You are on page 1of 24

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Kanker serviks merupakan kanker ginekologis yang paling sering terjadi pada wanita, kebanyak kanker tersebut berasal dari infeksi Human Papilloma virus (HPV). Dibandingkan dengan keganasan dibidang gynekologi lainnya kaker serviks cenderung terjadi pada usia yang lebih muda usia ratarata antara 40-59 tahun. 1 Kanker serviks merupak kanker yang palig sering ditemukan diseluruh dunia, pada tahun 2002, sekitar 493000 kasus baru diidentifikasi di seluruh dunia dengan jumlah kematian 274000. Negara berkembang bekontribusi 83% dari kasus yang terjadi setiap tahun, sedangkan negara dengan perekonomian yang maju memiliki angka kejadian kanker serviks lebih rendah hanya sekitar 3,6%.
1

Di Indonesia sendiri kanker serviks masih

menempati urutan pertama keganasan ginekologis. 2 Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit, apalagi kalau tingkatannya sudah agak lanjut yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendeteksi sedini mungkin, yakni waktu tumor masih prainvasif. Dengan memperhatikan perubahan displastik pada serviks, penangan yang sederhana namun tepat akan menghindarkan wanita tersebut dari keganasan. Pencegahan primer

nampaknya cukup sulit dikerjakan mengingat sebab biologik kanker serviks belum dapat diketahui, yang dapat dilakukan yaitu menghindari faktor intrinsik dan ekstrinsik yang memeberi resiko kanker serviks. Upaya pecegahan sekunder dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan pap smear dan biopsi secara berkala. 2

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan leher rahim (serviks). Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal (membrana basalis). 3 Terminologi dari lesi preinvasif serviks telah mengalami perubahan beberapa kali. Terminologi CIN dibagi menjadi 3 derajat: - CIN 1 - sesuai dengan displasia ringan (NIS 1) - CIN 2 - sesuai dengan displasia sedang (NIS 2) - CIN 3 - meliputi displasia berat dan ca insitu, karena seringkali patologis tidak dapat membedakan keduanya secara tegas (NIS 3). Terminologi NIS menegaskan kembali konsep bahwa lesi prekursor dari kanker serviks membentuk suatu rangkaian proses yang berkelanjutan. Semua derajat dari lesi ini mempunyai potensi untuk menjadi kanker serviks bila dibiarkan tanpa pengobatan. Karena risiko untuk menjadi progresif dari semua tingkatan lesi prekursor ini tidak dapat diketahui maka ditegaskan bahwa semua lesi NIS sebaiknya diobati. 4

2.2 Epidemiologi Diantara tumor ganas ginekologi kanker servix menduduki peringkat pertama dari 5 kanker terbanyak di Indonesia. Umur penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode laten dari kanker prainvasif menjadi invasif memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia < 35 tahun yang menunjukan kanker serviks yang invasif saat di diagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat pada wanita dibawah usia 35 tahun. Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, kita sepakat secara nasional melacak (mendeteksi dini) setiap wanita sekali saja setelah melewati usia 30 tahun dan menyediakan sarana penanganannya, untuk berhenti sampai usia 60 tahun. Yang penting dalam pelacakan ini adalah cakupannya (coverage). Bahkan direncanakan melatih tenaga sukarelawati (dukun, ibu2

ibu PKK) untuk mengenali bentuk portio yang mencurigakan untuk dapat di Pap smear oleh dokter atau bidan di Puskesmas atau Puskesling sebagaimana disarankan oleh WHO. 2

2.3 Etiologi Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease). Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tigapuluhan, walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. Infeksi virus HPV yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 5613 dimana HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus. Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51, 52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54,55. 3

2.4 Faktor Resiko Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia dini, berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan yang suka berganti-ganti pasangan.1 Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker leher rahim adalah : 3 a. Faktor HPV : - tipe virus - infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan - jumlah virus (viral load)

b. Faktor host/ penjamu : - status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi prekanker dan kanker. - jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker c. Faktor eksogen - merokok - ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya - penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral

2.5 Prekursor Kanker serviks Klasifikasi WHO (1973) membagi prekursor kanker serviks menjadi 2 kelompok, yakni: 4 a. Karsinoma in situ, perubahan perangai sel dengan inti yang

menampakkan keganasan, yang meliputi seluruh ketebalan epitel skuamosa serviks tanpa menembus membran basalis. b. Displasia, perubahan perangai sel dengan inti yang menampakkan keganasan, tetapi tidak melibatkan keseluruhan ketebalan epitel dan juga tidak menembus membran basalis. Displasia dibagi lagi dalam 3 derajat, yaitu ringan, sedang, dan berat. Richart mengajukan istilah neoplasia intraepitelial serviks (NIS) dan mengategorikan displasia ringan sebagai NIS 1, displasia sedang sebagai NIS 2, dan displasia berat sebagai karsinoma in situ atau NIS 3. Sistem Bethesda (1989) mengategorikan NIS 1 dan infeksi HPV sebagai Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LSIL) dan NIS 2 serta NIS 3 sebagai High Grade Squamous Intraepithelial Lesions (HGSIL). Selanjutnya, sistem Bethesda melakukan modifikasi berdasarkan penemuan ASCUS (Atypical Squamous Cells of Uncertain Significance). Walaupun klasifikasi sistem Bethesda mencoba untuk menyederhanakan pelaporan dan membantu penanganan

klinik serta menghindari perbedaan persepsi penilaian patologi, pemahaman perjalanan alamiah dari prekursor kanker serviks belum begitu baik. 4 Tabel 1. Klasifikasi lesi prakanker serviks uteri 4 Klasifikasi WHO Tidak terklasifikasi Tidak terklasifikasi Displasia ringan Displasia sedang Displasia berat Carsinoma in situ Klasifikasi Neoplasia Intraepitelial serviks (NIS) Tidak terklasifikasi Efek HPV NIS 1 NIS 2 NIS 3 NIS 3 Klasifikasi Bethesda ASCUS LISDR LISDR LISDT LISDT LISDT

Perubahan epitel serviks dengan gambaran di antara karsinoma insitu dan epitel normal disebut sebagai displasia. Dengan demikian, sebutan displasia berarti suatu abnormalitas dari pertumbuhan dan perkembangan yang ditandai dengan proliferasi sel yang secara sitologi abnormal, di mana sel superfisial menyerupai sel basal. Juga menunjukkan inti yang atipik, perubahan dari rasio inti/sitoplasma, dan kehilangan polaritas normal. 4 Tergantung dari tingkatan dan ketebalan dari epitel yang mengalami perubahan, displasia dibagi menjadi displasia ringan, displasia sedang, dan displasia berat. Kadang-kadang, yang membedakan antara displasia berat dengan karsinoma insitu hanya didasarkan pada ada atau tidaknya satu lapisan sel pipih pada permukaan epitel serviks saja. Dalam beberapa penelitian dinyatakan bahwa ahli patologi juga mendapat kesulitan untuk membedakan antara displasia berat dengan karsinoma insitu ini. Hal ini mempengaruhi pemilihan pengobatan yang berbeda antara kedua lesi tersebut, sehingga klasifikasi terhadap lesi prakanker yang hanya didasarkan pada histologi harus dihindari. 4 Dengan meningkatnya pengertian terhadap biologi lesi preinvasif serviks, akhir-akhir ini disepakati untuk mengganti ketiga istilah derajat dari CIN 1, 2, dan 3 menjadi dua tingkatan saja. Agar penemuan histologi mempunyai korelasi dengan penemuan sitologi maka salah satu klasifikasi

