You are on page 1of 7

GEOMORFOLOGI INDONESIA

Drs. Ignasius Suban Angin, S.U. Nikodemus Rubertus Take Lamaking, S.Pd.

Pendahuluan
eomorfologi mempelajari bentuklahan (landform) penyusun permukaan bumi, baik di

atas maupun di bawah paras air laut, menekankan pada genesis dan perkembangannya pada masa yang akan datang, serta konteksnya dengan lingkungan. Dalam pemerian

(describtion) kondisi geomorfologis suatu wilayah selalu memperhatikan empat aspek utama geomorfologi, yaitu morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoaransemen. Morfologi mengkaji bentuklahan aktual, meliput deskripsi dan ukuran kuantitatifnya seperti kemiringan dan panjang lereng. Morfogenesis mengkaji proses dan perubahan jangka pendek dari bentuklahan yang diakibatkan oleh proses pelapukan, erosi, gerakan massa batuan/tanah, pelarutan dan abrasi. Morfogenesis mempelajari perkembangan relief bentuklahan dalam jangka panjang akibat tenaga tektonik dan vulkanik, termasuk batuan dan struktur batuannya. Sedangkan morfoaransemen mempelajari keterkaitan bentuklahan dengan parameter lahan atau mengkaji keterkaitan bentuklahan dengan obyek material disiplin ilmu lain atau mempelajari hubungan ekologis bentanglahan. Misalnya keterkaitan antara bentuklahan dengan potensi airtanah dangkal pada suatu wilayah, penggunaan lahan, dan sebagainya. Wilayah Indonesia, secara astronomis berada pada 6o 08 LU - 11o 15 LS dan 94o 45 BT 141o 05 BT (Bakosurtanal, 2001), berada pada dua benua: Australia dan Asia, dua samudera: Hindia dan Pasifik, dan terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Hindia-Australia, dan Lempeng Pasifik. Letak geografis Indonesia tersebut menyebabkan berbagai peristiwa geologis dan geomorfologis yang spektakuler, seperti: adanya aktivitas magmatik, aktivitas vulkanik, aktivitas seismik dan tsunami, pembentukan

keanekaragaman pulau ditilik dari genesisnya, pembentukan keanekaragaman morfologi, baik di dasar laut maupun di daratan, pembentukan cekungan-cekungan sedimenter yang kaya akan berbagai potensi sumberdaya mineral, terbentuk busur kepulauan, ditandai dengan bentuk melengkung dari rangkaian pulau-pulau dengan palung pada arah lautan. Posisi seperti itu juga mempunyai nilai sosial dan ekonomi yang strategis, disamping sebagai ancaman karena keterbukaan batas wilayahnya. Selain itu letak Indonesia tersebut mempunyai implikasi terhadap kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya alam dan sumberdaya hayati di satu sisi, dan di sisi lain sebagai bahaya dan bencana alam, karena menempati jalur aktif tektonik, aktif vulkanik dan beriklim tropik basah. Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia. Menurut catatan terakhir Dinas Angkatan Laut Republik Indonesia, jumlah pulau yang masuk wilayah Indonesia sebanyak 17.508 buah (Sandjodjo, 1990). Jarak terjauh antara batas utara dan batas selatan lebih kurang 2.000 km,

