You are on page 1of 41

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat di masa datang. Diabetes sudah merupakan suatu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidab diabetes diatas usia 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang. Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM) tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup, kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah populasi manusia usia lanjut. Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di beberapa Negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di Negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degenerative seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. 1.2 EPIDEMIOLOGI Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit diabetes mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan prevalensi 5,7%. Melihat pola pertambahan penduduk saat ini diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus sebesar 2 %, akan didapatkan 3,56 juta pasien Diabetes Mellitus, suatu jumlah yang besar untuk dapat ditanggani sendiri oleh para ahli DM. Melihat tendensi kenaikan kekerapan
1

diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes di Indonesia akan meningkat drastic. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan WHO seperti tampak pada tabel 1, indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995. Tabel 1. Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak pada penduduk dewasa di seluruh dunia 1995 dan 2025. Sumber : Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Urutan Negara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 India Cina Amerika Serikat Federasi Rusia Jepang Brasil Indonesia Pakistan Meksiko Ukraina Semua negara lain 1995 (juta) 19,4 16,0 13,9 8,9 6,3 4,9 4,5 4,3 3,8 3,6 49,7 Urutan Negara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 India Cina Amerika Serikat Pakistan Indonesia Federasi Rusia Meksiko Brasil Mesir Jepang 2025 (juta) 57,2 37,6 21,9 14,5 12,4 12,2 11,7 11,6 8,8 8,5

135,3

300

Melihat dari data-data tersebut dan besarnya kemungkinan peningkatan jumlah pengidap diabetes di dunia dan khususnya di Indonesia, maka langkah-langkah dalam mengantisipasi ledakan kenaikan jumlah tersebut harus dilakukan sedini mungkin.

BAB II PEMBAHASAN DIABETES MELLITUS 2.1 DEFINISI Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relative. Definisi lain, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1 Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduaduanya.2

2.2 KLASIFIKASI Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2011.2

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus gestasional

(Adam, John MF, 2000). American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi, Debhryta Ayu, 2009): a. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin. b. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. c. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ). d. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan.

2.3 ETIOLOGI Pada DMT 1, jelas bahwa sel beta mengalami kerusakan karena insulitis. Pada DMT 2, penurunan fungsi sel beta disebabkan oleh beberapa factor yang dikemukakan oleh DeFronzo 2008.3

Glukotoksisitas Faktor Resiko Kegagalan Sel Beta Efek Inkretin Deposit amiloid Resistensi Insulin Lipotoksisitas

Glukotoksisitas Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan stress oksidatif, IL1 dan NF-B dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta. Lipotoksisitas Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adipose dalam proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta hingga terjadi apoptosis. Resistensi Insulin Penyebab resistensi insulin pada DMT2 bisa disebabkan oleh obesitas sentral, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang gerak badan, genetic, kelainan hormonal dan lain-lain. Deposit amiloid Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat hingga kadar glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi amylin
5

dari sel beta yang akan ditumpuk di sekitas sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri hingga akhirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans jadi berkurang. Pada DMT2, jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Efek Inkretin Incretin mempunyai efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta. Faktor Resiko Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi2 : Ras dan etnik Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes) Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). Kurangnya aktivitas fisik. Hipertensi (> 140/90 mmHg). Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL) Diet tidak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat.

Faktor resiko lain yang boleh merupakan factor resiko DM adalah ; Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).2
6

2.4 PATOFISIOLOGI Diabetes mellitus disebabkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolute atau relative, dan di antara beberapa akibatnya menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa plasma. Penyakit ini diberi nama yang demikian karena ekskresi glukosa di dalam urin. Dibagi beberapa tipe. Diabetes Mellitus tipe I Sebelumnya disebut diabetes juvenilis. Terdapat kekurangan insulin absolute sehingga pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta pancreas karena mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. Pulau pancreas diinfiltrasi oleh limfosit T dan dapat ditemukan autoantibody terhadap jaringan pulau dan insulin. Setelah kematian sel beta, antibody terhadap jaringan pulau menghilang kembali. Sekitar 80% pasien membentuk antibody terhadap glutamate-dekarboksilase yang