yang digunakan mengikuti pembagian sitologi yang diperkenalkan oleh Bethesda, dengan memakai istilah: 4 Lesi Intraepitelial Skuamousa Derajat Rendah (LISDR), meliputi displasia ringan, koilositotik atypia, koilositosis, flat kondiloma, dan NIS 1. Lesi Intraepitelial Skuamousa Derajat Tinggi (LISDT), meliputi NIS 2 dan NIS 3. Sebagai tambahan, selain sel endoserviks yang atipik berat (AIS) juga dijumpai sel endoserviks yang mengalami atipik lebih ringan yang dapat dijumpai pada serviksUntuk lesi yang atipiknya lebih ringan tersebut diberikan bermacam-macam nama, seperti: 4 Endocervical dysplasia atau atypical hyperplasia. Ada yang menganalogikannya dengan lesi skuamosa serviks sehingga memberinya nama Cervical Intraepithelial Glandular Neoplasia (CIGN) untuk semua lesi noninvasif glandular. Dengan menggunakan istilah CIGN ini maka lesi atipikal hiperplasia digolongkan ke dalam CIGN 1 atau CIGN 2, tergantung dari derajat atipik dan derajat mitosisnya. Sedangkan AIS digolongkan pada CIGN 3. Hasil penelusuran dari beberapa literatur selama 40 tahun terakhir memberi kesan bahwa lesi lanjut (NIS 3) lebih banyak yang menjadi persisten dan menjadi progres dibandingkan pada lesi awal (NIS 1). Dinyatakan bahwa NIS 3 dapat mengalami regresi secara spontan. Akan tetapi, yang lebih penting dinyatakan bahwa yang progresif menjadi karsinoma sebanyak 15%, sedangkan dari NIS 1 hanya 1%. Tampaknya, regresi dan progres dari NIS 1 dan NIS 2 adalah sama. Jika luaran akhir dari pasienpasien dengan abnormal smear dapat diprediksi maka problem penatalaksanaan lesi adalah sangat sederhana. Kenyataannya, tidak semua pesien dengan kelainan pada sel-sel serviksnya akan berkembang menjadi NIS atau progresif menjadi kanker serviks. Untuk itu, beberapa pasien dengan beberapa tingkatan NIS perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. 4 Kessler melakukan review dari banyak penelitian tentang perilaku biologik dari displasia serviks. Terjadinya progresivitas dari lesi NIS menjadi bentuk yang lebih berat atau kanker invasif berkisar antara 1,4% - 60%. Jika

dilakukan biopsi pada lesi yang kecil maka sebagai dampak tindakan biopsi tersebut perjalanan alamiah selanjutnya akan terputus. Walaupun penelitian tentang perilaku biologi dari karsinoma insitu bervariasi, dilaporkan bahwa pertumbuhannya menjadi karsinoma invasif mencapai 50% dari seluruh kasus. 4 Hal tersebut menjadi nyata dengan adanya penelitian akhir-akhir ini, yang menjumpai bahwa NIS banyak terdiagnosis pada usia yang lebih muda. Melnikow dkk. pada 1998 melakukan meta-analisis terhadap kelompok perempuan dengan atipia skuamosa atau lebih berat dengan pemeriksaan sitologi. Tanpa dilakukan terapi, dilakukan follow up selama 6 bulan. 4 Tabel 2. Perjalanan alamiah NIS berkaitan dengan derajat lesi Derajat displasia Ringan Sedang Berat Regresi (%) 62 33 19 Persisten (%) 24 49 48 Progresif (%) 13 18 33

Dari tabel 2 dapat disimpulkan bahwa makin rendah derajat kelainan maka makin besar kemungkinan untuk regresi menjadi normal, dan makin berat derajat kelainan makin besar potensi untuk berlanjut ke lesi yang lebih berat. 4 2.6 Skrening Kanker serviks Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali.18 Jika sudah terjadi kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, yaitu dapat lokal atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan diluar masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar. Gejala lain yang timbul dapat berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan

kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut kanan atas, kuning, atau pembengkakan) dan lain-lain. 3 Untuk mencegah agar tidak menjadi kanker serviks, diperlukan metode skrining kanker serviks. WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi pilar dalam penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. 3 Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu,

pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif.
3

Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan kanker leher rahim. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas: 3 1. Sasaran yang akan menjalani skrining WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut: 3 setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal lainnya perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya

2. Interval skrining American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV yang pertama. Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. Skrining 3 tahun sekali memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. ACS merekomendasikan skrining tiap tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology), setelah skrining yang

pertama.Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturutturut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali. Bila dana sangat terbatas skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan. 3 WHO merekomendasikan : 3 Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun. Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan, skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali. Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali. Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining. Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali. 3. Metode Skrining yang Digunakan Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut : 3

1. Metode Sitologi: a. Tes Pap konvensional Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George Papanicolau sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher rahim di negara-negara maju menurun drastis. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi

pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan negatif palsu 7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi. 3 b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC) Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap konvensional dengan cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini sel dikoleksi dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal. 3 2. Pemeriksaan DNA HPV Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai cara mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan jaringan biopsi, atau dengan cara pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction) yang amat sensitif. 3 3. Metode inspeksi visual a. Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI) b. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) 3

10

2.7 Terapi Lesi Prakanker Banyak modalitas yang dimiliki dalam usaha melakukan pengobatan terhadap NIS. Laser ablation dan krioterapi biasa digunakan untuk displasia ringan dan cold knife, konisasi, atau laser konisasi biasa digunakan untuk displasia moderat. Di samping modalitas terapi destruksi, didapatkan terapi eksisi seperti LEEP, LLETZ, konisasi, sampai histerektomi. 4 Dalam pengelolaan lesi prakanker, pemilihan terapi harus

dipertimbangkan secara hati-hati, dengan melihat efektivitas terapi serta efek samping yang ditimbulkan. Sebagian besar lesi NIS umumnya berukuran kecil dan terbatas pada ektoserviks dengan kedalaman rata-rata 2-3 mm. Namun, sebagian kecil lesi dapat mencapai vagina bagian atas serta dapat mencapai dasar lipatan (krypte) di kanalis servikalis yang kedalamannya mencapai 7,8 mm. 4 Dasar dari terapi destruksi lokal pada NIS ini dimulai dari tidak adanya risiko untuk terjadinya penyebaran secara hematogen dan limpogen, sehingga dengan metode pemusnahan jaringan abnormal lesi akan hilang. Empat metode destruksi lokal yang dapat dilakukan ialah krioterapi, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan CO2 laser. Pemilihan masing-masing metode ini bertujuan untuk memusnahkan daerah yang dicurigai mengandung epitel abnormal dengan harapan akan digantikan epitel yang baru. 4 1. Karioterapi Krioterapi ialah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 25 derajat Celcius sel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan tersebut, terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) sel-sel mengalami dehidrasi dan mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem mikrovaskular. Pada awalnya digunakan cairan Nitrogen atau gas CO2, tetapi pada saat ini hampir semua alat menggunakan N2O. 4

11

krioterapi merupakan metode pengelolaan lesi prakanker yang relatif sedikit komplikasi dan relatif murah dibandingkan metoda destruksi lainnya. Di samping itu, jika dilakukan secara tepat, insiden rekurensi displasia cukup rendah (0,410,44 %). Meskipun demikian, semua masih tergantung dari besar lesi dan kedalamannya. Dengan kata lain, krioterapi lebih tepat digunakan untuk lesi risiko rendah yang persisten. Jadi,sebenarnya efektivitas dari krioterapi ditentukan oleh temperatur yang ditimbulkan, waktu pendinginan, tipe dari probe, perluasan pembentukan bunga es dari probe, serta ukuran dan grading dari lesi. Dibandingkan dengan jaringan lain, jaringan epidermal dan lemak mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam merespons pendinginan pada kondisi -90o C sampai -25o C. 4 Prosedur krioterapi ini hanya mengakibatkan nekrosis jaringan dengan kedalaman 5 6 mm, dengan maksimum kedalaman 7,8 mm. Dengan demikian, jika lesi melibatkan glandula serviks, belum tentu dapat dicapai dengan metode ini. Di samping itu, sambungan skuamo-kolumner akan tertarik ke dalam kanalis endoserviks sesudah krioterapi. Hal ini akan menyulitkan saat dilakukan kolposkopi dan evauasi Papsmear. Keadaan ini tidak terjadi jika dilakukan dengan CO2 laser. Diketahui bahwa proses reepitelisasi sering dimulai dari sambungan skuamokolumner. Kerugian lain adalah jika proses CIN tidak seluruhnya dapat tercapai oleh metode krio, proses akan berlanjut ke dalam menjadi lebih progresif dan tidak terdeteksi oleh kolposkopi atau sitologi. 4 Untuk lesi besar dan luas mencapai lebih dari 30 mm, lesi displasia moderat, dan karsinoma in situ, krioterapi tidak menguntungkan dibanding dengan laser. Jika dibandingkan dengan laser ablasi, kegagalan krioterapi lebih besar, 25% untuk krioterapi dan 7,7% untuk laser ablasi. 4 2. Carbon Dioxide Laser Ini merupakan suatu metode penyinaran dengan energi tinggi secara langsung ke target jaringan. Pada saat penyinaran itu, cairan intrasel akan mendidih dan menguap dari sel. Seluruh daerah transformasi dan bagian yang dicurigai diharapkan akan terjadi perubahan karena dirusak. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan intrasel mendidih, sedangkan

