You are on page 1of 35

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, yang menyerang manusia, bersifat kronis, sistemik dan dapat mengenai semua bagian tubuh, dapat bersifat laten selama bertahun-tahun, menular serta dapat diobati. Sifilis dijumpai di seluruh dunia (terutama negara berkembang), namun sulit untuk membandingkan insidensi dari satu negara dengan negara yang lain karena ada perbedaan pelaporan (Murtiastuti, 2008; Partogi, 2008). Asal penyakit ini tak jelas. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak buah Columbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada abad ke-15 terjadi wabah di Eropa, sesudah tahun 1860 morbiditas sifilis di Eropa menurun cepat, mungkin karena perbaikan sosioekonomi. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang sama. Selama Perang Dunia kedua insidensnya meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1946, kemudian menurun (Natahusada et al, 2005). Sifilis terdistribusi di seluruh dunia, dan merupakan masalah yang utama pada negara berkembang. Dilihat dari usia, kasus sifilis banyak ditemukan pada orang dengan rentang usia 20-30 tahun. Empat puluh persen wanita hamil dengan sifilis dini yang tidak diobati, akan

mengakibatkan penularan pada janin. Di beberapa negara berkembang hingga tahun 1998, sifilis masih dianggap sebagai penyebab penting kematian, dan dalam kaitannya dengan penyebaran infeksi HIV terbukti meningkatkan transmisi seksual HIV. Pengaruh infeksi HIV terhadap sifilis dapat mengubah manifestasi klinis, progresifitas penyakit lebih cepat, penegakan diagnosis lebih sulit, peningkatan risiko komplikasi neurologis, dan risiko kegagalan terapi dengan rejimen standar lebih besar (Andrews, 2001; Mara, 2004). 1

World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 12 juta kasus sifilis baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, terutama di Asia Utara dan Tenggara, Afrika sub-Sahara, Amerika Latin, dan Karibia. Insidensi penyakit sifilis ini dipengaruhi oleh pengobatan penyakit dan perbaikan sosio ekonomi. Dari data laporan morbiditas poliklinik Divisi Infeksi Menular Seksual Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) bulan Januari-Desember 2005, proporsi

kepositivab kasus baru sifilis stadium I (SI) sebesar 0,14%, sifilis stadium II (SII) 0,7% dan sifilis laten (S laten) 0,56% (Hutapea et al, 2002; Marra, 2004). Sifilis paling sering dijumpai pada usia 20-30 tahun. Di Indonesia, prevalensi sifilis terlihat menurun sejak dilakukannya program

pemberantasan sifilis yang dimulai tahun 1957 berupa pelaksanaan Regular Mass Treatment (RMT) pada Pekerja Seks Komersil (PSK). Namun karena RMT sudah dihentikan maka ada kemungkinan terjadi peningkatan kembali, misalnya di Sumatera Utara PSK di beberapa lokalisasi yang tadinya dijumpai 8% pada tahun 1996, pada tahun 2000 mengalami peningkatan kembali menjadi 13,8% (Hutapea et al, 2002).

B. Tujuan Penulisan Refrat 1. Untuk mengetahui penyebab sifilis. 2. Untuk mengetahui faktor resiko sifilis. 3. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya sifilis. 4. Untuk mengetahui cara menegakan diagnosis sifilis. 5. Untuk mengetahui terapi infeksi sifilis.

Untuk yang di highlite merah tolong diperbaiki / diperjelas maksudnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan (Hutapea, 2010). B. Etiologi Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo

Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponemia. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15um, lebar 0,15um, terdiri atas delapan t lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam (Liu,2009). Klasifikasi sangat sulit dilakukan karena spesies Treponema tidak dapat dibiakan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu Treponema pallidum sub species pallidum yang menyebabkan sifilis. Treponema pallidum sub species endemicum yang menyebabkan bejel, Treponema carateum menyebabkan pinta (Liu,2009). Bakteri ini termasuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama kandungan dan menyebabkan cacat bawaan (Liu,2009).

C. Epidemiologi Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anakanak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia muda berusia antara 20 29 tahun, yang aktif secara seksual (Liu,2009). Adanya perbedaan prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor biologis. Dari data tahun 1981-1989 insidensi sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat meningkat 34% yaitu 18,4% per 100.000 penduduk. Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bagian selatan faktor risiko yang melatarbelakangi peningkatan prevalensi sifilis pada kelompok ini antara lain pemakaian obat-obat terlarang, prostitusi, AIDS dan hubungan seks pertama kali pada usia muda. Pada tahun 2003-2004 terjadi peningkatan prevalensi sifilis sebanyak 8 % dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000 populasi. Sedangkan pada tahun 2006 2007 terjadi peningkatan 12% dari 3,3 menjadi 3,7 per 100.000

populasi (Liu,2009).

D. Faktor Resiko 1. Hubungan seks yang tidak sehat 2. Berganti-ganti pasangan seksual 3. Seks tanpa pengaman, misal kondom 4. Mengenal seks sejak dini tanpa edukasi yang baik 5. Penyalahgunaan NAPZA 6. Penggunaan jarum suntik bergantian 7. Kurang memperhaikan kebersihan dan kesehatan alat genital (Liu,2009). 4

E. Patofisiologi Sifilis atau yang biasa disebut di Indonesia dengan penyakit raja singa ini biasanya diklasifikasikan ke dalam 4 tahap, yaitu : primer, sekunder, laten, dan tersier. Baik penularan maupun bawaan. Artinya, hal itu dapat ditularkan baik melalui kontak intim dengan lesi menular (paling umum) atau melalui transfusi darah (jika darah telah mengandung T.palidum sejak awal), dan juga dapat ditularkan plasenta dari ibu yang terinfeksi kepada janinnya (Prince, 2006). Sifilis hampir selalu ditularkan melalui kontak seksual kecuali sifilis Kongenital, T.palidum dapat menembus sawar plasenta hingga kemudian menginfeksi neonates. Pada sifilis karena penularan, T.pallidum dengan cepat menembus membran mukosa, kemudian dalam beberapa jam, ia akan memasuki sistim limfatik dan darah hingga mengakibatkan infeksi sistemik. Waktu inkubasi dari paparan hingga berkembang menjadi lesi primer rata-rata adalah 3 minggu, tetapi dapat juga berkisar 10-90 hari (Prince, 2006;Euerle,2012). Pada pemeriksaan CSF (Cerebro Spinal Fluid) ditemukan lebih dari 30% dari pasien sifilis memiliki temuan yang abnormal. Selama 510 tahun pertama setelah terjadinya infeksi primer yang tidak diobati, sifilis akan mempengaruhi meninges dan pembuluh darah, sehingga bisa terjadi neurosifilis dan meningovaskular. Kemudian, parenkim dari sumsum otak dan tulang belakang rusak atau yang disebut dengan neurosifilis parenchymatous (Euerle,2012). Terlepas dari stadium penyakit dan lokasi lesi, dari segi histopatologis endarteritis dapat terjadi pada sifilis, endarteritis adalah inflamasi yang terjadi pada tunika intima pada arteri (Elsevier, 2009). Endarteritis disebabkan oleh pengikatan T.palidum pada sel endotel, kemudian dimediasi oleh molekul fibronektin yang terikat pada permukaan T.palidum. pada beberapa kasus endarteritis yang terjadi dapat sembuh tapi menghasilkan jaringan parut (Euerle,2012). Invasi dari T pallidum mererangsang timbulnya reaksi delayed hipersensitifitas. Pada individu dengan sifilis tersier, respon ini 5

