You are on page 1of 7

Penyakit Graves Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit otonium

yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati. Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun. Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves. Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T. 2.6 Manifestasi Klinis Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid dipaksa mensekresikan hormone hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretoris kelenjar tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan, akibat proses metabolisme yang keluar jalur ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi, atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Exopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular, akibatnya bola mata terdesak keluar. Pada kebanyakan penderita tetapi biasanya ringan. Melemahnya kelopak mata atas sehingga mata tampak menurun, menggangguk onvergensi dan retraksi kelopak mata atas serta mungkin akan jarang berkedip. Kulit halus dan memerah dengan keringat berlebihan. Kelemahan otot adalah tidak lazim tetapi dapat cukup berat sehingga mengakibatkan jatuh. Takikardia, palpitasi, dispnea, dan insufisiensi serta pembesaran jantung menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi jarang membahayakan kehidupan penderita. Fibrillasi atrium merupakan komplikasi yang

jarang. Regurgitasi mitral mungkin akibat dari disfungsi otot papillaris, merupakan penyebab bising sistolik apeks yang ada pada beberapa penderita. Tekanan darah sistolik dan tekanan nadi meningkat. Banyak temuan pada penyakit Graves akibat dari hiperaktivitas sistem syaraf simpatis. 2.7 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis adalah: Thyroid Stimulating Hormone (TSH) Pemeriksaan TSH menggunakan metode IMA (immunometric assay) yang lebih sensitif 10 sampai 100 kali dari metode competitive binding assay-RIA sehingga hasil yang diperoleh disebut TSH sensitif (TSHs).Kadar TSH biasanya rendah pada penderita penyakit Graves dan semua bentuk tirotoksikosis.1,2,6 Perlu diperhatikan bahwa kadar TSHs subnormal dapat ditemukan pada beberapa keadaan berikut ini : (1) penyakit hipofisis atau hipotalamus, (2) semester pertama kehamilan, (3) penderita penyakit nontiroid, dan atau sedang dalam pengobatan dengan dopamin, glukokortikoid, serta beberapa obat lainnya, (4) penyakit psikiatrik akut. Kadar TSH serum normal berkisar antara 0,4-4,8 U/ml. Tiroksin (T4) Kadar tiroksin serum total (TT4) dan T4 bebas (FT4) meningkat pada semua penderita dengan tirotoksikosis.1,2,6 Kadar T4 dan T3 (Triiodotironin) dalam darah sangat dipengaruhi oleh protein pengangkut seperti TBG (Thyroxine Binding Globulin) dan TBPA (Thyroxine Binding Prealbumin). Untuk mengoreksi pengaruh protein pengangkut, dilakukan pengukuran terhadap kadar T4 bebas.10 Kadar normal dari TT4 adalah sebesar 5-12 g/dl, sedangkan FT4 normal sebesar 2 ng/dl. Triiodotironin (T3) T3 meningkat pada semua penderita dengan tirotoksikosis kecuali penderita tersebut sakit akut atau kronis, malnutrisi atau menggunakan obat-obatan (Propylthiouracil) yang bekerja dengan menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. T3 sedikit meningkat pada obesitas dan asupan berlebih. Kadar T3 lebih tinggi pada balita dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Anak dengan resistensi pituitari terhadap hormon tiroid juga mengalami peningkatan kadar T3 dalam serum.9 Klirens T3 dalam darah lebih cepat dibandingkan dengan T4 sehingga penentuan kadar T3 yang dihasilkan kelenjar tiroid tidak begitu penting artinya dalam menilai fungsi.11 Kadar T3 serum total normalnya sekitar 80-200 ng/dl dan FT3 normal sebesar 0,4 ng/dl. Autoantibodi Tiroid Yang termasuk autoantibodi adalah (1) thyroglobulin antibody (Tg Ab), (2) thyroperoxidase antibody (TPO Ab), dan (3) TSH receptor antibody, baik yang stimulating (TSH-R Ab [stim]) atau blocking (TSH-R Ab [block]). Tg Ab dan TPO dengan Ab menggunakan teknik radoimmunoassay (RIA) ditemukan pada 97% penderita penyakit Graves dan tiroiditis Hashimoto. Tg Ab tinggi pada awal terjadinya tiroiditis Hashimoto dan kemudian menurun. TPO Ag biasanya terdeteksi seumur hidup penderita. Titer kedua antibody tersebut akan menurun jika diberikan terapi T4 pada tiroiditis Hashimoto atau terapi antitiroid pada penyakit Graves. Hasil yang positif pada pemeriksaan kedua antibodi tersebut merupakan indikasi kuat adanya penyakit autoimun tiroid tapi tidak spesifik untuk tipe penyakitnya, seperti hipertiroid, hipotiroid, atau goiter. TSH-R Ab [stim] diukur dengan teknik bioassay menggunakan sel tiroid manusia atau menggunakan sel ovarium hamster yang sudah dikenalkan dengan gen reseptor TSH manusia sebagai media kultur. Pada media kultur tersebut kemudian diinkubasikan serum atau IgG penderita penyakit Graves.

