You are on page 1of 20

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASTHMA DI BANGSAL ANGGREK 1 RUMAH SAKIT DR.

MOEWARDI SURAKARTA

OLEH : Imam Rosyada G2B008036

POGRAM SUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2011

ASMA BRONKIAL 1. Definisi: Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakhea dan bronki terhadap berbagai macam rangsangan yang manifestasinya berupa kesukaran bernapas, karena penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajad penyempitannya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obatobatan. Kelainan dasarnya, tampaknya suatu perubahan status imunologis si penderita (United States Nasional Tuberculosis Assosiation, 1967). 2. Klasifikasi Secara etiologis asma bronkial dibagi dalam 3 tipe: a. Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik) Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah: serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang menderita asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan, ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik, rangsangan psikis mempunyai peran untuk menimbulkan serangan reaksi asma, perubahanperubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik merupakan keadaan peka bagi penderita. b. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik). Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak, pada famili ada yang menderita asma, adanya eksim pada waktu bayi, sering menderita rinitis.

c. Asma bronkial campuran (Mixed) Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.

3.

Pathway Alergen atau Antigen yang telah terikat oleh IgE yang menancap pada permukaan sel mast atau basofil Lepasnya macam-macam mediator dari sel mast atau basofil Kontraksi otot polos Spasme otot polos, sekresi kelenjar bronkus meningkat Penyempitan/obstruksi proksimal dari bronkus kecil pada tahap inspirasi dan ekspirasi Edema mukosa bronkus Keluarnya sekret ke dalam lumen bronkus Sesak napas
Intake makanan menurun Nutrisi kurang dari kebutuhan Inefective clearance airway

Impaired gas exchange

Tekanan partial oksigen di alveoli menurun Oksigen pada peredaran darah menurun Hipoksemia CO2 mengalami retensi pada alveoli Kadar CO2 dalam darah meningkat

yang memberi pernapasan Hiperventilasi


Inefective breathing pattern

rangsangan

pada

pusat

4.

Patofisiologi Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca ++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otototot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas, peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut (Karnen B. 1994). Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. Sedangkan asthma intrinsik (non atopi) ditandai dengan mekanisme non alergik yang

bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti: Udara dingin, zat kimiayang bersifat sebagai iritan seperti: ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktivitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ). Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia, ( Tjen daniel,1991 ). 5. Manifestasi Klinik Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejalagejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari. 6. Beberapa faktor yang sering menjadi pencetus serangan asma ialah: a. Alergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang, bulu kapas, debu kopi/teh, maupun yang berupa makanan seperti udang, kepiting, zat pengawet, zat pewarna dsb. b. Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa, dsb. c. Ketegangan atau tekanan jiwa.

d. Olahraga/kegiatan jasmani, terutama lari. e. Obat-obatan seperti penyekat beta, salisilat, kodein, dsb. f. Polusi udara atau bau yang merangsang seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum, asap industri, dan lainnya. 7. Penatalaksanaan: a. Waktu serangan. a Bronkodilator a. Golongan adrenergik: Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu selama 15 menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3 cc jika belum reda, dapat diulang sekali lagi 15 menit kemudian. Untuk anak-anak diberikan dosis lebih kecil 0,1 0,2 cc. b. Golongan methylxanthine: Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240 mg. Diberikan secara intravena, pelan-pelan 5 10 menit, diberikan 5 10 cc. Aminophilin dapat diberikan apabila sesudah 2 jam dengan pemberian adrenalin tidak memberi hasil. c. Golongan antikolinergik: Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek antikolinergik adalah menghambat enzym Guanylcyclase. b Antihistamin. Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak setuju. c Kortikosteroid. Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat Beta Adrenergik. bronkodilator. d Antibiotika. Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali: sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi sekunder. e Ekspektoransia. Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran napas. Beberapa ekspektoran adalah: air minum biasa (pengencer sekret), Glyceril guaiacolat (ekspektorans) b. Diluar serangan Disodium chromoglycate. Efeknya adalah menstabilkan dinding Kortikosteroid sendiri tidak mempunyai efek

membran dari cell mast atau basofil sehingga mencegah terjadinya degranulasi dari cell mast, mencegah pelepasan histamin, mencegah pelepasan Slow Reacting Substance of anaphylaksis, mencegah pelepasan Eosinophyl Chemotatic Factor. c. Pengobatan Non Medikamentosa: 1. Waktu serangan: a. pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar gejala klinik maupun hasil analisa gas darah. b. pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat dan yang berlangsung lama ada kecenderungan terjadi dehidrasi. Dengan menangani dehidrasi, viskositas mukus juga berkurang dan dengan demikian memudahkan ekspektorasi. c. drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu pengeluaran dahak agar supaya tidak timbul penyumbatan. d. menghindari paparan alergen. 2. Diluar serangan a. Pendidikan/penyuluhan. Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya, apa pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan bagaimana dapat menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan alergen. Imti dari prevensi adalah menghindari paparan terhadap alergen. b. Imunoterapi/desensitisasi. Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen, kemudian dilakukan desensitisasi. c. Relaksasi/kontrol emosi. Untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi fisik dapat dibantu dengan latihan napas. 8. Komplikasi Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : a. Status asmatikus b. Atelektasis c. Hipoksemia d. Pneumothoraks e. Emfisema

f. Deformitas thoraks g. Gagal nafas

9.

