You are on page 1of 29

TINJAUAN PUSTAKA INTERVENSI GIZI PADA PASIEN PANKREATITIS

Disusun Oleh : dr.Risky Ika Riani Pembimbing : dr. Niken Puruhita Msi.Med,Sp.GK dr. Muji Sp.PK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I GIZI KLINIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG APRIL 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendisitis dicetuskan oleh berbagai factor, diantaranya adalah hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris. Meskipun sebagian besar pasien dengan apendisitis dapat dengan mudah didiagnosis tetapi tanda dan gejalanya cukup bervariasi, sehingga diagnosis secara klinis dapat menjadi sulit ditegakkan, untuk itu dokter harus mempunyai pengetahuan yang baik untuk mengenal apendisitis. Apendisitis tidak mungkin dapat ditegakkan hanya dengan satu galala klinis ataupun oleh satu test khusus untuk mendiagnosanya secara tepat. Beberapa kasus apendisitis dapat sembuh tanpa pengobatan, tapi banyak juga yang memerlukan laparotomi. Apendisitis dapat menyebabkan kamatian karena peritonitis dan syok.(1) Apendisitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang progresif dan menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan diagnosa dan keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan peningakatan morbiditas dan mortalitas. Di Amerika Serikat, kasus apendisitis terjadi sekitar 250.000 kasus pada periode 1979-1984. Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada Negara berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi.(2) Hal ini diakibatkan karena masyarakat di negara maju sudah mulai sadar

akan pentingnya makan makanan yang baik untuk kesehatan dengan mengkonsumsi banyak makanan berserat.(3) Kebiasaan diet tinggi serat akan menyebabkan kejadian apendisitis jarang terjadi, dikarenakan serat akan menurunkan viskositas feses, mempersingkat waktu transit feses dan menghambat pembentukan fekalit, dimana diketahui bahwa fekalit dapat menyababkan obstruksi pada lumen apendiks.(1) Menurut data epidemiologi apendisitis jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2. Pada penelitian Kim dan Smith, pada 29 pasien dengan umur >65 tahun (66-90 tahun), prevalensi apendisitis lebih banyak terjadi pada wanita dengan 22 pasien (795 dan sisanya 7 pasien adalah laki-laki.Penemuan patologi yang terjadi pada usia lanjut dari yang paling banyak ampai yang paling rendah adalah; inflamasi akut, apendisitis abses, akut gangrenosa, dan peritonitis.(4) Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan penyebab yang dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis. Kuman-kuman yang merupakan flora normal pada usus dapat berubah menjadi patogen, menurut Schwartz kuman terbanyak penyebab apendisitis akut adalah Bacteriodes Fragilis bersama E.coli.(5) Beberapa gangguan lain pada sistem pencernaan yang diakibatkan karena penyebab diatas antara lain sebagai berikut: Peritonitis; merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium). Gangguan lain adalah salah cerna akibat makan makanan yang merangsang lambung, seperti alkohol dan cabe yang mengakibatkan rasa nyeri yang disebut kolik. Sedangkan produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan

terjadinya gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul rasa nyeri yang disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung dalam keadaan kosong akibat makan tidak teratur yang pada akhirnya akan mengakibatkan pendarahan pada lambung. Gangguan lain pada lambung adalah gastritis atau peradangan pada lambung. Dapat pula apendiks terinfeksi sehingga terjadi peradangan yang disebut apendisitis. (6) Mengingat apendisitis banyak terjadi, maka strategi pencegahan terhadap komplikasi apendisitis harus dilakukan, agar tidak berlanjut ke arah yang lebih buruk, baik melalui serangkaian intervensi medis mulai dari pengelolaan dengan terapi medikamentosa, terapi non medikamentosa termasuk terapi diit perlu dilakukan.