disensitisasi oleh sel T limfosit dan makrofag dan akan menghasilkan ulserasi berpa guma dan nekrosis. Antigen dari T.pallidum menginduksi produksi antibody treponemal dan non spesifik antibodi (Euerle,2012). Imunitas humoral dan respon seluler dari host sebenarnya dapat menecgah pembentukan lesi primer, akan tetapi imunitas ini tidak cukup kuat untuk mengeliminasi atau membersihkan organisme, hal ini mungkin disebabkan oleh outer sheath dari T.pallidum kurang imunogenik atau dapat juga diakibatkan oleh penurunan regulasi THelper 1 (Euerle,2012). Sifilis primer ditandai dengan timbulnya Chancre yang

menimbulkan rasa sakit, biasanya periode munculnya ini berkisar antara 3-6 minggu setelah masa inkubasi. Lesi ini dangkal, dengan tepi merah dan tebal, dan pada tahap ini sangat menular. Chancre ini diinduksi oleh infiltrasi leukosit, makrofag, dan limfosit. Reaksi inflamasi ini akan menimbulkan endarteritis obliteratif. Pada tahap ini T.pallidum dapat diisolasi dengan cara mengambil swab dari permkaan ulserasi atau chancre tersebut (Siregar, 2005; Euerle,2012). Sifilis sekunder berkembang sekitar 4-10 minggu setelah munculnya lesi primer. Selama tahap ini, T.pallidum berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh, pada tahap ini manifestasi klinik yang muncl adalah malaise, demam, mialgia, artralgia, limfadenopati, dan ruam kulit (Euerle,2012). Lesi mukokutan dapat diamati diseluruh tubuh hingga melibatkan telapak tangan, telapak, dan mukosa mulut. Paling sering yang ditimbulkan adalah, lesi makula, diskrit, coklat kemerahan, dan dengan diameter 5 mm atau lebih kecil berupa pustul, annular, atau scaling. Semua lesi tersebut mengandung treponema. Dari lesi tersebut, lesi dengan mukus adalah jenis lesi yang paling menular (Euerle,2012). Ujud Kelainan Kulit yang ada pada sifilis sekunder adalah kondiloma lata dan alopecia. Kondiloma lata merupakan lesi yang terlihat berupa daging yang tak beraturan,berbentk papil, hipopigmentasi dan dipenuhi oleh papul dan plak ata biasa disebut dengan cauliflower6

like vegetations. Kasus ini terjadi pada 9-4% kasus sifilis sekunder, kondiloma lata ini biasanya tumbuh pada tempat yang lembab dan hangat seperti aksila, umbilicus, leher, dan selangkangan. Temuan kulit lainnya dari sifilis sekunder adalah alopecia atau kebotakan. Selama infeksi sekunder, reaksi kekebalan tubuh mencapai puncaknya dan titer antibodi meningkat (Deshpande et.al,2009). Sifilis laten adalah tahap di mana tahap sifilis sekunder telah membaik, meskipun tetap seroreactive. Beberapa pasien kambuh dari lesi kulit tahap sifilis sekunder pada periode ini. Sekitar sepertiga dari pasien sifilis laten yang tidak diobati terus berkembang menjadi sifilis tersier, sedangkan sisanya tetap asimtomatik (Euerle,2012). Saat ini, penyakit sifilis tersier jarang terjadi. Pada tahap ini, infeksi terutama mempengaruhi sistem kardiovaskular (80-85%) dan SSP (5-10%), berkembang dalam hitungan bulan hingga tahun dan melibatkan inflamasi jenis lambat pada jaringan. Ada 3 kategori umum sifilis tersier, yaitu gummatous sifilis, sifilis kardiovaskular, dan neurosifilis (Euerle,2012). Sifilis Gummatous ditandai dengan lesi granulomatosa, yang ditandai dengan jaringan nekrotik dengan tekstur karet. Gumma terutama terbentuk dalam hati, tulang, dan testis tetapi dapat mempengaruhi setiap organ. Pemeriksaan histologis menunjukkan makrofag dan fibroblast palisade, serta sel-sel plasma. Gumma dapat pecah dan membentuk bisul, hingga akhirnya terjadi fibrosis (Euerle,2012). Sifilis kardiovaskular terjadi setidaknya 10 tahun setelah infeksi primer. Manifestasi paling umum adalah pembentukan aneurisma aorta ascending, yang disebabkan oleh inflamasi kronis dari vasa vasorum, kerusakan dinding arteri besar, atau dapat juga terjadi Insufisiensi katup aorta (Euerle,2012). Neurosifilis memiliki beberapa bentuk. Jika T.pallidum menyerang SSP, dapat menghasilkan meningitis sifilis. Meningitis sifilis merupakan manifestasi awal dari kelainan SSP, biasanya terjadi dalam waktu 6 7

