You are on page 1of 15

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak dibicarakan di media massa masalah dunia

kedokteran yang dihubungkan dengan hukum. Bidang kedokteran yang dahulu dianggap profesi mulia, seakan-akan sulit tersentuh oleh orang awam, kini mulai dimasuki unsur hukum. Terutama apabila mnyangkut masalah malpraktek, dimana dibutuhkan suatu perlindungan hukum bagi dokter maupun pasien. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap kepentingan-kepentingan itu harus diutamakan. Pada awal abad ke-20 telah tumbuh bidang hukum yang bersifat khusus ( lex spesialis), salah satunya hukum kesehatan, yang berakar dari pelaksanaan hak asasi manusia memperoleh kesehatan (the Right to health care). Masing-masing pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Dengan semakin berkembangnya masyarakat hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap keampuhan ilmu kedokteran dan teknologi. Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah apa yang dinamakan malpraktek di bidang kedokteran, perlu diungkap hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan hatihati dari tenaga kedokteran. Kedatangan pasien ke tempat praktek dokter, Rumah Sakit, atau Klinik dapat ditafsirkan sebagai usaha mengajukan penawaran kepada dokter untuk diminta pertolongan dalam mengatasi keluhan yang dideritanya. Begitu pula sebaliknya, dokter juga akan melakukan pelayanan medis berupa rangkaian tindakan yang meliputi diagnosa dan tindakan medik. Hubungan hukum ini selanjutnya disebut transaksi, yang dalam hukum perdata disebut perjanjian. Hubungan pasien dokter dan rumah sakit selain berbentuk sebagai ikatan atau hubungan medik, juga

berbentuk ikatan atau hubungan hokum dan ditulis dalam suatu bukti rekam medic pasien. Hubungan antara dokter dengan pasien pada umumnya merupakan hubungan kontrak. Terdapat persamaan kontrak antara hubungan dokter dengan pasien dengan hubungan kontrak yang terjadi dalam pengaturan hukum perdata, misalnya pada perjanjian jual beli, yakni bahwa hubungan kontrak antara kedua belah pihak dilakukan dengan legal untuk memutuskan suatu sikap yang telah disetujui bersama. Dalam melakukan terapi antara dokter terhadap pasien secara langsung terjadi ikatan kontrak. Pasien ingin diobati dan dokter setuju untuk mengobati. Untuk perjanjian kontrak yang valid harus ada pengertian dan kerjasama dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Pasien berhak untuk menolak pemeriksaan, menunda persetujuan dan bahkan membatalkan persetujuan. Persetujuan tersebut didapat dalam bentuk inform concent yang juga berarti persetujuan dan kepercayaan dari pasien untuk dokter dalam melaksanakan tugasnya menyembuhkan pasien. Apabila pasien menolak untuk dilakukan tindakan medis, maka dokter wajib memberikan informasi mengenai baik buruknya tindakan tersebut bagi pasien. Hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan terapeutik, yang dalam hukum dikatakan suatu perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu. Dengan adanya perjanjian ini dimaksudkan mendapatkan hasil dari tujuan tertentu yang diharapkan pasien. Status legal dari seorang dokter dalam menjalankan profesinya dengan praktek merupakan masalah yang sangat kompleks. Jika ditinjau dari segi hukum medik, maka hubungan antara dokter dan pasien dapat dimasukkan dalam golongan kontrak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah, apakah fungsi dari rekam medik dan informed concent? 1.3 Tujuan Pembelajaran Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan pembelajaran adalah mengetahui fungsi dari rekam medik dan juga informed concent.