1.2 TUJUAN PENULISAN NASKAH Naskah ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci mengenai apendisitis meliputi definisi, prevalensi, faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, gejala klinik, prognosis dan bagaimana pengelolaannya. Secara khusus naskah bertujuan untuk menjelaskan intervensi gizi terhadap apendisitis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apendiks Vermiformis 2.1.1 Pengertian Apendiks Apendiks atau umbai cacing adalah suatu organ yang terdapat pada sekum yang terletak pada proximal colon. Apendix dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobin (Ig-A) walaupun dalam jumlah kecil.(7) Apediks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya yang tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi.(8) 2.1.2 Anatomi Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjang 10 cm ( antara 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Sedangkan pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya (hal ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia ini).(9) Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens atau di tepi lateral kolon asendens.(10) Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti a. mesenterika superior

dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X(oleh karena itu nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus).(11) Perdarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis (arteri tanpa kolateral). Jika arteri ini tersumbat misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.(7)

Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%).(9) 2.1.3 Fisiologi Organ apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi. Tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh).(12) Immunoglobulin sekretoal merupakan zat pelindung yang efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah Ig-A. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini

dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain. Selain itu, apendiks menghasilkan lendir 1 2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisitis.(13)

Fungsi appendiks masih mengalami banyak perdebatan, namun para ahli meyakini antara lain sebagai berikut(14) :

1. Berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh

Antara lain menghasilkan Immunoglobulin A (IgA) seperti halnya bagian lain dari usus. IgA merupakan salah satu immunoglobulin (antibodi) yang sangat efektif melindungi tubuh dari infeksi kuman penyakit. Appendiks memiliki fungsi pada fetus dan dewasa. Telah ditemukan sel endokrin pada appendiks dari fetus umur 11 minggu yang berperanan dalam mekanisme kontrol biologis (homeostasis). Pada dewasa, Martin berpendapat bahwa appendiks sebagai organ limfatik. Dalam beberapa penelitian terbukti appendiks kaya akan sel limfoid, yang menunjukkan bahwa appendiks mungkin memainkan peranan pada sistem imun. Pada dekade terakhir para ahli bedah berhenti mengangkat appendiks saat melakukan prosedur pembedahan lainnya sebagai suatu tindakan pencegahan rutin, pengangkatan appendiks hanya dilakukan dengan indikasi yang kuat, oleh karena pada kelainan saluran kencing tertentu yang membutuhkan kemampuan menahan kencing yang baik (kontinen), apendiks telah terbukti berhasil ditransplantasikan kedalam saluran kencing yang menghubungkan buli (kandung kencing) dengan perut

sehingga menghasilkan saluran yang kontinen dan dapat mengembalikan fungsional dari buli.(15)

2. Apendiks dianggap sebagai struktur vestigial (sisihan) yang tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh.

Appendiks dulunya berguna dalam mencerna dedaunan seperti halnya pada primata. Sejalan dengan waktu, kita memakan lebih sedikit sayuran dan mulai mengalami evolusi, selama ratusan tahun, organ ini menjadi semakin kecil untuk memberi ruang bagi perkembangan lambung. appendiks kemungkinan merupakan organ vestigial dari manusia prasejarah yang mengalami degradasi dan hampir menghilang dalam evolusinya. Bukti dapat ditemukan pada hewan herbivora seperti halnya Koala. Sekum dari koala melekat pada perbatasan antara usus besar dan halus seperti halnya manusia, namun sangat panjang, memungkinkan baginya untuk menjadi tempat bagi bakteria spesifik untuk pemecahan selulosa. Sejalan dengan manusia yang semakin banyak memakan makanan yang mudah dicerna, mereka semakin sedikit memakan tanaman yang tinggi selulosa sebagai energi. Sekum menjadi semakin tidak berguna bagi pencernaan hal ini menyebabkan sebagian dari sekum semakin mengecil dan terbentuklah appendiks. Teori evolusi menjelaskan seleksi natural bagi appendiks yang lebih besar oleh karena appendiks yang lebih kecil dan tipis akan lebih baik bagi inflamasi dan penyakit.

