You are on page 1of 6

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

KAJIAN TERMOREGULASI SAPI PERAH PERIODE LAKTASI DENGAN INTRODUKSI TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS PAKAN
(Thermoregulation in Dairy Cattle During Lactation Period by Introducing Improved Feed Quality)
B. UTOMO, D.P. MIRANTI dan G.C. INTAN
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran 50501

ABSTRACT The environment may affect productivity and livelihood of dairy cattle. The purposes of this study were to investigate the effects of improved feed quality on thermoregulation of dairy cattle during lactation period. The study used 8 heads of Friesian Holstein crossbred of postpartum and second period of lactation. The animals were divided into two groups including 4 heads fed on a diet containing 10% protein (introduction pattern). The ration is containing concentrate and Elephant grass. The assessment was carried out following a participatory approach involving farmers in Kembang Manunggal Farmer Group in Kembang Village, Ampel Subdistrict of Boyolali District. Observation was conducted every week for 4 weeks and data including: blood pulse, respiration rate, rectal temperature, room temperature and humidity. The variable was measured from 06.00 to 08.00 with an interval of 2 hours. The data were analysed using the mean value and standard deviation using T-test. The results showed that room temperature and humidity were 23.94 1.21C and 84.13 2.22% respectively. The pulse and respiration rate of dairy cattle was significantly higher in introduction pattern than farmers pattern. The pulse rate of introduction pattern was 79.49 0.56 per minute and farmers pattern was 70.54 3.02 per minute, while the respiration rates were 31.29 0.62 per minute and 26.82 1.70 per minute respectively. The rectal temperatures were 36.33 0.77C (farmers) and 37.09 0.19C (introduction). It is concluded that ration containing 12% protein did not lead to an excessive heat and thermoregulation in dairy cattle of lactation period was not affected. Key Words: Dairy Cattle, Lactation, Thermoregulation, Ration ABSTRAK Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penampilan produksi dan kelangsungan hidup sapi perah adalah lingkungan (iklim), dimana iklim yang nyaman bagi kehidupan ternak akan menampilkan produksi yang optimal. Tujuan dari kajian adalah untuk mengetahui pengaruh peningkatan kualitas ransum terhadap perubahan termoregulasi sapi perah periode laktasi. Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) post partus periode laktasi kedua sebanyak 8 ekor digunakan sebagai materi kegiatan kajian dan dialokasikan kedalam dua perlakuan yaitu 4 ekor diberi ransum dengan kandungan protein 10% (pola petani) dan 4 ekor diberi ransum dengan kandungan protein 12% (pola intoduksi). Ransum yang diberikan berupa konsentrat dan rumput gajah. Kegiatan kajian melibatkan secara partisipatif anggota kelompok tani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Kembang Manunggal Desa Kembang Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali selama 4 minggu dan data yang diambil meliputi: frekuensi denyut nadi, pernafasan, suhu rektal sapi perah dan suhu udara serta kelembaban di dalam kandang. Variabel tersebut diukur mulai pukul 06.00 sampai dengan 18.00 WIB dengan interval waktu pengukuran 2 jam sekali. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan nilai rataan dan simpangan baku dan selanjutnya diuji dengan uji t. Hasil kajian yang diperoleh yaitu suhu udara dan kelembaban adalah 23,94 1,21C dan 84,13 2,22%. Frekuensi denyut nadi dan pernafasan sapi perah nyata lebih tinggi pada pola intoduksi dibandingkan dengan pola petani. Frekuensi denyut nadi sapi perah pada pola intoduksi yaitu 79,49 0,56 kali per menit dan pola petani sebanyak 70,54 3,02 kali per menit, sedangkan pada pernafasan sapi perah 31,29 0,62 kali per menit dan 26,82 1,70 kali per menit. Suhu rektal pola petani dan pola intoduksi adalah 36,33 0,77C dan 37,09 0,19C. Hasil kajian dapat disimpulkan bahwa ransum yang diberikan

263

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

dengan kandungan protein 12% tidak menimbulkan beban panas berlebih dan termoregulasi pada sapi perah periode laktasi tidak mengalami gangguan. Kata Kunci: Sapi Perah Laktasi, Termoregulasi, Ransum

