih terdiri dari 2-3 sel 3. Inti menonjol kea rah lumen 4. Sitoplasma pucat (agak violet) Henle dinding tebal 1. Lumen bulat 2. Sel-sel 3-5, kuboid

Tubulus kontortus distal 1. Lumen jelas, bulat dan teratur 2. Sel-sel 5 atau lebih, batas antar sel jelas 3. Sel kuboid simpleks / kolumner rendah 4. Sitoplasma violet Tubulus colektivus/koligentes 1. Lumen besar 2. Sitoplasma ungu / pucat
3. Sel-sel kuboid simpleks / kolumner simpleks. Pada duktus papilaris

bellini berbentuk kolumner (Sulistyoningrum, 2012)

Gambar 2.3 ureter dan uretra Ureter dan uretra Lapisan-lapisannya: 1. 2. 3. 4. Tunica mukosa, yang terdiri dari sel epitel transisional Tunica submukosa, yang terdiri jaringan ikat Tunica muscularis Tunica adventisia yang dapat dijumpai sel-sel adipose, pembuluh darah, dan syaraf (Sulistyoningrum, 2012)

Gambar 2.4 vesica urinaria Lapisan-lapisan vesica urinaria: 1. 2. 3. Tunica mukosa, terdiri dari 5-7 lapis sel epitel transisional Tunica propria yang tidak begitu padat Tunica muscularis, tampak kompak dan terdiri dari 3 lapis otot. Lapisan longitudinal dalam, sirkuler, dan longitudinal luar. 4. Tunica serosa terdapat lapisan mesotel, sebagian lagi adventisia yang tidak dilapisi mesotel (Sulistyoningrum, 2012) d. Definisi, Etiologi dan Epidemiologi Sistitis adalah inflamasi pada vesika urinarius dan merupakan infeksi saluran kemih yang paling sering terjadi. Sistitis dibedakan menjadi 2, yaitu sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut -> Mukosa vesika urinarius menjadi hiperemis dan menghasilkan eksudat Sistitis kronik -> Diakibatkan oleh infeksi berulang atau persisten di vesika urinarius. Sistitis kronik menyebabkan penebalan mukosa sehingga dinding vesika urinarius menjadi tidak menggelembung. Hal ini berefek pada kemampuan vesika urinarius untuk menyimpan urine dan berkontraksi selama mikturisi (Stevenson, 2003). Etiologi Sistitis 1. Eschericia coli, Proteus sp., dan Enterobacter

2. Candida albicans pada pasien dengan pemberian antibiotik jangka panjang 3. Cryptococcus sp. pada pasien dengan imunosupresan 4. Schistosoma sp. yang sering dijumpai pada pasien di negara-negara timur tengah 5. Mycobacterium tuberculosis Selain karena mikrobakteri, sistitis juga bisa disebabkan oleh kerusakan organ vesika urinarius akibat radiologi dan obat-obatan (Stevenson, 2003). Epidemiologi Sistitis Infeksi saluran kemih pada anak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Angka rasio kejadian infeksi saluran kemih pada anak dilaporkan untuk rasio bayi laki-laki dan perempuan pada awal kehidupan bayi adalah antara 3:1 dan 5:1. Setelah masa bayi, anak perempuan lebih sering mengalami infeksi saluran kemih dibandingkan laki-laki yaitu dengan rasio L/P 1:4 untuk infeksi yang simtomatis dan 1:25 untuk infeksi yang asimtomatis. Prevalensi pada anak perempuan berkisar 3-5% sedangkan anak laki-laki 1% (Kusek, 2001). Angka kekambuhan cukup tinggi yaitu pada anak perempuan 30% pada tahun pertama dan 50% pada 5 tahun ke depan. Sedangkan pada anak laki-laki angka kekambuhan sekitar 15-20% pada tahun pertama dan setelah umur 1 tahun jarang ditemukan kekambuhan. ISK yang terjadi nosokomial di rumah sakit pernah dilaporkan sebanyak 14,2% per 1000 penderita anak, hal ini terjadi biasanya karena pemakaian kateter urin jangka panjang (Kusek, 2001).

e.

Faktor Risiko ISK Faktor resiko yang berpengaruh terhadap infeksi saluran kemih (Tessy, 2001): Panjang urethra. Wanita mempunyai urethra yang lebih pendek dibandingkan pria sehingga lebih mudah

Faktor usia. Orang tua lebih mudah terkena dibanndingkan dengan usia yang lebih muda.

Wanita hamil lebih mudah terkena oenyakit ini karena penaruh hormonal ketika kehamilan yang menyebabkan perubahan pada fungsi ginjal dibandingkan sebelum kehamilan.

Faktor hormonal seperti menopause. Wanita pada masa menopause lebih rentan terkena karena selaput mukosa yang tergantung pada esterogen yang dapat berfungsi sebagai pelindung.

