You are on page 1of 22

LAPORAN HASIL DISKUSI

Modul Organ Alergi Imunologi dan Intoksikasi Bayi yang Terlambat Diimunisasi

KELOMPOK X 030.08.163 030.10.129 030.10.146 030.10.160 030.10.173 030.10.185 030.10.196 030.10.209 030.10.221 030.10.233 030.10.244 030.10.257 030.10.268 030.10.280 Miria Noor Shintawati I Komang Rama M Wisnu Kamilah Nasar Liana Anggara Rizkia Meilinda Vitta Sari Muhammad Andanu Yunus Muhammad Syahrizal Novia Sugianto Limantara Pratiwi Raysa Angraini Sally Kartika Sitta Thara Rosa Tommy Yelsen Sumalim

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI Jakarta, 27 Maret 2012

BAB I PENDAHULUAN

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh mikroorganisme. Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasilhasil pemurniannya seperti protein, peptida, partikel serupa virus, dsb. Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu terutama bakteri, virus, atau toksin. Namun, banyak orang tua yang masih ragu memberikan vaksin pada anak mereka karena ketakutan terhadap efek samping terhadap pemberian vaksin tersebut, selain itu banyak mispersepsi, salah satu contohnya seperti eczema, yang sering kali menyebabkan orang tua tidak melakukan vaksinasi pada anaknya. Dermatitis atopik (DA) atau eczema atopik adalah peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya. Belakangan ini prevalensi DA makin meningkat dan hal ini merupakan masalah besar karena terkait bukan saja dengan kehidupan penderita tetapi juga melibatkan keluarganya. Penyebab penyakit ini bersifat multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik.

BAB II LAPORAN KASUS

Seorang bayi perempuan 5 bulan datang untuk mendapatkan vaksinasi yang pertama kali. Ibunya belum membawa bayinya imunisasi selama ini karena khawatir efek samping vaksinasi. Bayinya menderita eczema di kedua pipinya. Keterlambatan vaksinasi pada si bayi karena ia mendapat eczame di kedua pipinya sehingga ibunya khawatir. Kakak si bayi menderita asma bronkiale, sedangkan ibunya menderita rhinitis alergika.

BAB III PEMBAHASAN

I. Analisis Masalah Identitas pasien : Nama Umur : : 5 bulan

Jenis kelamin : perempuan Keluhan utama : belum diimunisasi dan menderita eczema di kedua pipi Berdasarkan keluhan utama, eczema yang ditemukan pada kedua pipi sang bayi kemungkinan bayi menderita dermatitis atopik atau eczema atopik. Selain itu, sang bayi sudah berumur 5 bulan namun belum menerima vaksin apapun. Kami menduga pada pasien ini kemungkinan dapat menderita penyakit Hepatitis B, polio dimana vaksin pada penyakit tersebut seharusnya sudah diberikan segera setelah lahir dan menderita penyakit TBC yang seharusnya pemberian vaksin pada penyakit ini ialah pada usia 2 bulan. Namun, kami perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih lanjut untuk memastikan hipotesis ini.

II. Anamnesis Riwayat Penyakit : Keluhan Utama : Eczema di kedua pipi dan belum diimunisasi Riwayat Penyakit Sekarang : Si ibu mengatakan tidak memberikan vaksin pada bayinya karena adanya eczema pada kedua pipi anaknya dan takut akan efek samping pemberian vaksin. Oleh karena itu,anamnesis tambahan yang kami perlukan : 1. Sejak kapan eczema pada kedua pipi mulai muncul? 2. Adakah tampak eczema pada daerah tubuh lain selain pipi? 3. Bagaimana lingkungan tempat tinggal bayi? 4. Makanan tambahan apa yang diberikan pada bayi selama berusia 5 bulan ini? 5. Apakah masih diberikan ASI secara ekslusif?

Riwayat Penyakit Dahulu : Anamnesis tambahan yang kami perlukan : 1. Bagaimana riwayat kelahiran anak? Prematur atau per vaginam? 2. Bagaimana riwayat si ibu selama masa kehamilan? 3. Apakah sebelum hamil si ibu diberikan vaksin tertentu?

