You are on page 1of 13

1

CONGESTIF HEART FAILURE (CHF)

1.1

Defenisi Congestif Heart Failure (CHF) Congestif Heart Failure (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan

fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan (Dipiro, et.al, 2008). 1.2 Klasifikasi CHF Menurut New York Heart Association (Mansjoer, 2001) klasifikasi fungsional jantung ada 4 kelas, yaitu: Kelas 1 Kelas 2 : Penderita kelainan jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari-hari tidak menyebabkan keluhan. : Penderita dengan kelainan jantung yang mempunyai aktivitas fisik terbatas. Tidak ada keluhan sewaktu istirahat, tetapi aktivitas sehari - hari akan menyebabkan lelah, berdebar, sesak nafas. Kelas 3 : Penderita dengan aktivitas fisik yang sangat terbatas. Pada keadaan istirahat tidak terdapat keluhan, tetapi aktivitas fisik ringan saja akan menyebabkan lelah, berdebar, sesak nafas. Kelas 4 : Penderita yang tidak mampu lagi mengadakan aktivitas fisik tanpa rasa terganggu,bahkan tanda-tanda angina terdapat pada keadaan istirahat.

1.3 Etiologi CHF Mekanisme yang mendasari terjadinya CHF meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung pada tiga faktor : yaitu preload, konteraktilitas, afterload. Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung.

Kontraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel jantung dan kadar kalsium Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan artriol. Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka curah jantung berkurang (Brunner and Suddarth 2002).

1.4

Patofisiologi CHF Penurunan kontraksi ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang

selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokontriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk menurunkan preload (Kabo & Karsim, 2002).

1.5 Tanda dan Gejala Utama 1) CHF Kronik Meliputi: mual, edema , lemah,dan dyspnea. 2) CHF Akut Meliputi: ansietas, peningkatan berat badan, nafas pendek, takikardi,

dyspnea, batuk, penurunan urin noutput, sakit kepala (Brunner and Suddarth 2002)

1.6 Pemeriksaan penunjang EKG; mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis, iskemia dan kerusakan pola. ECG; mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium, ventrikel hipertrofi, disfungsi pentyakit katub jantung.

Percobaan laboratorium Terdiri dari tes darah dan tes urine Teknik penggambaran Sinar X dan ultrasound Angiograf

1.7 Komplikasi Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah. Syok Kardiogenik, akibat disfungsi nyata Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.

1.8 Penatalaksanaan 1.8.1 Terapi Non Farmakologi a. CHF Kronik Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas. Diet pembatasan natrium Menghentikan obat-obatan yang memperparah seperti NSAIDs karena efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan natrium Olah raga secara teratur b. CHF Akut Oksigenasi (ventilasi mekanik)

1.8. 2 Terapi Farmakologi 1.8.2.1 Diuretik Gagal jantung disebabkan oleh meningkatnya natrium dan retensi cairan, sering mengakibatkan kongestif paru-paru dan sistemik. Terapi diuretik

direkomendasikan pada semua pasien yang mengalami retensi cairan. Terapi diuretik dapat mengatasi gejala pada apsien gagal jantung. Pasien gagal jantung yang tidak mengalami retensi cairan tidak membutuhkan terapi diuretik. Tujuan utama dari terapi diuretik adalah untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan retensi cairan, meningkatkan toleransi latihan dan

meningkatkan kuallitas hidup, dan menurunkan resiko rawat inap akibat gagal jantung. Terapi diuretik harus diperhatikan karena kadang kala pemberian diuretik dapat mengakibatkan overdiuresis sehingga dapat mengurangi output jantung dan dehidrasi. Terapi diuretik biasanya diinisiasi dari dosis rendah pada pasien rawat jalan, penyesuaian dosis berdasarkan gejala dan bobot badan karena penurunan bobot badan dapat mengakibatkan retensi cairan atau menurunnya cairan tubuh. Hipotensi atau perparahan fungsi ginjal (peningkatan kreatinin serum) mengakibatkan berkurangnya cairan tubuh sehingga penurunan dosis diuretik sangat diperlukan (Dipiro, et, al, 2008).

