You are on page 1of 40

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kemajuan ilmu kedokteran, khususnya di bidang pembedahan, tidak terlepas dari kemajuan di bidang anestesiologi. Pembedahan yang luas dan rumit dapat berlangsung berjam-jam dengan aman dan tanpa rasa sakit dapat terjadi karena adanya dukungan teknik anestesi yang canggih, yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Anestesiologi merupakan ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Definisi yang ditegakkan oleh The American Board of Anesthesiology 1989 ialah mencakup semua kegiatan profesi atau praktik yang meliputi hal-hal sebagai berikut (Latief, 2001): 1. 2. Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anestesia Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostik-terapeutik. 3. Memantau dan memperbaiki homeostatis pasien perioperatif dan pada pasien dalam keadaan kritis. 4. 5. 6. Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri. Mengelola dan mengajarkan resusitasi jantung paru (RJP). Membuat pernafasan. 7. Mengajarkan, memberi supervisi dan mengadakan evaluasi tentang penampilan personil paramedik dalam bidang anestesia, perawatan pernafasan dan perawatan pasien dalam keadaan kritis. 8. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk menjelaskan dan memperbaiki perawatan pasien terutama tentang fungsi fisiologis dan respon terhadap obat. evaluasi fungsi pernafasan dan mengobati gangguan

9.

Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit, pendidikan kedokteran dan fasilitas rawat jalan pertanggungjawaban. Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif yang diperlukan untuk implementasi

maupun darurat, harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang herus dilaksanakan yaitu praanestesi, penatalaksanaan dan tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. Salah satu jenis anestesi yang biasa dilakukan adalah Total Intravenous Anesthesi (TIVA). TIVA merupakan jenis anestesi umum (General Anestesi). Pada jenis anestesi ini, obat-obatan yang menunjang anestesi diberikan melalui jalur intravena. Obat-obatan yang berada di dalam pembuluh darah akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum dan menuju target organ tertentu untuk mempengaruhi fungsi organ tertentu. Secara umum, obat-obatan yang digunakan pada TIVA adalah yang bersifat analgesia, arefleksia otonomik dan amnesia, terkadang dapat disertakan obat yang menimbulkan relaksasi otot. Salah satu tindakan bedah yang biasa menggunakan anestesi jenis TIVA adalah tindakan kuretase. Kuretase merupakan tindakan medis yang cukup sering dilakukan. Sebuah penelitian di Rumah Sakit di Gowa pada tahun 2010 mencatat sebanyak 201 kali tindakan kuretase dilakukan pada tahun 2009 karena berbagai indikasi. Tindakan kuretase dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang bisa disebabkan karena masih adanya janin atau plasenta yang tertinggal di dalam rahim. Tindakan kuretase ini dapat menimbulkan rasa sakit pada pasien sehingga dibutuhkan tindakan anestesi yang tepat untuk mengurangi penderitaan pasien.