Pengkajian a. Pengumpulan data. 1) Identitas klien. Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu di kaji pada penyakit status asthmatikus. Serangan asthma pada usia dini memberikan implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atopi. Sedangkan serangan pada usia dewasa di mingkinkan adanya faktor non atopi. Alamat menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien berada, dapat mengetahui kemungkinan faktor pencetus serangan asthma. Status perkawinan, gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan merupakan faktor pencetus serangan asthma, pekerjaan, serta bangsa perlu juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan elergen. Hal lain yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik, dan Diagnosa medis (Karnen B 1994). 2) Riwayat penyakit sekarang. Klien dengan serangan asthma datang mencari pertolongan dengan keluhan, terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain yaitu: Wheezing, Penggunaan otot bantu pernapasan, Kelelahan, gangguan kesadaran, Sianosis serta perubahan tekanan darah. Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan. 3) Riwayat penyakit dahulu. Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi saluran napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, polip hidung. Riwayat serangan asthma frekuensi, waktu, alergenalergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk meringankan gejala asthma 4) Riwayat kesehatan keluarga. Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang riwayat penyakit asthma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya karena hipersensitifitas pada penyakit asthma

ini lebih ditentukan oleh faktor genetik oleh lingkungan, 5) Riwayat spikososial Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asthma baik ganguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar sampai lingkungan kerja. Seorang yang punya beban hidup yang berat berpotensial terjadi serangan asthma. yatim piatu, ketidak harmonisan hubungan dengan orang lain sampai ketakutan tidak bisa menjalankan peranan seperti semula, (Antony Croket, 1997) 6) Pola fungsi kesehatan a) Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat Gejala asthma dapat membatasi manusia untuk berprilaku hidup normal sehingga klien dengan asthma harus merubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan asthma (Antony Crokett;1997, Karnen B;1994) b) Pola nutrisi dan metabolisme Perlu dikaji tentang status nutrisi klien meliputi, jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Serta pada klien sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dipsnea saat makan, laju metabolisme serta ansietas yang dialami klien, (Hudak dan Gallo;1997) c) Pola eliminasi Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna bentuk, kosentrasi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam melaksanakannya. d) Pola tidur dan istirahat Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat klien meliputi berapa lama klien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami klien. Adanya wheezing, sesak dan ortopnea dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat klien e) Pola aktivitas dan latihan Perlu dikaji tentang aktivitas keseharian klien seperti olah raga, bekerja dan aktivitas lainnya. Aktivitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya asthma yang disebut dengan Exerase Induced Asthma,

10

f)

Pola hubungan dan peran Gejala asthma sangat membatasi gejala klien untuk menjalani kehidupan kondisinya kerja, secara dengan normal. Klien dan perlu peran menyesuaikan klien baik hubungan

dilingkungan rumah tangga, masyarakat ataupun lingkungan g) Pola persepsi dan konsep diri Perlu dikaji tentang persepsi klien tarhadap penyakitnya. Persepsi yang salah dapt menghambat respon kooperatif pada diri klien. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan klien. Semakin banyak stresor yang ada pada kehidupan klien dengan asthma meningkatkan kemungkinan serangan asthma yang berulang. h) Pola sensori dan kognitif Kelainan pada pola persepsi dan kognetif akan memepengaruhi konsep diri klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami klien sehingga kemungkinan terjadi serangan asthma yang berulangpun akan semakin tinggi. i) Pola reproduksi seksual Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan klien. Masalah ini akan menjadi stressor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan asthma. j) Pola penanggulangan stress Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus serangan asthma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara penanggulangan terhadap stresor, k) Pola tata nilai dan kepercayaan Kedekatan klien pada sesuatu yang ia yakini dunia percayai dapat meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada Nya merupakan metode penanggulangan stres yang konstruktif 2) Pemeriksaan fisik a) Status kesehatan umum Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi

11

pernapasan yang meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu pernapasan sianosis batuk dengan lendir lengket dan posisi istirahat klien (Karnen B ;19983). b) Integumen Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna rambut, kelembaban dan kusam. (Karnen B ;1994). c) Kepala. Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kelang ataupun hilang kesadaran. d) Mata. Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang di rasakan klien. Serta riwayat penyakit mata lainya e) Hidung Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung,rinitis alergi dan fungsi olfaktori (Karnen B.;1994) f) Mulut dan laring Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara. (Karnen B.:1994). g) Leher Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesran tiroid serta penggunaan otot-otot pernafasan (Karnen B.;1994). h) Thorak (1) Inspeksi Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan adanya peningkatan diameter

anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis, sifat dan irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.(Karnen B.;1994). (2) Palpasi. Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus.