Riwayat Penyakit Keluarga : Berdasarkan anamnesis, didapatkan bahwa kakak bayi menderita asma bronkiale dan ibu menderita rhinitis alergika.

Riwayat Kebiasaan : -

III. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Umum : Tanda Vital : Tekanan darah : Denyut nadi Pernapasan Suhu tubuh ::;-

Pemeriksaan Kulit : Ditemukan eczema di kedua pipi

IV. Pemeriksaan Laboratorium Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis sementara pada pasien ini ialah Dermatitis Atopik. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk menunjang diagnosis sementara ini ialah : Pemeriksaan darah rutin Pada penderita DA biasanya pada hitung leukosit ditemukan : Eosinofil Kadar eosinofil pada penderita DA sering meningkat atau disebut eosinofilia. Peningkatan ini seiring dengan meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya penyakit.

Limfosit Jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada asma, rinitis alergik, maupun pada DA. Walaupun demikian pada beberapa penderita DA berat dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B. Uji imunoglobulin IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada penderita DA. Tujuh persen penderita DA mempunyai kadar IgA serum yang rendah dan defisiensi IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6 bulan. Kadar IgE meningkat pada 8090% penderita DA. Tinggi rendahnya kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat ringannya penyakit, dan tinggi rendahnya kadar IgE tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat pengobatan prednison atau azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi remisi. Uji komplemen Pada penderita DA kadar komplemen biasanya normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan bakteriologi Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen, seperti

Staphylococcus aureus, walaupun tanpa gejala klinis infeksi.

V. Diagnosis Kerja Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang dianjurkan, diagnosis kerja kami pada pasien ini adalah Dermatitis Atopik.

VI. Penatalaksanaan Nonmedikamentosa Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut dengan cara : - Menghindarkan pemakaian bahan-bahan iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll) - Menghindarkan suhu yang terlalu panas dan dingin, kelembaban tinggi - Menghindarkan aktifitas yang akan mengeluarkan banyak keringat - Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai dapat mencetuskan DA

- Melakukan hal-hal yang dapat mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan kapuk/karpet/mainan berbulu - Menghindarkan stres emosi - Mengobati rasa gatal Medikamentosa 1. Pengobatan topikal Hidrasi kulit Dengan melembabkan kulit, diharapkan sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih impermeabel terhadap

mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali sehari, setelah mandi. Kortikosteroid topikal Walau steroid topikal sering diberi pada pengobatan DA, tetapi harus berhatihati karena efek sampingnya yang cukup banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol, kortikosteroid diaplikasikan intermiten umumnya dua kali seminggu. Imunomodulator topikal A. Takrolimus Bekerja sebagai penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2 15 tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan efek samping kecuali rasa terbakar setempat. B. Pimekrolimus Pimekrolimus ialah suatu senyawa askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%, aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari. Preparat ter Mempunyai efek anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5% 10% atau crude coaltar 1% - 5%.

Antihistamin Antihistamin topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat

menimbulkan sensitisasi pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan menimbulkan efek samping sedatif. 2. Pengobatan sistemik Kortikosteroid Hanya dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat, dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering. Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba dihentikan akan timbul rebound phenomen. Antihistamin Diberi untuk mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus diperhatikan berbagai hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Anti histamin yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan aktifitas disiang hari (seperti supir) . Pada kasus sulit dapat diberi doxepin hidroklorid 10-75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan blokade reseptor histaminH1 dan H2. Anti infeksi Pemberian anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S. aureus pada kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau kaltromisin.Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari. Interferon IFN bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH1. Pengobatan IFN rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi. Siklosporin Siklosporin adalah suatu imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan calcineurin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat, bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.

Terapi sinar (phototherapy) Terapi sinar dipakai untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet atau kombinasi ultra violet A dan ultra violet B. Terapi kombinasi lebih baik daripada ultra violet B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi SL dan mengubah produksi sitoksin keratinosit.

Probiotik Pemberian probiotik perinatal akan menurunkan resiko DA pada anak di usia 2 tahun pertama.