PENDAHULUAN Kegiatan budidaya sapi perah ditujukan terutama untuk mencapai produksi susu dalam jumlah yang tinggi. Produksi susu sendiri merupakan hasil resultan antara faktor genetik dan lingkungan serta interaksi antara keduanya (MASON dan BUVANENDRAN, 1982). Faktor lingkungan diantaranya adalah suhu dan kelembaban ruang kandang sapi yang dapat mempengaruhi status faali dan berlanjut terhadap performans tubuh. Dilaporkan oleh SINURAT et al (1991), bahwa untuk mengurangi pengaruh negatif suhu udara panas dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu dilakukan seleksi pada suhu lingkungan yang panas, penyesuaian tatalaksana pemeliharaan, memanipulasi gizi pakan dan memodifikasi mikroklimat. Lingkungan yang baik yaitu iklim yang nyaman untuk kehidupan ternak, sehingga penampilan produktivitas sapi perah dapat optimal. Faktor iklim utama yang berpengaruh terhadap produksi antara lain suhu udara, kelembaban dan radiasi matahari. Iklim tropik khususnya di daerah lingkungan lahan kering merupakan salah satu masalah didalam upaya optimalisasi produksi ternak. Tingginya intensitas matahari di wilayah Indonesia menyebabkan suhu udara meningkat, hal ini dapat mengakibatkan sapi perah yang dipelihara akan terkena cekaman panas dan cekaman panas yang ditimbulkan akan berpengaruh negatif terhadap proses faali, produksi maupun reproduksi (YOUSEF, 1982). Cekaman panas pada sapi perah ditandai dengan meningkatnya denyut jantung, pernafasan, suhu tubuh, konsumsi air minum dan menurunnya konsumsi pakan. Kondisi normal sapi perah dapat tercipta apabila terjadi keseimbangan panas antara produksi dan pelepasan panas. Suhu lingkungan yang tinggi dapat menambah beban panas pada ternak selain panas yang berasal dari proses metabolisme pakan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan ternak mengalami kesulitan dalam pelepasan panas (SANTOSO, 1996). Upaya untuk mengurangi cekaman panas dengan cara memanipulasi pakan dan

lingkungan. Manipulasi pakan dapat dilakukan dengan memperbaiki tatalaksana pemberian pakan. Pemberian pakan dengan mengatur komposisi pakan yang tepat sehingga kualitas gizi yang terkandung didalamnya tinggi dan dapat meningkatkan produktivitas ternak secara optimal. Pemberian pakan dengan peningkatan protein dapat menghasilkan energi yang lebih baik dan yang akan berperan dalam proses metabolisme tubuh untuk proses pertumbuhan, produksi dan menjaga kondisi tubuh agar sesuai dengan panas lingkungan sekitar (TILLMAN et al., 1989). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kegiatan kajian introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap perubahan termoregulasi sapi perah periode laktasi. MATERI DAN METODE Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) post partus periode laktasi kedua sebanyak 8 ekor digunakan sebagai materi kegiatan kajian dan dialokasikan kedalam dua perlakuan yaitu 4 ekor diberi ransum dengan kandungan protein 10% (pola petani) dan 4 ekor diberi ransum dengan kandungan protein 12% (pola introduksi). Ransum yang diberikan berupa konsentrat dan rumput gajah. Pemberian dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Air minum diberikan secara ad libitum. Kandang sapi perah model setengah terbuka, tipe sejajar, lantai semen, atap genting dan dilengkapi tempat pakan serta minum secara terpisah. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari sekali selama 4 minggu dan data yang diambil meliputi: frekuensi denyut nadi, pernafasan, suhu rektal sapi perah dan suhu udara serta kelembaban di dalam kandang. Variabel tersebut diukur mulai pukul 06.00 sampai dengan 18.00 WIB dengan interval waktu pengukuran 2 jam sekali. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan nilai rataan dan simpangan baku dan selanjutnya diuji dengan uji t (SOEPENO, 1997). Kegiatan kajian melibatkan secara

264

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

partisipatif anggota kelompok tani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Kembang Manunggal Desa Kembang Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Ketinggian Desa kembang sekitar 900 m dpl. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan kajian Produktivitas sapi perah dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena menyebabkan perubahan keseimbangan panas, keseimbangan energi, keseimbangan air dan tingkah laku. Unsur lingkungan yang langsung berpengaruh pada ternak adalah suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi (WILLIAMSON dan PAYNE, 1993). Hasil kajian yang diperoleh terlihat bahwa perubahan suhu udara di dalam kandang selama pengamatan menunjukkan peningkatan dan mencapai puncak pada waktu pukul 12.00 WIB, kemudian menurun waktu pukul 14.00 WIB. Keadaan ini menunjukkan bahwa beban panas yang terjadi pada waktu siang hari karena adanya peningkatan suhu udara. Suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu tubuh ternak, maka panas akan dialirkan dari lingkungan ke dalam tubuh ternak (GUYTON, 1990).
Tabel 1. Rataan suhu udara dan kelembaban dalam kandang Uraian Suhu udara (C) Kelembaban (%) Hasil pengamatan 23,94 1,21 84,13 2,22