12

jaringan di bawahnya mengalami nekrosisi. Penyembuhan luka juga cepat dan komplikasi yang terjadi tidak lebih berat dibanding krioterapi atau konisasi. 4 Keberhasilan laser terapi ini tergantung pada kekuatan dan lamanya penyinaran. Laser terapi ini dapat mencapai pengobatan pada semua tingkat displasia hingga mencapai 95%. Untuk CIN I dan II dapat mencapai tingkat kesembuhan 84%, sedangkan angka kegagalan terapi hanya 6% dibanding 29% krioterapi. Untuk lesi kurang dari 30 mm, kegagalan terapi hampir sama jika dibandingkan dengan krioterapi. Tetapi, jika lesi lebih dari 30 mm, kegagalan terapi 8% dibanding dengan krioterapi yang mencapai 38%.4 Keuntungan penggunaan laser dalam pengelolaan CIN ini antara lain: Kerusakan jaringan dapat ditentukan dengan tepat, baik luas maupun kedalamannya. Penyembuhan luka lebih cepat. Tidak mengubah SSK. Keluhan yang ditimbulkan sedikit. Dapat digunakan pada lesi di vagina karena tidak menimbulkan jaringan parut. 3. Elektrokauter Diketahui bahwa elektrosurgeri mempunyai 3 fungsi, yaitu diseksi, fulgurasi, dan desikasi. Elektrokauter merupakan teknik destruksi jaringan dengan menggunakan panas antara 400o F sampai 1500o F. Elektrokauter ini juga efektif untuk 2/3 CIN 3, lesi yang melibatkan multipel kuadran dari serviks serta lesi yang mencapai kanalis endoserviks. Tetapi, elektrokauter ini lebih efektif digunakan pada lesi CIN 1, terutama sewaktu melakukan pemeriksaan kolposkopi. Elektrokauter ini tidak efektif untuk lesi dengan kedalaman lebih dari 3 mm2. 4 4. Elektrokoagulasi Pada CIN 1-2 dapat dilakukan meskipun lesi luas dan telah mencapai kanalis servikalis. Hal inilah yang membedakannya dengan penggunaan krioterapi. Sedangkan pada CIN III dilakukan bila ada kontraindikasi operasi, serta dapat dilakukan pada lesi luas dan telah mencapai kanalis servikalis.

13

Laser dan elektrosurgeri mempunyai prinsip efek biologi yang sama, di mana cairan seluler mendapat pengaruh panas yang hebat dan mengakibatkan membran sel pecah. Proses ini terjadi pada saat cutting, sedangkan pada proses koagulasi terjadi proses dehidrasi yang lebih lambat. 4