VII. Komplikasi Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri seperti impetigo, folikulitis, abses, dan herpes. Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut dengan eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. Selain itu penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus. VIII. Prognosis Prognosis pada pasien ini : Ad vitam Ad functionam Ad sanationam : bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

Jenis-jenis vaksin dibagi menjadi 3 jenis, yaitu (2) : 1. Life vaksin adalah vaksin bakteri/virus yang sudah dilemahkan sehingga menyebabkan danger signal lebih tinggi dimana unit virus dapat bereplikasi sehingga menimbulkan kekebalan dengan jangka waktu yang cukup lama. Sebagian besar life vaksin berupa virus. Kerugian life vaksin itu sendiri adalah dapat berubah menjadi virulen sehingga dapat menyebabkan penyakit akibat virus/bakteri tersebut 2. Dead vaksin adalah vaksin yang terdiri dari organisme asing yang sudah dimatikan. Dead vaksin lebih aman digunakan tetapi dead vaksin tidak mencegah adanya infeksi melainkan lebih kemarah mencegah komplikasi penyakit. Kerugian dead vaksin yaitu danger signal rendah, jangka waktu tidak selama life vaksin dan dikarenakan menggunakan organisme mati sehingga membutuhkan booster untuk mengoptimalkan sistem kekebalan. 3. Subunit vaksin yaitu vaksin yang membutuhkan adjuvan atau perangsang, contohcontoh subunit vaksin adalah toxoid vaksin, vaksin recombinan, conjugate polisakarida, namun vaksin ini masih sulit dikembangkan. Pada umumnya vaksin diberikan pada usia 2 bulan karena pada neonatus fungsi organ belum sempurna seperti fungsi makrofag masih kurang, terutama peranannya sebagai APC, karena ekspresi HLA di permukaan masih sedikit. Komplemen dan pembentukan anitbodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Bayi baru lahir memiliki imunitas pasif dari ibunya dan akan hilang dalam beberapa bulan (kurang lebih 2 bulan) sehingga perlu dilakukannya vaksinasi ulang. (2) Vaksin yang dapat diberikan sebelum usia 2 bulan Beberapa vaksin diberikan sebelum usia 2 bulan dengan tujuan tertentu. Pertama, untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya, yaitu vaksin hepatitis B karena secara statistik, bila bayi/anak menderita hepatitis B dan tidak sembuh dalam enam bulan, kemungkinan besar sekitar 90% , ia akan menderita hepatoma di usia dewasa. Kedua, terutama dilakukan untuk penyakit yang merupakan penyakit endemis di

Indonesia, seperti Tuberculosis. Ketiga, untuk mencegah transmisi virus dari daerah endemis seperti India, Afganistan, dan Sudan, contohnya vaksin polio. Jika diberikan secara OPV, pemberian vaksin ini harus dilakukan saat bayi meninggalkan rumah sakit, agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat diekskresikan lewat feses. (2) Vaksin polisakarida diberikan pada usia 2 tahun ke atas Vaksin polisakarida yang diberikan setelah usia 2 tahun antara lain untuk mencegah Haemophilus influenza tipe b, Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitidis, dan Salmonella typhi. Vaksin tersebut merupakan T independent antigen, di mana sel B tidak memerlukan bantuan T helper. Vaksin jenis ini belum dapat diproses dengan baik pada anak dibawah usia dua tahun kecuali jika polisakarida dikonjugasikan dengan suatu protein, maka polisakarida konjugat itu menjadi T dependent antigen. Bentuk ini baru dapat diberikan pada usia dua bulan. (2) Jadwal vaksinasi menurut IDAI (4)

Pengertian eczema dan katiannya dengan pemberian vaksinasi.

Eczema (dermatisis atopik) peradangan kulit yang melibatkan perangsangan berlebihan limfosit T dan sel mast yang mana terjadinya reaksi hipersensitivitas (alergi) yang dapat disebabkan dari luar maupun dari dalam. Dari kasus diketahui sang ibu ingin memvaksin si bayi untuk pertama kalinya akan tetapi dapat dilihat di kedua pipi si bayi terdapat eczema atau dermatitis. Oleh karena itu, sebelum dilakukannya vaksinasi sebaiknya dilakukan dahulu pengecekan alergi pada si bayi.

Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik termasuk kedalam tipe hipersensitivitas yang pertama dikarenakan dermatitis atopik termasuk penyakit yang berhubungan dengan alergi, sistem mekanisme alergi berhubungan dengan IgE. (3) Patogenesis dermatitis atopik diawali dengan adanya alergen yang masuk lalu ditangkap oleh APC, yaitu sel Langerhans. Kemudian sel Langerhan masuk ke peripheal limphoid, ke Th0 dengan MHC II yang menempel pada TCR pada Th0 dan Th0 diaktifkan oleh inteleukin 1. Jika ada interleukin 12, Th0 akan menjadi Th 1 tetapi jika tidak ada inteleukin 12, Th0 akan menjadi Th2. Th2 dengan bantuan inteleukin 4 akan menjadi sel B lalu sel B akan menjadi sel plasma, di sel plasma IgM akan diubah menjadi IgE, IgE akan menempel pada sel mast karena pada sel mast terdapat Fc3R1(IgE receptor). Pertama kali IgE terbentuk, IgE dapat berada pada dermis dalam beberapa lama, jika orang tersebut terkena alergen untuk kedua kalinya, IgE akan langsung menangkap alergen yang berada di dalam dermis sehingga akan langsung mengeluarkan histamin yang mana histamin membuat vasodilatasi pembuluh darah dan kemerahan pada kulit, jika berlebihan karena terpajan faktor alergi dapat menyebabkan dermatitis atopik. (1) Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, yang mana bifasik itu sendiri berarti memiliki 2 fase, yaitu fase akut dan kronik. Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada terjadinya inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung pada umur lesi kulit. Pada inflamasi akut terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13, sedangkan pada lesi kronik terlihat ekspresi IL-5 dan IFN-. Peningkatan ekspresi IL-4 dapat diamati 24 jam setelah terpajan antigen, setelah itu akan terjadi penurunan ekspresi tersebut sedangkan ekspresi IFN- tidak ditemukan dalam 24 jam setelah terpajan

alergen, melainkan terlihat eksprei berlebihan 48-72 jam setelah terpajan alergen. Hasil tersebut sesuai dengan temuan sel Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji tempel, sedangkan pola utama sitokin sel Th1 atau Th0 didapati setelah 48 jam. Ekspresi IFN- pada uji tempel atopi didahului ekspresi puncak IL-12, membuktikan peran IL-12 pada perkembangan respon Th1. Peningkatan ekspresi IL-12 bersamaan dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang mengekspresikan IL-12. Hal tersebut menggambarkan bahwa fase awal dermatitis atopik (akut) dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel Th2, sedangkan respons inflamasi kronik didominasi oleh respons sel TH2. (3)

Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang profesional dan selanjutnya menyajikannya pada sel T pada respon imun primer dan sekunder. Ada 2 tipe sel dendritik dermatitis atopik, yaitu sel mieloid dendritik (mDC) dan sel plasmasitoid dendritik (pDC). Pada lesi dermatitis atopik, keduanya ditemukan, tapi mDC lebih banyak daripada pDC. Pada kulit yang mengalami inflamasi terdapat sel inflamasi dendritik epidermal (inflammatory dendritic epidermal cell IDEC). Sel langerhans dan IDEC termasuk mDC dan mengekspresikan reseptor IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada lesi dermatitis atopik. Sel langerhans dan IDEC berperan sentral pada penyajian antigen ke sel Th1/Th2. Reseptor pada sel langerhans ditemukan pada kulit normal pada saat eksaserbasi penyakit atopi lain,

misalnya asma bronkial atau rinitis alergik, sedangkan FcRI IDEC ditemukan pada lesi. Sel langerhans berperan aktif pada perkembangan sel T menjadi sel Th2, sedangkan rangsangan FcRI pada IDEC akan memicu ke arah respon sel Th1 dan mengeluarkan pertanda proinflamasi yang memicu respon imun alergik. Plasmasitoid dendritik mengekspresikan FcRI secara alami dan meningkat pada dermatitis atopik, penting untuk penanggulangan infeksi virus dengan cara mengeluarkan interferon. (1) Sel Th0 dapat berkembang menjadi sel Th1 atau sel Th2 dan rangkaian reaksi selanjutnya bergantung pada berbagai faktor, yaitu: Faktor Endogen a. Sawar kulit Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering baik di daerah lesi maupun non lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstraselular stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal, kulit akan makin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi allergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin kering. Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah. b. Genetik Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam keluarga. Jumlah penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA, 75% bila kedua orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%. Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau

keluarga sering terdapat riwayat rinitis alergik dan alergi pada saluran napas. Mekanisme imunologik berkaitan erat dengan ekspresi gen penyaji, diantaranya : 1. Ekspresi human leucocyte antigen (HLA)-DR pada sel Langerhans meningkat berkaitan dengan gen penyandi pada kromosom 6p21.3. 2. Aktivasi sel T oleh sel penyaji antigen atau antigen presenting cells (APC) atau sel Langerhans dengan ekspresi kuat reseptor IgE (FcRI). Selain itu ditemukan peningkatan jumlah IgE (100-1000 kali lipat) pada sel Langerhans di epidermis lesi DA yang sangat efisien untuk mempresentasikan alergen tungau debu rumah ke sel T. 3. Secara konsisten terdapat peningkatan sintesis IgE spesifik terhadap banyak alergen. Hal tersebut berkaitan dengan kromosom 5q gen penyandi IgE terangkai dengan penyandi interleukin (IL)-4 4. Peningkatan activated cutaneous lymphocyte antigen (CLA) dan sel T, serta jumlah IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2, yang secara genetik menunjukkan adanya polimorfisme. Terdapat asosiasi genotip antara gen pengkode sel T dengan gen pengkode IL-4 pada DA. Peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 berperan penting pada induksi produksi IgE. 5. Peningkatan sekresi IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2 sesuai penemuan para peneliti imunogenetik, yaitu adanya polimorfisme : - Gen pada 5q3.33 merupakan gen penyandi IL-5, IL-9, IL-10, IL-13. - Gen pada 5q31-33 merupakan gen penyandi IL-4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) produksi sel Th2. - Ditemukan peningkatan IL-6 (dihasilkan sel keratinosit), selain sitokin lain yang sudah ditemukan sebelumnya, yaitu IL-4, IL-8, IL-10, IL-12, GM-CSF dan regulated on activation normal T-cell expressed and secreted (RANTES). 6. Terdapat penurunan kadar interferon (IFN) produksi sel Th1 pada DA - IFN- memediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menghambat produksi IgE. - Pada DA kronik didominasi peningkatan IFN- bersama-sama dengan peningkatan IL-12.

7. Eosinofil pada lesi DA fase akut : - Terdapat peningkatan kadar sitokin yang dihasilkan sel T helper (ThCD4+), yaitu : IL-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin tersebut yang sangat berperan penting sebagai induksi molekul adhesi (E selectin) sel endotel pada inflamasi dan reaksi alergik, sehingga mampu menarik eosinofil dan sel inflamasi lainnya. - IL-5 berfungsi memacu perkembangan, aktivitasi, kemotaksis dan kelangsungan hidup sel eosinofil dalam menghasilkan granul protein sitotoksik, major basic protein (MBP) pada lesi DA. 8. Ditemukan gen yang berkaitan dengan reseptor, yaitu gen 14q12 penyandi reseptor sel T (TCR) dan gen 11q13 penyandi reseptor subunit reseptor subunit IgE (FcRI). 9. Bukti polimorfisme lainnya, antara lain adalah polimorfisme keterikatan DA dan asma pada gen reseptor di 11q12-13. Pada DA terdapat keterikatan gen di kromosom 3q21 (penyandi CD80 dan CD86). Keterikatan antara kromosom 1q21 dan 17q21, kedua lokus tersebut berdekatan dengan lokus gen penyandi psoriasis (1q21 dan 17q25). c. Hipersensitivitas Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-, dan peningkatan IL-4. Produksi IFN- juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga terjadi peningkatan produksi IFN-, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif (pada food challenge test). (5) d. Faktor psikis Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA bertambah buruk akibat stress emosi.

