You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis (Tb) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan negara dengan

pasien Tb terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalam usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit Tb merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Sampai tahun 2005, program Penanggulangan Tb dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4/RSP baru sekitar 30%. Tuberkulosis (Tb) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal dan dapat mempengaruhi semua bagian tubuh. Hampir 10 % mengenai muskuloskeletal, dan 50 % mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologis pada 10-45 % penderita. Kelumpuhan akan terjadi bila infeksi tuberkulosa mengenai korpus vertebra dan terjadi kompresi pada medula spinalis. Bila terjadi dan menetap akan mengganggu dan membebani tidak saja penderita sendiri, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Mengingat pentingnya hal ini, maka penekanan pada topik ini lebih diarahkan ke infeksi tuberkulosa pada tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru. Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis tuberkulosis dikenal juga sebagai penyakit Pott (Ports disease). Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dari kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa. Tuberkulosis yang mengenai vertebra memiliki angka kesakitan yang tinggi karena dapat menyebabkan defisit neurologis dan deformitas berat. Penatalaksanaan konservatif dan operatif yang adekuat memberikan prognosis yang baik.1 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI TULANG BELAKANG Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai penyangga tubuh dan melindungi sumsum tulang belakang. Pilar itu terdiri atas 33 ruas tulang belakang yang tersusun secara segmental yang terdiri atas 7 ruas tulang servikal (vertebra servikalis), 12 ruas tulang torakal (vertebra torakalis), 5 ruas tulang lumbal (vertebra lumbalis), 5 ruas tulang sakral yang menyatu (vertebra sakral), dan 4 ruas tulang ekor (vertebra koksigea).2

Gambar 1. Anatomi tulang belakang Vertebra tipikal terdiri dari beberapa bagian, yaitu: 1. Korpus vertebra, terletak di anterior, berfungsi untuk menjaga untuk menyangga berat badan. 2. Arkus vertebra, terletak di posterior, menutup foramen vertebra. Di dalam foramina vertebral terdapat kanal vertebral tempat medula spinalis. Fungsi dari arkus vertebra untuk melindungi medulla spinalis. Arkus vertebra terdiri dari dua pedikel melingkar, satu dari korpus, dan dua plat datar yang disebut laminae yang menyatu di garis tengah posterior. 3. Tiga prosesus, dua transversus dan satu spinosus, merupakan tempat perlekatan otot dan membantu pergerakan vertebra 2

4. Empat prosesus artikularis, dua superior dan dua inferior, masing-masing mempunyai articular facet. Prosesus artikularis terproyeksi ke superior dan inferior dari arkus vertebra. Arah dari artikular facet menentukan pergerakan alami dari vertebra dan mencegah vertebra terjatuh ke anterior.1,2

Gambar 2. Bagian-bagian tulang belakang B. DEFINISI Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa.Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan tuberkulosis sekunder yang biasanya berasal dari 3

tuberkulosis ginjal. Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau Potts disease paling sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang pada vertebra C1-2. Tuberkulosis pada vertebra ini sering terlambat dideteksi karena hanya terasa nyeri punggung/pinggang yang ringan. Pasien baru memeriksakan penyakitnya bila sudah timbul abses ataupun kifosis.3,4 C. EPIDEMIOLOGI Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini. Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong. Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus) diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada 4

area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.5 D. ETIOLOGI Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Namun, Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.(1,8) Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis dan bila diminum akan menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human berada dalam bercak ludah (droplet) orang yang terinfeksi tuberkulosis.4 Lokalisasi spondilitis tuberkolusa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.6

E. PATOGENESIS Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung Mikobakterium tuberkulosis (M.Tb), di alveolus akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kemotaksis ke arah M.Tb berada,

kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan limfangitis akan membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis atau Tb milier. Juga dapat menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya.5,7,8 F. PATOFISIOLOGI Basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna.9 Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat 6

menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra torakalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis10 sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal 10. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu: 1. Penekanan oleh abses dingin 2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis 3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya 4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak 7