diekskpresikan di sel beta. DM tipe I terjadi sering pada pembawa antigen HLA-DR3 dan HLADR4, hal ini berarti terdapat disposisi genetic.4 Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh nondiabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu, keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat, bukan penyebab terjadinya
7

kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. Disamping ketiga autoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe 1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin. Destruksi autoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton.. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin. Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di
8

dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adiposa.1,4 Diabetes Mellitus tipe II Pada tipe ini, disposisi genetic juga berperan penting. Namun, terdapat defisiensi insulin relative; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin bisa normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitivitas yang berkurang terhadap insulin. Sebagian besar, pasien DM tipe II memiliki berat badan lebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetic, asupan makanan yang terlalu banyak dan aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya disposisi genetic yang menurunkan sensitivitas insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang meningkatkan terjadinya obesitas dan diabetes mellitus tipe II. Di antara beberapa factor, kelainan genetic pada protein yang memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetic yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda (onset maturitas diabetes pada usia muda, MODY).3 Penurunan sensitivitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein tetap dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak. Defisiensi insulin relative dapat juga disebabkan oleh autoantibody terhadap reseptor atau insulin, serta oleh kelainan yang sangat jarang pada biosentesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi genetic, diabetes dapat terjadi dalam perjalanan penyakit lain, seperti pancreatitis dengan kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di sel beta. Diabetes mellitus ditingkatkan oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis. Di antaranya, somatotropin (pada akromegali), glukokortikoid (pada Cushing syndrome atau stress), epinefrin (pada stress), progestron dan koriomamotropin
9

(pada kehamilan), ACTH, hormone tiroid, dan glukogon. Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang mana dapat meningkatkan manifestasi diabetes mellitus.3 Awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi kerusakan sel-sel Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Gangguan pada fase 1 ini akan teratasi dengan fase 2 sekresi insulin. Awalnya terjadi kompensasi Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) adalah intoleransi glukosa yang dimulai atau baru ditemukan pada waktu hamil. Setelah ibu melahirkan, keadaan DMG sering akan kembali ke regulasi glukosa normal. Sebagian kehamilan ditandai dengan adanya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, yang pada beberapa perempuan akan menjadi factor predisposisi untuk terjadinya DM selama kehamilan. Resistensi ini berasal dari hormone diabetogenik hasil sekresi plasenta yang terdiri atas hormone pertumbuhan (growth hormone), corticotrophin releasing hormone, placental lactogen, estrogen, prolactin, dan progesteron. Hormon ini dan perubahan endokrinologik serta metabolic akan menyebabkan perubahan dan menjamin pasokan bahan bakar dan nutrisi ke janin sepanjang waktu. Akan terjadi diabetes mellitus gestasional apabila
10

fungsi pancreas tidak cukup untuk mengatasi keadaan resistensi insulin yang diakibatkan oleh perubahan hormone diabetogenik selama kehamilan. Kadar kortisol plasma wanita hamil meningkat dan mencapai 3 kali dari keadaan normal hal ini mengakibatkan kebutuhan insulin menjadi lebih tinggi, demikian juga dengan human plasenta laktogen (HPL) yang dihasilkan oleh plasenta yang mempunyai sifat kerja mirip pada hormon tubuh yang bersifat diabetogenik. Pembentukan HPL meningkat sesuai dengan umur kehamilan. Hormon tersebut mempengaruhi reseptor insulin pada sel sehingga mempengaruhi afinitas insulin. Hal ini patut diperhitungkan dalam pengendalian diabetes.5 Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan KH yang menunjang pemasokan makan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa dapar berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin, sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin. Akibat lambatnya reabsorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai 3 kali dari keadaan normal. Hal ini disebut tekanan deabetogenik dalam kehamilan. Secara fisiologis telah terjadi resistensi insulin yaitu bila ia ditambah dengan insulin eksogen ia tidak mudah menjadi hipoglikemia yang menjadi masalah ialah bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga ia relatif hipoinsulin yang mengakibatkan hiperglikemia atau diabetes kehamilan. Mekanisme resistensi insulin pada wanita hamil normal adalah sangat kompleks. Kitzmiller, 1980 (dikutip oleh Moore) telah mempublikasikan suatu pengamatan menyeluruh mekanisme endokrin pada pankreas dan metabolisme maternal selama kehamilan yakni plasenta mempunyai peranan yang khas dengan mensintesis dan mensekresi peptida dan hormon steroid yang menurunkan sensitivitas maternal pada insulin. Puavilai dkk (dikutip oleh Williams) melaporkan bahwa resistensi insulin selama kehamilan terjadi karena rusaknya reseptor insulin bagian distal yakni post reseptor. Hornes dkk (dikutip oleh Moore) melaporkan terdapat penurunan respon Gastric Inhibitory Polipeptida (GIP) pada tes glukosa oral dengan tes