Rataan suhu udara dalam kandang adalah 23,94 1,21C, seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil yang diperoleh ini lebih tinggi dari suhu udara netral bagi kehidupan sapi perah. Suhu udara yang sesuai untuk pemeliharaan sapi perah didaerah tropis berkisar antara 18 21C dan di Indonesia lingkungan tersebut terdapat diwilayah dengan ketinggian serendahrendahnya 500 m dpl (SUTARDI, 1981). Hal ini menyebabkan ternak menerima tambahan panas, sehingga ternak berusaha melepaskan beban panas melalui proses termoregulasi. Menurut COLLIER et al (1982), bahwa ternak homeoterm dalam kondisi suhu udara yang

tinggi akan mengadakan penyesuaian metabolisme sehingga dicapai kondisi yang seimbang. Ternak mempunyai daerah nyaman yang berbeda-beda tergantung pada spesies dan tingkat produktivitasnya, dimana ternak banyak menggunakan energinya untuk mengoptimalkan pertumbuhan, produksi dan reproduksi (JOHNSON, 1985). Pertumbuhan dan produktivitas ternak yang hidup didaerah nyaman dapat maksimal serta tidak banyak energi yang dikeluarkan untuk mengatur keseimbangan panas tubuhnya, sedangkan bila diluar daerah nyaman maka ternak memerlukan energi untuk memelihara keseimbangan panas tubuh yang lebih besar sehingga energi yang dihasilkan metabolisme pakan tidak mencukupi untuk produksi dan reproduksi (YOUSEF, 1985). Rataan hasil pengamatan kelembaban dalam kandang adalah 84,13 + 2,22% (Tabel 1), lebih tinggi dari kelembaban udara ideal untuk lingkungan hidup sapi perah. Penampilan produktivitas sapi perah akan optimal, apabila dipelihara pada suhu berkisar antara 18 21C dan kelembaban udara 55% (SUTARDI, 1981). Hal ini akan menambah beban panas, karena proses penguapan dari tubuh ternak terganggu dengan adanya kejenuhan udara oleh kandungan air. Perubahan kelembaban mulai menurun sampai titik kelembaban terendah yaitu waktu pukul 14.00 WIB dan kemudian terjadi peningkatan lagi pada pukul 16.00 WIB. Rendahnya kelembaban udara di waktu siang hari, kemungkinan disebabkan semakin tingginya radiasi matahari dan suhu udara sehingga penguapan air semakin banyak. Kelembaban udara akan mengakibatkan peningkatan penambahan panas dan pengurangan jumlah panas yang dikeluarkan melalui jalur evaporasi dari permukan kulit dan saluran pernafasan (PURWANTO et al., 1995). Frekuensi denyut nadi sapi perah Rataan hasil frekuensi denyut nadi sapi perah periode laktasi yang diperoleh adalah 70,54 3,02 kali per menit dan 79,49 0,56 kali per menit, masing-masing untuk pola petani dan pola introduksi, seperti terlihat pada Tabel 2. Hasil frekuensi denyut nadi lebih tinggi apabila dibandingkan hasil yang

265

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

dilaporkan PURWANTO et al. (1995) yaitu 64 dan 67 kali per menit pada suhu 18C dan 32C. Tingginya frekuensi denyut nadi, kemungkinan disebabkan tingginya beban panas dari dalam dan luar tubuh. Pakan dengan kualitas rendah menyebabkan proses fermentasi didalam rumen lebih lambat, sehingga panas yang dihasilkan dari energi untuk proses metabolisme tubuh lebih kecil, sedangkan pemberian pakan dengan kualitas baik akan terjadi sebaliknya. Hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan denyut nadi, mengingat salah satu fungsi protein adalah untuk menyediakan energi bagi proses metabolisme tubuh (SUDONO, 1999).
Tabel 2. Rataan denyut nadi sapi perah laktasi selama 4 minggu post partus Uraian Pola petani Pola introduksi Frekuensi denyut nadi (kali/menit) 70,54 3,02 79,49 0,56