3. Menjaga Flora Usus

William Parker, Randy Bollinger, and colleagues at Duke University mengajukan teori bahwa appendiks menjadi surga bagi bakteri yang berguna, saat penyakit

menghilangkan semua bakteria tersebut dari seluruh usus. Teori ini berdasarkan pada pemahaman baru bagaimana sistem imun mendukung pertumbuhan dari bakteri usus yang berguna. Terdapat bukti bahwa appendiks sebagai alat yang berfungsi dalam memulihkan bakteri yang berguna setelah menderita diare.(1)

2.2 Apendisitis Akut 2.2.1 Pengertian Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Apendisitis akut adalah proses radang bakteria yang timbul secara mendadak, apendisitis disebabkan oleh berbagai faktor.(16) 2.2.2 Sejarah Ada beberapa fakta fakta dalam buku ilmiah bahwa pada tahun 1500an, dimana para ahli mengakui adanya hubungan yang sebenarnya dengan inflamasi yang membahayakan dari daerah sekum yang disebut pertyphilitist. Meskipun dilaporkan keberhasilan apendiktomi pertama pada tahun 1776, pada 1886 baru Reginal Flitz yang membantu membuat aturan bedah dalam pengangkatan apendiks yang meradang sebagai pengobatan, yang sebelumnya dianggap fatal. Pada tahun 1889, Charles McBurney mengenalkan laporan lama sebelum New York Surgical Society mengemukakan akan pentingnya operasi apendisitis akut dini serta kelembapan titik maksimum dari perut yang ditentukan dengan menekan satu-tiga jari di garis yang menghubungkan antara spina iliaca anterior superior dengan umbilicus. Lima tahun

kemudian ia menemukan pemisahan otot dengan pemotongan yang kini dikenal dengan namanya.(17)

2.2.3 Etiologi

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya (1) : 1. Faktor sumbatan Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.

2. Faktor Bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.

3. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

4. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

5. Faktor infeksi saluran pernapasan

Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit

infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.

2.2.4 Klasifikasi

Klasifikasi Apendisitis ada 2, yaitu(18) :

1. Apendisitis Akut, dibagi atas :

a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

Appendisitis akut dalam 48 jam dapat menjadi :

a. Sembuh b. Kronik c. Perforasi d. Infiltrat

2. Apendisitis Kronis, dibagi atas :

a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. b. Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring dimana biasanya ditemukan pada usia tua.

2.2.5 Patofisiologi

Obstruksi lumen Appendiks adalah titik awal munculnya gangren atau perforasi appendisitis. Walau bagaimanapun pada beberapa kasus appendisitis yang dini, lumen appendiks masih utuh walaupun sudah ada inflamasi mukosa dan hiperplasia limfoid. Agen infeksi seperti virus (terbanyak) akan mengawali respon inflamasi pada lumen appendiks yang sempit sehingga timbul obstruksi luminal. Obstruksi dengan sekresi mukosa yang terus menerus dan eksudat inflamasi akan meningkatkan tekanan intraluminal, ini akan menghambat aliran limfa. Luminal Capacity Appendic adalah 0.1 ml, bila sekresinya 0.5ml distal terhadap obstruksi akan meningkatkan tekanan intraluminal 50cm H20. Mukosa dari appendiks mempunyai sifat khusus dimana ia masih dapat menghasilkan sekresi pada tekanan yang tinggi sehingga distensi dari lumen akan terus meningkat. Distensi ini akan merangsang ujung saraf viseral yang mensarafi appendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri awalnya dirasakan pada umbilikal dan kwadran bawah epigastrium dengan nyerinya yang tumpul dan difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikal karena persarafan appendiks berasal dari Thorakal 10 yang lokasinya pada umbilikal. Maka nyeri pada umbilikal merupakan suatu Reffered Pain. Distensi dari appendiks juga akan meningkatkan peristalsis usus sehingga menimbulkan nyeri kolik. Distensi appendiks dengan mukus ini dikenali dengan Mucocele Appendiks.(19) Selain faktor-faktor ini kuman komensal dalam appendiks yang bermultiplikasi juga akan meningkatkan distensi dari appendiks. Pada kondisi ini resolusi dapat terjadi dengan spontan atau dengan antibiotik. Apabila penyakitnya berlanjut, distensi appendiks yang semakin bertambah ini akan menyebabkan obstruksi vena dan iskemia