2.8 Vaksinasi HPV Vaksin kanker pada awal perkembangannya dimulai dari lisan tumor sendiri, kemudian berkembang dengan sasaran tumor associated antigen, yaitu molekul yang diekspresikan oleh tumor dan tidak oleh sel normal. Selanjutnya digunakan peptida atau DNA sebagai antigen. Antigen DNA biasanya lemah dan untuk memperkuat potensi imunogeniknya dilakukan dengan.berbagai rekayasa. Vaksin dibuat dengan teknologi rekombinan, vaksin berisi VLP (virus like protein) yang merupakan hasil cloning dari L1 (viral capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik kuat. Dengan diketahuinya infeksi HPV sebagai penyebab kanker serviks , maka terbuka peluang untuk menciptakan vaksin dalam upaya pencegahan kanker serviks. Dalam hal ini dikembangkan 2 jenis vaksin: 5 Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat terlindung dari infeksi HPV. Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel yang terinfeksi HPV dapat dimusnahkan. a. Efektifitas Vaksin Pada penelitian didapatkan bahwa vaksin bivalen HPV 16/18 VLP sangat efektif menurunkan angka kejadian infeksi HPV dan infeksi menetap HPV 16/18 pada individu yang sudah mendapat vaksinasi lengkap HPV ada wanita muda. Efektifitas vaksin juga sangat tinggi pada wanita yang tidak mendapatkan protokol vaksin secara lengkap. 5 Efektifetas vaksin dihubungkan dengan infeksi menetap HPV 16 dan 18, abnoramalitas dari pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan infeksi HPV 16 dan 18., dan angka kejadian CIN yang dihubungkan dengan infeksi HPV 16 dan 18. Vaksin HPV 16/18 VLP ini akan merangsang produksi antibodi yang kadarnya masih lebih tinggi jika

14

dibandingkan dengan kadar antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respons alami dari infeksi virus HPV, respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan memiliki daya perlindungan yang lebih lama jika

dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh infeksi alami HPV. 5 b. Masa Perlindungan Data tentang percobaan tentang HPV vaksin ditunjukkan bahwa kadar antibodi menurun setelah mencapai puncaknya setelah imunisasi dan kemudian menetap (plateau), tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi alami dari virus HPV dan kadar tersebut menetap pada 48 bulan setelah vaksinasi. 5 c. Sasaran dan Waktu Pemberian vaksin Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita usia 10 tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapat diberikan pada wanita usia 10-26 tahun (rekomendasi FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai usia 55 tahun. Infeksi HPV yang menyerang organ genetalia biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, dan imunisasi diberikan untuk melakukan perlindungan terhadap sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus tersebut. Selain itu vaksin diberikan pada usia tersebut maka respon kekebalan tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan setelah pubertas, baik pada wanita maupun pada pria. 5 d. Sedian Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui uji klinis, yakni Cervarik dan Gardasil: 5 Cervarik Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada preparat ini, Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector dan VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun.

15

Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6 masingmasing 0,5 ml secara intramuskuler. 5 Gardasil Adalah vaksin quadrivalent 40 g protein HPV 11 L1 HPV ( GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe 6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20g protein HPV 6 L1, 40 gprotein HPV 11 L1, 20 g protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung 225 amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 80 C. dosis vaksin ini adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular dan diulang sebanyak 3 kali, yaitu pada bulan ke 0, 2, dan ke 6. 5

16

DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham, Scorge, Schaffer et al. Cervical cancer. In Williams Gynecology. Mc Graw Hill; 2008. P 1285 1318. 2. Wiknjosastro,Hanifa. Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta. 2009. Hal 380-390. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Skrining kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat, 2008. 4. Iskandar, TM. Pengelolaan Lesi Prakanker Serviks. Indonesia Journal of Cancer. Vol III, No 3, 2009. 5. Gondo, HK. Vaksin Human Papiloma Virus (HPV) untuk Mencegah Kanker Serviks Uteri. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, 2009.