bulan dari infeksi primer. CSF menunjukkan protein tinggi, glukosa rendah, jumlah limfosit tinggi, dan serologi sifilis positif, manifestasi klinis dari neurosifilis antara lain adalah : Personality change (baik kognitif maupun kepribadian) sebanyak 33%, Ataksia 28%, Stroke 23%, dan berbagai gangguan neuron (Knudsen et.al. 2011). Sifilis meningovaskular terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada pembuluh darah meninges, otak, dan sumsum tulang belakang, mengarah ke infark menyebabkan spektrum yang luas dari gangguan neurologis. Neurosifilis parenkimal dapat berupa tabes dorsalis dan paresis umum. Tabes dorsalis berkembang merusak cornu posterior dan akar dorsal sumsum tulang belakang, sehingga mengakibatkan penurunan hasil sensasi proprioseptif dan vibrasi, Gangguan akar dorsal menyebabkan hilangnya rasa sakit dan sensasi suhu dan areflexia. Kerusakan pada daerah kortikal otak menyebabkan paresis umum, dan kadang terlihat sebagai demensia. Penurunan memori dan bicara, perubahan kepribadian, mudah marah, dan gejala psikotik dapat berkembang hingga terjadi demensia progresif (Knudsen et.al. 2011). T.pallidum dapat juga menembus sawar plasenta, infeksi dari ibu menginfeksi jaringan janin dan mengakibatkan sifilis kongnital, gambaran klinis biasanya muncul pada 2 tahun pertama kehidupan, bila lebih dari usia 2 tahun dianggap lanjut. Gejala dan tanda pada sifilis congenital adalah : sumbatan hidung, bercak pada mukosa, ruam makulopaplar, dan kondiloma lata. Jika infeksinya parah dapat terjadi kerusakan visera, SSP, dan hematologik. Manifestasi klinis sifilis kongenital lanjut adalah gigi Hutchinson (incicivus lateral runcing dan incicivus sentral bertakik), tli, osteitis, deformisitas tulang, guma dan neurosifilis. Apabila tidak diobati, 40% dari bayi dengan sifilis kongenital akan mati (Price, 2006).

F. Patogenesis Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, 8

bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama dalam kandungan dan menyebabkan cacat bawaan. Berdasarkan perjalanan penyakitnya tersebut dalam tubuh manusia, WHO membagi sifilis ke dalam beberapa stadium yang berperan pada proses patogenesis penyakit ini, diantaranya : Stadium Dini Treponema masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi/selaput lendir. Berkembangbiak, membentuk infiltrat yang terdiri dari sel limfosit dan sel plasma. Pada daerah perivaskular terutama pembuluh darah kecil, akan dikelilingi oleh Treponema pallidum. Bila timbul endarteritis akan mengakibatkan perubahan hipertrofik dari endotelium yang akan mengakibatkan timbulnya obliterasi kuman. Akibat dari kehilangan perdarahan akan timbul erosi yang pada pemeriksaan klinis tampak sebagai sifilis stadium I (Workowski & Berman, 2010). Sebelum nampak gejala sifilis stadium I, kuman telah mencapai kelenjar limfe regional melalui penyebaran secara limfogen dan secara hematogen ke semua jaringan di badan dan membiak. Multiplikasi ini diikuti reaksi jaringan sebagai sifilis stadium II, yang terjadi 6-8 minggu sesudah sifilis stadium I. Sifilis stadium I dan II perlahan akan mengalami regresi dan menghilang (Workowski & Berman, 2010). Pada stadium laten tidak nampak adanya gejala, namun infeksi masih aktif karena pada ibu yang menderita sifilis pada stadium ini dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital. Bila proses imunitas gagal pada tempat bekas sifilis stadium I Treponema pallidum akan membiak kembali dan menimbulkan lesi rekuren, reaksi tersebut menular dan dapat timbul berulang-ulang (Workowski & Berman, 2010). Stadium Lanjut Stadium laten pada sifilis dapat berlangsung selama bertahuntahun, hal ini dikarenakan Treponema berada dalam keadaan dorman. Apabila terjadi perubahan keseimbangan antara Treponema dan jaringan 9

maka dapat muncul sifilis stadium II berbentuk guma yang hal tersebut belum pasti diketahui sebabnya, namun trauma merupakan salah satu faktor predisposisi. Pada guma umumnya tidak ditemukan Treponema pallidum, reaksinya hebat dan bersifat destruktif serta berlangsung bertahun. Treponema dapat mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf dalam waktu dini, namun kerusakan yang terjadi secara perlahanlahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat menimbulkan gejala klinis (Workowski & Berman, 2010).

G. Penegakan Diagnosis 1. Tanda dan Gejala Berdasarkan stadium penyakitnya gejala klinik dari penyakit sifilis dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu bentuk primer, sekunder dan bentuk tertier. Sifilis primer biasanya bersifat asimptomatik, yang didapatkan akibat penularan melalui kontak langsung pada permukaan mukosa atau kulit seorang penderita. Sedang sifilis sekunder dapat timbul 8 minggu setelah terapi sifilis primer meskipun dilaporkan bahwa sekitar 60% sifilis sekunder tidak mempunyai riwayat sifilis primer. Dan sifilis tertier adalah bentuk laten dari penyakit ini yang biasanya muncul beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian dan 15% diantaranya terjadi pada penderita yang tidak mendapat terapi, dimana lesi telah menyebar sampai ke tulang, saluran cerna, sistim saraf dan sistim kardiovaskuler. Terdapat bentuk lain dari penyakit sifilis yang banyak ditemukan 5 di wilayah Asia tengah dan Afrika yang disebut Endemik Sifilis, merupakan penyakit infeksi kronik nonveneral yang disebabkan oleh T. pallidum subspecies endemicum. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung pada lesi yang aktif, jari-jari dan peralatan makan atau minum (LaSala P.R, Smith M.B , 2007). Disamping itu terdapat juga bentuk sifilis tertier yang dapat timbul 1 10 tahun setelah terinfeksi dengan tanda khas berupa adanya gumma pada kulit dan mukosa. Apabila sifilis tertier ini tidak mendapat

10

terapi, dapat terjadi komplikasi yang lebih berat berupa neurosifilis dan kardiovaskuler sifilis (Bockenstedt L.K, 2003). a. Sifilis Primer Sifilis primer terjadi karena kontak langsung dengan lesi infeksi penderita melalui hubungan seksual. Lesi pada kulit timbul dalam 10 90 hari setelah terpapar, kebanyakan pada alat genital namun dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh yang lain. Tanda klinis yang pertama kali muncul adalah timbul lesi primer berupa ulkus dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna, jumlah lesi biasanya hanya satu, meskipun dapat juga multipel. Lesi jarang terjadi pada genitalia eksterna wanita, karena lesi sering pada vagina atau serviks., 3 minggu (10-90 hari) setelah coitus suspectus (hubungan seksual yang dicurigai sebagai penyebab infeksi). Ulkus ini disebut ulkus durum atau chancre (syphilitic ulcer) yaitu suatu ulcerasi pada kulit tanpa rasa sakit pada daerah yang terexposure terutama pada penis, vagina, atau rectum. Kadang-kadang terdapat lesi multipel, menetap untuk waktu 4 sampai 6 minggu dapat terjadi pembengkakan kelenjar limfe lokal dan biasanya sembuh spontan (Palacios R et all. 2007). Biasanya soliter, tidak nyeri (indolen), bagian tepi lesi meninggi dan keras(indurasi), dasar bersih, tanpa eksudat, ukuran bervariasi dari beberapa mm sampai 1-2 cm. Terdapat limfadenopati inguinal medial unilateral/bilateral, tidak terdapat gejala. Adanya ulkus disertai pembesaran kelenjar getah bening disebut kompleks primer.Bila tidak diobati, ulkus akan menetap selama 2-6 minggu, lalu sembuh spontan. Pada ulkus dapat ditemukan gerakan T. Pallidum.