pada dinding appendiks. Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat akan meningkatkan tekanan vena dan menyebabkan oklusi venula dan kapiler, tetapi aliran arteriol tidak terganggu sehingga akan menimbulkan kongesti vaskular appendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks nausea dan muntah diikuti dengan nyeri viseral yang semakin meningkat. Selanjutnya apabila serosa dari appendiks mulai terganggu ,diikuti dengan kehadiran Muscularis Hiatus dan peritonitis lokal, akan menimbulkan gejala nyeri alih ke kuadran kanan bawah. Bila invasi dari bakteri bertambah dalam, akan muncul gejala-gejala demam, takikardia dan leukositosis akibat absorbsi toxin bakteri dan produk dari jaringan yang mati.

Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat dikwatirkan pada appendisitis akut. Peritonitis terjadi akibat migrasi bebas bakteri melalui dinding appendiks yang iskemik, perforasi gangren appendiks atau melalui abses appendiks yang lanjut. Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis adalah usia lanjut, immunosupresi, diabetes mellitus, obstruksi fecalit pada lumen appendiks, pelvic appendic dan riwayat operasi abdomen, karena ini mengurangi kemampuan omentum untuk menutupi penyebaran kontaminan peritonitis.

Pasien dengan faktor-faktor di atas lebih mudah mengalami perburukan klinis yang berakhir dengan peritonitis diffuse dan Sindroma Septik Sistemik.(17)

2.2.6 Manifestasi klinis Appendisitis akut mempunyai gejala klinis yang banyak sekali dan menyerupai penyakit lain. Pada bebrapa kasus appendiks tidak mempunyai tanda utama, gejala, maupun tes diagnostik yang akurat.

2.2.6.1 Gejala klinis Gejala klinis appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Secara klasik nyeri timbul pertama kali ditengah bagian bawah epigastrium atau daerah umbilicus, menetap, kadang disertai rasa kram yang intermitten. Setelah periode 12 jam, biasanya antara 4-6 jam lokasi nyeri terlokalisir di kuadran kanan bawah di titik McBurney. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena memermudah terjadinya perforasi. Variasi letak appendiks akan menyebabkan letak nyeri yang bervariasi juga. Appendiks yang terletak retrosekal akan menyebabkan nyeri peda daerah sisi dan nyeri punggung, sedangkan appendiks yang terletak pelvic akan menyebabkan nyeri pada suprapubis, serta yang terletak retroileal dapat menyebabkan nyeri pada daerah testis. Bila terjadi peritonitis, dapat ditemukan nyeri tekan yang difus, defence muskuler, bising usus yang menurun atau hilang pada distensi abdomen. Anoreksia hampir selalu menyertai appendicitis. Vomitus terjadi pada kira-kira 75% pasien tetapi tidak terus menerus, sebagian besar pasien mengalami vomitus hanya 1-2 kali. Obstipasi sebagian besar terjadi sebelum nyeri abdomen dan merasa bahwa defekasi dapat mengurangi rasa nyeri perutnya. Diare dapat terjadi pada beberapa pasien.(20) 2.2.6.2 Pemeriksaan Klinis Tanda-tanda vital tidak mengalami perubahan yang banyak pada appendicitis yang sederhana. Kenaikan temperature jarang melebihi 10C. Kecepatan nadi dapat normal atau sedikit meningkat.(21)