Diuretik Tiazid Diuretik tiazid seperti hidroklortiazid menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada tubulus distal (5% sampai 8% yang disaring). Tiazid merupakan diuretik lemah dan jarang digunakan tunggal pada gagal jantung. Diuretik tiazid dapat dikombinasi dengan diuretik loop untuk mendapatkan diuresis yang efektif(Dipiro, et, al, 2008).

Diuretik Loop Loop diuretik penting untuk menjaga elektrolit normal pada gagal jantung. Loop diuretik bekerja dengan cara menghambat transpor Na-K-Cl pada loop henle, dimana 20% - 25% natrium normal yang direabsorbsi. Karena loop diuretik berikatan kuat dengan protein plasma, sehingga obat ini tidak difltrasi di glomerulus. Diuretik loop mencapai tubulus melalui transpor aktif. Penggunaan NSAID dan diet natrium dapat mengurangi efikasi diuretik loop(Dipiro, et, al, 2008).

1.9.2.2 ACE Inhibitor ACE inhibitor merupaka salah satu terapi untuk gagal jantung. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan angiostensin II dengan cara menghambat Angiostensin Converting Enzym. Contoh ACE inhibitor yang sering digunakan adalah kaptopril (Dipiro, et, al, 2008).

Efek Samping Kaptopril ditoleransi dengan baik, tapi bukannya tanpa efek samping. Kaptopril menurunkan produksi aldosteron dan meningkatkan konsentrasi serum kalium. Walaupun peningkatan nya kecil, jika pasien diterapi dengan tiazid, hiperkalemia bisa terjadi. Pasein dengan penyakit ginjal kronis atau pasien yang menggunakan NSAIDs, suplemen kalium atau diuretik hemat kalium memiliki resiko hiperkalemia. Karena kalium dan kretinin serum harus dipantau selama penggunaan kaptopril. Perlu dicatat bahwa GFR dapat menurun karena penggunaan ACE inhibitor atau ARB. Hal ini disebabkan karena dihambatnya pembentukan angiostensin II penyebab vasikontriksi pada arteri yang berbeda-beda. Penurunan GFR ini dapat meningkatkan nilai kreatinin serum, dan peningkatan ini harus selalu dimonitoring selama penggunaan ACE inhibitor. Jika peningkatan kreatinin serum mencapai >3mg/dL, penggunaan ACE inhibitor harus dihentikan atau dosis diturunkan Batuk kering karena penggunaan kaptopril berkembang pada 20% pasien, dan secara farmakologi dijelaskan karena penurunan sekresi bradikinin. Batuk ini tidak

membahayakan paasien, tetapi cukup mengganggu. Hal ini harus dibedakan dengan batuk berdahak karena pulmonari edema, yang menjadi gejala gagal jantung yang tidak terkontrol dan bukannya efek samping dari penggunaan kaptopril . Efek samping yang sering terjadi adalah sakit kepala. Efek samping lainnya seperti pusing, kemerahan, mual dan muntah, gangguan perasa, dan batuk kering. Efek samping kemerahan dan kebingungan terjadi lebih sering pada pasien penurunan fungsi ginjal dan frekuensi efek ini juga meningkat dengan meningkatnya dosis. Gejala hipotensi terjadi pada 5% pasien dan tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal dan dosis. Dapat digunakan oleh pasien menyusui. Walaupun kaptopril didistribusikan pada ASI tapi dalam konsentrasi yang sangat kecil (1%) dan yang dikonsumsi bayi bahkan lebih kecil lagi, sehingga tidak terihat adverse efek kaptopril pada bayi (Dipiro, et, al, 2008).. Farmakokinetik Sekitar 60-75% dosis kaptopril diabsorbsi pada saluran pencernaan dan konsentrasi plasma puncak didapatkan setelah sekitar 1 jam. Absorbsi menurun dengan adanya makanan, tetapi secara klinik tidak berpengaruh. Ketersediaan hayati dan konsentrasi plasma puncak kaptopril menurun 25-55% jika diberikan bersamaan dengan makanan pada dosis tunggal maupun kronik. Tetapi penurunan ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efek antihipertensi kaptopril. Kaptopril 30% berikatan dengan protein plasma. Melewati plasenta dan ditemukan pdan ASI sekitar 1%. Diekskresikan dalam urin, 40-50% dalam bentuk utuh, dan sisanya dalam bentuk disulfida dan metabolit lain. Waktu paruh eliminasi dilaporkan 2-3 jam dan meningkat pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Kaptopril dapat dikeluarkan melalui hemodialisis (Dipiro, et, al, 2008).. Farmakodinamik Kaptopril merupakan terapi utama untuk gagal jantung. Mekanisme kerja dengan cara menghambat pembentukan angiostensin I menjadi angiostensi II oleh Angiostensin Converting Enzym, menurunkan aldosteron tapi tidak mutlak dieliminasi. Penggunaan captopril dapat menerapi penyakit yang disebabkan neurohormon, seperti miokardial fibrosis, miosit apoptosis, kardiak hipertropi, pelepasan norepinefrin, vasokontriksi dan retensi natrium dan air. Jika dibandingkan dengan penggunaan placebo, pasien yang diterapi dengan menggunakan kaptopril memperlihatkan kegagalan terapi yang inap rumah sakit yang lebih rendah dan