Kemudian diukur peningkatan cAMP pada media kultur tersebut. Tes ini positif pada 80% sampai 100% penderita dengan penyakit Graves yang belum mendapat terapi dan tidak terdeteksi pada manusia sehat atau penderita tiroiditis Hashimoto (tanpa oftalmopati), nontoksik goiter, atau goiter nodular toksik. Tes ini sangat berguna untuk mendiagnosis penyakit Graves pada penderita dengan eutiroid oftalmopati atau untuk memprediksi penyakit Graves pada neonatus dari ibu dengan riwayat penyakit Graves atau yang masih aktif menderita penyakit Graves.1,2,9 Pemeriksaan TSH-R Ab dengan bioassay termasuk mahal dan tidak tersedia secara luas. Radioactive Iodine Uptake (RAIU) Uji ini berdasarkan kemampuan kelenjar tiroid menangkap iodium radioaktif (123I atai 131I). Dengan mengukur persentase penangkapan iodium radioaktif pada waktu-waktu tertentu setelah pemberiannya maka dapat dinilai kinetik iodium intratiroid yang secara tidak langsung menggambarkan pula fungsi kelenjar tiroid.10 RAIU tinggi pada penyakit Graves, meningkat ringan atau normal pada multinodular toksik goiter, dan rendah pada tiroiditis. Kombinasi dari peningkatan FT4 dan penurunan TSH digunakan untuk menegakkan hipertiroidisme. Jika terdapat tanda-tanda oftalmopati pada penderita maka diagnosis penyakit Graves dapat ditegakkan. Jika tanda-tanda oftalmopati tidak ada dan penderita hipertiroid dengan atau tanpa goiter, perlu dilakukan tes radioiodine uptake. Uptake yang meningkat merupakan diagnosis dari penyakit Graves atau goiter nodular toksik. Pemeriksaan TPO Ab berguna untuk diferensial diagnosis, tapi pemeriksaan TSHR Ab tidak selalu diperlukan.

Di samping gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan radiologis (Thyroid scanning, USG, CT scan) dan histologis (FNAB): Thyroid scanning Isotop yang sering digunakan untuk imaging tiroid adalah 131I, 99mTc, dan 123I. Pada penilaian awal digunakan untuk mengevaluasi nodul goiter yang asimetrik, hipertrofi lobus yang menyebabkan tampaknya suatu nodul atau massa, dan menilai massa substernal. Scan tiroid juga digunakan untuk penilaian lanjutan pada penderita dengan penurunan TSH.Scan tiroid memberikan informasi tentang ukuran tiroid, dan distribusi geografik dari aktifitas fungsional kelenjar tiroid. Nodul tiroid yang berfungsi melebihi jaringan tiroid yang normal disebut dengan hot nodule dan yang tidak berfungsi disebut cold nodule. Warm nodule memiliki fungsi yang sama dengan jaringan tiroid normal. Tidak semua penderita dengan nodul tiroid memerlukan scan tiroid, FNAB dapat digunakan untuk evaluasi awal suatu nodul tiroid. Indikasi scan tiroid adalah : (1) evaluasi morfologik fungsional nodul tiroid soliter, (2) evaluasi massa di mediastinum bagian atas, (3) membedakan penyakit Plummer dari penyakit Graves dengan komponen nodosa, (4) mendeteksi jaringan fungsional yang tersisa pasca tiroidektomi, (5) mendeteksi sisa jaringan tiroid atau metastase karsinoma tiroid