B. Tujuan 1. Tujuan Umum Meninjau manajemen tindakan anestesi pada tindakan kuretase kasus abortus inkomplit

2. Tujuan Khusus a. Menjelaskan tentang kuretase b. Menjelaskan tentang abortus inkomplit c. Menjelaskan tentang TIVA

C. Manfaat Menambah khasanah pengetahuan kedokteran tentang anestesiologi

khususnya yang berkaitan dengan anestesi pada tindakan kuretase kasus abortus inkomplit .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Total Intravenous Anesthesi TIVA atau anastesi intravena total adalah suatu teknik yang dirancang untuk menginduksi dan/atau mempertahankan anestesi umum dengan agen atau obat yang dimasukkan secara intravena atau parenteral saja. Induksi biasanya dilakukan dengan suntikan bolus obat, disusul mempertahankan infus secara kontinyu. Pasien yang dilakukan anestesi dengan TIVA dalam proses pembedahannya dapat tiba-tiba bernafas secara spontan jika anestesinya terlalu ringan dan dapat terjadi henti nafas jika anestesinya terlalu dalam. 1. Persiapan Pra Anestesi Persiapan pra pembedahan harus dilakukan secara memadai untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat proses pembedahan. Salah satu hal dalam persiapan pra pembedahan yang dilakukan oleh dokter spesialin anestesi adalah kunjungan pra pembedahan. Kunjungan ini dilakukan untuk mempersiapkan pasien sehingga pasien berada dalam kondisi segar bugar pada saat pembedahan. Tujuan utama kunjungan pra pembedahan atau pra anestesia adalah untuk mengurangi kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (Latief, 2001). Dalam proses persiapan ini, pasien juga perlu dinilai mengenai kesiapan pasien dalam menjalani pembedahan. Penilaian dilakukan melalui beberapa proses, yaitu : a. Anamnesis Anamnesis yang lengkap memungkinkan ahli anastesi untuk merencanakan manajemen anastesi dan masa pasca anastesi dengan lebih efektif. Hal-hal yang penting untuk ditanyakan pada proses anamnesis diantaranya (Behrman, 1999): 1) Riwayat prosedur anestesi dan bedah yang pernah dijalani

2) Riwayat penyakit berat dan rawat inap di rumah sakit 3) Masalah pernafasan 4) Masalah jantung 5) Masalah saluran cerna 6) Masalah hematologis 7) Masalah ginjal 8) Keadaan psikososial 9) Obat yang sedang digunakan 10) Alergi obat, makanan dan bahan tertentu (plester, kasa, dll) 11) Waktu makan dan minum terakhir (pada kasus gawat darurat) b. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup pemeriksaan keadaan umum, kesadaran, tanda vital dan pemeriksaan umum semua organ tubuh pasien meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut dan lidah sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan laringoskop intubasi (Latief, 2001). c. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sebelum tindakan anestesi diantaranya : 1) Pemeriksaan darah rutin (kadar hemoglobin, leukosit, APTT dan PTT) 2) Pemeriksaan kadar gula darah puasa 3) Liver function test 4) Renal function test 5) Pemeriksaan foto toraks 6) Pemeriksaan pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2 jam post prandial, pemeriksaan EKG untuk pasien > 40 tahun

7) Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa pula kadar albumin, globulin, elektrolit darah, CT scan, faal paru, dan faal hemostasis. d. Klasifikasi status pasien Status fisik pasien ditentukan dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology) (Latief, 2001): 1) ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%. 2) ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%. 3) ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas. Angka mortalitas 38%. 4) ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misalnya insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%. 5) ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%. Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat . 6) ASA VI : Pasien yang telah dinyatakan mati batang otak dan organ tubuhnya akan digunakan untuk donor organ. 2. Induksi dan Pemeliharaan Anestesi Umum Anestesi umum adalah keadaan ketiadaan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Anestetik umum yang baik dan ideal mempunyai sifat-sifat mudah cara pemberiannya, mempunyai daya analgesik pada dosis kecil,

menimbulkan relaksasi otot yang cukup, tidak toksik, dan mudah dinetralkan.

Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainva anestesia dan pembedahan. Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau rectal (Latief, 2001). Pemeliharaan atau rumatan anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi atau dengan campuran keduanya.

Pemeliharaan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup (Latief, 2001). 3. Jenis obat-obatan a. Propofol Propofol merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anestesi intravena. Obat ini pertama kali digunakan dalam praktik anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Saat ini propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum, pada pasien dewasa dan anak-anak berusia lebih dari 3 tahun. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8. Obat ini juga kompatibel dengan D5W. 1) Mekanisme kerja Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABAA (Gamma Amino Butired Acid). 2) Farmakokinetik a) Absorpsi Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma. b) Distribusi Waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih pendek

karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata rata 30 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Propofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot. c) Metabolisme Hepar d) Eliminasi Hepar 3) Farmakodinamik a) Sistem saraf pusat Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi efeknya tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokularsebanyak 35%. b) Sistem kardiovaskuler Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluhdarah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan pembebasan Propofol mempunyai efek mengurangi resistensi