menghindari peningkatan dosis diuretik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dibandingkan dengan placebo, penggunaan kaptopril dapat meningkatkan angka bertahan hidup 20-30%. Penggunaan kaptopril juga dapat menurunkan angka kematian dan rawat inap, memperlambat perkembangan gagal jantung dan menurunkan laju infark kembali. Keberhasilan penggunaan kaptopril tergantung pada penyebab dari gagal jantung (iskemik atau non iskemik) dan pasien dengan gejala ringan, sedang hingga berat. Kaptopril selain efektif pada pasien dengan gagal jantung, juga efektif untuk mencegah perkembangan gagal jantung dan mengurangi resiko kardiovaskular. Panduan pengobatan gagl jantung saat ini menyatakan bahwa penggunaan kaptopril dapat mencegah perparahan gagal jantung, penggunaan kaptpril sangat disarankan kecuali pada pasien kontraindikasi. Kaptopril merupakan terapi lini pertama untuk hipertensi. Angiostensin Converting Enzym menfasilitasi produksi angiostensin II yang menjadi peran utama dalam regulasi tekanan darah arteri. ACE didistribusikan pada banyak jaringan, tetapi secara prinsip berlokasi pada sel endotelia. Produksi utama agiostensin II pada pembuluh darah, bukan pada ginjal. Angiostensin merupakan vasokonstriktor kuat dan ditambah denga sekresi aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan natrium yang disertai dengan hilangnya kalium. Dengan dihambatnya ACE, akan terjadi vasodilatasi dan penurunan produksi aldosteron. ACE inhibitor juga menghambat degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis substansi vasodilatasi lain (prostaglandin E2 dan prostisiklin). Meningkatnya produksi bradikinin bartanggung jawab pada penurunan tekanan darah karena kaptopril tapi juga berakibat pada batuk kering yang disebabkan oleh kaptopril. ACE inhibitor efektif mencegah hipertropi ventrikel kiri dengan cara mengurangi stimulasi langsung angiostensi II pada sel miokardial. Penggunaan kaptopril sebagai antihipertensi telah berdasarkan bukti (efektifitas). ACE inhibitor menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada pasien disfungsi ventrikel kiri dan menurunakan progres penyakit ginjal koroner. Merupakan terapi lini pertama pada semua pasien, kecuali pasien yang kontraindikasi, karena efeknya mencegah penyakit kardiovaskuler dan ginjal (Dipiro, et, al, 2008)..

