You are on page 1of 18

KEHAMILAN dengan DENGUE HEMORAGIC FEVER 2.

1 Batasan Demam dengue / dengue fever (DF) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh infeksi salah satu dari empat serotipe virus dengue (DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4) dan ditandai dengan : nyeri seluruh badan, nyeri kepala, demam, rash, limphadenopati, dan lekopeni. Demam berdarah / Dengue hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah manifestasi yang lebih serius dari penyakit ini dan biasanya dikaitkan dengan infeksi serotipe virus yang berbeda dari infeksi yang pernah diderita sebelumnya. DHF ini ditandai oleh adanya abnormalitas hemostatik dan meningkatnya permiabilitas vaskuler yang mana bisa menimbulkan syok hipovolemik dan kematian. 2.2 Epidemiologi Laporan-laporan epidemiologik pertama tentang DF dan DHF ini terjadi pada tahun 1779-1780 di Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Terjadinya wabah yang hampir bersamaan di ketiga benua tersebut menunjukkan bahwa virus-virus dan nyamuk vektor tersebut sudah menyebar di seluruh dunia terutama di daerah tropik lebih dari 200 tahun. Sejak saat itu demam dengue masih dianggap ringan dan tidak merupakan penyakit yang fatal bagi para pendatang di daerah tropis. Pandemi global dari demam dengue ini dimulai di Asia Tenggara setelah perang Dunia II dan meningkat selama 15 tahun berikutnya. Penyakit ini cepat menyebar karena ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Di Indonesia, penyakit ini mulai menjadi masalah sejak 1973. Sampai Juli 1988, di DKI Jakarta didapati case fatality rate 1,1%, sedangkan untuk seluruh Indonesia adalah 2,7%. Di French Giuana, Carles G. dkk., melaporkan sejak 1 Januari 1992 sampai 1 April 1998, didapati fatal death rate sehubungan DBD sebesar 13,6% lebih tinggi dibanding angka rata-rata di bagian ginekologi 1,9%. Di Karachi, Pakistan, Qureshi J.A. dkk., pada saat endemis dari Juni 1994 sampai dengan September 1995, dari 145 kasus yang berobat ke Khan University Hospital, 43% kasus berumur 20--30 tahun dan 75% laki-laki. Di Republik Dominika, Ventura A.K. dkk., melaporkan infeksi dengue menjadi hiperendemis sehingga infection rate pada ibu hamil 6% setiap minggu. Melihat data epidemiologi tersebut, DBD merupakan suatu masalah yang cukup serius karena angka kematian yang cukup tinggi dan terbanyak menyerang usia produktif. Angka

ini cenderung meningkat sehingga kita harus waspada terhadap peningkatan insiden kehamilan dengan DBD, yang dapat dijumpai terutama saat hiperendemis.

2.3. Patogenesis Virus Dengue berasal dari monyet yang ditularkan ke manusia melalui vector nyamuk. Virus ini merupakan Virus RNA positif berserat tunggal yang termasuk di dalam anggota Flavivirus. Morfologik, virion dengue berbentuk sferis dengan diameter nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 nm sehingga diameter virion kira-kira 50 nm. Selubung virion mempunyai peranan dalam fenomena hemaglutinasi, netralisasi, dan interaksi antara virus dengan sel pada saat awal infeksi. Pnyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, patogenesis DBD masih kontroversial dan sedikit dimengerti. Berbagai teori telah dikemukakan oleh para ahli, tetapi sampai saat ini belum ada yang dapat menjelaskan patogenesis DBD secara pasti. Sejauh ini, beberapa teori yang berkaitan dengan patogenesis DBD yaitu: a). Teori virulensi virus Virus dengue secara genetik sangat bervariasi dan selalu berubah akibat proses seleksi ketika virus bereplikasi, baik di tubuh manusia maupun nyamuk. Dengan demikian, terdapat beberapa serotipe/strain virus yang memiliki virulensi lebih besar dari serotipe/strain yang lain.Diantara serotipe dan diantara strain sendiri juga mempunyai susunan protein yang berbeda Kurane I dkk. menyatakan bahwa berdasarkan data epidemiologi, telah dipostulasikan bahwa respons imun terhadap virus dengue berperan dalam patogenesis demam berdarah dengue dan sindroma syok dengue. Respons imun pejamu juga berperan dalam mengontrol infeksi demam dengue. b). Teori Imunopatologi Respon imun pada infeksi virus dengue mempunyai 2 aspek yaitu respon kekebalan atau menimbulkan penyakit. Setelah mendapat infeksi virus dengue satu serotipe maka akan terjadi kekebalan terhadap virus ini dalam jangka panjang, namun tidak mampu memberi pertahanan terhadap jenis serotipe virus yang lain, sehingga jika lain kali terinfeksi jenis virus dengan serotipe beda akan terjadi infeksi yang berat.. Teoti ini disebut teori infeksi sekunder. Teori infeksi sekunder masih diyakini oleh para ahli untuk menjelaskan patogenesis DBD. Berdasarkan teori ini, apabila dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun setelah terinfeksi virus dengue pertama kali penderita kemudian mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe yang 2