sedangkan jarak terjauh antara batas barat dan timur lebih kurang 5.100 km. Luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 5.197.827 km2, yang terdiri atas daratan seluas lebih kurang 1.922.570 km2 (37,11 %), dan luas perairan lautnya lebih kurang 3.257 km2 (62,89 %). Kalau dibandingkan dengan luas negara terdekat misalnya Singapur yang luasnya 747 km2 atau 0,39 luas wilayah daratan Indonesia dan Malaysia yang luas daratannya 129.750 km2 atau 17,15 % luas wilayah daratan Indonesia, maka luas wilayah daratan Indonesia hampir 300 kali lipat dengan Singapur dan lebih kurang 5 kali lipat dengan Malaysia. Data luas wilayah Indonesia tersebut mempunyai dua makna bagi bangsa Indonesia. Pertama, dapat menjadi kebanggaan dan percaya diri bangsa bahwa kita mempunyai wilayah yang amat luas, karena tidak memahami maka kita mempunyai kebanggaan dan percaya terhadap kekuatan kita sendiri sehingga tidak menguntungkan atau mudah terpengaruh oleh negara dan bangsa lain. Kedua, dapat mengundang pertanyaan mengapa negara seluas ini kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya jauh tertinggal dengan negara lain, seperti Singapur dan Malaysia yang luas wilayahnya jauh lebih sempit. Indonesia yang terletak antara dua samudera dan dua benua mempunyai kondisi iklim yang tidak ekstrim dalam arti mempunyai dukungan yang positif terhadap kehidupan dan aktivitas manusianya. Curah hujan di wilayah Indonesia bervariasi menurut lokasinya, secara umum rerata curah hujan tahunan di pulau besar lebih dari 2.000 mm/tahun, hanya di Nusa Tenggara yang kurang dari 2.000 mm/tahun. Beberapa tempat di Pulau-pulau: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua mempunyai rerata curah hujan tahunan lebih dari 3.000 mm mm/tahun (Bakosurtanal, 2001) dan bahkan di Papua curah hujan rerata tahunan mencapai 4.000-10.000 mm/tahun yang tercatat di stasiun meteorologi Pelabuhan Amamapare (Pariyono, 2002). Daerah yang curah hujan rerata bulanan kurang dari 100 mm/bulan (tergolong bulan kering) selama lebih dari 3 bulan berturutan terdapat di stasiun meteorologi: Yogyakarta, Semarang, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Flores, Sumba, Kupang, dan Gorontalo. Morfologi Dasar Laut Nusantara Luas wilayah laut Indonesia 62,89 % dari luas keseluruhan wilayah. Dasar Laut Nusantara tersusun atas: paparan, cekungan dasar laut dalam berupa basin, parit, palung, dan gunungapi dasar laut serta terumbu karang. Paparan (Shelf) Paparan (shelf) adalah mintakat atau zona di dasar laut mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120-200 m, yang biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut dalam. Paparan yang terdapat di perairan Indonesia dan sekitarnya adalah Paparan Sunda dan Paparan Sahul.

2.1 Paparan Sunda (Sunda Shelf) Paparan Sunda merupakan paparan benua yang terluas di dunia meliput luas sekitar 1,8 juta km2. Paparan ini menghubungkan Pulau-pulau Jawa, Sumatera dengan daratan Asia dan mencakup Laut Cina, Teluk Thailand, Selat Malaka dan Laut Jawa (Anugerah, 2005). Paparan Sunda ini, dahulunya merupakan daratan yang utuh dan menyatu dengan Jawa, Kalimantan, Sumatera dan daratan Asia. Bekas-bekasnya hingga kini masih dapat ditelusuri di dasar laut dengan menggunakan alat pengukur gema (echo sounder). Pada paparan Sunda, misalnya masih terdapat jejak dua sistem aliran sungai yang kini terbenam dalam laut (downed river system), yang masing-masing disebut Sungai Sunda Utara dan Sungai Sunda Selatan. Kedua jenis sungai terbenam ini seringkali disebut Sistem Sungai Molenggraff sesuai dengan nama penemunya. Sungai Sunda Utara mempunyai daerah hulu di Sumatera dan Kalimantan Barat dan bermuara ke Laut Cina, sedangkan Sungai Sunda Selatan mempunyai hulu di Jawa dan Kalimantan Selatan dan bermuara di Selat Makasar. Lembah sungai yang terbenam ini sebagian sudah tertimbun oleh sedimen. Bukti lain yang menarik dengan adanya Sungai Sunda ini di zaman dahulu kala adalah adanya persamaan jenis ikan air tawar di sungai-sungai pesisir timur Sumatera dengan yang terdapat di pesisir barat Kalimantan sekarang ini. Padahal antara pesisir barat dan timur Kalimantan tidak dijumpai hal yang demikian. Paparan Sunda di Laut Cina Selatan mempunyai dasar yang rata dengan kedalaman sekitar 40 m di sebelah pinggir dekat pantai dan semakin ke tengah kedalamannya bertambah hingga kira-kira 100 m. Dasar Laut Jawa umumnya rata dan melandai dari arah barat ke timur. Di sekitar pantai Sumatera Selatan kedalamannya 20 m dan berangsur-angsur meningkat hingga di sebelah timur yang menghadap ke Selat Makasar menjadi antara 60-80 m. Pulau karang yang terbenam dapat dijumpai di timur paparan ini, kira-kira di sebelah tenggara Pulau Laut. Pulau karang ini naik dari kedalaman 70 m, morfologi permukaannya sangat tidak beraturan dengan titik tertinggi 10 m di bawah permukaan laut. Selat Malaka di bagian tersempit memiliki lebar 35 km dengan kedalaman 30 m. Dasar laut selat ini berangsur-angsur semakin dalam ke arah barat-laut hingga mencapai 100 m sebelum bersambung dengan lereng benua (continental slope) di Laut Andaman. Di selat yang sempit ini, di mana arus pasang surut sangat kuat, dapat terbentuk gelembur pasir (sand ripple) yang berskala besar dan dengan bentuk kurang lebih seragam. Gelembur dengan profil bergelombang ini misalnya terdapat di daerah yang dikenal sebagai Gosong Sedepa dekat Port Swettenham (Malaysia) dengan tinggi sekitar 4-7 m dan panjang gelombang 250-450 m. Selain itu, sejajar dengan arah arus pasang surut terbentuk pula punggung yang memanjang, dengan ukuran sangat besar, hingga dasar gosong ini menanjak dari kedalaman 30-40 m hanya menjadi 2-15 m.