Gangguan pada anatomi dan fisiologis urin. Sifat urin yang asam dapat menjadi antibakteri alami tetapi apabila terjadi gangguan dapat menyebabkan menurunnya pertahanan terhadap kontaminasi bakteri.

Penderita diabetes, orang yang menderita cedera korda spinalis, atau menggunakan kateter dapat mengalami peningkatan resiko infeksi.

Sebagian besar infeksi saluran kemih tidak dihubungkan dengan faktor risiko tertentu. Namun pada infeksi saluran kemih berulang, perlu dipikirkan kemungkinan faktor risiko seperti (Tessy, 2001) :

Kelainan fungsi atau kelainan anatomi saluran kemih Gangguan pengosongan kandung kemih (incomplete bladder emptying)

Konstipasi Operasi saluran kemih atau instrumentasi lainnya terhadap saluran kemih sehingga terdapat kemungkinan terjadinya kontaminasi dari luar

Kekebalan tubuh yang rendah

f. Patogenesis Hygiene tidak baik dan aktivitas seksual tidak hygiene

Iritasi lubang uretra

e.coli masuk ke uretra distal

melekat pada sel uroepitel

kolonisasi bakteri

masuk ke mukosa uretra

kolonisasi periuretral

masuk ke Vesika urinaria

merobek lapisan glikoprotein di mukosa

kolonisasi di permukaan mukosa Vesika Urinaria

g. Patofisiologi
Mikroorganisme hematogen limfogen eksogen

ascenden

Hyegene yang buruk Kontaminasi bakteri pada anus dan vagina

Ginjal yang sudah terinfeksi Terbawa aliran darah Invasi kuman SISTITIS

Naik melalui meatus urinarius

uretra Melekat di mukosa uretra

Mekanisme alammi pertahanan tubuh terganggu (wash out mechanism) Multipilakasi koloni pada uretra inflamasi Permeabilitas kapiler

Menempel pada sel epitel uretra dengan perantara fimbriae

VU jadi spt teregang

Vesika urinaria Edema sfingter Merusak lap. Pelindung mukosa inflamasi Jar. Mukosa teriritasi Eritem, edema fungsi sfingter

Rangsang reseptor u/ segera mengeluarkan isinya walaupun belum penuh

urgensi

frekuensi hematuria

h. Penegakan Diagnosis 1) Anamnesis Nama : Nyonya Z Umur : 28 tahun Keluhan utama Kuantitas Kualitas sedikit Keluhan lain : kemaluan perih pada saat buang air kecil RPD setahun RPK : keluarganya tidak ada yang menderita Diabetes Mellitus : sering mengalami hal seperti ini, sekitar 3-4 kali dalam : rasa tidak nyaman saat buang air kecil Onset : 2 hari yang lalu : sering buang air kecil : buang air kecil dengan frekuensi urin yang sedikit-

2) Pemeriksaan Fisik Abdomen : nyeri tekan suprapubik (+) 3) Pemeriksaan Penunjang Urin : Urynalisis : Leukosit esterase (++) Bakteri (+) Leukosit 50/lp Eritrosit 10/ HPF

i. Manajemen Infeksi Saluran Kemih

Manajemen Infeksi Saluran Kemih Pada Penderita Diabetes Melitus 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pemberian antimikroba dengan penanganan selama 2 minggu Pemasukan cairan yang cukup ke dalam tubuh Mengosongkan vesika urinaria setelah BAK Mengurangi penggunaan kateter Minum jus cranberry Vaksin Menurunkan kadar gula dalam darah (<200 mg/dl)

j.

Penatalaksanaan Tujuan pengobatan ISK adalah (Dipiro, 2005): Mencegah dan menghilangkan gejala

Mencegah dan mengobati bakteriemia dan bakteriuria Mencegah dan mengurangi risiko kerusakan jaringan ginjal yang mungkin timbul dengan pemberian obat-obatan yang sensitif dan murah, aman dengan efek samping yang minimal

Penatalaksanaan non farmakologis seperti berikut (Dipiro, 2005): Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik Menjaga kebersihan genitale eksterna Perawatan di rumah sakit diindikasikan jika ada gejala sepsis atau bakteremia (bakteremia : bakteri menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah). Antibiotik yang diberikan umumnya per oral (diminum). Beberapa antibiotik yang dapat digunakan adalah (Trevor, 2005):

Amoxicillin 20-40 mg/kg/hari dalam 3 dosis. Sekitar 50% bakteri penyebab ISK resisten terhadap amoxicillin. Namun obat ini masih dapat diberikan pada ISK dengan bakteri yang sensitif terhadapnya.

Co-trimoxazole atau trimethoprim 6-12 mg trimethoprim/kg/hari dalam 2 dosis. Sebagian besar ISK akan menunjukkan perbaikan dengan cotrimoxazole. Penelitian menunjukkan angka kesembuhan yang lebih besar pada pengobatan dengan cotrimoxazole

dibandingkan amoxicillin.