katekolamin

danmenurunkan

vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. c) Sistem pernafasan Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasusdapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. 4) Dosis dan penggunaan

a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infus c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 g/kg/min IV (titrate to effect) d) Turunkan dosis pada orang tua atau pasien dengan gangguan hemodinamik atau apabila digabung

penggunaannya dengan obat anestesi lain. e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam

untuk mencegah kontaminasi dari bakteri 5) Efek samping a) Nyeri Propofol dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena. Nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara intravena melaui vena yang besar. b) Mual dan muntah Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. c) Kejang

Pada

sesetengah

kasus <

dapat propofol

menyebabkan < etomidate

kejang atau

mioklonik (thiopental methohexital). d) Phlebitis

Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. e) Nekrosis jaringan Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol. b. Tiopentin Tiopentin (Sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal) merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting. Dalam waktu 1 menit, tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi. Setelah 5 10 menit, konsentrasi di otak mulai menurun dan kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran. 1) Mekanisme kerja Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA. Barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA di sistem saraf pusat. Hambatan ini akan menekan sistem aktivasi retikuler yang terletak di batang otak yang salah satu fungsinya adalah mengontrol beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. 2) Farmakokinetik a) Absorpsi Untuk induksi anestesi umum pada anak dan dewasa digunakan secara intravena, sedangkan untuk premedikasi dilakukan secara intramuskuler. b) Distribusi

10

Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh yang selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi. Secara perlahan akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak. c) Metabolisme Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif. d) Eksresi Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine. 3) Farmakodinamis a) Sistem saraf pusat Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi

menimbulkan metabolisme

hiperalgesia, serebral dan

menghasilkan aliran darah

penurunan pada dosis

subhipnotik, sedangkan pada dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektro ensepalogram. Thiopental turut menurunkan tekanan intrakranial. b) Mata Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi. c) Sistem kardiovaskuler Menurunkan tekanan darah dan cardiac output serta dapat meningkatkan frekwensi jantung. Penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih

11

normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama terjadi akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard. d) Sistem pernafasan Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2. Terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan bronkospasme. 4) Dosis dan penggunaan Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kgBB. Untuk menghindarkan efek negatif, sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien. 5) Efek samping a) Alergi b) Nyeri Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui intravena, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis. c. Ketamin Ketamin (ketalar atau ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil laringospasme. Jarang menyebabkan

12

sikloheksilamin, merupakan rapid actingnon barbiturate general anesthesia. Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntahmuntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering

menyebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi serta mimpi gembira yang mengikuti anesthesia yang sering disebut dengan emergencephenomena. 1) Mekanisme kerja Efek analgesik terjadi karena blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medula spinalis. 2) Farmakokinetik a) Absorpsi Pemberian dapat dilakukan secara intravena dan

intramuskular b) Distribusi Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan keseluruh organ.Efek muncul dalam 3060 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosisinduksi, dan akan kembali sadar setelah 15 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit. c) Metabolisme Ketamin dimetabolisme di hepar. d) Eksresi Eksresi ketamin melalui ginjal 3) Farmakodinamik a) Sistem saraf pusat Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka

13

spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien

mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial. Pemberian ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa mimpi buruk, perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan), salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi,euphoria, eksitasi, kebingungan serta ketakutan. b) Sistem kardiovaskuler Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat

simpatomimetik sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. c) Sistem pernafasan Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. Dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma. d) Mata Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan. Terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis. 4) Dosis a) Dosis induksi adalah 1-2mg/kgBB secara intravena b) Dosis sedatif 0,2 mg/kgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan

14

dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai c) Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 0,8mg/kg IV atau 2 4 mg/kg IM atau 5 10 g/kg/min IV drip infus. 5) Efek samping a) Peningkatan sekresi air liur pada mulut b) Agitasi dan perasaan lelah c) Halusinasi dan mimpi buruk pasca operasi d) Peningkatan tekanan intracranial e) Nistagmus dan diplopia. 6) Kontra indikasi a) Trauma kepala b) Tumor otak c) Operasi intrakranial d) Glaukoma e) Operasi intraokuler f) Diabetes melitus

g) Hipertensi h) Tirotoksikosis i) d. Opioid Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan Penyakit jantung kronis

remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam anestesi umum. Efek utamanya adalah analgetik. 1) Mekanisme kerja

15

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada sistem saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , ,,,. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. 2) Farmakokinetik a) Absorbsi Absorpsi terjadi melalui pemberian secara intravena, intramuskular dan transmukosal. b) Distribusi Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Morfin memiliki kelarutan lemak yang rendah sehingga

memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus. c) Metabolisme Metabolisme di hepar d) Eksresi Eksresi lewat urin. 3) Farmakodinamik a) Sistem kardiovaskuler Tidak menyebabkan perubahan kontraktilitas otot jantung dan tonus otot pembuluh darah. Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin. b) Sistem pernafasan Golongan ini dapat menyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas dan volume

16

tidal. Opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu c) Sistem gastrointestinal d) Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga

pengosongan lambung terhambat. e) Endokrin Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil. 4) Dosis dan pemberian Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5mg/Kgbb, sedangkan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin. e. Benzodiazepin Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah diazepam (valium), lorazepam (ativan) dan midazolam (versed). 1) Mekanisme kerja Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik, antikonvulsan dan pelumpuh otot yang bekerja di sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABA-A. Afinitas pada reseptor GABA-A berurutan seperti berikut lorazepam >midazolam > diazepam. 2) Farmakokinetik Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4-8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus. 3) Farmakodinamik

17

a) Sistem saraf pusat Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mempunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme. b) Sistem Kardiovaskuler c) Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Perubahan hemodinamik

mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid. d) Sistem Pernafasan Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal, depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental. e) Sistem saraf otot Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka. 4) Dosis Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri. a) Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb. b) Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3-5 mg c) Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena. d) Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin. 5) Efek samping Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika

digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis.

Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek samping dapat diatasi dengan flumazenil

18

(Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn sampai 1 mg, dan 0.5 1 mcg/kg/menit berikutnya. 4. Pemulihan Pemulihan atau perawatan pasca anestesi biasanya dilakukan di recovery room. Pasien dapat dikembalikan ke unit perawatan setelah status pasien dianggap stabil. Pengkajian status pasien meliputi (Berman, 2009): a. b. c. d. e. f. g. h. i. Keadekuatan jalan nafas Saturasi oksigen Keadekuatan ventilasi Status kardiovaskular Tingkat kesadaran Status cairan Kondisi area operasi Status cairan Warna kulit

B. Kuretase 1. Definisi Kuretase adalah pembersihan daerah permukaan yang terkena penyakit dengan menggunakan alat kuret (Dorland, 2010). Tindakan kuretase kebanyakan dilakukan di bidang obstetri dan ginekologi sehingga kuretase bisa didefinisikan sebagai serangkaian proses pelepasan jaringan yang melekat pada dinding kavum uteri dengan melakukan invasi dan memanipulasi instrumen (sendok kuret) ke dalam kavum uteri. Definisi kuretase menurut dr. Taufik Jamaan, Sp.OG adalah tindakan medis untuk mengeluarkan jaringan dari dalam rahim. Jaringan itu sendiri bisa berupa tumor,selaput rahim,atau janin yang dinyatakan tidak berkembang maupun sudah meninggal. Dengan alasan medis,tidak ada cara lain jaringan semacam itu harus dikeluarkan.

19

Tindakan kuretase harus didahului pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besar uterus. Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk mengantisipasi terjadinya bahaya kecelakaan, misalnya perforasi.

2.