berbeda, maka penderita tersebut akan memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita DBD maupun sindroma syok dengue. Antibodi pre-infeksi yang berasal dari serotipe yang lain tersebut dikenal sebagai antibody dependent enhacement (ADE). Ia dapat meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap interaksi tersebut, terjedi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan hipovolemia dan syok.

Bagan 3.1. Peran Kelompok imun dalam Hemostasis infeksi dengue

Gambar 3.1.

Peran sistem imun dalam Infeksi virus

Interaksi antara Sistem Pertahanan Tubuh dan infeksi Virus. Akibat gigitan vector Aedes aegpty, Virus dengue masuk dan menginfeksi jaringan tubuh. Di dalam jaringan virus menginfiltrasi sel-sel tubuh terutama pada sel-sel retikulo endotelial dan sel endotel pembuluh darah. Pertahanan pertama tubuh diperankan oleh Fixed makrofag yang memang telah ada di dalam jaringan (ex : Sel Kupffer dan histiosit ). Efek yang mula-mula terjadi adalah dengan pembesaran sel-sel ini dengan cepat. Kemudian, banyak makrofag yang sebelumnya terikat menjadi mobile. Jumlah makrofag yang termobilisasi secara dini ini seringkali sangat banyak. Kedua, terjadi migrasi neutrofil ke tempat peradangan akibat pelepasan substansi kimia dan cytokine oleh makrofag dan jaringan yang rusak. Juga terjadi migrasi monosit dimana nantinya akan berubah menjadi makrofag (histiosit) dalam jaringan. Kedua sel darah putih ini bekerja dengan cara marginasi, diapedesis, gerak kemotaktik, dan fagositosis. Selsel granulosit ini hanya dapat bekerja memfagositir sel-sel yang telah terinfeksi oleh virus dengue dan debris sel sehingga pertahanan seluler ini menjadi tidak efektif. Infeksi dengue yang merupakan infeksi sistemik menyebabkan hal serupa terjadi di seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan timbulnya Leukopenia. Pertahanan lebih lanjut dilakukan dengan dilepaskannya cytokine (IL-1 dan TNF) yang dikeluarkan oleh makrofag. Zat ini merupakan suatu mediator yang mengubah limfosit T menjadi sel-T teraktivasi (T-helper). Selanjutnya, Sel T-helper ini menginduksi perubahan limfosit B menjadi sel Plasma yang akan memproduksi Antibodi berupa immunoglobulin. Semua reaksi imunitas ini tergabung dalam kompleks imun. Dimana reaksi kompleks imun ini yang menjadi kunci terhadap patogenesis infeksi virus dengue.

Bagan 3.2.

Perjalanan interaksi virus dengan tubuh inang yang mengakibatkan

terjadinya perubahan dinamika sirkulasi.