berdiferensiasi baik, (6) evaluasi penyebab hipertiroidisme neonatal, (7) evaluasi massa di daerah leher atau jaringan tiroid ektopik. Ultrasonografi (USG) Dalam tirodologi kegunaan utama USG adalah untuk menentukan volume, besar, ukuran kelenjar, dan untuk membedakan apakah suatu nodul kistik atau padat. Suatu nodul yang secara klinis soliter, mungkin ditemukan multipel pada USG. USG dengan resolusi tinggi dan real time imaging, dapat pula divisualisasikan aliran vaskuler ke dan dari kelenjar tiroid. USG tidak dapat menentukan apakah suatu lesi tiroid jinak atau ganas. Computed Tomografi (CT) Scan dan Magnectic Resonance Imaging (MRI) CT Scan biasanya dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya oftalmopati. Jika oftalmopati sudah jelas maka CT Scan digunakan untuk evaluasi pengobatan oftalmopati.CT scan mampu memvisualisasikan dengan baik hubungan kelenjar tiroid dengan organ sekitar, ukuran kelenjar, volume, serta kepadatan jaringan kelenjar tiroid. Manfaat MRI dalam tirodologi hampir sama dengan CT scan, namun MRI dapat mendeteksi kekambuhan karsinoma dan membedakannya dengan fibrosis. MRI dan CT scan juga tidak dapat membedakan apakah suatu lesi bersifat ganas atau tidak. Pemeriksaan Histologis Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) pada kelenjar tiroid dilakukan untuk mengetahui adanya suatu keganasan pada suatu nodul tiroid.Pemeriksaan histologi kelenjar tiroid penderita penyakit Graves didapatkan hiperplasia yang difus. Dapat terlihat hilangnya koloid tiroid normal dan kelenjar yang hiperemis. Terjadi pembentukan banyak folikel kecil baru, dan sel tiroid membentuk struktur kolumnar tinggi. Pembuluh darah lebih besar dari normal. Infiltrat limfosit ditemukan di antara folikel dan dapat ditemukan hiperplasia limfoid. Sel T dan sel B dapat ditemukan. FNAB pada kelenjar tiroid jarang diindikasikan pada penyakit Graves. 2.8 Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan pada penderita dengan tirotoksikosis yang telah dibuktikan secara biokimiawi, goiter yang difus pada palpasi, oftalmopati, TPO Ab positif, dan adanya riwayat pribadi atau keluarga terhadap adanya kelainan autoimun. Secara klinis juga dapat dihitung indeks Wayne untuk membuktikan apakah seseorang termasuk hipertiroid atau eutiroid. Indeks Wayne Interpretasi hasil penghitungan indeks Wayne adalah sebagai berikut : <10 : Eutiroid 10-20 : Mungkin hipertiroid > 20 : Hipertiroid 2.9 Penatalaksanaan Sasaran terapi hipertiroidisme adalah 4: (1) menghambat sintesis hormon tiroid, (2) menghambat sekresi hormon tiroid, (3) menekan konversi T4 menjadi T3 di perifer, dan (4) mengurangi massa kelenjar tiroid. Saat ini pilihan terapi: (1)