11

Gambar 2.1 Ulkus Durum b. Sifilis Sekunder Sifilis sekunder timbul 1 6 bulan setelah infeksi primer (rata-rata 6 8 minggu) dengan berbagai manifestasi gejala klinis dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Sifilis stadium II seringkali disebut sebagai The Greatest Immitator of All Skin Diseases karena bentuk klinisnya menyerupai banyak sekali kelainan kulit lain. Lesi biasanya terdapat pada kulit, daerah kepala dan leher, serta sistim saluran cerna. Disamping itu terdapat gejala umum seperti demam, kelemahan, penurunan berat badan, sakit kepala, meningismus dan pembesaran kelenjar limfe. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai pada daerah oksipital. Rash pada kulit biasanya lebih berat dan disertai dengan gangguan dermatologi yang lain seperti makulopapular, folikular atau pustular rash. Rash menyebar pada seluruh tubuh dan ekstremitas, kemudian membentuk lesi yang rata berwarna keputih-putihan yang dikenal dengan condyloma lata. Stadium sekunder juga ditandai dengan adanya gangguan pada sendi, tulang dan indera penglihatan (Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all. 2007).

12

Makulopapular c. Sifilis Laten

moth-eaten alopecia

condiloma lata

Disebut sifilis laten apabila tidak tanda-tanda dan gejala penyakit tetapi terdapat bukti serologik. Sifilis laten dapat dibedakan atas tipe early atau late. Disebut tipe early bila selama 2 tahun serologik positif tetapi tidak ada gejala penyakit. Sedang tipe late bila 6 infeksi lebih dari 2 tahun tanpa bukti klinik yang jelas. Pembagian ini berguna dalam pemberian terapi pada penderita dan resiko transmisi ke orang lain. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini. (Sacher R.A, McPerson R.A, 2007). d. Sifilis Tertier Sifilis tertier biasanya muncul dalam waktu 1 10 tahun setelah infeksi pertama, pada beberapa kasus dapat mencapai masa sampai 50 tahun. Ditandai dengan adanya gumma yang lunak, suatu bentuk tumor akibat proses inflamasi yang dikenal dengan granuloma, bersifat kronik dan dapat muncul kembali bila sistim imun tubuh tidak sempurna. Guma umumnya satu, dapat multipel, ukuran milier sampai berdiameter beberapa sentimeter. Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ, termasuk tulang rawan pada hidung dan dasar mulut. Guma juga dapat ditemukan pada organ 13

dalam seperti lambung, hati, limpa, paru-paru, testis dll. Kelainan lain berupa nodus di bawah kulit, kemerahan dan nyeri. Kebanyakan gumma merupakan komplikasi dari late syphilis (Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all. 2007). Bentuk lain dari sifilis tertier yang tidak diterapi adalah neuropathic joint disease, berupa degenerasi sendi disertai hilangnya sensasi propriosepsi. Bentuk komplikasi yang lebih berat adalah neurosyphilis dan cardiovascular syphillis. Gangguan neurologik dapat asimptomatik atau bermanisfestasi sebagai meningovascular disease, tabes dorsalis atau paresis. Sedang komplikasi

kardiovaskuler dapat berupa sifilis aortitis, aneurisma dan regurgitasi aorta. (Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all. 2007).

Gambar 2.3 Gumma pada sifilis tertier

14

2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung organisme dengan mikroskop lapangan gelap (dark field microscopy). Mikroskop ini dilengkapi dengan suatu kondensor yang tidak memungkinkan adanya intensitas cahaya yang kuat sehingga dengan demikian bisa terjadi lapangan penglihatan yang kurang begitu terang (relatif gelap). Kegunaannya untuk melihat gerakan-gerakan bakteri khususnya Treponema pallidum. Treponema pallidum memiliki gerakan yang khas, sehingga dapat dibedakan dari spesies Treponema yang lain. Cara pemeriksaannya yaitu pertama-tama dasar ulkus dibersihkan (di kompres dengan larutan garam faali) lalu dijepit dengan jari/pinset, serum yang keluar ditaruh pada gelas benda (kalau tidak cukup banyak ditambahi dengan 1 2 tetes larutan faali steril) kemudian ditutup dengan gelas penutup tepinya diberi vaselin. Kemudian sediaan ini diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap. Bila positif akan tampak pada lapangan pandangan yang gelap gambaran ciri-ciri dari Treponema pallidum, yaitu : Berbentuk spiral yang mengkilat seperti ombak Ukuran : panjang : 6 15m Tebal : 0,25m Terdiri dari 8 24 kumparan Dapat melakukan gerakan maju mundur, berotasi, undulasi dari sisi yang satu ke sisi yang lain merentang seperti pegas. Tes serologis merupakan tes konfirmasi untuk melihat adanya antibodi terhadap organisme penyebab sifilis. Tes serologis juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis infeksi sifilis pada masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya gejala-gejala penyakit. Ada dua kelompok tes serologis yang dapat digunakan dalam mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes serologis antibodi non treponema dan antibodi treponema (Sacher R.A, McPerson R.A, 2004).

15

a. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal Yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh penyakit sifilis atau penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk setelah penyakit menyebar ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan kerusakan jaringan serta dapat menimbulkan reaksi silang dengan beberapa antigen dari jaringan lain. Tes serologis non treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil positif setelah 4 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi primer dan stadium lanjut). Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan infeksi virus. Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal dan lipoid sebagai antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah (Bockenstedt L.K, 2003; Handojo I, 2004) : 1) Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) Tes VDRL selain digunakan untuk skrining penyakit sifilis juga dapat digunakan untuk monitoring respon terapi, deteksi kelainan saraf dan membantu diagnosis pada sifilis kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi pasien dengan difosfatidil gliserol. Tes VDRL dapat mendeteksi antikardiolipin antibodi (IgG, IgM atau IgA). Beberapa kondisi dapat memberikan hasil positif palsu seperti penyakit hepatitis virus, kehamilan, demam rematik, leprosi dan penyakit lupus. Tes VDRL semikuantitatif juga digunakan untuk mengevaluasi kejadian neurosifilis di mana hasil reaktif tes hampir selalu merupakan indikasi adanya neurosifilis.