Zat-zat mediator yang diproduksi oleh kompleks imun juga menginduksi terjadinya peradangan, sehingga memperpanjang peradangan yang sudah ada. Efek dari peradangan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sehingga akan berpengaruh pada dinamika sirkulasi. Beberapa Zat yang disebut Pirogen juga menginduksi terjadinya febris (demam). Sebagi tanggapan terhadap reaksi tersebut, terjadi : 1. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyababkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular. 2. Agregasi trombosit sehingga jumlah trombisit menurun. Apabila kejadian ini berlanjut, akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang. 3. Kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan merangsang/mengaktivasi faktor pembekuan.

Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan : 1. Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan perembesan plasma,

hipovolemia, dan syok. Perembesan plasma pada DBD mengfakibatkan adanya cairan dalam rongga pleura dan rongga peritoneal yang berlangsung singkat, selama 24-48 jam 2. Kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati, sehingga mengakibatkan perdarahan hebat. Pada kehamilan terjadi berbagai perubahan sistem imunologis, sehingga menyebabkan ibu hamil rentan terhadap berbagai infeksi dan memungkinkan infeksi berkembang menjadi berat. Pada kehamilan terjadi peningkatan jumlah neutrofil, namun sebaliknya terjadi penurunan limfosit. Jumlah limfosit B relatif tetap, sedangkan limfosit T (terutama T helper) menurun. Selain penurunan jumlah sel T, terjadi penurunan fungsi imunitas seluler yang terlihat dari penurunan produksi IL-2 dan interferon. Untuk imunitas humoral jumlah imunoglobulin total relatif tetap, namun didapatkan penurunan jumlah antibodi spesifik terhadap infeksi tertentu. Hal itu akan berpengaruh terhadap respon imun selular yang diperlukan dalam pertahanan terhadap infeksi virus. Hipotesis patogenasis infeksi Dengue menerangkan bahwa beratnya penyakit dan manifestasi klinis ditentukan oleh banyaknya jumlah sel yang terinfeksi, terjadinya kelelahan fagosit mononuklear, dan peningkatan respon imun humoral yang menyebabkan kompleks imun secara berlebihan. Selain perubahan sistem imun, pada kehamilan juga terjadi perubahan hemodinamik. Sirkulasi darah bibu dalam kehamilan dipengaruhi oleh adanya sirkulasi ke plasenta dan uterus yang membesar dengan pembuluh darah yang membesar pula. Volume darah ibu dalam kehamilan bertambah secara fisiologis dengan adanya hemodilusi. Volume darah akan bertambah kira-kira 25%, dan puncaknya terjadi pada kehamilan 12 minggu. Eritropoesis dalam kehamilan juga meningkat untuk memenuhi kebutuhan transport zat asam. Walaupun terjadi peningkatan jumlah eritrosit secara keseluruhan, akan tetapi peningkatan jumlah plasma jauh lebih besar, sehingga kondisi akhir yang terjadi adalah anemia relatif. Jumlah leukosit meningkat, demikian juga trombosit. Segara setelah partus, sirkulasi darah antara uterus dan plasenta berhenti, sehingga sirkulasi umum akan membebani kerja jantung. Setelah partus terjadi pula hemokonsentrasi, dengan puncak pada hari ke-3 dan 5 postpartum. Konsentrasi trombosit pada masa ini juga meningkat. Perubahan tersebut sangat penting untuk menentukan persangkaan diagnosis infeksi 6

Dengue yang mungkin tidak selalu lengkap sesuai kriteria diagnosis DBD seperti pada orang normal. Bunyavechevin et al pada tahun 1997 melaporkan pengamatan 3 kasus DBD pada kehamilan pada saat antepartum, intrapartum, dan post partum. Gejala klinis yang tampak selama masa antepartum tidak berbeda dengan DBD tanpa kehamilan yaitu ditemukan hemokonsentrasi, trombositopenia dan hasil pemeriksaan serologis positif. 2.4. Diagnosis 2.4.1 Gejala klinis 1). Manifestasi klinis Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak jelas, demam dengue, demam berdarah dengue dengan kebocoran plasma yang mengakibatkan syok atau sindroma syok dengue (SSD). a). Demam Dengue Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah. Demam dengue merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut: Nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif), leukopenia. b). Demam Berdarah Dengue Adalah infeksi dengue dengan kecenderungan perdarahan, disertai dengan satu atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

Uji bendung positif Petekie, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain.