Palpasi Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan dan nyeri lepas secara klasik di kuadran kanan bawah pada appendiks letak anterior yang mengalami inflamasi. Nyeri tekan yang maksimal terletak pada atau dekat titik McBurney. Nyeri tekan pada perut kanan ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah (tanda Rovsing). Pada appendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolateral dorsal oleh uterus, keluhan nyeri pada appendiks sewaktu hamil trimester I dan III akan bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan. Anda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan orang tidak hamil, karena itu harus dibedakan apakah nyeri berasal dari appendiks atau uterus, bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari appendiks. Peristaltik usus sering normal,peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.(16) Rectal Toucher Pada rectal toucher menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada appendisitis pelvika, pada appendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan rectal toucher.(18)

Pada pemeriksaan rectal toucher, akan didapatkan : Nyeri tekan positif pada arah jam 9-11. Pada yang mengalami komplikasi, ampula teraba distensi/cenderung kolaps.

Gambar 1. Pemeriksaan Rectal Toucher Pada anak-anak, tidak diperlukan rectal toucher, karena appendiksnya berbentuk konus atau pendek. Pemeriksaan tambahan (pemeriksaan khusus) (19) 1. Rovsings Sign : Dengan cara penekanan pada kuadran kiri bawah menyebabkan refleks nyeri pada daerah kuadran kanan bawah.

Gambar 2. Pemeriksaan Rovsings sign 2. Psoas sign : Mengindikasikan adanya iritasi ke muskulus psoas. Tes ini dilakukan dengan rangsangan otot psoas dengan hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha ditahan. Tes ini dilakukan dengan cara pasien terlentang. Secara perlahan tungkai kanan pasien diekstensikan kearah kiri pasien sehingga menyebabkan peregangan m. psoas. Rasa nyeri pada maneuver ini menandakan tes positif.

Gambar 3. Pemeriksaan Psoas sign 3. Obturator sign Dilakukan untuk melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan m. Obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada appendisitis pelvika. Positif dari nyeri hipogastrik pada peregangan m. Obturator internus yang menandakan iritasi pada daerah tersebut. Tes dilakukan dengan cara pasien berbaring terlentang, tungkai kanan difleksikan dan dilakukan rotasi interna secara pasif.

Gambar 4. Pemeriksaan Obturator sign

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang 2.2.7.1 Pemeriksaan laboratorium Pada appendisitis akut tanpa komplikasi, pemeriksaan laboratorium menemukan peningkatan leukosit/leukositosis (10.000-18.000/mm3) dengan peningkatan PMN dan pergeseran kekiri. Jika leukosit > 18.000, dengan adanya shift to the left, harus dipikirkan telah terjadi perforasi atau penyakit infeksi lain, malignansi dan HIV. Neutrofilia dapat terjadi sekitar 75% pada sebagian besar kasus. Pengukuran Creaktive Protein (CRP) biasanya meningkat pada apendisitis dengan gejala yang lebih dari 12 jam. Kombinasi dari peningkatan CRP, peningkatan WBC, dan neutrofilia >75% meningkatkan sensitifitas diagnosis apendisitis akut sampai 97100%. Urinalisis biasnya abnormal pada 19-40% apendisitis. Abnormalitas yang terjadi dalah piuria, bakteriuria, dan hematuria.(16) 2.2.7.2 Foto polos abdomen Foto polos abdomen dapat membantu dalam mendiagnosis appendicitis, tetapi gambaran radiologis yang didapatkan kadang tidak spesifik dan harus diinterpretasikan dengan baik. Beberapa petunjuk dalam menilai foto polos abdomen, Adanya fluid level yang terlokalisir dalam sekum dan ileum terminal, menandakan suatu inflamasi lokal pada abdomen kanan bawa, Ileus yang terlokalisir dengan gas didalam sekum, kolon ascenden dan ileum terminal, garis panggul kanan yang tidak jelas (kabur), dimana garis radioluscen timbul akibat adanya lemak diantara peritoneum dan m. tranversus abdominis, bertambahnya densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, adanya fekalit pada fossa iliaka