16

2) Rapid Plasma Reagin (RPR) Tes Rapid Plasma Reagen, adalah tes untuk melihat antibodi nonspesifik dalam darah penderita yang diduga terinfeksi sifilis, terdiri dari uji kualitatif dan uji kuantitatif. 1) Uji RPR kualitatif adalah pemeriksaan penapisan dengan serum pasien yang tidak diencerkan dicampur dengan partikel arang berlapis kardiolipin di atas karton, setelah rotasi mekanis beberapa waktu sedian diperiksa untuk melihat ada tidaknya aglutinasi secara makroskopis. 2) Uji RPR kuantitatif menggunakan serum yang diencerkan secara serial dan hasil pemeriksaan adalah nilai akhir pengenceran dimana masih terjadi penggumpalan partikel. Tes RPR efektif untuk skrining seseorang yang terinfeksi penyakit sifilis tetapi belum menunjukkan gejala klinik. 3) Cardiolipin Wassermann (CWR) Tes Cardiolipin Wassermann (CWR) merupakan uji fiksasi komplemen dimana reaksi antibodi dan antigen kardiolipin akan membentuk kompleks yang akan mengikat komplemen. Sebagai indikator terjadinya reaksi pengikatan komplemen maka pada tes ditambahkan sel darah merah (domba) dan zat hemolisin anti SDM. Disebut uji CWR positif apabila tidak terjadi reaksi hemolisis yang menunjukkan bahwa terjadi reaksi Ag-Ab yang mengikat komplemen, sedang hasil negatif berarti tidak terjadi reaksi Ag-Ab yang tidak mengikat komplemen. Sampel pasien berasal dari darah atau cairan cerebrospinal yang reaksikan dengan antigen kardiolipin dan intensitas reaksi sebanding dengan beratnya kondisi pasien. 4) Unheated Serum Reagin (USR) USR adalah modifikasi dari tes VDRL menggunakan serum tertentu, biasanya digunakan terutama untuk skrining penyakit sifilis.

17

5) Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST) TRUST adalah pemeriksaan secara makroskopis yang cepat, dan merupakan prosedur pengujian untuk deteksi serologis sifilis. Antigen TRUST adalah modifikasi dari antigen VDRL yang mengandung partikel pigmen merah yang terlihat ketika

mengaglutinasi, dan kemudian dicampur

dengan serum atau

plasma yang mengandung antilipoidal antibody yang disebut reagen, reagen tersebut dapat berupa serum atau plasma dari orang yang menderita sifilis tersebut dan kadang-kadang dalam serum atau plasma dari orang lain dalam kondisi akut atau kronik. 6) Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Tes ELIZA nontreponemal menilai terjadinya flokulasi dan nilai absorban dihitung berdasarkan prinsip spektrofotometer. Tes-tes seperti Veneral Disease Research Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR), Unheated Serum Reagin (USR) dan Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST) mendeteksi adanya reaksi antigen-antibodi dengan menilai presipitasi yang terbentuk baik secara makroskopik (RPR dan TRUST) maupun mikroskpoik (VDRL dan USR). Antibodi yang terdeteksi biasanya timbul 1 4 minggu setelah munculnya chancre primer. Pengambilan spesimen pada stadium primer akan

mempengaruhi sensitivitas tes dimana titer antibodi meningkat selama tahun pertama dan selanjutnya menurun secara nyata sehingga memberikan hasil negatif pada pemeriksaan ulang. Dapat ditemukan hasil tes positif palsu maupun negatif palsu. Positif palsu terjadi karena adanya penyakit bersifat akut seperti hepatitis, infeksi virus, kehamilan atau proses kronik seperti kerusakan pada jaringan penyambung. Sedang hasil negatif palsu terjadi karena tingginya titer antibodi (prozone phenomenon) yang sering ditemukan pada sifilis sekunder.

18

b. Antibodi Treponemal Bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap antigen treponema dan sebagai konfirmasi dari hasil positif tes skrining nontreponemal atau konfirmasi adanya proses infeksi pada hasil negatif tes nontreponemal pada fase late atau laten disease dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi yaitu ; 1) grup treponemal antibodi, antibodi terhadap antigen somatik yang terdapat pada semua jenis treponema. Imunoasai berdasarkan pada penggunaan beberapa strain saprofitik dari treponema, yaitu Reiter Protein Complement Fixation (RPCF) . 2) Antibodi treponema spesifik, antibodi yang spesifik untuk antigen dari T. pallidum. beberapa tes yang termasuk diantaranya adalah : a) Treponema pallidum Complement Fixation Pada prinsipnya, merupakan tes yang sederhana. Virulen T. pallidum yang diperoleh dari orang yang terinfeksi dengan mengsentrifugasi diferensial treponema yang telah disiapkan, kemudian fraksi lipid dihapus oleh aseton dan eter ekstraksi berturut-turut, dan protein aktif yang seperti antigen kemudian dihapus dari treponema kering dengan 0,2 persen larutan natrium desoxycholate. Antigen yang dihasilkan digunakan dalam fiksasi komplemen-konvensional untuk menguji. mirip dengan teknik Kolmer volume kelima. b) Treponemal Wassermann (T-WR) Secara teknik dan ekonomis, TWR dibandingkan dengan TPI yang jelas adalah lebih praktis dan prosedur spesifik yang digunakan untuk serologis rutin diagnosis atau pengecualian dari infeksi treponemal. c) Treponema pallidum Immobilization (TPI) Sensitifitas tes rendah pada beberapa stadium penyakit terutama stadium I , tetapi spesifisitasnya paling baik dibanding tes serologis lain dan merupakan satu-satunya tes yang hampir tidak memberi hasil positif semu. Tes 19

menggunakan serum penderita yang tidak aktif ditambah dengan T. pallidum yang mobil dan komplemen, lalu diinkubasi pada suhu 35 C selama 16 jam selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. Hasil positif terlihat dengan T. pallidum yang tidak mobil. d) Treponema pallidum Immobilization Lyzozym (TPIL) e) Treponema pallidum Immobilization-symplification f) Fluorecense Treponemal Antibody (FTA) Sebelum tes serum pasien diinaktifkan dengan