Hematemesis atau melena Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/mm3)

Ditemukan bukti kebocoran plasma diakibatkan peningkatan permiabilitas kapiler, yang ditandai oleh satu atau lebih gejala sebagai berikut: Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standard sesuai dengan umur dan jenis kelamin Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asistes, atau hipoproteinemia. Dari keterangan di atas terlihat perbedaan utama antara DD dan DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. Infeksi virus dengue

asimtomatik

simtomatik

demam yang tidak diketahui penyebabnya

demam dengue

demam berdarah dengue terdapat perembesan plasma

perdarahan (-)

perdarahan tidak lazim (+)

syok (-)

syok (+) (DSS)

DD Bagan 3.3. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue5 c). Sindroma Syok Dengue

DBD

Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standard sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

2) Derajat klinis Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 3.1. Tabel 3.1. klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue
DD/DBD DD Derajat Gejala Demam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia. Gejala di atas ditambah uji bendung positif. Laboratorium Lekopeni, trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma. Trombositopenia (<100.000 mm3), bukti ada kebocoran plasma. Trombositopenia (<100.000 mm3), bukti ada kebocoran plasma. Trombositopenia (<100.000 mm3), bukti ada kebocoran plasma. Trombositopenia (<100.000 mm3), bukti ada kebocoran plasma.

DBD

DBD

II

Gejala di atas ditambah pendarahan spontan.

DBD

III

Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah). Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur.

DBD

IV

*DBD derajat III dan IV disebut juga sindroma syok dengue(SSD) *Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila ditemukan 10 atau lebih petekie per 2,5 cm2 (1 inci). 2.4.2 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang rumit, yang berkembang saat ini adalah tes serologis (adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG).

Parameter laboratori: Leukosit, awalnya menurun/normal, pada fase akhir ditemui limfositosis relatif disertai adanya limfosit plasma biru (LPB > 15%) yang pada fase syok akan meningkat. Trombositopenia harus ditemukan pada DD dan DBD Kebocoran plasma hanya ditemukan pada DBD Kelainan pembekuan darah dapat ditemukan sesuai dengan sesuai dengan derajat penyakit Hipoproteinemia dapat terjadi pada kebocoran plasma Serum alanin-aminotransferase dapat meningkat (SGPT/SGOT) Isolasi virus terbaik saat viremia (3-5 hari) IgM terdeteksi hari ke 5, meningkat sampai minggu III, menghilang setelah 60-90 hari IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder mulai hari ke

Tabel 3.2. Pemeriksaan Laboratori Diagnosis Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue
Hari Demam 1-2 3

Jenis Pemeriksaan
Hematologi Hb, Hct, Hitung lekosit, Hitung Trombosit Hematologi Hemoglobin (Hb) Hematokrit (Hct) Hitung lekosit

Catatan/Interprestasi
Biasanya normal

- Hemokonsentrasi (peningkatan Ht20%) - Leukopenia - Limfositosis relatif (>45% dari total leuko atau
>4% dari total limfosit) - Trombositopeni (<100.000/L) atau penurunan serial - Trombosit ,2/100 eri/LPB (min dilihat 10 lapang pandang) Waspadai DIC (PT >, APTT >, D-Dimer +, atau fibrin monomer +, Fibrinogen <) Indikasi pemberian darah: -FFP : perdarahan masif, APTT> 1,5 x N -Trombosit : bila perdarahan masif Peningkatan IgM dan atau IgG IgM +, IgG - : inf. Primer IgM +, IgG + : inf. sekunder IgM -, IgG + : Riwayat terpapar/ dugaan inf. sekunder IgM -, IgG - : Bukan infeksi Flavirus, ulang 3-5 hari bila curiga