obat antitiroid, (2) iodin radioaktif, (3) pembedahan. Pengobatan yang ideal untuk penyakit Graves bertujuan untuk menangani respon autoimun pada kelenjar tiroid dan orbita, namun belum ada pengobatan yang spesifik untuk mengatasi respon autoimun tersebut, sehingga tidak memungkinkan untuk menormalkan fungsi kelenjar tiroid dan menghilangkan oftalmopati. Obat Antitiroid Tujuan pemberian obat antitiroid adalah11: (1) sebagai terapi yang berusaha memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap pada penderita muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis, (2) sebagai obat untuk kontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan pada penderita yang mendapat yodium radioaktif, (3) sebagai persiapan untuk tiroidektomi, (4) untuk pengobatan penderita hamil dan lanjut umur, dan (5) penderita dengan krisis tiroid. Obat antitiroid yang sering digunakan untuk menangani penyakit Graves adalah golongan thionamide yang bekerja dengan menghambat oksidasi dan pengikatan iodida sehingga mengakibatkan defisiensi iodin intratiroid. Propylthiouracil (PTU) dapat menekan konversi T4 menjadi T3 pada jaringan perifer.16 Berikut obat golongan thionamide yang digunakan untuk terapi penyakit Graves: 1. Methimazole Merupakan obat pilihan kecuali pada krisis tiroid dan pengobatan pada wanita hamil. Tidak menghambat konversi perifer dari T4 menjadi T3 Tidak memiliki efek segera. Waktu paruh lebih lama dibandingkan PTU, maka dari itu obat ini dapat diberikan dua kali sehari. Tidak berhubungan dengan hepatitis Memiliki hubungan yang lemah dengan aplasia kutis pada neonatal setelah terjadi paparan in utero. Dosis dewasa: dosis awal 10-15 mg per oral dua kali sehari kemudian dilakukan titrasi cepat sampai setengah dosis awal setelah tercapai keadaan eutiroid. Dosis anak-anak: dosis awal 15-20 mg/m2/hari per oral dibagi dalam dua kali pemberian per hari kemudian dilakukan titrasi sampai tercapai dosis efektif terendah untuk mempertahankan keadaan eutiroid. Kontraindikasi pada hipersensitivitas, neutropenia, penyakit hati, kehamilan, wanita menyusui, dan badai tiroid. Interaksi: mempunyai aktivitas antivitamin K dan mungkin meningkatkan aktivitas obat antikoagulan oral. Monitor dengan melakukan pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, dan tes fungsi hati. Juga perlu dilakukan tes fungsi tiroid agar dapat dilakukan penyesuaian dosis. Efek samping berupa terjadinya rash pada kulit, artritis, artralgia, kolestatik jaundice, neutropenia, dan agranulositosis. 2. Propylthiouracil (PTU)