kanan, bayangan psoas yang tidak jelas (kabur) pada sisi kanan, terisinya appendiks oleh gas, adanya bayangan udara bebas intraperitoneum, adanya deformitas bayangan gas sekum karena berdekatan dengan massa yang meradang (hal ini sulit untuk diinterpretasikan, karena mungkin terganggu oleh gas sekal dari cairan intraluminal atau feses. 2.2.7.3 Ultrasonografi Dapat membantu dalam menegakkan diagnosis appendiks akut. Peradangan appendiks ditujukkan dengan pembesaran diameter terluar lebih dari 6 mm, tidak tertekan, berkurangnya peristaltik ataupun akumulasi cairan disekitar

periappendikal. Appendiks yang meradang dapat ditunjukkan secara tepat pada 86% kasus, sehingga dapat menurunkan appendektomi yang tidak perlu sekitar 7% dan penundaan operasi yang lebih dari 6 jam, sebanyak 2%. USG menunjukkan sensitifitas 75%, spesifisitasnya 100%. Laparoskopi dapat digunakan sebagai alat diagnostik, sekaligus terapi. Alat ini dapat membedakan kelainan ginekologis dan ileitis dengan appendisitis. Bila diagnosis appendisitis akut dapat ditegakkan, maka dapat langsung dilakukan appendektomi per laparoskopi.(22)

2.2.7.4 CT scan Dapat digunakan untuk diagnosis appendisitis. Pada CT scan appendiks yang mengalami inflamasi tampak berdilatasi (lebih besar dari 5 cm) dan dindingnya lebih tipis. Fekalit dapat mudah dilihat, tetapi kehadirannya tidak patognomonis pada

diagnosis appendisitis. Selain itu, caecum yang dilatasi juga dapat terlihat di CT scan pada penderita apendisitis.(23) 2.8 Diagnosis Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain. Untuk menegakkan diagnosis appendisitis akut didahului dengan anamnesis yang lengkap, diikuti dengan pemeriksaan fisik dan diperkuat dengan pemeriksaan penunjang.(16) 2.9 Diagnosis Banding Terdapat banyak penyakit akut abdomen yang mempunyai tanda dan gejala yang mirip dengan apendisitis akut (1) : 2.9.1 Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. 2.9.2 Demam Dengue Demam Dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia, dan hematokrit yang meningkat.

2.9.3 Limfadenitis Mesenterika Limfadenitis mesenterika yang biasanya didahului oleh enteritis atau

gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan. 2.9.4 Kelainan ovulasi Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri peurt kana bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari. 2.9.5 Infeksi panggul Salpingitis akut kanan sering di kacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tingi daripada apendesitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat dipanggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur bila perlu untuk diagnosis banding.(24) 2.9.6 Kehamilan diluar kandungan Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan diluar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus didaerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis di dapatkan darah.

2.9.7 Kista ovarium terpuntir Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menetukan diagnosis. 2.9.10 Endometriasis eksterna Endometrium diluar rahim akan memberikan keluhan nyeri ditempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul ditempat itu karena tidak ada jalan keluar. 2.9.11 Urolitiasis pielium/ureter kanan Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria serung ditemukan. Foto perut polos atau urografi intravena dapat meyakinkan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral disebelah kanan, dan piuria. 2.9.12 Penyakit saluran cerna lainnnya Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan diperut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks. 2.10 Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adlah perforasi. Baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.

Komplikasi

apendisitis

akut

diantaranya

Apendisitis

abses,

Apendisitis

perforata,Apendisitis kronis.(1) 2.11 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan terapi bedah, dan terapi tambahan lainnya termasuk terapi gizi terutama pasca operasi. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.(11)

2.11.1 Cairan intravena Cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara

cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaranurin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan. 2.11.2 Antibiotik Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin sulbaktam, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kultur dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi.

2.11.3

Terapi Bedah Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi.

Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.

Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan telah sukses dilakukan pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus apendisitis perforasi. Saat ini laparoskopik apendiktomi lebih disukai. Prosedurnya, port placement terdiri dari pertama menempatkan port kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung ke dalam melalui 2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi, pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya di kuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah. Sekum dan apendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam metode tersedia untuk pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter, endoloops, stapling devices. Laparoskopik apendiktomi mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagus dari segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa laparoskopik apendiktomi juga mempersingkat masa rawatan di rumah sakit. Kerugian laparoskopik apendiktomi antara lain mahal dari segi biaya dan juga pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dari apendiktomi terbuka. Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat dengan peningkatan pengalaman. Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada pasien dengan perlengketan intra-abdomen yang signifikan. Pada appendisitis dengan abses atau phlegmon , dianjurkan untuk drainase abses dan appendektomi dilakukan 6-10 minggu kemudian. Pada appendisitis dengan perforasi perlu dilakukan laparotomi. Sebelum pembedahan perlu dilakukan perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik

untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob , dan pemasangan pipa nasogastrik.

2.11.4 Intervensi Gizi 2.11.4.1 2.11.5 hj

1. Ariyanti Ardita d. Apendisitis Akut. Cimahi: Universitas Ahmad Yani; 2009. 2. Addis D SN, Fowler B, Tauxe R. The Epidemiology of appendicitis and Appendectomy in US. American Journal of Epidemiology. 1990;132 ((5)):: 910-25. 3. Alexander R. P. Walker BDR, B. Faith Walker, Atholie Woolford. Appendicitis, fibre intake and bowel behaviour in ethnic groups in South Africa Postgrad Medicine Journal. 1973;49:243-9. 4. Kim Shin K.M.D SEMD. Acute Appendicitis in Patients Over Age 65 Pittsburgh, Pennsylvania http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2609523/pdf/jnma00473-0083.pdf; 1976 [cited 2013]. 5. Ivo Jurid DP, ivojin agar, Mihovil Biocd, ini a Pav d, Dubravko urlan, Dr en Budimir, t pan Jankovid, Petar re imir odid, Darko l irevid, ntonio lujevid, Marina itlid. re uency o portal and systemic bacteremia in acute appendicitis Official Journal of Japan Pediatric Society 2001;Volume 43(Issue 2):Page 152-6. 6. Price SA WL. Patofisiologi Proses-Proses Penyakit. Edisi 4 ed. Jakarta: EGC; 1994. 7. Valerie C ST. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi: EGC; 2010. 8. E. CAJ. Appendix Vermiformis Duplex Joural of Anatomy. 2005. 9. Anderson PD. Latihan dan Panduan Belajar: Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia Jakarta: EGC; 2012. 10. Keith L. Moore AMRA. Anatomi Klinis Dasar Jakarta: Hipokrates; 2008.

11. USU. BAB II. Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara; [cited 2013]. 12. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 22 Jakarta: EGC; 2010. 13. Hall GaJE. Textbook of Medical Physiology 2011. 14. Drs. H. Syaifuddin BA. Fungsi Sistem Tubuh Manusia Jakarta: Widya Medika 2001. 15. Arthur C Guyton MD. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Ed. 3 Jakarta: EGC; 2010. 16. C.S Graffeo FC. Appendicitis. Journal of Emergency Medical Clinic 1996:653-71. 17. T Shellon Ck. Acute Appendicitis. Current Surgery. 2003;60:502-5. 18. Jong Wd. Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 2) Sjamsuhidajat R, editor. Jakarta: EGC; 2005. 19. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC; 1995. 20. Ebell MH. Diagnosis of appendicitis: Ann Fam physisian; 2006. 21. A P. Diagnosis of Acute Appendicitis International Journal of Surgery. 2012;Volume 10(Issue 3):115-9. 22. Thoeni R.F RAV. Current Concepts in Imaging of Appendicitis. Journal of Radiology Clinic. 2007;45:411-22. 23. Wilson S.R BBA. Appendicitis at the Millenium. Journal of Radiology Clinic. 2000;215:349-52. 24. Fred Bongard M, Daniel V. Landers, MD, Frank Lewis, MD, . Differential diagnosis of appendicitis and pelvic inflammatory disease : A prospective analysis The American Journal of Surgery Volume 150, July 1985 (Issue 1):906.

You might also like