glukosa oral pada kehamilan normal dan DMG. Mereka meyakini bahwa kerusakan respon GIP ini yang mungkin berperanan menjadi sebab terjadinya DMG. Faktor-faktor di atas dan mungkin berbagai faktor lain menunjukkan bahwa kehamilan merupakan suatu keadaan yang mengakibatkan resistensi terhadap insulin meningkat. Pada sebagian besar wanita hamil keadaan resistensi terhadap insulin dapat diatasi dengan
11

meninggikan kemampuan sekresi insulin oleh sel beta. Pada sebagian kecil wanita hamil, kesanggupan sekresi insulin tidak mencukupi untuk melawan resistensi insulin, dengan demikian terjadilah intoleransi terhadap glukosa atau DM gestasi. 2.5 GEJALA KLINIK Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini :Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.2,6 Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat penyakit dan merupakan kunci untuk menentukan diagnosis yang tepat dari penyakit pasien. Setelah menanyakan pertanyaan umum seperti identitas, keluhan utama, riwayat keluarga, dan riwayat peribadi ada beberapa pertanyaan lain yang bisa kita tanyakan untuk semakin meyakinkan kecurigaan kita terhadap penyakit Diabetes Melitus (DM), yaitu : Apakah pasien sering merasa lapar, sering kencing, sering merasa haus? Apakah pasien pernah terbangun di malam hari untuk kencing? Apakah keluarga pasien ada yang menderita Diabetes Mellitus? Apakah pasien merasakan daya penglihatan mulai menurun? Apakah pasien sering merasa kesemutan? Apakah pada kaki pasien terasa bengkak? Apakah pasien memiliki riwayat merokok, obesitas, hipertensi, atau sakit jantung? Apakah terdapat penurunan berat badan secara drastis akhir-akhir ini? Apakah pasien pernah memiliki luka kulit yang sulit sembuh? Apakah pasien merasa cepat lelah? Bila pasien pria, tanyakan apakah ada disfungsi ereksi? Dan bila pasien perempuan, tanyakan apakah ada pruritus vulva? Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda Ditanyakan pola makan sehari-hari, status nutrisi, pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan, program latihan jasmani, pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, status ekonomi, kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.2
12

2.6 PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita Diabetes Mellitus (DM) yaitu vital sign (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu), pemeriksaan