Faktor eksogen a. Iritan Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol. b. Alergen Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara lain: 1. Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik) 2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind placebo food challenge test (DBPFCT) 3. Infeksi, infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami inflamasi ditemukan 10 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah satu cara S.aureus menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal enterotoin A,B,C,D SEA-SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF- oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit c. Lingkungan Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin
7

karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB.

Kriteria Diagnosis DA

Diagnosis DA berdasarkan kriteria yang disusun oleh Hanafin dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh Williams (1994). (3)

Kriteria Hanifin dan Rajka untuk diagnosis DA : Kriteria Major : 1. Riwayat dermatitis flexural 2. Adanya ruam yang gatal 3. Riwayat asthma 4. Riwayat kulit kering Kriteria Minor Kriteria minor penting sebagai kriteria pelengkap diagnosis DA bila msih terdapat keraguan. Terdapat tanda yang tidak selalu ada atau dianggap kurang spesifik, sedangkan beberapa tanda diantaranya ditemukan secara sangat bermakna atau sebagian bermakna. Contoh kriteria minor yaitu: Xerosis Infeksi kulit (khususnya oleh S.Aureus dan virus herpes simpleks) Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis pilaris Pitiriasis alba Dermatitis di papila mamae White Dermographism dan Delayed Blanch Response Kelilitis Lipatan infra Orbital Dennie-Morgan Konjungtivitis berulang Keratokonus Katarak subkapsular anterior Orbita menjadi gelap

Muka pucat atau eritema Gatal bila berkeringat Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak Aksentuasi perifolikular Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE didalam serum meningkat Awitan pada usia dini

Kriteria Hanifin dan Rajka untuk bayi : Kriteria Major : 1. Riwayat keluarga dermatitis atopik 2. Adanya dermatitis pruritis 3. Wajah yang khas atau eczema extensor atau dermatitis likenifikasi 4. Area popok dan/atau area wajah, mulut/hidung bebas dari lesi kulit Kriteria minor untuk bayi : Xerosis / iktiosis / hiperlinaris palmaris Aksentuasi perifolikular Fisura belakang telinga Skuama di skalep kronis

Diagnosis DA ditegakkan bila mempunyai minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.

Kriteria Williams untuk Diagnosis DA : Merupakan kriteria diagnosis lebih sederhana,praktis,dan cepat Harus ada : kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)

Ditambah 3 atau lebih tanda berikut : riwayat perubahan kulit/kering difossa kubiti,fossa poplitea,bagian anterior dorsum pedis,atau seputar leher (termasuk kedua pipi pada anak <10 tahun)

riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak kurang dari 4 tahun pada generasi-1 dalam keluarga)

riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun dermatitis fleksural (pipi,dahi,dan paha bagian lateral pada anak kurang dari 4 tahun) awitan dibawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak kurang dari 4 tahun)

BAB V KESIMPULAN

Pada kasus ini didapatkan bayi si ibu menderita eczema sebelum diberikannya vaksinasi. Eczema merupakan suatu dermatitis atopik yang diakibatkan hipersensitivitas pada sistem imunnya yang mana hipersensitivitas tipe 1 yang berhubungan dengan reaksi alergi. Oleh karena itu sebelum dilakukannya vaksinasi, maka si bayi sebaiknya dilakukan dahulu tes alergi dari bahan-bahan vaksin itu tersebut, untuk mencegah terjadinya reaksi alergi pada si bayi.

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

1. Helsbert M, 1st e,ed. Flesh and Bones of Immunology. Mosby. Elsevier, Spain, 2006 2. Wiradharma D,dkk. Konsep Dasar Vaksinasi.Jakarta: Penerbit Sagung Seto; 2012. 3. Price,Wilson. Patofisiologi. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Asih D,Editors. 6th ed. Jakarta: Penerbit EGC;2006. 4. IDAI. Jadwal Imunisasi 2010: idai.or.id (http://www.idai.or.id/upload/Jadwal_Imunisasi_Juni_2010.pdf , accesed on 30, 2011) 5. Luqman Baarid. Hipersensitivitas: scribd.com (http://www.scribd.com/doc/30431825/HIPERSENSITIVITAS , accesed on 30, 2011)

You might also like