1.4

Mapping

Etika

Malpraktek

Administratif

100 50 0 1s t Qtr E a s t Wes t North

Yuridis

Perdata

Pidana

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed Concent


Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Tiap-tiap pihak, yaitu yang member pelayanan dan yang menerima pelayanan mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan Tindakan Medik (PTM) atau yang sekarang disebut Persetujuan Tindakan Kedokteran ini timbul. Artinya di satu pihak dokter (tim dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medik yang terbaik, menurut jalan pikiran dan pertimbangannya (mereka), dan dilain pihak pasien atau keluarga pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik apa yang akan dilaluinya(Adhi,2011). Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter akan sejalan dengan apa yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga pasien. Hal ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik saja sedangkan pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari segi lain yang tidak kalah pentingnya, seperti keuangan, psikis, dan pertimbangan keluarga(Adhi,2011). Perkembangan seputar PTM ini di Indonesia tidak lepas dari perkembangan masalah serupa di negara lain. Arus informasi telah membawa Indonesia perlu membenahi masalah PTM ini. Declaration of Lisbon (1981) dan Patient Bill ofRigltt (Amenban Hosptal Assoalation, 1972) pada intinya menyatakan bahwa pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik. Hal ini berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri sebagai dasar hak asasi manusia dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya(Adhi,2011) Dari kacamata demikian, PTM sebetulnya dapat dilihat sebagai penghormatan kalangan kesehatan terhadap hak otonomi perseorangan. Lebih jauh hal ini dapat menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, atau dari pandangan lain dapat pula dikatakan bahwa PTM merupakan pembatasan otorisasi dokter terhadap kepentingan pasien(Wardhani,2009).

Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/lX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik (informed consent).Kalangan kesehatan tentu diharapkan sejak awal telah memahami masalah PTM dengan baik karena merupakan salah satu batu yang dapat membuat kalangan kesehatan tersandung dalam menjalankan profesi yang menjurus ke malpraktik medik(Wardhani,2009). 2.1.1 Pengertian Persetujuan Tindakan Medis / Informed concent PTM adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah informed consent. Sesungguhnya terjemahan ini tidaklah begitu tepat. Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan Hanafian,.et al.2008). 2.2.2 Bentuk Persetujuan Tindakan Medis / inform concent Ada dua bentuk PTM, yaitu: 1. Implied consent Adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter di sini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. Misalnya pengambilan darah untuk pemerilsaan laboratorium, melakukan suntikan pada pasien, dan melakukan penjahitan. Sebetulnya persetujuan jenis ini tidak termasuk infonned consmt dalam arti murni karena tidak ada penjelasan sebelumnya. Implied consent bentuk lain adalah bila pasien dalam keadaan gawat darurat sedang dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya pun tidak di tempat, dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11). Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter(Hanafian,.et al.2008).

2. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya, pemeriksaan dalam rektal atau pemeriksaan dalam vaginal, mencabut kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum.Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Persetujuan secara lisan sudah mencukupi. Namun, bila tindakan yang akan dilakukan mengandung risiko seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yang invasive sebaiknya didapatkan PTM secara tertulis. Seperti dikemukakan sebelumnya oleh kalangan kesehatan atau rumah sakit, surat pernyataan pasien atau keluarga inilah yang disebut PTM Hanafian,,.et al.2008).

2.2 Rekam Medis 2.2.1 Pengertian rekam medis Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas , anamnesa,penentuan fisik , laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medic yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap ,rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat Sanjoyo,2006). Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis dijelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Kedua pengertian rekam medis diatas menunjukkan perbedaan yaitu Permenkes hanya menekankan pada sarana pelayanan kesehatan, sedangkan dalam UU Praktik Kedokteran tidak. Ini menunjukan pengaturan rekam medis pada

UU Praktik Kedokteran lebih luas, berlaku baik untuk sarana kesehatan maupun di luar sarana kesehatan(Sanjoyo,2006). Rekam medis mempunyai pengertian yang sangat luas , tidak hanya sekedar kegiatan pencatatan, akan tetapi mempunyai pengertian sebagai suatu sistem penyelenggaraan rekam medis yaitu mulai pencatatan selama pasien mendapatkan pelayanan medik , dilanjutkan dengan penanganan berkas rekam medis yang meliputi penyelenggaraan penyimpanan serta pengeluaran berkas dari tempat penyimpanan untuk melayani permintaan/peminjaman apabila dari pasien atau untuk keperluan lainnya(Budiyanto,1997). Rekam medis yang bermutu adalah: 1. Akurat, menggambarkan proses dan hasil akhir pelayanan yang diukur secara benar 2. Lengkap, mencakup seluruh kekhususan pasien dan sistem yang dibutuhkan dalam analisis hasil ukuran. 3. Terpercaya, dapat digunakan dalam berbagai kepentingan 4. Valid atau sah sesuai dengan gambaran proses atau produk hasil akhir yang diukur 5. Tepat waktu, dikaitkan dengan episode pelayanan yang terjadi 6. Dapat digunakan untuk kajian, analis, dan pengambilan keputusan 7. Seragam, batasan sebutan tentang elemen data yang dibakukan dan konsisten penggunaaannya di dalam maupun di luar organisasi 8. Dapat dibandingkan dengan standar yang disepakati diterapkan 9. Terjamin kerahasiaannya 10.Mudah diperoleh melalui sistem komunikasi antar yang berwenang(Budiyanto,1997). Beberapa kewajiban pokok yang menyangkut isi rekam medis berkaitan dengan aspek hukum adalah: 1. Segala gejala atau peristiwa yang ditemukan harus dicatat secara akurat dan langsung