antropometri (tinggi badan, berat badan, lingkar perut dan lingkat pinggang), pemeriksaan headto-toe untuk melihat adanya komplikasi, pemeriksaan mata (visus, lensa mata, dan retina), rongga mulut, pemeriksaan kelenjar tiroid, pemeriksaan jantung, pemeriksaan neurologis untuk memeriksa tanda-tanda neuropati, sensitivitas kulit, dan memeriksa keadaan ekstremitas. Dilakukan penilaian ankle brachial index (ABI),untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi.2 2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Darah Lengkap Pemeriksaan darah lengkap dilakukan bertujuan untuk tujuan diagnose, menilai adanya komplikasi, factor risiko dan tujuan pengobatan. Dilakukan pemeriksaan hematologi, profil lipid pada keadaan puasa (HDL, LDL, Trigliserida, Kolesterol total), ureum creatinin untuk menilai fungsi ginjal dan pemeriksaan kadar glukosa serta HbA1c. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.2 Pemeriksaan Kadar Gula Darah Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring, pemeriksaan diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian DM. Bahan yang digunakan untuk kadar glukosa darah adalah plasma darah vena dengan metoda pemeriksaan cara enzimatik. Dan sebaiknya tes dilakukan sebelum 48 jam setelah pengambilan darah. Untuk waktu pengambilan sampel darah, dikenal beberapa jenis pemeriksaan kadar glukosa darah, yaitu kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, dan kadar glukosa darah 2 (dua) jam setelah makan (postprandial) dan kadar glukosa jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa oral. Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, pengambilan sampel darahnya tidak perlu memperhatikan waktu terakhir makan dan pemeriksaan ini dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring dan memastikan diagnosis. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum darah diambil. Pemeriksaan kadar glukosa 2
13

jam setelah makan (postprandial) sukar dilakukan karena standarisasi jenis dan jumlah makanan sukar disamakan. Dan sukar juga untuk mengamati apakah pasien dalam tenggang waktu 2 jam tidak makan atau minum lagi.2 Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) merupakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM bila berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu diagnosis DM masih belum dapat dipastikan. Dengan demikian pemeriksaan ini tidak diperlukan bagi penderita dengan gejala klinis khas DM dan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu sudah memenuhi kriteria diagnostik DM. Selain pada penderita DM, kelainan TTGO dijumpai pula pada penyakit seperti hipertiroidisme dan renal glukosaria. Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): - Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa - Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan - Diperiksa kadar glukosa darah puasa - Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit - Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai - Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa - Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok2,6 Pemeriksaan penyaring Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Antara risiko DM sebagai berikut2; a) Usia >45 tahun b) Berat badan lebih (BBR >110% BB idaman atau IMT >23 kg/m2) c) Hipertensi ( 140/90mmHg) d) Riwayat DM dalam garis keturunan e) Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000 gram. f) Kolestrol HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
14

sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada kelompok yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan 1. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up. Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun. Tabel 3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu Dan Glukosa Darah Puasa Sebagai Patokan Penyaring.2

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive. Pemeriksaan Urin Lengkap Pemeriksaan urin dilakukan dengan memeriksa apakah ada albuminuria dan melihat adanya keton, sedimen dan protein dalam urine. Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada
15

beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.2 Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.2

2.8 DIAGNOSIS Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara2,4,6: Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulangulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

16

Tabel 4. Kriteria diagnosis diabetes melitus.2,3

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L). GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada bagan 1.

17

Bagan 1. Langkah-langkah Diagnostik Diabetes Mellitus dan Gangguan Toleransi Glukosa.2,3,6

18

2.9 PENATALAKSANAAN Pilar penatalaksanaan Diabetes Mellitus;

Edukasi

Intervensi farmakologis

Terapi gizi medis

Latihan jasmani

Bagan 2. Pengelolaan Diabetes Mellitus.2,3 Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Terapi Gizi Medis Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat

19

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake). Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.2 Lemak Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.2,3 Protein Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.2 Natrium Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. Serat Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.

20

Pemanis alternatif Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada lemak darah. Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake / ADI).2 B. Kebutuhan kalori Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.2,3 Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah :Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal : BB ideal 10 % Kurus : < BBI - 10 % Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus :IMT = BB(kg)/ TB(m2) Klasifikasi IMT* BB Kurang < 18,5 BB Normal 18,5-22,9 BB Lebih 23,0

21

*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: RedefiningObesity and its Treatment. Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I 25,0-29,9 Obes II > 30 Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain2 : Jenis Kelamin. Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB. Umur. Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan. Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat. Berat Badan. Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. C. Pilihan Makanan Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan untuk penyandang diabetes.