12

(3) Perkusi Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah. (4) Auskultasi. Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan dan Wheezing. (Karnen B .;1994). i) Kardiovaskuler. Jantung di kaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas dan hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya pulsus paradoksus, j) Abdomen. Perlu di kaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi karena dapat merangsang serangan asthma frekwensi pernafasan, serta adanya konstipasi karena dapat nutrisi (Hudak dan Gallo;1997). k) Ekstrimitas. Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada extremitas karena dapat merangsang serangan asthma. 3) Pemeriksaan penunjang. a) Pemeriksaan spinometri. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma, (Karnen B;1994). b) Tes provokasi brokial. Dilakukan jika pemeriksaan spinometri internal. Penurunan FEV, sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum di anggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10 % atau lebih,(Karnen B.;1998). c) Pemeriksan tes kulit. Untuk menunjukan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh, (Karnen B.;1998). d) Laboratorium.

13

(1) Analisa gas darah. Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat (2) Sputum. Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari adema mukasa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik (3) Sel eosinofil Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000 1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat. (4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea. e) Radiologi Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya proses patologik diparu atau komplikasi asthma seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektosis dan lain lain, (Karnen B.;1998). f) Elektrokardiogram Perubahan EKG didapat pada 50% penderita Status Asthmatikus, ini karena hipoksemia, perubahan pH, hipertensi pulmunal dan beban jantung kanan. Sinus takikardi-sering terjadi pada asthma. hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratorik, (Karnen B.;1998).

14

10. Analisa data a. b. c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi kental peningkatan produksi mukus dan bronkospasme Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada dan kelelahan akibat kerja pernafasan. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit. d. Risiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas. e. Risiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2 hipoksemia, emosi terfokus pada pernafasan dan apnea tidur. 11. Perencanaan a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan sekresi kental peningkatan produksi mukus bronkospasme. 1) Tujuan Jalan nafas menjadi efektif. 2) Kriteria hasil (a) menentukan posisi yang nyaman sehingga memudahkan peningkatan pertukaran gas. (b) dapat mendemontrasikan batuk efektif (c) dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi (d) tidak ada suara nafas tambahan 3) Rencana tindakan (a) Kaji warna, kekentalan dan jumlah sputum (b) Instruksikan klien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk. (c) Ajarkan klien untuk menurunkan viskositas sekresi (d) Auskultasi paru sebelum dan sesudah tindakan (e) Lakukan fisioterapi dada dengan tehnik drainage postural,perkusi dan fibrasi dada. (f) Dorong dan atau berikan perawatan mulut

15

4) Rasional (a) Karakteristik sputrum dapat menunjukkan berat ringannya obstruksi (b) Batuk yang tidak terkontrol melelahkan dan inefektif serta menimbulkan frustasi (c) Sekresi kental sulit untuyk dikeluarkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus yang dapat menimbulkan atelektasis. (d) Berkurangnya suara tambahan setelah tindakan menunjukan keberhasilan (e) Fisioterapi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan sekret. (f) Hygiene mulut yang baik meningkatkan rasa sehat dan mencegah bau mulut. b. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada, dan kelelahan akibat peningkatan kerja pernafasan. 1) Tujuan Klien akan mendemontrasikan pola nafas efektif 2) Kriteria hasil (a) Frekuensi nafas yang efektif dan perbaikan pertukaran gas pada paru (b) Menyatakan faktor penyebab dan cara adaptif mengatasi faktor-faktor tersebut 3) Rencana tindakan (a) Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan (b) Posisikan klien dada posisi semi fowler (c) Alihkan perhatian individu dari pemikiran tentang keadaan ansietas dan ajarkan cara bernafas efektif (d) Minimalkan distensi gaster (e) Kaji pernafasan selama tidur (f) Yakinkan klien dan beri dukungan saat dipsnea 4) Rasional (a) Takipnea, irama yang tidak teratur dan bernafas dangkal menunjukkan pola nafas yang tidak efektif (b) Posisi semi fowler akan menurunkan diafragma sehingga memberikan pengembangan pada organ paru (c) Ansietas dapat menyebabkan pola nafas tidak efektif