Indikasi a. Abortus incomplete Abortus incomplete adalah keguguran ketika usia kehamilan < 20 minggu, dengan didapatkan sisa-sisa kehamilan. Kuretase dalam kasus ini dilakukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi karena masih adanya sisa jaringan dalam rahim yang menghambat rahin untuk berkontraksi dengan baik sehingga pembuluh darah pada lapisan dalam rahim tidak dapat tertutup. b. Blighted ova (ketiadaan janin, hanya plasenta yang berkembang) Kuretase dilakukan untuk menghambat pertumbuhan plasenta yang akan berkembang menjadi suatu keganasan. c. d. Dead conceptus (janin mati pada usia kehamilan <20 minggu) Abortus Mola (tidak ada janin, hanya ada plasenta yang bergelembung-gelembung) e. Menometroraghia (perdarahan yang banyak dan memanjang diantara siklus haid). Tindakan kuretase dilakukan untuk menghentikan perdarahan dan mencari penyebab perdarahan, apakah terjadi karena gangguan hormonal atau keganasan

3.

Komplikasi a. b. c. d. e. f. Perdarahan Cerukan di dinding rahim Gangguan haid Infeksi Kanker Perforasi uterus

20

g. h. i.

Mual Pusing Nyeri

C. Abortus inkomplit 1. Definisi Kehamilan adalah suatu proses yang dimulai dari ovulasi sampai persalinan aterm sekitar 280 hari (40 minggu). Kehamilan dibagi menjadi tiga triwulan yaitu : a. b. c. Triwulan pertama antara 0-12 minggu Triwulan kedua antara 12-28 minggu Triwulan ketiga 28-40 minggu dan apabila kehamilan ini berakhir sebelum waktunya maka disebut dengan abortus. (Manuaba, 1998) Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil dilaporkan dapat hidup diluar kandungan memiliki berat badan lahir 297 gram tetapi jarangnya janin yang di lahirkan dengan berat badan dibawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu (Winkjosastro, 2005). Abortus inkomplit merupakan jenis abortus spontan (abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah). Pada kasus abortus inkomplit, hanya sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta. 2. Etiologi Penyebab keguguran sebagian besar tidak di ketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa sebab antara lain : a. Faktor pertumbuhan hasil konsepsi

21

Ini dapat menimbulkan kematian janin dan cacat bawaan yang menyebabkan kematian mudigah pada hamil muda. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah : 1) Kelainan kromosom Gangguan yang terjadi sejak semula pertemuan kromosom terutama ditemukan pada trisomi autosom. 2) Faktor lingkungan endometrium a) Endometrium yang belum siap untuk menerima hasil konsepsi terganggu. b) Gizi ibu kurang 3) Pengaruh dari luar a) Infeksi endometrium, endometrium tidak siap untuk menerima hasil konsepsi. b) Hasil konsepsi dipengaruhi oleh radiasi dan obat

menyebabkan pertumbuhan janin terganggu. b. Kelainan plasenta Endarteritis dapat terjadi dalam villi korialis dan menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi. c. Penyakit ibu Penyakit secara langsung mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan melalui placenta yaitu penyakit infeksi seperti

pneumonia, tifus abdominalis, malaria, syphilis. Toxin, bakteri, virus, atau plasmodium sehinggga menyebabkan kematian janin dan terjadi abortus. d. Kelainan traktus genitalis Retroversio uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus. 3. Patofisiologi

22

Gejala awal yang di timbulkan terjadinya perdarahan dalam desidua basalis yang diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga bagian yang terlepas ini merupakan benda asing dalam uterus. Ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut, oleh karena adanya kontraksi uterus maka akan memberi gejala umum berupa nyeri perut karena kontraksi disertai perdarahan dan pengeluaran seluruh atau sebagian hasil konsepsi. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis belum menembus desidua lebih dalam. Pada kehamilan antara 8 14 minggu villi korialis menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah

janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap 4. Gejala Klinis a. b. c. d. e. Amenoroe Perdarahan pervaginam Sakit perut dan mules-mules Tes kehamilan menunjukkan positif Pada pemeriksaan dalam dijumpai gambaran berupa : 1) Kanalis servikalis terbuka kadang tidak 2) Dapat diraba jaringan dalam rahim atau kanalis servikalis. 5. Klasifikasi dan Diagnosis Abortus harus diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat, rasa mules, kecurigaan tersebut diperkuat dengan

ditentukannya kehamilan muda pada pemeriksaan bimanual dengan tes kehamilan secara biologis atau imunologik. Harus diperhatikan macam