22

Gambar 1. Asupan Makanan Yang Perlu Dikosumsi Penderita DM.2 I. II. III. IV. Sumber karbohidrat dikonsumsi 3-7 porsi/penukar sehari (tergantung status gizi). Sumber vitamin dan mineral: sayuran 2-3 porsi/penukar, buah 2-4 porsi/penukar sehari. Sumber protein: lauk hewani 3 porsi/penukar, lauk nabati 2-3 porsi/penukar sehari. Batasi konsumsi gula, lemak / minyak dan garam.

Latihan Jasmani Tabel 5. Aktivitas Fisik Sehari-Hari.2

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
23

yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.2 Terapi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.2,3,7 1. Obat hipoglikemik oral Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion C. Penghambat glukoneogenesis (metformin) D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. E. DPP-IV inhibitor A. Pemicu Sekresi Insulin 1. Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. 2. Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin (Tiazolidindion) Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
24

sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. C. Penghambat glukoneogenesis (Metformin) Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut. D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. E. DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.

25

Cara Pemberian OHO, terdiri dari2: OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan A. Insulin B. Agonis GLP-1/incretin mimetic A.Insulin Tabel 5. Indikasi Penggunaan Insulin.8 Insulin diperlukan pada keadaan: Indikasi mutlak - DM tipe 1 Indikasi relatif - Gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal (3-6 bulan) - Penurunan berat badan yang cepat - Hiperglikemia berat yang disertai ketosis - Ketoasidosis diabetik - Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik - Hiperglikemia dengan asidosis laktat - Stres berat (infeksi sistemik, tuberculosis, operasi besar, IMA, stroke, kaki diabetic terinfeksi) - Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan. - Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat dan terapi steroid dosis tinggi. - Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO - Riwayat pankreotomi

Insulin mempunyai efek metabolic terhadap metabolisme karbohidrat, lipid dan protein. Secara umum insulin bersifat anabolic, yang diantaranya berfungsi untuk memasukkan glukosa ke dalam sel dan mencegah pelepasan glukosa oleh hati, mencegah lipolisis dan meningkatkan
26

sintesis protein. Insulin juga mempunyak efek antiinflamasi, antiapoptosis dan protektif terhadap jantung.8 Jenis dan lama kerja insulin

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Berdasarkan lama kerja

Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)

Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Bagan 3. Pembagian Insulin Berdasarkan Lama Kerja.2 Efek samping terapi insulin Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.2 Dasar pemikiran terapi insulin: Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Pada orang normal, jumlah insulin yang disekresi oleh sel beta (insulin endogen) terutama dipengaruhi oleh keadaan puasa dan makan. Pada keadaan puasa atau sebelum makan, sel beta mensekresi insulin pada kadar tertentu yang hampir sama sepanjang waktu puasa dan sebelum makan. Konsep ini disebut dengan insulin basal, yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan di bawah <100mg/dL. Pada setiap kali makan ketika glukosa darah naik akibat asupan di luar, dibutuhkan sejumlah insulin
27