pemanasan dan diserap dengan sorbent untuk membersihkan dari antibodi terhadap treponema komensal, kemudian dicampur dengan apusan T. pallidum pada kaca obyek, inkubasi lalu bilas hati-hati. Tambahkan konjugat antibodi anti-imunoglobulin human yang dilabel dengan tetrametilrodamin isotiosinat [TMRITC] tutup dengan kaca penutup, inkubasi dan bilas. Periksa apusan di bawah mikroskop pengcahayaan ultraviolet. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya treponema berfluoresensi-TMRITC pada apusan. Tes FTA adalah imunoasai yang sangat sensitif dan spesifik sehingga baik digunakan untuk diagnosis tetapi tidak dipakai dalam pemantauan terapi sebab hasil tes positif akan tetap positif walaupun telah diberi pengobatan sampai sembuh. g) Treponema pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) Merupakan uji hemaglutinasi pasif secara kualitatif dan semi kuantitatif yang dapat mendeteksi anti T. pallidum antibodi dalam serum atau plasma, di mana hasil positif didapatkan bila terjadi aglutinasi. Sensitivitas dan spesifisitas cukup baik kecuali untuk sifilis stadium I, tes ini juga cukup praktis, mudah dan sederhana serta harganya relatif murah. Sebagai antigen dipakai T .pallidum strain Nichol dan sebagai carrier digunakan sel darah merah kalkun. Sel darah merah kalkun yang diliputi Ag T . pallidum dan Ab serum penderita 20

lalu diinkubasi, antibodi T. pallidum dalam serum akan mengikat antigen pada sel darah merah membentuk kompleks Ag-Ab dan hasil positif dinilai dengan melihat adanya aglutinasi. h) Treponema pallidum Immune Adherence (TPIA) Tes sederhana untuk dilakukan dan hasil yang sangat spesifik untuk antibodi antitreponemal. Selain itu, suspensi antigen bisa dipertahankan untuk waktu yang lama karena pallidum telah dipanaskan. i) Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) T. pallidum

3. DIAGNOSIS Diagnosis penyakit sifilis biasanya secara tidak langsung ditemukan pada pasien risiko tinggi seperti adanya penyakit menular seksual dan pengguna narkotika. Karena T. Pallidum tidak dapat tumbuh pada media kultur maka digunakan metode lain untuk mendiagnosis penyakit sifilis. Seperti mikroskop lapangan gelap atau apusan cairan dari kulit atau jaringan. Bahan pemeriksaan adalah transudat segar dari chancre pada infeksi primer atau kondiloma lata pada infeksi sekunder. Hasil positif bila ditemukan spiroketa yang motil, membentuk kumparan padat dan bergerak melengkung. Untuk penderita dengan suspek neurosifilis, diagnosis ditegakkan dengan sampel dari cairan cerebrospinal (Sacher R.A, McPerson 2008). Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa : Pemeriksaan lapangan gelap dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam lesi, untuk melihat adanya T.pallidum. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi dan serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi. Maka akan terlihat ciri-ciri dari T.pallidum berbentuk spiral, ukuran panjang : 6 15m, tebal : 0,25m, terdiri dari 8 24 21

kumparan, dan dapat melakukan bergerak maju mundur, berotasi, undulasi dari sisi yang satu ke sisi yang lain. a. Mikroskop fluoresen Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. b. Penentuan antibodi di dalam serum Tes yang menentukan antibodi non spesifik. 1) Tes Wasserman 2) Tes Kahn 3) Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory) 4) Tes RPR (Rapid Plasma Reagin) 5) Tes Automated reagin c. Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter Protein Complement Fixation) Yang menenutkan antibodi spesifik yaitu : 1) Tes TPI (Treponema pallidum Immobilization) 2) Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed) 3) Tes TPHA (Treponema pallidum Haemagglutination Asaay) 4) Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay).

H. Penatalaksanaan Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama belum sembuh penderita dilarang bersenggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain. (Natahusada dan Djuanda, 2006) 1. Penisilin Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin: a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja 24 jam, kerja singkat b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama kerja 72 jam, kerja sedang. 22

c. Penisilin G bezantin dengan dosis 2,4 juta unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga minggu, kerja lama. a. Ketiga obat tersebut diberikan secara intramuskular.

Pemberian secara oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerna kurang dibandingkan dengan suntikan.

(Natahusada dan Djuanda, 2006) Ikhtisar penatalahsanaan sifilis Sifilis Sifilis primer Pengobatan 1. Penisilin G Pemantauan serologik bezantin Pada bulan I, III, VI,

dosis 4,8 juta unit secara dan XII dan setiap VI IM (2,4 juta) satu dan bulan pada tahun ke II kali

diberikan seminggu 2. Penisilin

prokain

dalam akua dosis total 6 juta unit, diberi 0,6 juta unit/hari selama 10 hari 3. PAM (penisilin prokain +2% aluminium

monostrerat). Dosis total 4,8 juta unit, diberikan 1,2 juta unit/kali 2 kali seminggu

Sifilis sekunder sama seperti sifilis primer Sifilis laten 1. Penisilin G bezantin,

dosis total 7,2 juta unit 2. Penisilin G prokain

dalam akua, dosis total 12 juta unit (0,6 juta unit/hari) 23

3. PAM dosis total 7,2 juta unit (1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu) Sifilis Stadium III 1. Penisilin G benzatin

dosis total 9,6 juta unit 2. Penisilin G prokain

dalam akua, dosis total 18 juta unit (0,6 juta unit/hari) 3. PAM, dosis total 9,6 juta unit (1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu) (Natahusada dan Djuanda, 2006) 2. Antibiotik lain a. Bagi yang alergi penisilin diberi tetrasiklin 4x500 mg/hari, atau eritromisin 4x500 mg/hari, atau doksisiklin 2x100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari pada stadium I dan stadium II, 30 hari pada stadium laten. b. Obat lain dari golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4x500 mg/hari selama 15 hari. Sefaloridin baik pada sifilis dini, meskipun penggunaannya masih terbatas. Diberikan secara IM dengan dosis 2 gram sehari selama 10-14 hari. (Natahusada dan Djuanda, 2006)