Hitung trombosit

4-7

Hematologi Hb Ht Hitung lekosit Hitung trombosit Hapus darah tepi Imunoserologi Anti dengue IgM,IgG

Uji HI

10

Kimia 8-10 11-12 Hematologi Hb, Hct, Hitung lekosit, Hitung Trombosit Imunoserologi Uji HI

1:2560 Inf. sekunder Flavivirus SGOT/SGPT , albumin Normal pada fase penyembuhan Peningkatan titer > 4X 1: 1280 Inf. Flavirus akut primer 1: 2560 Inf. Flavirus akut sekunder

Rujukan: WHO regional Guidelines on Dengue/ DHF prevention and control (Regional publication 29/1999) Diagnosis laboratory DBD terkini (symposium penanganan DBD terkini; RS Persahabatan, Jkt, 3-3-04) 2.4.3 Pemeriksaan Radiologis Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto roentgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Atesis dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. 2.5. Pengaruh Demam Berdarah Dengue terhadap Kehamilan Beberapa laporan kasus dan pengamatan dari Indonesia, Pakistan, Thailand, dan Malaysia, gejala-gejala klinis pada ibu hamil tersebut meliputi demam dan sakit kepala, nyeri uluhati, muntah, peteki, tanda-tanda dehidrasi, hemokonsentrasi, trombositopenia, dan pada tes serologi dijumpai antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue. Selain itu, pada beberapa institusi dapat dilakukan isolasi virus seperti di Frence Guiana oleh Carles G. dkk., dan Mississipi Medical Center, USA oleh Lusia H.L. dkk. Chong KY dkk. melaporkan bahwa tidak ada bukti bahwa virus dengue dapat menyebabkan efek teratogenik, aborsi, atau pertumbuhan janin yang terhambat yang dikandung oleh ibu hamil yang menderita DBD. Beberapa kasus menjalani pemeriksaan amniocentesis atau biopsi villi choriales dan dilakukan analisa kromosom, namun tidak dijumpai kelainan. Alfa-fetoprotein di cairan amnion maupun di serum maternal berada dalam batas normal. Adanya transmisi vertikal dari ibu ke fetus menyebabkan bayi baru lahir mudah menderita demam berdarah dengue atau sindroma syok dengue pada saat terinfeksi virus dengue. Figueiredo L.T. dkk., mengamati bahwa pada bayi yang dilahirkan tidak dijumpai kelainan bawaan, lamanya kehamilan, Skor APGAR, berat badan janin, dan plasenta. Pada 11

serum bayi dijumpai antibodi IgG yang progesif menurun dan menghilang setelah 8 bulan. Namun, menurut Marchette N.J. dkk., antibodi tersebut menghilang setelah 10--12 bulan. Walaupun begitu, Chye J.K. dkk., melaporkan dua ibu hamil mengalami demam berdarah dengue 4 sampai 8 hari sebelum inpartum. Satu ibu mengalami kehamilan dengan pre-eklampsia berat disertai sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzymes and Low Platelets) dan memerlukan transfusi darah lengkap, konsentrat trombosit, serta plasma beku segar. Bayi lakilakinya saat lahir menderita gangguan pernapasan dan perdarahan intracerebral kiri yang banyak serta tidak terkontrol. Akhirnya, bayi meninggal pada hari ke-6 karena kegagalan berbagai organ. Virus dengue tipe 2 diisolasi dari darah bayi dan antibodi IgM spesifik terhadap virus dengue terdeteksi dalam darah ibu tersebut. Ibu ke-2 mengalami keadaan klinis yang lebih ringan. Dia melahirkan bayi perempuan yang mengalami trombositopenia dan tidak memerlukan perawatan yang khusus. Virus Dengue tipe 2 ditemukan dalam darah ibu dan antibodi IgM spesifik terhadap virus dengue dideteksi pada darah bayi tersebut. Hal ini berarti bahwa demam berdarah dengue memiliki risiko yang potensial menyebabkan kematian janin yang terinfeksi. Poli dkk., juga melaporkan gambaran klinis bayi-bayi yang mengalami transmisi vertikal dari ibu pada saat menjelang akhir kehamilan berupa demam, gangguan vasomotor, trombositopenia, dan hepatomegali. IgM antibodi spesifik terhadap virus dengue ditemukan pada semua bayi. Beratringannya keadaan penyakit bervariasi. Thaithumyanon P. dkk., juga melaporkan