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu : 1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anakanak umumnya pada daerah sentral vertebra. 2. Stadium destruksi awal Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. 4. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu : a. Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

b. Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. c. Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia. d. Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. 5. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan. Penyebaran basil ke vertebra menyebabkan spondilitis yang mengenai korpus vertebra. Spondilitis tuberkulosis ditandai dengan destruksi progresif yang lambat pada bagian anterior corpus vertebra disertai osteoporosis regional. Spondilitis korpus vertebra ini dibagi menjadi 3 bentuk:3,4 1. Bentuk sentral Destruksi awal pada sentral korpus vertebra yang dekat dengan lempeng subkondral (biasanya ditemukan pada anak-anak) 2. Bentuk paradiskus Terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebralis (biasanya ditemukan pada orang dewasa) 3. Bentuk anterior Lokus awal di korpus vertebra bagian anterior yang merupakan perjalanan per kontinuitatum dari vertebra di atasnya 9

Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis ini bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah pembentukan tulang dan membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul tuberculous sequstra. Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior. Sering juga terjadi fistel tunggal atau multiple di kulit dari limfadenitis tuberkulosis di leher atau di lipat paha. Bila spondilitis sudah mengenai vertebra torakal atau lumbal maka nanahnya akan dikeluarkan melalui fasia otot psoas yang merupakan locus minoris resistance sehingga terbentuk abses psoas. Abses ini dapat turun ke region inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses yang terbentuk merupakan abses dingin tanpa disertai tanda-tanda radang. Abses juga dapat berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medulla spinalis dan mengakibatkan Potts paraplegia. Gejala awal paraplegia dimulai dengan kaki terasa kaku, lemah atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dari penurunan daya kontraksi otot tungkai dan peningkatan tonusnya sehingga terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya terjadi kontraktur. Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal, bukan lumbal karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda equine tidak mudah tertekan. Diskus intervertebralis yang avaskuler resisten terhadap infeksi tuberkulosis, namun diskus di sekitarnya menyempit karena dehidrasi bahkan dapat dirusak oleh jaringan granulasi tuberkulosis. Destruksi progresif bagian anterior korpus vertebra menyebabkan kolapsnya bagian tersebut sehingga terjadi kifosis.4

10

Gambar 3. Spondilitis tuberkulosis G. GEJALA KLINIS Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun. Suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries).6,9 Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala. Gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.6 Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada.3,6 Di regio lumbal abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.6 11

H. DIAGNOSIS6 1. Anamnesis Didapatkan adanya nyeri kronis pada tulang belakang yang disertai hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan dan adanya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis akan lebih memperkuat diagnosa.

2. Pemeriksaan fisik a. nyeri tekan pada tulang belakang yang terkena infeksi dan pergerakan yang terbatas akibat nyeri dan spasme dari otot-otot paraspinal. b. ditemukan gibbus atau deformitas berupa kifosis atau teraba adanya fluktuasi pada pinggang atau inguinal. c. adanya gangguan neurologis berupa gangguan motoris dari yang ringan sampai yang paling berat 3. Pemeriksaan Penunjang4 a. Pemeriksaan laboratorium 1) Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis 2) Uji Mantoux positif 3) Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium 4) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional 5) Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel b. Pemeriksaan radiologis
1)

Pemeriksaan foto toraks Untuk melihat adanya tuberkulosis paru Foto polos vertebra Ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (birrds nets) di daerah torakal berbentuk bulbul dan pada daerah

2)

12

lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
3)

Pemeriksaan mielografi Dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang. Pemeriksaan CT scan CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak.

4)

5)

Pemeriksaan MRI Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang dan menunjukkan adanya penekanan saraf.

I. DIAGNOSIS BANDING5
1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain. 2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.
3. Tumor/penyakit

keganasan

(leukemia, bone

Hodgkins cyst dan

disease, Ewings

eosinophilic sarcoma)

granuloma,

aneurysma

Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas. 4. Scheuermanns disease

13

Mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

J. PENATALAKSANAAN6 Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut:9 1. Pemberian obat antituberkulosis 2. Dekompresi medulla spinalis 3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi
4.

Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas: 1. Terapi konservatif a. Tirah baring (bed rest) untuk mencegah paraplegia b. Memperbaiki keadaan umum penderita dan pemberian tuberkulostatik c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi. Dengan memberikan corset yang mencegah gerak vertebrae/membatasi gerak vertebrae. Corset tadi dapat dibikin dari gips, dari kulit/plastik, dengan corset tadi pasien dapat duduk/berjalan. Obat-obatan yang diberikan terdiri atas: a. Isoniazid (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg berat badan. b. Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari. c. Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari. d. Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi e. Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. 14

Regimen yang dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di Korea diberikan kombinasi antar INH+ Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH + Etambutol selama 9-18 bulan. Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah: Kategori 1 Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua tahap, yaitu : 1) Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). 2) Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan tiga kaii seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).

Kategori 2 Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minuet obat selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap. Yaitu : 1) Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali) 2) Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66 kali). Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila: 1) Keadaan umum penderita bertambah baik 2) Laju endap darah menurun dan menetap 3) Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang 4) Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra b. Terapi Operatif

15

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis. 1) Abses dingin (Cold Abses) Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu: a) Debrideman fokal b) Kostotransveresektomi c) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan 2) Paraplegia Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu pengobatan dengan kemoterapi a) Laminektomi b) Kosto-transveresektomi c) Operasi radikal d) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang 3) Kifosis Operasi dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyal tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal. Indikasi operasi 1) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkolusi diberikan obat tuberkulostatik. 2) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft. 3) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis.
K. KOMPLIKASI4

16

Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Potts paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces.

L. PROGNOSIS

Prognosis spondilitis tuberkulosis tergantung pada cepatnya dilakukan terapi, sensitivitas kuman tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya kurang baik. Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pengobatan.4,10

17

BAB III PENUTUP Spondilitis tuberkulosis atau tuberkulosis spinal yang dikenal juga dengan nama Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak. Spondilitis tuberkulosis merupakan perhatian cukup serius karena dapat menimbulkan komplikasi yang berat berupa gangguan neurologis berupa paraplegi. Hal ini disebabkan karena penderita spondilitis tuberkulosis biasanya datang terlambat untuk mendapatkan pengobatan dan pada pemeriksaan klinis serta radiologis sudah ditemukan adanya kerusakan tulang belakang yang sudah lanjut dan disertai gangguan neurologis. Sehingga diharapkan pada petugas kesehatan untuk terus dapat memperbaiki pelayanan kesehatan untuk mencegah penyakit ini, diharapkan juga kepada masyarat untuk waspada terhadap penyakit ini dengan meningkatkan kualitas hidup sehat dan melakukan pemeriksaan klinis sediini mungkin jika terdapat tanda spondilitis tuberkulosis. 18 dan gejala dari penyakit

DAFTAR PUSTAKA

1. Newanda JM. Spondilitis tuberkulosa. Accessed February 3, 2012. Available from: www.newandajm.wordpress.com/2009/09/03/spondilitis-tuberkulosa 2. Moore L, Agur A. Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipokrates; 2003 3. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005 4. Ara. Spondilitis tuberkulosis. Accessed February 3, 2012. Available from: www.bedara-uki.blogspot.com/2008/08/spondilitis-tbc.html 5. Vitriana. Spondilitis tuberkulosa. Accessed February 3, 2012. Available from: www.repository.unpad.ac.id/bitstream/handle/spondilitis_tuberkulosa.pdf
6. Anonim. Spondilitis tuberculosis (penyakit potts). Accessed February 3, 2012.

Available from: www.dokterbedahtulang.com 7. Hidalgo JA. Pott disease (tuberculous spondylitis). Accessed February 3, 2012. Available from: www.emedicine.medscape.com 8. Anonim. dan.html 19 Spondilitis tuberkulosa. Accessed February 3, 2012. Available from:www.doc-alfarisi.blogspot.com/2011/04/patogenesis-patofisiologi-stadium-

9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedoktera Jilid 2. Ed. III. Jakarta: FKUI; 2000
10. Anonim. Spondylitis tuberkulosa. Accessed February 3, 2012. Available from:

medlinux.blogspot.com/2007/.../spondylitis-tuberkulosa.html

20

You might also like