I. Komplikasi 1. Sifilis kardiovaskuler Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada stadium III, dengan masa laten 15-30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada wanita Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arah katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisms, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila 24

komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisma aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif (Hutapea, 2009). 2. Neurosifilis Pada perjalanan penyakit neurosifilis bersifat asimtomatik pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi

parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan. Neurosifilis dibagi menjadi empat macam (Natahusada, 2010). a. Neurosifilis asimtomatik Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor

serebrospinalis. Kelainan tersebut belum cukup memberi gejala klinis (Hutapea, 2009). b. Sifilis meningovaskular Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas. Pembentukan jaringan fibrotik

menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya guma kecil multiple (Hutapea, 2009). Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak Stadium I. Gejalanya bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab, gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan hipotalamus, 25

gangguan piramidal, gangguan miksi dan defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritis sifilitika dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri otak (Hutapea, 2009). c. Neurosifilis Parenkim Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika. 1) Tabes dorsalis Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi pertama. Kira-kira seperempat kasus

neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torakolumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsurangsur terutama akibat demielinisasi dan degenerasi

funikulus dorsalis (Natahusada, 2010). 2) Demensia paralitika Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun. Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia paralitika. Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama

mengenai otak, ganglia basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi hidrosefalus (Natahusada, 2010). Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur dan progresif. Mula-mula terjadi 26

kemunduran intelektual, kemudian kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan dapat terjadi depresif atau maniacal. Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum atau fokal, muka topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan, ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya meninggal (Natahusada, 2010). d. Guma Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim otak. Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak. Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dan gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia (Natahusada, 2010).

J. Prognosis Sifilis dapat disembuhkan bila di diagnosis dini dan mendapat pengobatan secara tuntas dan sifilis sekunder dapat disembuhkan bila di diagnosis dini dan mendapat pengobatan secara efektif bisa sembuh dalam 1 hari meskipun dalam beberapa kasus bisa sampai bertahuntahun dan bila tidak mendapatkan pengobatan yang efektif akan terjadi komplikasi pada sifilis (Peeling, 2010). BAB III PEMBAHASAN

A. Terapi Lama Pengobatan sifilis pada dasarnya didasarkan dan dibedakan atas stadium dan jenis dari sifilisnya. Semakin pengobatan dimulai pada stadium sedini mungkin maka akan semakin baik juga hasilnya, Sedangkan sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut. 27

Teori lama penatalaksanaan siphilis adalah penggunaan penisilin dan antibiotik lain. a. Penisilin Penisilin merupakan pilihan pengobatan dikarenakan dapat menembus plasenta sedingga mencegah infeksi pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang terinfeksi, teori lain menyebutkan bahwa pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi JarishHerxheime. Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluaran oleh banyak T.Paliidum yang mati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama. Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat seperti demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgi, malese, berkeringat dan kemerahan pada muka. Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai 12 jam tanpa merugikan penderita pada S.I Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan

kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dn diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian. b. Antibiotik lain Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektifitas penisilin. Digunakan tetrasiklin 4 X 500 mg/hari atau eritromisin 4 X 500 mg/hari atau deksisiklin 2 X 100 mg/hari . Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 20 hari bagi stadium laten. Eritrimisin bagi yang hamil, efektivitasnya 28 diragukan. Doksisiliklin

absorbansinya lebih baik daripada tetrasiklin yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.

B. Terapi baru 1. Sifilis stadium primer dan sekunder Pada sifilis stadium primer dan sekunder, digunakan Benzatin penisilin G 1.8 g (2.4 juta unit) im sebagai dosis tunggal diikuti dengan Prokain penisilin 3 g (0.3 juta unit) im 1x / hari, serta Probenesid 500 mg oral tiap 6 jam selama 10 hari. Pada keadaan dimana regimen di atas tidak dapat dipenuhi, digunakan Benzatin penisilin G 1.8 g (2.4 juta unit) im sebagai dosis tunggal (Pubstd, 2008). 2. Sifilis stadium laten ( dini ) Pada stadium laten digunakan Benzatin penisilin G 1.8 g (2.4 juta unit) im sebagai dosis tunggal diikuti dengan Prokain penisilin 3 g (0.3 juta unit) im 1x / hari, serta Probenesid 500 mg per oral 4 x / hari selama 20 hari. Pada keadaan dimana regimen di atas tidak dapat di penuhi maka digunakan Benzatin penisilin G 1.8 g (2.4 juta unit) im setiap minggu selama tiga minggu sebagai dosis tunggal (Pubstd, 2012). 3. Sifilis stadium laten ( lanjut ) atau dengan durasi tidak diketahui Pada sifilis stadium lanjut, digunakan Benzatin penisilin G 7,2 juta unit total, diberikan sebagai 3 dosis 2,4 juta unit im masingmasing pada interval 1 minggu (Medscape, 2012). 4. Pada masa kehamilan, terapi yang sesuai dengan tahap sifilis tetap dianjurkan dengan observasi berkelanjutan (Medscape, 2012). Sebelum pasien diberikan antibiotik, harus dilakukan uji pada kulit terlebih dahulu sebagai suatu prosedur yang harus dilakukan ketika akan memberikan semua jenis antibiotik, tanpa melihat ada atau tidaknya riwayat alergi sebelumnya. Pasien dengan hasil tes negatif dapat menerima pengobatan konvensional dengan Penisilin. Jika hasil tes positif, maka hal ini harus benar-benar dipastikan, karena pasien nantinya 29

akan diberikan pengobatan alternatif yang sampai saat ini masih dipertanyakan keefektifannya dalam semua tahap sifilis. kegagalan terapi yang telah dilaporkan (Medscape, 2012). Tetrasiklin, Eritromisin, dan Ceftriaxone telah menunjukkan aktivitas antitreponemal dalam uji klinis, namun, ketiganya saat ini direkomendasikan hanya sebagai regimen pengobatan alternatif pada pasien yang alergi terhadap Penisilin meskipun dosis optimal dan durasi belum ditetapkan. Azitromisin juga telah dipelajari. Sebuah studi pada tahun 2010 oleh Kait et al menunjukkan dosis tunggal Azitromisin (2 g PO) setara dengan pengobatan pilihan Benzatin penisilin G (2,4 juta unit IM) pada pasien dengan sifilis tahap awal, namun setelah itu ditemukan kasus kegagalan pengobatan akibat Azitromisin-tahan mutasi pada Treponema pallidum di beberapa wilayah Amerika Serikat. Oleh karena itu, Azitromisin dapat digunakan hanya ketika penggunaan Penisilin tidak dapat diberikan (Medscape, 2012). Setelah pengobatan diberikan, Treponema melepaskan molekul inflamasi yang memicu kaskade sitokin dan mengarah pada respon yang dikenal sebagai reaksi Jarisch-Herxheimer. Gejala yang dirasakan antara lain mialgia, demam, sakit kepala, dan takikardi, dan terkadang dengan eksaserbasi lesi sifilis seperti ruam atau lesi yang lainnya. Reaksi tersebut umum dirasakan, berkembang dalam beberapa jam setelah dimulainya pengobatan antibiotik, dan biasanya akan hilang dalam waktu 24 jam setelah onset. Etiologi terhadap gejala-gejala tersebut belum ditemukan secara jelas, namun diperkirakan terjadi karena reaksi imunologis terhadap pecahnya spirochetes (Medscape, 2012). Pengelolaan terhadap reaksi ini diantaranya dengan melibatkan pengobatan simtomatik (misalnya, dengan antipiretik dan analgesik) dan observasi. Pada wanita hamil, pengobatan dapat menginduksi persalinan dini atau menyebabkan gawat janin. Oleh karena itu, pasien harus diberikan informasi mengenai kemungkinan terjadinya reaksi ini sebelum menjalani terapi antibiotik. Wanita dalam masa kehamilan disarankan untuk mendapatkan perawatan obstetri setelah pengobatan berjalan jika 30 Banyak