Mekanisme kerja Secara kompetitif menghambat angiostensin converting enzim, mencegah perubahan angiostensin I menjadi angiostensin II yang merupakan vasokontriktor yang kuat serta ditambah dengan sekresi aldosteron. Hasil nya dapat menurunkan tekanan darah, retensi kalium, dan menurunkan reabsorbsi natrium (Dipiro, et, al, 2008).. Kontraindikasi Pasien yang hipersensitif terhadap ACE inhibitor. Kaptopril

dikontraindikasikan pada pasien hamil (trimester I dan II). Kaptopril juga dapat meningkatkan konsentrasi serum litium pada pasien yang menerima terapi litium. Kaptopril digunakan bersamaan dengan diuretik hemat kalium, suplement kalium atau ARB dapat meningkatkan konsentrasi kalium serum (Dipiro, et, al, 2008).. Penggunaan dan Pemberian Penggunaan kaptopril dimulai dari dosis yang rendah, bahkan dosis yang lebih rendah lagi pada pasien yang memiliki resiko hipotensi ortostatik atau disfungsi ginjal berat (pasien lansia, penyakit ginjal kronis). Hipotensi akut dapat terjadi selama onset terapi kaptopril. Pasien dengan penurunan natrium dan cairan, pasien lansia, atau penggunaan bersamaan vasodilator atau diuretik merupakan pasien berisiko tinggi mengalami hipotensi akut. Sangat penting untuk memulai terapi kaptopril setengah dari dosis normal untuk semua pasien dengan faktor resiko. Kaptopril digunakan untuk menajemen hipertensi, gagal jantung, setelah infark miokard dan diabetes nefropati. Setelah pemberian oral kaptopril memberikan efek maksimum setelah 1-2 jam, walaupun efek penuh kaptopril belum terlihat setelah seminggu pemberian dosis kronik. Durasi kerja tergantung pada dosis kaptopril selama 6-12 jam (Dipiro, et, al, 2008).. Untuk terapi hipertensi dosis inisial 12,5 mg 2 kali/hari, dosis ditingkatkan tergantung respon setelah 2-4 minggu penggunaan. Karena kemungkinan terjadi nya hipotensi pada penggunaan awal kaptopril, maka disarankan awal terapi diberikan pada waktu tidur. Inisial dosis 6,25 mg 2 kali/hari direkomendasikan jika kaptopril diberikan pada pasien yang juga menggunakan terapi diuretik atau pasien lansia, jika memungkinkan penggunaan kaptopril harus dihentikan 2 atau 3 hari sebelum

penggunaan kaptopril. Dosis penjagaan yang biasa diberikan adalah 25-50 mg 2 kali/hari. Jika dengan dosis ini efek pada tekanan darah tidak memuaskan maka dapat ditambahkan antihipertensi yang kedua atau dapat diganti dengan antihipertensi lain. Di Amerika, dosis kaptopril hingga 150 mg 3 kali/hari disarankan untuk pasien dengan hipertensi tidak terkontrol dengan kaptopril dosis yang lebih rendah dan penggunaan terapi diuretik (Dipiro, et, al, 2008).. Untuk terapi gagal jantung dosis inisial kaptopril adalah 6,25-12,5 mg di bawah monitoring yang ketat tim kesehatan. Dosis penjagaan yang biasa digunakan adalah 25 mg 2 atau 3 kali/hari, dosis seharusnya tidak ditingkatkan lebih dari 50 mg 3 kali/hari. Tetapi di Amerika penggunaan dosis 150 mg 3 kali.hari disarankan. Dosis kaptopril harus disesuaikan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal Pada pasien penurunan fungsi ginjal, dosis kaptopril harus diturunkan atau interval yang diperpanjang, tergantung pada nilai bersihan kreatinin.

Jika terapi harus dikombinasi dengan diuretik, maka diuretik loop menjadi pilihan dibandingkan dengan diuretik tiazid (Dipiro, et, al, 2008).. 1.9.2.3 Beta Blocker Terdapat banyak bukti dan penelitian klinik yang menyatakan bahwa beta blocker dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat gagal jantung. Panduan pengobatan kardiovaskuler Amerika menyarankan penggunaan beta blocker pada pasien stabil dengan gagal jantung selama tidak kontraindikasi atau tidak ditoleransi dengan penggunaan beta bloker. Pasien harus menerima beta bloker bahkan jika gejala telah teratasi dengan penggunaan diuretik dan ACE inhibitor. Pemberian beta bloker bersama ACE inhibitor memberikan keuntungan yang lebih baik pada gagal jantung dibandingkan dengan meningkatkan dosis kaptopril. Beta bloker juga digunakan untuk mencegah berkembangnya penyakit gagal jantung. Tiga beta bloker yang secara signifikan menurunkan mortalitas dibandingkan plasebo adalah carvedilol, metoprolol dan bisoprolol. Beta bloker menjadi standar terapi untuk pasien gagal jantung stadium I dan stadium II. Perlu diinformasikan kepada pasien