16

(d) Distensi gaster dapat menghambat kontraksi diafragma (e) Adanya apnea tidur menunjukkan pola nafas yang tidak efektif (f) Rasa raguragu pada klien dapat menghambat komunikasi terapeutik. c. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan pernafasan, dan proses penyakit. 1) Tujuan Klien akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi adekuat. 2) Kreteria hasil (a) Frekuensi nafas 16 20 kali/menit (b) Frekuensi nadi 60 120 kali/menit (c) Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan GDA dalam batas normal 3) Rencana tindakan (a) Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil GDA, pemasukan dan haluaran (b) Tempatkan klien pada posisi semi fowler (c) Berikan terapi intravena sesuai anjuran (d) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2 (e) Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda tanda toksisitas 4) Rasional (a) Untuk mengidentifikasi indikasi kearah kemajuan atau penyimpangan dari hasil klien (b) Posisi tegak memungkinkan expansi paru lebih baik (c) Untuk memungkinkan rehidrasi yang cepat dan dapat mengkaji keadaan vaskular untuk pemberian obat obat darurat. (d) Pemberian oksigen mengurangi beban otot otot pernafasan (e) Pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronkus seperti kondisi sebelumnya (f) Untuk memudahkan bernafas dan mencegah atelektasis

17

d.

Risiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas 1) Tujuan Pemenuhan kebutuhan nutrisi terpenuhi 2) Kriteria hasil (a) Klien menghabiskan porsi makan di rumah sakit (b) Tidak terjadi penurunan berat badan 3) Rencana tindakan (a) Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan nafsu makan menurun misalnya muntah dengan ditemukannya sputum yang banyak ataupun dipsnea. (b) Anjurkan klien untuk oral hygiene paling sedikit satu jam sebelum makan. (c) Lakukan pemeriksaan adanya suara perilstaltik usus serta palpasi untuk mengetahui adanya masa pada saluran cerna (d) Berikan diit TKTP sesuai dengan ketentuan (e) Bantu klien istirahat sebelum makan (f) Timbang berat badan setiap hari 4) Rasional (a) Merencanakan tindakan yang dipilih berdasarkan penyebab masalah. (b) Dengan perawatan mulut yang baik akan meningkatkan nafsu makan. (c) Mengetahui kondisi usus dan adanya dan konstipasi. (d) Memenuhi jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. (e) Kelelahan dapat menurunakn nafsu makan. (f) Turunya berat badan mengindikasikan kebutuhan nutrisi kurang.

e.

Risiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2, hypoksemia, emosi yang terfokus pada pernafasan dan apnea tidur. 1) Tujuan Klien akan terpenuhi kebutuhan istirahat untuk mempertahankan tingkat enegi saat terbangun

18

2) Kriteria hasil (a) Mampu mendiskusikan penyebab keletihan (b) Klien dapat tidur dan istirahat sesuai dengan kebutuhan tubuh (c) Klien dapat rilek dan wajahnya cerah. 3) Rencana tindakan (a) Jelaskan sebab sebab keletihan individu (b) Hindari gangguan saat tidur. (c) Menganalisa bersamasama tingkat kelelahan dengan menggunakan skala Rhoten (1982). (d) Indentivikasi aktivitas aktivitas penting dan sesuaikan antara aktivitas dengan istirahat. (e) Ajarkan teknik pernafasan yang efektif. (f) Pertahankan tambahan O2 bila latihan . (g) Hindarkan penggunaan sedatif dan hipnotif. 4) Rasional (a) Diketahuinya faktorfaktor penyebab maka diharapkan bias menghindarinya. (b) Tidur merupakan upaya memulihkan kondisi yang telah menurun setelah aktivitas. (c) Skala Rhoten untuk mengetahui tingkat kelelahan yang dialami klien. (d) Kelelahan terjadi karena ketidak seimbangan antara kebutuhan aktivitas dan kebutuhan istirahat. (e) Pernafasan efektif membantu terpenuhnya O2 dijaringan. (f) O2 digunakan untuk pembakaran glukosa menjadi energi. (g) Sedatif dan hipnotik melemahkan otototot khususnya otot pernafasan.

19

DAFTAR PUSTAKA Karnen G. Baratawidjaya, Samsuridjal. (1994). Pedoman Penatalaksanaan Asma Bronkial. CV Infomedika Jakarta. Muhamad Amin. Hood Alsagaff. W.B.M. Taib Saleh. (1993). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press. Tucker S.M. (1993). Standar Perawatan Pasien Proses Keperawatan, Diagnosis, dan Evaluasi. EGC. Doenges, Marilyn E, (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta: EGC. Brunner & Suddart (2002) Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah, Jakarta: EGC. Hudak & Gallo (1997) Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume 1, Jakarta : EGC.

20

You might also like