Merupakan obat pilihan pada keadaan krisis tiroid karena dapat menghambat konversi perifer T4 menjadi T3, serta pada laktasi dan kehamilan karena tidak melewati plasenta. Tidak dihubungkan dengan aplasia kutis pada fetus. Dosis dewasa: dosis awal 100-150 mg per oral tiga kali sehari kemudian dilakukan titrasi sampai tercapai dosis efektif terendah untuk mempertahankan keadaan eutiroid. Dosis anak-anak: dosis awal 5-7 mg/kgBB/hari per oral dibagi menjadi tiga kali pemberian kemudian dilakukan titrasi sampai tercapai dosis efektif terendah untuk mempertahankan keadaan eutiroid. Kontraindikasi pada hipersensitivitas, neutropeni, dan penyakit hati Interaksi: mempunyai aktivitas antivitamin K sehingga dapat meningkatkan aktivitas antikoagulan oral. Monitor dengan melakukan pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, dan tes fungsi hati. Juga perlu dilakukan tes fungsi tiroid agar dapat dilakukan penyesuaian dosis. Efek samping: terjadinya rash pada kulit, artritis, artralgia, hepatitis, neutropenia, dan agranulositosis. Untuk pemantauan pemberian obat pada penderita rawat jalan, perlu dilakukan pemeriksaan tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan pemeriksaan darah lengkap dalam interval waktu tiap 6 minggu sampai 3 bulan. Juga perlu dicari apakah ada efek samping obat yang potensial dapat timbul dengan mencari riwayat penyakit sebelumnya. Perbaikan klinis tergantung pada jumlah hormon tiroid yang tersimpan dalam kelenjar dan kecepatan sekresi kelenjar. Perbaikan ini biasanya terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai dalam 6-8 minggu. Radioaktif Iodin Cara kerja obat ini adalah dengan mengonsentrasikan radioaktif iodin pada kelenjar tiroid sehingga menyebabkan kerusakan kelenjar tiroid tanpa membahayakan jaringan lain. Indikasi pengobatan dengan yodium radioaktif adalah: (1) penderita usia 35 tahun atau lebih, (2) hipertiroidisme yang kambuh sesudah dioperasi, (3) gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid, (4) tidak mampu atau tidak mau pengobatan antitiroid, (5) adenoma toksik dan goiter multinodular toksik. Pengobatan dengan yodium radioaktif ini dapat mengakibatkan terjadinya keadaan hipotiroidisme. Yang biasa digunakan adalah 131I dengan dosis 5-12 mCi per oral. Dosis ini dapat mengendalikan tirotoksikosis dalam 3 bulan, namun kira-kira sepertiga dari penderita akan menjadi hipotiroid dalam tahun pertama. Efek samping lain yang mungkin timbul adalah eksaserbasi hipertiroidisme dan tiroiditis. Terapi Pembedahan Tindakan pembedahan dapat dipilih apabila: (1) gondok sangat besar dengan/atau tanpa tirotoksikosis yang berat; (2) menunjukkan gejala penekanan, terutama gondok retrosternal; (3) tidak berhasil dengan obat antitiroid; (4) penderita tidak kooperatif meminum obat antitiroid; (5) ada reaksi dengan obat antitiroid; (6) karena keadaan geografi dan sosial ekonomi tidak memungkinkan dipantau secara

teratur oleh dokter; (7) gondok nodular toksik terutama pada penderita muda. Subtotal tiroidektomi apabila terdapat multinodular goiter atau ukuran kelenjar yang besar. Pada subtotal tiroidektomi, jika terlalu banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan maka akan terjadi relaps. Biasanya ahli bedah meninggalkan 2-3 g jaringan tiroid pada leher kanan dan kiri.1 Penyebab lain terjadinya kekambuhan adalah iodine uptake dan aktivitas imunologi penderita. Tiroidektomi total dilakukan apabila terdapat progresifitas yang cepat dari oftalmopati. Sebelum operasi penderita disiapkan dengan pemberian obat antitiroid sampai tercapai keadaan eutiroid (kurang lebih selama 6 minggu).1 Biasanya penderita diberi cairan kalium iodida 100-200 mg/hari atau cairan lugol 10-15 tetes per hari selama 10 hari sebelum dioperasi untuk mengurangi vaskularisasi pada kelenjar tiroid Pengobatan Tambahan Obat-obat lain yang biasa digunakan sebagai obat tambahan adalah 11: Penyekat beta-adrenergik. Dengan pemberian obat ini diharapkan gejala seperti palpitasi, tremor, berkeringat banyak, serta gelisah akan dapat berkurang. Obat ini juga dapat menurunkan kadar T3 dalam serum. Dosis yang dianjurkan sebesar 40-200 mg/hari yang dibagi atas 4 dosis. Yodium. Terutama digunakan untuk persiapan operasi, sesudah pengobatan dengan yodium radioaktif dan pada krisis tiroid. Dosisnya adalah 100-300 mg/hari. Ipodate. Bekerja dengan menurunkan konversi T4 menjadi T3 di perifer, mengurangi sintesis hormon tiroid dan mengurangi pengeluaran hormon dari tiroid.

You might also like