yang disekresikan oleh sel beta secara cepat dalam kadar yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah setelah makan agar tetap dalam batas normal <140 mg/dL. Konsep ini disebut insulin prandial yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah setelah makan tetap dalam batas normal. Pada orang diabetes, baik DMT1 maupun DMT2, terjadi kekurangan baik insulin basal maupun insulin prandial endogen. Berdasarkan konsep ini, sediaan insulin eksogen disesuaikan dengan kebutuhan seperti halnya pada orang normal, yaitu insulin basal dan insulin prandial. Insulin basal eksogen umumnya diberikan sebanyak 1 sampai 2 kali sehari, sedangkan insulin prandial eksogen diberikan setiap kali sebelum makan. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang). Pada pasien baru DM tipe 1, dosis insulin yang diberikan 0,5 unit/kgBB/hari, kemudian dosisi insulin harian total dibagi menjadi 60% bagian yang diberikan dalam bentuk insulin prandial, selanjutnya dibagi tiga, diberikan sebelum makan pagi, makan siang dan makan malam, dan 40% bagian diberikan dalam bentuk insulin basal pada malam hari. Yang paling prinsip dalam rejimen ini adalah wajib ada insulin prandial dan insulin basal, tidak boleh hanya diberikan salah satu jenis insulin. Dan, tidak dianjurkan memberikan terapi insulin hanya dengan dua kali suntikan, karena amat sulit mencapai kendali glikemik yang baik dengan cara tersebut. Rejimen terapi insulin pada DMT1 juga dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin (continuous subcutaneous insulin infusion, CSII). Pada DMT 2, kebutuhan insulin sangat tergantung derajat glikemik dan kepatuhan pasien dalam melaksanakan prinsip pengelolaan diabetes. Pasien DMT 2 baru wajib diberikan terapi pola hidup dan metformin. Jika dalam kurun waktu 2-3 bulan sasaran terapi belum tercapai, maka dapat ditambah obat oral yang lain atau ditambah insulin basal. Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal +
28

3 kali prandial (basal bolus). Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose). Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.2,3,8 Cara Penyuntikan Insulin Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin. Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).2,8 B. Agonis GLP-1 Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.2 3. Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi
29

OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.2

Gambar 2. Mekanisme Kerja OHO.9

30

Tabel 6. Perbandingan Obat Hiperglikemik Oral.2


Obat Cara kerja utama Meningkatkan sekresi insulin Efek samping Utama BB naik, Hipoglikemia BB naik, Hipoglikemia Reduksi A1C Keuntungan Kerugian Meningkatkan berat badan, hipoglikemia (glibenklamid dan klorpropamid) Meningkatkan berat badan, pemberian 3x/hari, harganya mahal dan hipoglikemia Efek samping gastrointestinal, kontraindikasi pada insufisiensi renal

Sulfonilurea

1,0-2,0%

Sangat efektif

Glinid

Meningkatkan sekresi insulin

0,5-1,5%

Sangat efektif

Metformin

Penghambat glukosidase alfa Tiazolidindion

Menekan produksi glukosa hati & menambah sensitifitas terhadap insulin Menghambat absorpsi glukosa

Dispepsia, diare, asidosis laktat

1,0-2,0%

Tidak ada kaitan dengan berat badan

Flatulens, tinja lembek

0.,5-0,8%

Tidak ada kaitan dengan berat badan Memperbaiki profil lipid (pioglitazon), berpotensi menurunkan infark miokard (pioglitazon) Tidak ada kaitan dengan berat badan

Sering menimbulkan efek gastrointestinal, 3x/hari dan mahal

Edema Menambah sensitifitas terhadap insulin

0,5-1,4%

Retensi cairan, CHF, fraktur, berpotensi menimbulkan infark miokard, dan mahal

DPP-4 inhibitor

Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glukagon Meningkatkan sekresi insulin, menghambat sekresi glucagon Menekan Produksi glukosa hati, stimulasi pemanfaatan glukosa

Sebah, muntah

0,5-0,8%

Penggunaan jangka panjang tidak disarankan, Mahal

Inkretin analog/ mimetik

Sebah, muntah

0,5-1,0%

Penurunan berat badan

Insulin

Hipoglike mi, BB naik

1,5-3,5%

Dosis tidak terbatas, memperbaiki profil lipid dan sangat efektif

Injeksi 2x/hari, penggunaan jangka panjang tidak disarankan, dan mahal Injeksi 1-4 kali/ hari, harus dimonitor, meningkatkan berat badan, hipoglikemia dan analognya mahal