upaya menjaga keseimbangan panas tubuh (GANONG, 1983). Frekuensi pernafasan sapi perah Rataan hasil pengamatan frekuensi pernafasan sapi perah 26,82 1,70 kali per menit dan 31,29 0,62 kali per menit, masingmasing untuk pola petani dan pola introduksi (Tabel 3). Menurut SUBRONTO (1995), bahwa pernafasan sapi dalam keadaan normal berkisar antara 10 sampai 30 kali tiap menit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada pola introduksi, frekuensi pernafasan sapi perah lebih tinggi bila dibanding pola petani. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kualitas pakan yang diberikan. Pada pola introduksi diduga proses fermentasi didalam rumen menyebabkan panas dari hasil metabolisme dalam tubuh lebih tinggi bila dibandingkan pola petani, sehingga ternak menerima beban panas tinggi. Metabolisme pakan akan menghasilkan energi yang dipergunakan oleh ternak untuk menjalankan fungsi fisiologis seperti pernafasan dan pengaturan keseimbangan tubuh, dimana hal tersebut akan menghasilkan panas tambahan bagi tubuh. Beban panas yang besar pada tubuh ternak akan dipindahkan oleh aliran darah kepermukaan tubuh yang menyebabkan tingkat evaporasi melalui pernafasan meningkat, sehingga frekuensi pernafasan meningkat pula (JOHNSON, 1985). Perubahan frekuensi pernafasan mulai meningkat setelah pukul 06.00 WIB dan mencapai puncak pukul 12.00, kemudian mengalami penurunan setelah pukul 14.00 WIB. Perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk melepaskan panas. Disamping itu, ada perbedaan frekuensi pernafasan dengan pemberian ransum dengan kualitas yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan kualitas ransum yang diberikan pada ternak menambah beban panas. Keadaan ini kemungkinan disebabkan adanya aktivitas ternak dalam mencerna pakan, karena proses pencernaan menghasilkan energi yang diubah menjadi panas. Aktivitas dalam tubuh yang semakin besar membutuhkan oksigen lebih banyak dan kebutuhan oksigen

Pembuangan beban panas sapi perah laktasi, terlihat pada peningkatan frekuensi denyut nadi yang merupakan usaha ternak untuk menyeimbangkan produksi panas. Panas yang tinggi akan dilepaskan ke lingkungan dengan cara melakukan peningkatan denyut nadi dalam upaya pengangkutan aliran darah yang membawa panas dari dalam keluar tubuh sehingga jantung bekerja lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat PARAKKASI (1995), bahwa peningkatan denyut jantung merupakan upaya penyebaran panas ke seluruh tubuh dan pada akhirnya dibuang melalui jalur evaporasi. Perubahan denyut nadi sapi perah periode laktasi, terjadi peningkatan dan mencapai puncak pada pukul 12.00 WIB kemudian berangsur menurun setelah pukul 14.00 WIB. Peningkatan denyut nadi seiring dengan meningkatnya suhu udara, hal ini akan berdampak terhadap naiknya produksi panas didalam tubuh ternak sehingga ternak berusaha mempercepat frekuensi denyut nadi untuk membuang panas. Peningkatan suhu udara dengan diikuti peningkatn denyut nadi merupakan mekanisme fisiologis ternak (PURWANTO et al., 1995). Peningkatan tersebut juga merupakan peningkatan fungsi jantung untuk melakukan aktivitas makan, mendistribusikan hasil metabolisme pakan dan

266

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

didapat dari luar tubuh dengan jalan peningkatan frekuensi pernafasan (GUYTON, 1983).
Tabel 3. Rataan frekuensi pernafasan sapi perah laktasi selama 4 minggu post partus Uraian Pola petani Pola introduksi Frekuensi pernafasan (kali/menit) 26,82 1,70 31,29 0,62