2.2 Paparan Sahul (Sahul Shelf)

Basin Laut Basin adalah depresi atau cekungan yang luas di dasar laut, dan kurang lebih berbentuk bulat atau lonjong. Perhatikan Tabel 2.1. Tabel 2.1 Basin Perairan Laut Nusantara No. I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Nama Basin Basin Sulu Basin Sulawesi Basin Morotai Basin Bacan Basin Mangole Basin Gorontalo Basin Halmahera Basin Buru Basin Banda Utara Basin Banda Selatan Basin Manipa Batas Garis Kedalaman (m) 4.000 4.000 3.000 3.000 3.000 3.000 1.000 3.000 4.000 4.000 3.000 Kedalaman Maksimum (m) 5.580 6.220 3.890 4.810 3.510 4.180 2.039 5.319 5.800 5.400 4.360 Luas (km) 46.000 26.000 1.500 6.800 1.900 14.000 15.000 16.000 80.000 120.000 2.800

12. Basin Ambalau 13. Basin Aru 14. Basin Selayar 15. Basin Flores 16. Basin Bali 17. Basin Sawu 18. Basin Wetar Sumber: Anugerah, 2007.

4.000 3.000 2.000 3.000 1.000 3.000 3.000

5.330 3.680 3.370 5.130 1.590 3.470 3.460

7.000 11.000 4.000 30.000 19.000 30.000 6.000

2.3 Palung Laut Palung laut merupakan cekungan di dasar laut yang bentuknya agak melebar dengan sisi yang lebih landai. Perhatikan Tabel 2.2 Tabel 2.2 Palung Perairan Laut Nusantara Nama Palung Laut 1. Palung Mindanao 2. Palung Talaud 3. Palung Sangihe 4. Palung Ternate 5. Palung Makassar 6. Palung Weber 7. Palung Butung 8. Palung Timor 9. Palung Jawa Sumber: Anugerah, 2007. No. Batas Garis Kedalaman (m) 6.000 3.000 3.000 3.000 2.000 4.000 4.000 2.000 6.000 Kedalaman Maksimum (m) 10.830 3.450 3.850 3.450 2.540 7.440 4.180 3.310 7.140 Luas (km) 2.700 10.000 1.000 55.000 50.000 1.200 33.000 -

2.4 Parit Laut (Trench) Parit laut adalah depresi atau cekungan yang dalam di dasar laut yang bentuknya memanjang. Contoh Parit Jawa (Java Trenc), dengan kedalaman maksimum 7.450 m. Parit ini berdampingan dengan Palung Bali. Kedua jenis sistem palung ini di sebut Parit Ganda Sunda (Sunda Double Trench).

You might also like