trombositopenia pada bayi yang dilahirkan dari ibu hamil dengan DBD. Falker J.A. dkk., melaporkan bahwa aktivitas anti-dengue dijumpai pada komponen lipid air susu ibu (ASI) dan kolostrum. Konsentrasinya tidak menurun selama 10 bulan setelah melahirkan. Disarankan pemberian ASI agar dapat melindungi bayi dari infeksi virus dengue di daerah endemis 3 2.6 Pengaruh Kehamilan terhadap Demam Berdarah Dengue Pada kehamilan terjadi berbagai perubahan sistem imunologis, sehingga menyebabkan ibu hamil rentan terhadap berbagai infeksi dan memungkinkan infeksi berkembang menjadi berat. Pada kehamilan terjadi peningkatan jumlah neutrofil, namun sebaliknya terjadi penurunan limfosit. Jumlah limfosit B relatif tetap, sedangkan limfosit T (terutama T helper) menurun. Selain penurunan jumlah sel T, terjadi penurunan fungsi imunitas seluler yang terlihat dari penurunann produksi IL-2 dan interferon. Untuk imunitas humoral jumlah imunoglobulin total relatif tetap, namun didapatkan penurunan jumlah antibodi spesifikterhadap infeksi tertentu. Hal

12

itu akan berpengaruh terhadap respon imun selular yang diperlukan dalam pertahanan terhadap infeksi virus. Selain perubahan sistem imun, pada kehamilan juga terjadi perubahan hemodinamik. Sirkulasi darah ibu dalam kehamilan dipengaruhi oleh adanya sirkulasi ke plasenta dan uterus yang membesar dengan pembuluh darah yang membesar pula. Volume darah ibu dalam kehamilan bertambah secara fisiologis dengan adanya hemodilusi. Volume darah akan bertambah kira-kira 25%, dan puncaknya terjadi pada kehamilan 12 minggu. Eritropoesis dalam kehamilann juga meningkat untuk memenuhi kebutuhan transport zat asam. Walaupun terjadi peningkatan jumlah eritrosit secara keseluruhan, akan tetapi peningkatan jumlah plasma jauh lebih besar, sehingga kondisi akhir yang terjadi adalah anemia relatif. Jumlah leukosit meningkat, demikian juga trombosit. Segara setelah partus, sirkulasi darah antara uterus dan plasenta berhenti, sehingga sirkulasi umum akan membebani kerja jantung.Setelah partus terjadi pula hemokonsentrasi, dengan puncak pada hari ke-3 dan 5 postpartum. Konsentrasi trombosit pada masa ini juga meningkat. Perubahan tersebut sangat penting untuk menentukan persangkaan diagnosis infeksi Dengue yang mungkin tidak selalu lengkap sesuai kriteria diagnosis DBD seperti pada orang normal.

2.7. Penatalaksanaan Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip utama adalah terapi suportif. Akan tetapi, penanganan klinis yang tepat oleh dokter dan perawat yang berpengalaman pada umumnya akan menyelamatkan pasien DBD. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Bunyavejchevin S., dkk., melaporkan penatalaksanaan DBD dengan kehamilan antepartum, intrapartum, dan masa nifas. Penatalaksanaan DBD dengan kehamilan sebagai berikut:

13

2.7.1 Penatalaksanaan Antepartum Setiap penderita DBD sebaiknya dirawat di tempat yang terpisah dengan penderita lain dan seyogianya kamar yang bebas nyamuk (berkelambu). Penatalaksanaan antepartum tanpa penyulit biasanya dilakukan secara konservatif, antara lain: Tirah baring. Makanan lunak. Bila tidak ada nafsu makan dianjurkan untuk minum banyak 1,5--2 liter dalam 24 jam, air tawar ditambah garam saja. Medikamentosa yang bersifat simptomatis yaitu: - Untuk demam tinggi dan sakit kepala diberikan dari golongan asetaminofen, eukinin dipiron, tetapi pemakaian asetosal harus dihindari mengingat bahaya - Glukokortikosteroid merupakan pengobatan pertama untuk perdarahan. menaikkan jumlah atau

trombosit yang rendah, tetapi pada umumnya di Indonesia hal ini tidak dilakukan karenaterbukti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara terapi tanpa atau dengankortikosteroid. - Antibiotik dapat diberikan bila dicurigai infeksi sekunder. Terapi cairan pengganti diberikan pada penderita sesuai derajat dehidrasi. Transfusi trombosit jika diperlukan. Para ahli hematologi umumnya tidak mengobati penderita dengan jumlah trombosit di atas 20,000/mm3 atau bila tidak terjadi perdarahan spontan. Batas usia trombosit yang ditransfusikan biasanya pendek. Terhadap kehamilannya dilakukan pemantauan terhadap janin dan perawatan secara konservatif. Dilakukan pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda vital, Hb (hemoglobin), dan Ht (hematokrit) setiap 4--6 jam pada hari-hari pertama pengamatan, selanjutnya tiap 24 jam. Periode kritis timbulnya syok umumnya 24--48 jam perjalanan penyakit.

14

2.7.2 Penatalaksanaan Intrapartum Penatalaksanaan ibu hamil aterm dengan DBD sama seperti antepartum, namun terhadap kehamilannya sebagai berikut: Obat-obat tokolitik dapat dipergunakan hingga periode kritis terlewati atau trombosit kembali normal5. Obat-obat tokolitik umumnya menyebabkan takikardia yang dapat menutupi keadaan status pasien. Magnesium Sulfat dapat menjadi obat pilihan pada situasi ini karena tidak menyebabkan takikardia. Jika proses melahirkan tidak dapat dihindarkan, rute vaginal lebih disukai daripada abdominal. Kontraksi uterus setelah melahirkan akan menstrangulasi pembuluh-pembuluh darah yang menyebabkan hemostasis walaupun gangguan koagulasi masih terjadi. Transfusi trombosit diindikasikan pada proses melahirkan melalui vagina bila jumlah trombosit di bawah 20,000/mm3. Bila perlu dilakukan tindakan pembedahan, terutama pada saat inpartum perlu diberikan konsentrat trombosit preoperatif dan konsentrat trombosit selama operasi serta pasca operasi jika diperlukan5. Transfusi trombosit diindikasikan pada pembedahan jika jumlah trombosit maternal di bawah 50,000/mm3. Tranfusi trombosit pada saat insisi kulit dapat memberikan hemostasis yang cukup. Setiap unit konsentrat trombosit yang ditransfusikan dapat meningkatkan hitung trombosit hingga 10,000/mm3. Sebelum melakukan operasi, sebaiknya telah dilakukan konsultasi dengan tim anastesi, neonatologis, dan ahli jantung. Pemberian plasma beku segar (30 mL/kg/hari) dapat diberikan bila ada kelainan koagulopati, namun harus hati-hati kemungkinan terhadap penumpukan cairan tubuh yang berlebihan. Beberapa teknik pembedahan seksiosesaria yang perlu diperhatikan pada pasien dengan trombositopenia berat: Jika pasien mengalami perdarahan yang secara klinis nyata, lebih baik gunakan insisi kulit garis tengah (midline). Walaupun demikian, insisi Pfannenstiel masih dapat dipertimbangkan. Gunakan elektrokauter untuk menghentikan perdarahan. Jahit uterus dengan dua lapis. Tinggalkan flap kandung kemih terbuka untuk mencegah terbentuknya hematoma yang dapat menuntun terjadinya abses dan demam.