17

POMR (Problem Oriented Medical Record) Nama Umur Pendidikan Pekerjaan : Nn. Asni : 32 tahun : SD : PRT

Nama suami : Tn Imam safii Usia Pendidikan Pekerjaan Alamat : 32 tahun : SD : Kuli Bangunan : Jalan Sutorejo, Labansari 135

Data Base

clue and cue

problem list

Initia l Dx diagnosa terapi

planning educati on menjela skan penyaki t pasien Pasien harus MRS untuk mendap atkan perawat an yg intensif , juntuk menceg ah kompli kasi

Keluha n utama: perdara han dari kemalu an Anamn esis: RPS: Pasien datang k RS dengan keluhan keluar darah dari kemalu an. Pasien mengat akan sudah 3 bulan

1 Wanita, 32 thn Perdara han dari vagina Riwayat flekflek selama 3 bulan. Perdara han setelah sengga ma, riwayat keputih an yang berbau dan gatal. Riwayat menika h usia

1.Perdara han per vagina, perdaraha n setelah senggama , keputihan berbau dan gatal. Massa portio berdungk uldungkul, rapuh.

2. perdaraha n pervagina, anemis.

monitori ng 1.sus 1.1 peme -infus 1.1 perd pek riksaa NaCL arah ca n 1000 an servi histo cc 1.2 tand ks PA grojok a2 1.2 hapus . vital an -Asam 1.3 cek darah mefen leab tepi amat post 1.3 cross 3x trans matc 500 fusi h mg tab -Asam tranex amat 3x 2. 500 anem mg ia tab defisi ensi Pasan besi. g tampo n

18

ini pasien keluar darah berupa flekflek. Namun sudah 3 hari ini (17-032013) darah yang keluar banyak disertai gumpal ngumpal an darah. Dan sore ini sekitar jam 15.30 darah yang keluar sangat banyak disertai darah bergum palgumpal. Pasien juga mengat akan sering keluar darah dari kemalu an setelah

16 tahun Pemeri ksaan dalam: VT: v/v: fluksus (+) ,flour(-) portio: tertutup , berdung kuldungkul , rapuh cavum uteri : ante fleksi AP D/S: massa -, nyeri Cavum douglas i: Tidak menonj onl, Inspek ulo: V/V: fluksus (+), Flour () Portio : tertutup , tampak massa berdung kul-

vagina . Transf usi prc 2 bag Sulfas ferosu s 1x1

19

melaku kan hubung an suami istri. Nyeri perut -, pusing +, nyeri punggu ng -. Riw. Keputi han: Pasien mengak u pernah mengal ami keputih an selama 2 bulan, warna putih susu, berbau dan gatal. RPD: DM-, HT Riw. Obs: P2002 A0 I 9bln/SP tB /bidan/3 700 g/ laki2/ 15 th II 9 bln/ SC/dr/R S/ 4000

dungkul

2.wanit a 32 tahun, perdara han per vagina m, pusing, anemis. T 100/60 mmHg kepala leher: An +/+ pemerik saa lab: DL: Hb 6,8 Leuko: 9200 PCV 21,3 Trombo 243000

20

g/ lakilaki/ 11 tahun RPK: DM-, HT Riw KB: Pasien dulu menggu nakan Kb suntuik dan berhenti pada tahun 2012, sekaran g sudah tidak menggu nakan Kb. Riw Menika h: 1 kali, 16 tahun Riw menstr uasi: Menarc he usia 12 tahun, menstru asi teratur, lamany a 7 hari, darah hais biasany a banyak.

21

Nyeri haid selama haid. HPHT: 3 bulan yang lalu tapi pasien lupa tanggal pastinya . Pmx Fisik: KU: cukup Kesadar an: CM -T 100/60 mmHg - N: 88 x/mnt -t ax/rect: 36.8 C -kepala leher: An +/+, Ikt -/Thoraks ; C/P dbn Abd: lunak.N T (-) Pem.Da lam: Inspek ulo: V/V: fluksus (+), Flour ()

22

Portio : tertutup, tampak massa berdung kuldungkul VT: v/v: fluksus (+) ,flour(-) portio: tertutup, berdung kuldungkul , rapuh cavum uteri : ante fleksi AP D/S: massa -, nyeri Cavum douglas i: Tidak menonj onl, Pemeri ksaan lab: DL: Hb 6,8 Leuko: 9200 PCV 21,3 Trombo 243000

23

24

You might also like