Cephalosporin seperti cefixime atau cephalexin. Cephalexin kira-kira sama efektif dengan cotrimoxazole, namun lebih mahal dan memiliki spectrum luas sehingga dapat mengganggu bakteri normal usus atau menyebabkan berkembangnya jamur (Candida sp.) pada anak perempuan.

Co-amoxiclav digunakan pada ISK dengan bakteri yang resisten terhadap cotrimoxazole. Harganya juga lebih mahal dari

cotrimoxazole atau cephalexin.

Obat-obatan seperti asam nalidiksat atau nitrofurantoin tidak digunakan pada anak-anak yang dikhawatirkan mengalami

keterlibatan ginjal pada ISK. Selain itu nitrofurantoin juga lebih

mahal dari cotrimoxazole dan memiliki efek samping seperti mual dan muntah. Lama pemberian antibiotik pada ISK umumnya adalah 7 hari pada infeksi akut.3 Walaupun ada pihak yang menganjurkan 10-14 hari, namun pemberian dalam waktu sepanjang itu memberikan kemungkinan lebih besar untuk terjadinya resistensi, gangguan bakteri normal di usus dan vagina, dan menyebabkan candidiasis. Sedangkan pengobatan parenteral umumnya dilakukan dengan cephalosporin seperti ceftriaxone 75 mg/kg setiap 24 jam. Sebagian pihak memilih gentamicin 7.5 mg/kg per 24 jam dan benzylpenicillin 50 mg/kg per 6 jam untuk anak di atas 1 bulan Selain antibiotik, pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi gejala contohnya adalah penurun demam jika diperlukan. Obat-obatan lain yang pada orang dewasa digunakan untuk ISK, umumnya tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak-anak. Jika tidak ada perbaikan dalam 2 hari setelah pengobatan, contoh urin harus kembali diambil dan diperiksa ulang.1 Kultur ulang setelah 2 hari pengobatan umumnya tidak diperlukan jika diperoleh perbaikan dan bakteri yang dikultur sebelumnya sensitif terhadap antibiotik yang diberikan. Jika sensitivitas bakteri terhadap antibiotik yang diberikan atau tidak dilakukan tes sensitivitas/resistensi sebelumnya, maka kultur ulang dilakukan setelah 2 hari pengobatan (Dipiro, 2005).

k. Komplikasi dan Prognosis 1) Komplikasi (Grace, 2007): a) Bakterimia dan syok septik b) Abses ginjal, perinefrik, dan metastasis c) Kerusakan ginhal dan gagal ginjal akut/kronis d) Pielonefritis kronis 2) Prognosis Pengobatan dengan antibiotik biasanya menyembuhkan infeksi saluran kemih. Pada beberapa kasus, sistitis yang tidak dirawat akan menyebabkan menyebarnya bakteri ke traktus urinarius bagian atas

dan menyerang ginjal. Pasien akan semakin sakit jika bakteri sudah menyebar ke dalam darah yang disebut sebagai keadaan urosepsis. Biasanya antibiotik intravena lebih efektif. Pasien dengan urosepsis perlu perawatan jangka panjang antibiotik, tapi hal ini dapat dilakukan di rumah dengan antibiotik oral.

DAFTAR PUSTAKA

Andy, I.M et al. 2003. Pathogenesis and Management of Bacterial Urinary Tract Infections in Adult Patient with Diabetes Mellitus. International Journal of Antimicrobial Agents 22 S35-S43. Dipiro, Joseph, T, dkk. 2005. Dipiro Edisi 6. New York: McGraw-Hill. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.Jakarta: EGC. Fauci et al. 2008. Disorders of the Kidney and Urinary Track. Harrison's Principles Of Internal Medicine 17th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. Grace, Pierce. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Ed. 3. Jakarta: Erlangga. Kumar et al. 2007. The Endocrine System. Robbins Basic Pathology 8th Edition. USA: Saunder Elseviers. Kusek J, Nyberg L. The epidemiology of interstitial cystitis: is it time to expand our definition?Urology. 2001;57:9599. Nickel, J Curtis. 2005. Practical Management Of Recurrent Urinary Tract Infections in Perimenopousal Women. Dept. Urology Queens University : Canada. Purnomo, Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Seto. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC. Shier et al. 2001. Holes Human Anatomy and Physiology. USA : The McGraw Hill Co. Stevenson, Frazier. 2003. Crash Course: Renal System. Philadelphia: Elsevier. Sulistyoningrum, Evy; et al. 2012. Petunjuk Praktikum Histologi Semester 5 Blok Sistem Nefrourinary. Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman. Tessy A, Ardaya, Suwanto. 2001. Infeksi Saluran Kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universita Indonesia.

Trevor AJ, Katzung Bg, Masri SB. 2005. Katzung and Trevors Pharmacology examination and board review 7th edition. New York: McGraw-Hill. Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi Edisi 10. Jakarta: EGC.

You might also like