2. Setiap tindakan yang dilakukan tetapi tidak ditulis, secara yuridis dianggap tidak dilakukan 3. Rekam medis harus berisikan fakta dan penilaian klinis 4. Setiap tindakan yang dilakukan terhadap pasien harus dicatat dan dibubuhi paraf 5. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca (juga oleh orang lain) a. Kesalahan yang diperbuat oleh tenaga kesehatan lain karena salah baca dapat berakibat fatal. b. Tulisan yang tidak bisa dibaca, dapat menjadi bumerang bagi si penulis, apabila rekam medis ini sampai ke pangadilan. 6. Jangan menulis tulisan yang bersifat menuduh atau mengkritik teman sejawat atau tenaga kesehatan yang lainnya. 7. Jika salah menulis, coretlah dengan satu garis dan diparaf, sehingga yang dicoret masih bisa dibaca. 8. Jangan melakukan penghapusan, menutup dengan tip-ex atau mencorat-coret sehingga tidak bisa dibaca ulang. 9. Bila melakukan koreksi di komputer, diberi space untuk perbaikan tanpa menghapus isi yang salah (Sanjoyo,2006). Kepemilikan rekam medis: 1. Milik rumah sakit atau tenaga kesehatan: a. Sebagai penaggungjawab integritas dan kesinambungan pelayanan. b. Sebagai tanda bukti rumah sakit terhadap segala upaya dalam penyembuhan pasien c. Rumah sakit memegang berkas rekam medis asli. Direktur RS bertanggungjawab atas: a.Hilangnya, rusak, atau pemalsuan rekam medis b. Penggunaan oleh badan atau orang yang tidak berhak 2. Milik pasien, pasien memiliki hak legal maupun moral atas isi rekam medis. Rekam medis adalah milik pasien yang harus dijaga kerahasiaannya. 3. Milik umum, pihak ketiga boleh memiliki (asuransi, pengadilan, dsb) (Depkes RI).

BAB III PEMBAHASAN 3.3 3.3.1 Fungsi Rekam Medik dan Informed Consent Fungsi Rekam Medik Rekam medis merupakan berkas/dokumen penting bagi setiap instansi rumah sakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2008:1), rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien(Sanjoyo,2006). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam medis dijelaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan(Danny,1999). Sedangkan menurut Huffman dalam Fajri (2008:5) rekam medis adalah fakta yang berkaitan dengan keadaan pasien, riwayat penyakit dan pengobatan masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi kesehatan yang memberikan pelayanan kepada pasien tersebut. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749 a tahun 1989 menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 manfaat, yaitu : 1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pesien 2. Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum 3. Bahan untuk kepentingan penelitian 4. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan 5. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan (Danny,1999). Menurut International Federation Health Organization (1992:2), rekam medis disimpan dengan tujuan:

10

1.Fungsi komunikasi Rekam medis disimpan untuk komonikasi diantara dua orang yang bertanggungjawab terhadap kesehatan pasien untuk kebutuhan pasien saat ini dan yang akan datang. 2. Kesehatan pasien yang berkesinambungan Rekam medis dihasilkan atau dibuat untuk penyembuhan pasien setiap waktu dan sesegera mungkin. 3. Evaluasi kesehatan pasien Rekam medis merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan evaluasi terhadap standar penyembuhan yang telah diberikan. 4. Rekaman bersejarah Rekam medis merupakan contoh yang menggambarkan tipe dan metode pengobatan yang dilakukan pada waktu tertentu. 5. Medikolegal Rekam medis merupakan bukti dari opini yang yang bersifat prasangka menegnai kondisi, sejarah dan prognosi pasien. 6. Tujuan statistik Rekam medis dapat digunakan untuk menghitung jumlah penyakit, prosedur pembedahan dan insiden yang ditemukan setelah pengobatan khusus. 7. Tujuan penelitian dan pendidikan Rekam medis di waktu yang akan datang dapat digunakan dalam penelitian kesehatan(Sanjoyo,2006). Berdasarkan aspek diatas maka rekam medis mempunyai nilai kegunaan yang sangat luas, yaitu: 1. Dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien 2. Bahan pembuktian dalam hukum 3. Bahan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan 4. Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan 5. Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan

11

6. Fungsi komunikasi 7. Kesehatan pasien yang berkesinambungan (Sanjoyo,2006). 3.3.2 Fungsi Informed Consent Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Adapun pernyataan IDI tentang informed consent tersebut adalah: a) Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri. b) Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis. c) Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya. d) Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam. e) Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada

12

keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah penting(Wardhani,2009). Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45, ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup: a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain dan risikonya; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis ( kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.(Komalawati,2002). Fungsi dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah : a) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien Bagi pasien,informed consent merupakan penghargaan terhadap hak haknya oleh doktrer dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan (informed consent). b) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti . Bagi dokter, informed consent dapat membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul akibat yang tidak dikehendaki(Wardhani,2009). Fungsi lainnya dari inform concent adalah a) Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;

13

b) Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri; c) Promosi dari keputusan-keputusan rasional; d) Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedi(Adhi,2011) Adami Chazawi mengemukakan bahwa informed consent pasien atau keluarganya hanya sekedar membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar dan tidak menyimpang. Walaupun ada persetujuan semacam itu,apabila perlakuan medis dilakukan secara salah sehingga menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki,dokter juga tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya(Komalawati,2002). Informed consent dari asas hukum perjanjian berfungsi sebaga pemenuhan asas konsensualisme,yang mengandung makna bahwa sejak tercapainya kesepakatan (consensus) diantara para pihak mengenai pokok pokok isi perjanjian,maka perjanjian sudah terjadi..Kedua belah pihak sudah terikat sejak tercapainya kesepakatan, untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut dan memperoleh hak haknya sesuai dengan perjanjian atau menurut ketentuan hukum yang berlaku dari perjanjian tersebut dan memperoleh hak haknya sesuai dengan perjanjian atau menurut ketentuan hukum yang berlaku(Komalawati,2002).

14

BAB 4. PENUTUP

4.1

Kesimpulan Dari uraian diatas diketahui pentingnya rekam medik dan inform concetn

bagi dokter maupun pasien. inform concent memiliki fungsi ganda yang sangat penting bagi kedua belah pihak a) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien b) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan . Rekam medis memiliki fungsi : 1.Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien 2. Bahan pembuktian dalam hukum 3. Bahan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan 4. Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan 5. Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan 6. Fungsi komunikasi 7. Kesehatan pasien yang berkesinambungan 8. Rekaman bersejarah Oleh karena itu, sebagai tenaga medis diperlukan suatu pengetahuan tentang rekam medis dan inform concent, terutama fungsi dua hal tersebut.

15

DAFTAR PUSTAKA Adhi, Yuli Prasetyo. 2011. Jurnal Informed Consent sebagai Wujud Upaya Menghindari Tuntutan Malpraktek dalam Pelayanan Medik. Pandecta vol.5 no. 1 edisi Januari-Juni 2011. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta :BagianKedokteran Indonesia, 1997. Bawono, Bambang Tri. 2011. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Malpraktik Profesi Medis. Jurnal Hukum Unissula Danny Wiradharma. 1999. Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta, EGC. Dr. Anny Isfanyarie Sp. An. SH, Malpraktek Dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka. Jakarta. hal. 31. Guwandi, 2007, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hanafian, Jusuf M & Amri Amir.2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi 4. Jakarta. EGC. Komalawati, V. 2002. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik. Citra Aditya Bakti. Bandung Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001.
Sanjoyo, Raden. Jurnal Aspek Hukum Rekam Medis . 2006. D3 Rekam Medis FMIPA Universitas Gadjah Mada.

Forensik

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Wardani, Ratih Kusuma. 2009. Tinjauan Yurudis Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di RSUP dr Kariadi Semarang. Thesis. Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro: Semarang. Departemen Kesehatan RI., Pedoman Sistem Pencatatan Rumah Sakit (Rekam medis/Medical Record , 1994

You might also like