15

Tutuplah peritoneum untuk mencegah perdarahan dari pembuluh-pembuluh darah yang terdapat pada tepi sayatan peritoneum, yang sering tidak terlihat dan dapat terbentuk suatu ruangan untuk drainase subfascial. Tempatkan drain subfascial dan tinggalkan sampai tidak ada cairan yang mengalir keluar. Sebaiknya gunakan staples kulit, walaupun dengan insisi Pfannenstiel. Ini memungkinkan kita membuka sebagian dari insisi jika terbentuk hematoma subkutis. Tempatkan balutan kuat dengan tekanan di atas insisi dan tidak dibuka selama 48 jam, kecuali tanda-tanda perdarahan aktif ditemukan. 2.7.3 Penatalaksanaan Masa Nifas Bila DBD terjadi pada masa nifas, penatalaksanaannya hampir sama dengan antepartum (tirah baring, terapi cairan pengganti, simtomatis, pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda vital, hemoglobin, hematokrit, dan trombosit). Demam berdarah dengue jarang sebagai penyebab morbiditas demam nifas. Bayi-bayi yang dilahirkan umumnya sehat bila ibunya tidak memderita komplikasi selama kehamilan. Pemberian air susu ibu dapat memberi perlindungan pada bayi terhadap infeksi demam berdarah dengue karena komponen lemak dari air susu ibu dan colostrum memiliki aktivitas anti dengue. 2.8 Komplikasi Thaithumyanon P. dkk., melaporkan seorang ibu hamil dengan DBD yang menjalani bedah sesar mengalami perdarahan masif dan berkepanjangan (8 hari) dari luka serta memerlukan berbagai tranfusi darah, trombosit, dan plasma beku segar. Chye J.K. dkk., melaporkan seorang ibu hamil dengan demam berdarah dengue mengalami preeklamsia berat dan sindroma HELLP memerlukan berbagai transfusi darah. Saat lahir anaknya menderita gangguan pernapasan dan perdarahan hebat pada intracerebral kiri . Selain itu dapat pula terjadi sindrom renjatan dengue, koagulasi intravaskuler diseminata, partus prematur serta kematian janin intrauterin . 2.9. Prognosis Pada umumnya, kehamilan tanpa komplikasi kehamilan dengan demam berdarah dengue adalah baik. Penanganan dini dan intensif sangat menentukan keberhasilan.

16

2.9 Pencegahan Pencegahan terhadap perkembangbiakan nyamuk dan gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan A. albopictus yang menggigit pada pagi serta sore hari merupakan upaya menurunkan attack rate dan jumlah angka kesakitan. Pencegahan di Indonesia terkenal dengan 3M, yaitu menutup, membuang/membilas, dan menimbun barang-barang atau tempat yang kemungkinan menjadi sarang nyamuk, kelambu, fogging, serta dengan repellent nyamuk (campuran Thanaka dan deet) dapat memberi perlindungan 10 jam terhindar dari gigitan nyamuk tersebut.

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo D, & Nainggolan L. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Kehamilan. Dalam : MKI 2004; vol 54: no 4: 136-142. 2. .Suwardewa TGA. Demam Dengue pada Kehamilan. Dalam : Kelainan Medis dan Bedah pada Obsteri, 2005. 3. Hadinegoro SR, & Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Dalam : FKUI, 2005 4. Gubker DJ.dan Kuno G. Dengue and Dengue Hemorrhage Fever. CAB International; Colorado. 1997. 5. Harrison. Principles of Internal Medicine. USA. 2001 6. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC; Jakarta. 2001. 7. Suwondo BS. Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue. Dalam : Anestesia & Critical care, Mei 2005: vol 23: No 2: 1994-1997. 8. World Health Organization. Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis Treatment, Prevention and control. Geneva: WHO, 1997. 9. Guzman MG. Kouri G. Dengue: an update. Lancet infect Dis, 2002:vol 2: 33-42

18

You might also like