Suhu rektal sapi perah Hasil suhu rektal yang diperoleh adalah 36,33 0,77C dan 37,09 0,19C, untuk pola petani dan pola introduksi (Tabel 4). Subronto (1995), melaporkan bahwa suhu rektal sapi dalam kondisi normal adalah 38,5C dan suhu kritis 39,5C. Suhu rektal sapi perah dengan pemberian ransum yang berbeda, tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini kemungkinan disebabkan ternak berhasil melakukan proses termoregulasi melalui mekanisme homeostatis di dalam tubuh. Respon yang menunjukkan adanya cekaman panas pada tubuh ternak ditandai dengan peningkatan suhu rektal dan apabila peningkatan denyut nadi serta frekuensi pernafasan mampu mengatasi cekaman panas maka suhu rektal sedikit sekali mengalami peningkatan. Menurut PURWANTO et al. (1995), bahwa pengaturan keseimbangan panas merupakan upaya ternak mempertahankan suhu tubuhnya relatif konstan terhadap perubahan suhu lingkungan yang merupakan perwujudan kerja organ-organ tubuh untuk mempertahankan proses homeostatis.
Tabel 4. Rataan suhu rektal sapi perah laktasi selama 4 minggu post partus Uraian Pola petani Pola introduksi Suhu rektal (C) 36,33 0,77 37,09 0,19

meningkat. Tingginya suhu rektal ternak pada siang hari kemungkinan juga disebabkan panas hasil metabolisme di dalam tubuh. Produksi panas pada ternak dipengaruhi oleh tingkah laku, jumlah konsumsi pakan dan suhu lingkungan (SUDARMOYO, 1995). Perubahan suhu rektal juga sama perubahan denyut nadi dan frekuensi pernafasan. Menurut SARIKIN (1998), bahwa ternak yang diberi pakan dengan kualitas tinggi pada siang hari maka ternak akan mengalami beban panas tubuh yang tinggi, tetapi suhu rektalnya stabil. Hal ini disebabkan ternak berhasil melakukan pembuangan panas melalui peningkatan frekuensi denyut nadi dan pernafasan. KESIMPULAN Hasil kajian yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa pola introduksi peningkatan kualitas pakan dengan kandungan protein 12% tidak menimbulkan beban panas yang berlebih dan tidak terjadi gangguan termoregulasi pada sapi perah periode laktasi.
DAFTAR PUSTAKA COLLIER, R.J., D.K. BEEDE, W.W. THATCHER, L.A. ISRAEL dan C.J. WILCOX. 1982. Influences of environmental and its modofication on dairy animal health production. J. Dairy Sci. 65: 2213 2227. GUYTON, A.C. 1990. Fisiologi Kedokteran II. Edisi Ke-5. E.G.C. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. JOHNSON, H.D. 1985. Physiological responses and productivity of cattle. Dalam: YOUSEF, M.K. (Ed). Stress Physiology of Livestock. Vol II. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. KOMARUDIN, M., MARIYONO, U. UMIYASIH, L. AFFANDHY dan ARYOGI. 1992. Evaluasi perkandangan sapi perah : Perkandangan sapi perah rakyat pada beberapa daerah dataran rendah dan tinggi di Jawa Timur. Lap Penyelesaian DIP. Sub Balitnak Grati. MASON, L.L. and BUVANENDRAN. 1982. Breeding Plans foe Ruminant Livestock in Tropis. FAO Animal Production and Health Paper No. 34 Rome. PARAKKASI, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit Aneka Ilmu, Semarang.

Perubahan suhu rektal mulai menunjukkan peningkatan setelah pukul 06.00 WIB dan mencapai puncak setelah pukul 12.00 WIB, kemudian berangsur-angsur menurun. Perubahan suhu rektal tersebut sejalan dengan perubahan suhu udara yang semakin

267

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

PURWANTO, B.P., A.B. SANTOSO dan A. MURFI. 1995. Fisiologi Lingkungan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. SANTOSO, A.B. 1996. Pengaruh Lingkungan Mikro Terhadap respon Fisiologis Sapi Dara Peranakan Fries Holand. Tesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. SARIKIN. 1998. Perubahan Respon Termoregulasi Sapi Dara Peranakan Friesian Holstein Akibat Pemberian Pakan dengan Tingkat Energi Berbeda. Skripsi. Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. SINURAT, A.P., E. KUSNADI, R. WIJAYAKESUMA dan D. SASTRAPRADJA. 1991. Pengaruh cekaman suhu dingin dan panas terhadap respons pertumbuhan dan fisiologis kelinci Rex. Proc Seminar Nasional. Usaha Peningkatan Produktivitas Peternakan dan Perikanan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

SUDARMOYO, B. 1995. Ilmu Lingkungan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang (unpublished). SUDONO, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (unpublished). SUTARDI, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (unpublished). TILLMAN, A.D., H. HARTADI., S. REKSOHADIPROJO., S. PRAWIROKUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. WILLIAMSON, G. dan W.J.A. PAYNE. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. YOUSEF, M.K. 1982. Animal Production in the Tropics. Praeger Publish, New York.

268

You might also like