31

Tabel 7. Target Pengendalian Diabetes Mellitus.2

32

33

2.10 KOMPLIKASI Komplikasi Akut 1. Ketoasidosis diabetik (KAD) Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic di mana terdapat defisiensi insulin absolute atau relative dan peningkatan hormone kontra regulator (glucagon), katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan) yang merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pancreatitis akut, penggunaan obat steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Pada pasien KAD, ditemui pernafasan cepat dan dalam, gejala dehidrasi, nyeri perut yang berhubungan dengan gastroparesis dilatasi lambung. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Pengobatan KAD; harus diberikan cairan, garam, insulin, kalium, dan glukosa. Untuk mengurangi dehidrasi, digunakan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9% atau RL) untuk rehidrasi dengan tujuan memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormone kontra regulator. Hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 mL/kgBB, maka pada jam pertama diberikan 1-2 liter, jam kedua 1 liter. Pemberian insulin untuk menurunkan hormone glucagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan emningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Koreksi defisiensi insulin dengan dosis 0,1 UI/kgBB/jam IV sampai resolusi. Kadar glukosa darah tidak boleh <100mg/dL. Apabila kadar gula darah sudah mencapai 250-300 mg/dL cairan rehidrasi ditambah D5% dengan perbandingan 1:1. Bila pasien relative stabil, maka insulin subkutan dapat mulai diberikan 0,5-1 UI/kgBB/hari dalam 2-3 kali pemberian. Pemberian kalium sangat penting dalam tata laksana pasien KAD. Semua pasien KAD mengalami deficit kalium akibat ion kalium bergerak ke luar sel dan dikeluarkan melalui urin. Defisit kalium pada pasien dewasa adalah 3-6 mEq/kgBB. Pemberian bikarbonat jika ada tanda asidosis.2,3,10 2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit meningkat, gejala dehidrasi berat disertai gangguan neurologis.
34

Penatalaksanaan SHH hamper sama dengan KAD; rehidrasi, penggantian elektrolit, dan pemberian insulin intravena. Cairan yang digunakan adalah cairan hipotonis. Penggunaan cairan isotonic dapat menyebabkan cairan overload. Insulin diberikan setelah pemberian cairan adekuat. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vascular atau kematian. Insulin diberikan secara bolus awal 0,15 UI/kgBB IV dan diikuti drip 0,1 UI/kgBB/jam sampai kadar gula darah 250-300 mg/dL. Jika kadar glukosa darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosisi yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika sudah mencapai <300 mg/dL, diberikan dekstrose secara IV dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale.2,3 Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai. 3. Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebardebar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. Untuk penderita diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan cairan dextrose 10% sebanyak 6 jam/kolf, glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.2,3
35

Tabel 8. Pemberian Dekstrose Berdasarkan Kadar Glukosa Darah. Kadar glukosa darah <30 mg/dl 30-60 mg/dl 60-100mg/dl Kadar dextrose 40%(iv) 3 flakon bolus 2 flakon bolus 1 flakon bolus

Komplikasi Kronik 1. Makroangiopati Bisa menyebabkan kelainan pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepid dan pembuluh darah otak. Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

Gambar 3. Patofisiologi Ulkus Pada Kaki Diabetik.11 Klasifikasi kaki diabetes menurut Edmonds 2004-2005 adalah; Stage 1 : Normal Foot Stage 2 : High Risk Foot Stage 3 : Ulcerated Foot Stage 4 : Infected Foot Stage 5 : Necrotic Foot Stage 6 : Unsalvable Foot

36

Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan penting. Stage 3 dan 4 memerulukan perawatan di tingkat pelayanan kesehatan. Untuk stage 5 dan 6 memerlukan rawat inap dan diperlukan dokter bedah.11

2. Mikroangiopati: Antaranya, retinopati diabetic. Harus kendalikan glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati. Bisa juga nefropati diabetic. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati.2

37

3. Neuropati Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin. Semua penderita diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.2

2.11 PENCEGAHAN

Kelompok intoleransi glukosa. Kelompok yang memiliki faktor risiko Pencegahan Primer

Pencegahan Sekunder Ditujukan terutama pada pasien baru untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyulit

Kelompok penderita diabetes yang telah mengalami penyulit untuk mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Pencegahan Tertier