mereka merasa demam, kontraksi pada rahim, atau penurunan aktivitas janin. Beberapa pasien mengalami kecemasan berat dan gangguan psikologis lain setelah pemberian Prokain penisilin. Resusitasi dan perawatan diperlukan pada kasus yang berat, namun sebagian besar yang dirasakan pasein adalah reaksi ringan, yang hanya membutuhkan pengobatan simtomatik untuk mengurangi gejala. Gejala biasanya hilang dalam waktu 30 menit (Medscape, 2012).

31

BAB IV KESIMPULAN

1. Sifilis adalah penyakit infeksi menlar seksualyang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan. 2. Faktor resiko pada sifilis adalah : a. Hubungan seks yang tidak sehat b. Berganti-ganti pasangan seksual c. Seks tanpa pengaman, misal kondom d. Mengenal seks sejak dini tanpa edukasi yang baik e. Penyalahgunaan NAPZA f. Penggunaan jarum suntik bergantian g. Kurang memperhaikan kebersihan dan kesehatan alat genital 3. Sifilis hampir selalu ditularkan melalui kontak seksual kecuali sifilis Kongenital, T.palidum dapat menembus sawar plasenta hingga kemudian menginfeksi neonates. Pada sifilis karena penularan, T.pallidum dengan cepat menembus membran mukosa, kemudian dalam beberapa jam, ia akan memasuki sistim limfatik dan darah hingga mengakibatkan infeksi sistemik. 4. Penegakan diagnosis dapat dilakukan melalui beberapa tes : a. Pemeriksaan lapangan gelap b. Mikroskop fluoresen c. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal 1) Tes Wasserman 2) Tes Kahn 3) Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory) 4) Tes RPR (Rapid Plasma Reagin) 5) Tes Automated reagin d. Tes Serologis Antibodi Treponemal 32

1) Tes TPI (Treponema pallidum Immobilization) 2) Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed) 3) Tes TPHA (Treponema pallidum Haemagglutination Asaay) 4) Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay). 5. Pada sifilis stadium primer dan sekunder, digunakan Benzathine penicillin G 1.8 g (2.4 juta unit) im sebagai dosis tunggal diikuti dengan Procaine penicillin 3 g (0.3 juta unit) im 1x / hari, serta Probenecid 500 mg oral tiap 6 jam selama 10 hari. Pada keadaan dimana regimen di atas tidak dapat di penuhi, digunakan Benzathine penicillin G 1.8 g (2.4 juta unit) im sebagai dosis tunggal (Pubstd, 2008).

33

DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka diseragamkan dan diperbaiki sesuai kaidah... Andrews, Yaws, Bejel, and Pinta. 2001. Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 9th edition. Philadelphia : W.B.Saunders Company. 445-65. Brian Euerle, MD, 2012.Syphilis Clinical Presentation. University of Maryland School of Medicine .USA.http://emedicine.medscape.com/article/229461clinical Bockenstedt L.K, 2003. Spirochetal Diseases : Syphillis and Lyme Disease in Medical Immunology 10th ed, Mc Graw Hill. Dewi, Kurnia. 2010. Tingkat Pengetahuan Remaja Tentang Penyakit Menular Seksual. Semarang: Unimus. Elsevier . 2009. Mosby's Medical Dictionary 8th edition. Elsevier, Inc,. Access at http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/endarteritis+obliterans Euerle, Brian. 2012. Syphilis Treatment and Management. Maryland : Medscape Handojo I, 2004. Imunoasai Untuk Penyakit Sifilis dalam Imunoasai Terapan pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press. Healthcommunities. Syphilis Urologychannel. Healthcommunities.com, last modified. Hutapea, N.O., Syafei, R.R. Ramsi, F. Sulani, R. Hutapea, et al. 2002. Studi penyakit menular Seksual (PMS) dikalangan pekerja seks di Sumatera Utara. MDVI. Vol 29(3):119-24. Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102. Knudsen, Richard. 2011. Neurosyphilis Overview of Syphilis of the CNS. Department of Neurology, Seattle Children's Hospital, University of Washington Medical Center. Washington.DC available access at : http://emedicine.medscape.com/article/1169231-overview#aw2aab6b5 LaSala P.R, Smith M.B, 2007. Spirochaete Infections in Henrys Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods 21sted, Saunders Elsevier.

34

Marra, M.C. 2004. Syphilis and Human Immunodeficiency Virus. Arch Neurol. 61: 1505-08. Murtiastuti, D. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Edisi 2. Sifilis. Surabaya : Airlangga University Press. 145-8. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413. Palacios R et all., 2007. Impact of syphilis infection on HIV viral load and CD4 cell counts in HIV-infected patients. J Acq Immun Defic Synd 44: Maret. Partogi, Donna. 2008. Evaluasi Beberapa Tes Treponemal Terhadap Sifilis. Medan: FK USU. Peeling, R.W et al. Syphilis available at http//www.nature.com/reviews/micro. Accessed on May 14, 2010. Price, Sylvia Anderson, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC. Jakarta. Sacher R.A, McPerson R.A, 2004. Diagnosis Serologik Infeksi Spesifik dalam Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 11, EGC, 2004, 456 458 Siregar, R.S. 2005. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. EGC. Jakarta. Syphillis Diagnosis and Management.

www.pubstd.health.sa.gov.au/std/syphillis.htm. (Dipublikasikan tanggal 11 Juni 2008) Workowski KA, Berman S. Sexually transmitted diseases treatment, 2010. MMWR Recomm Rep. Dec 17 2010;59:1-110.

35

You might also like