10

bahwa terapi beta bloker diharapkan memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan penyakit dan kemampuan bertahan hidup pasien walaupun hanya sedikit atau tidak ada perbaikan gejala. Mekanisme yang dapat menjelaskan efek beta bloker yang bervariasi adalah efek antiaritmia, mengurangi kematian miosit dari katekolamin yang mengakibatkan nekrosis atau apoptosis, mencegah ekspresi gen fetal, meningkatkan fungsi sistolik ventrikel kiri, menurunkan kecepatan denyut jantung dan stres dinding ventrikel secara teori dapat mengurangi kebutuhan oksigen jantung, dan menghambat pelepasan renin plasma. Komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan sangat penting untuk kesuksesan terapi. Pasien harus mengerti bahwa menerima dosis target sangat penting untuk memaksimalkan keuntungan terapi. Pasien harus mengerti bahwa efek dari beta bloker bisa saja tertunda dan gejala gagal jantung bisa lebih parah selama masa pemberian dosis inisiasi. Bahkan jika terjadi perparahan gejala, pasien harus mengerti bahwa beta bloker memberikan keuntungan jangka panjang sehingga pasien harus terus melanjutkan terapi. Pada kesimpulannya, banyak data yang menyediakan bukti yang jelas tentang perlambatan perkembengan penyakit, menurunkan kejadian rawat inap akibat gagal jantung, meningkatkan kemampuan hidup pada gagal jantung. Beta bloker juga memperlihat perbaikan kualitas hidup pasien gagal jantung walaupun tidak terjadi universal. Berdasarkan data yang data, beta bloker direkomendasikan sebagai standar terapi pada semua pasien gagal jantung, tergantung pada tingkat keparahan penyakit (Dipiro, et, al, 2008)..

11

1.9.2.4 Antagonis Aldosteron Spironolakton dan eplerenone merupakan antagonis aldosteron yang bekerja menghambat reseptor mineralokortokoid, aldosteron sebagai target. Di ginjal, antagonis aldosteron menghambat reabsorbsi natrium dan ekskresi kalium. Di jantung, antagonis aldosteron menghambat matriks ekstraseluler jantung dan deposisi kolagen yang secara teori mengakibatkan fibrosis jantung dan remodeling ventrikel. Keuntungan penggunaan antagonis aldosteron pada gagal jantung tidak hanya hasil dari penghambatan kerja aldosteron pada jantung menghasilkan penghambatan fibrosis kardiak yang dimediasi dengan aldosteron dan remodeling ventrikuler. Pentingnya peran antagonis aldosteron adalah adalah pada tahap proinflamatori dan stres oksidatif yang disebabkan oleh aldosteron. Penelitian klinik menyatakan antagonis aldosteron pada gagal jantung dihubungkan dengan resiko yang minimal. Penggunaan aldosteron mengakibatkan hiperkalemia, 25% - 35% pasien rawat jalan yang diterapi dengan aldosteron mengalami hiperkalemia dan 10% - 12% berkembang menjadi hiperkelemia yang serius. Resiko hiperkalemia tergantung pada dosis, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat antagonis aldosteron dapat dilakukan dengan menurunkan dosis (spironolakton 25 mg/hari dan eplerenone 50 mg/hari). Jadi dosis antagonis aldosteron terbatas berhubung dengan efektifitas obat tapi mendapatkan resiko hiperkalemia yang paling minimal (Dipiro, et, al, 2008).

12

13

DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., dan Posey, L, W. 2008. Parmacotherapy A Pathophysiology Approach. ( 7th edition). New York : Mc Graw Hill. Katzung, Bertam G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinis. Jakarta :Salemba Glande. Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. (Edisi III). Jakarta: EGC

You might also like