Pencegahan Primer Pencegahan primer antaranya perbaikan pola hidup dengan olahraga, program penurunan berat badan, diet sehat, dan berhenti merokok. Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.2,3 Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
38

deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya.1-3 Pencegahan Tertier Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makro angiopati.2

2.12 PROGNOSIS Diabetes Mellitus adalah penyakit sepanjang hayat,di mana sehingga hari ini penyakit diabetes ini tidak dapat sembuh dengan total. Akan tetapi DM dapat dikontrol dengan baik. Jika diterapi dan dikontrol dengan baik kadar glukosa darahnya akan memberikan prognosis yang baik. Namun jika penyakit ini tidak mendapat pencegahan dan perawatan dini serta khusus, risiko untuk menderita komplikasi-komplikasinya lebih besar dan akan memberikan prognosis yang tidak baik jika komplikasi-komplikasi ini tidak berjaya diatasi.

39

BAB III KESIMPULAN

Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik yang berbahaya sekiranya tidak dikontrol dengan baik. DM harus ditangani sejak dini setelah terdeteksi penyakit ini. Oleh karena itu, deteksi dini dengan tes penyaring sangat perlu dilakukan jika telah didapat adanya faktor risiko diabetes. Pemeriksaan kesehatan seperti pemeriksaan profil lipid,pemeriksaan mata dan sebagainya perlu kerap dilakukan,misalnya 1 kali setahun bagi memastikan tahap kesehatan diri dan membantu mendeteksi penyakit ini dari dini, terutamanya pada orang yang mempunyai riwayat DM dalam keluarga dan faktor risiko. Sekiranya sudah terdiagnosis DM, pencegahan dan penanganan sebelum timbulnya komplikasi perlu segera dilakukan dengan efektif memandangkan komplikasi yang dicetus daripada penyakit ini sangat meluas dan bersifat fatal jika tidak ditangani. Kerjasama antara pasien dan tenaga medis amat diperlukan bagi memberikan pemahaman yang jitu tentang penyakit ini. Pasien juga harus bersifat optimis kerana sekiranya pasien control DM dengan baik, komplikasi komplikasi yang fatal dapat dicegah dari awal. Tenaga medis memiliki peran yang penting dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Memberikan pelayanan perawatan secara paripurna melalui berbagai kegiatan yang mendukung terapi diabetes yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, antara lain dengan memberikan pendidikan dan konseling, melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi, memberikan rekomendasi terapi dan bekerja sama erat dengan pasien dalam penatalaksanaan diabetes sehari-hari, merupakan salah satu tugas tenaga medis.

40

DAFTAR PUSTAKA 1. Suyono S. Diabetes Mellitus Di Indonesia. Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI. Jilid III 4th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. Pp 1852-6. 2. PERKENI. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 2011. 3. Suyono S., Waspadji S.,Soegondo S., Soewondo P., Subekti I., Semiardji G., et al. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Edisi 2. Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 2009. 4. Alvin C.P. Diabetes Mellitus. In Kasper D.L., Fauci AS., Hauser SL., Longo DL., Jameson JL. Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. Vol 2. 18th edition. USA : Mc Graw Hill. 2968-3003. 5. Manuaba I.B.G, Manuaba C., Manuaba F. Pengantar Kuliah Obstetri. Komplikasi Umum Pada Kehamilan; Diabetes Melitus Dalam Kehamilan. Edisi 1. Jakarta; Penerbit EGC. 2007. 6. Gustaviani R. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI. Jilid III 4th ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007. Pp 1857-9. 7. Soegondo S. Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2. Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI. Jilid III 4th ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007. Pp 1860-3. 8. PERKENI. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Mellitus. Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 2011. 9. Spaeth I. Fundamentals of Diabetes. TCHP Education Consortium; 2006. 10. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.FKUI. Jilid III 4th ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2007. Pp 1874-7. 11. Waspadji S. Komplikasi kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi 4, Jakarta; Penerbit FK UI. 2007. Pp 1884-914.

41

You might also like