23

dan banyaknya perdarahan, pembukaan serviks dan adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina. Abortus inkomplit diduga bila pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum. Perdarahan pada abortus inkomplit dapat banyak sekali, sehingga menyebabkan syok dan perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan.

Tabel : Diagnosa Perdarahan Kehamilan Muda Perdarahan Bercak hingga sedang Serviks Tertutup Uterus Sesuai dengan usia gestasi Sedikit membesar dari normal Limbung atau Kehamilan Gejala/Tanda Keram perut bawah Diagnosa Abortus Imminens

pinsan, Nyeri perut Ektopik bawah, goyang Massa Cairan Nyeri terganggu porsio, Adneksa, bebas

intraabdominal Tertutup/ Lebih kecil Sedikit/tanpa nyeri Abortus Terbuka usia gestasi perut Riwayat bawah, Inkomplit ekspulsi

hasil konsepsi Sedang hingga banyak Terbuka Sesuai usia Kram kehamilan atau nyeri Abortus

perut bawah belum Insipiens terjadi ekspulsi

hasil konsepsi Kram atau nteri Aborus

24

perut Ekspulsi

bawah, Inkomplit sebagian

hasil konsepsi Terbuka Lunak dan Mual muntah, Kram Abortus bawah, janin, tak mola

lebih besar perut dari ggestasi usia ada

keluar seperti

jaringan anggur

Sumber : Saifuddin, 2002.

6.

Komplikasi Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi, infeksi, dan syok. a. Perdarahan Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dan sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian yang disebabkan oleh perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya. b. Perforasi Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Jika peristiwa ini terjadi penderita perlu diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari luas dan bentuk peforasi, penjahitan luka operasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan lebih luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan. c. Infeksi Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan abortus inkomplit dan lebih sering pada abortus

25

buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih jauh terjadilah peritonitis umum atau sepsis dengan kemungkinan diikuti syok. d. Syok Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat (syok endoseptik).

26

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Nama Umur Berat badan Jenis kelamin Alamat Agama Pekerjaan Pendidikan : Ny. R : 26 tahun : 41 Kg : Perempuan : Susukan, Sumbang : Islam : Ibu rumah tangga : SD

Tanggal masuk RSMS : 21 Maret 2013 : 960891

10. No. CM

B. Anamnesis 1. Keluhan utama Keluar darah dari jalan lahir sejak tanggal 20-3-2013 siang hari 2. Keluhan tambahan Perut kiri bawah terasa nyeri 3. Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke IGD diantar bidan dengan perdarahan dari jalan lahir sejak tanggal 20-3-2013 siang hari. Sejak 3 hari sebelumnya keluar flek kecoklatan. Perut kiri bawah terasa nyeri. Pasien G4P1A2 / HPHT 10-12013 HPL 17-10-2013 UK minggu Riwayat obstetri P1A3/6,5

tahun/spt/bidan/kb pil Riwayat nikah 1x(10tahun) Riwayat Haid teratur/7 hari. 4. Riwayat penyakit dahulu a. b. c. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal Riwayat penyakit DM Riwayat penyakit alergi : disangkal : disangkal

27

d. e. 5.

Riwayat penyakit asma

: disangkal

Riwayat operasi sebelumnya : positif

Riwayat penyakit keluarga a. b. c. d. Riwayat penyakit darah tinggi : positif (nenek dan ibu dari pasien) Riwayat penyakit DM Riwayat penyakit alergi Riwayat penyakit asma : disangkal : disangkal : disangkal

C. Pemeriksaan Fisik 1. Status generalis a. b. c. Keadaan Umum : sedang Kesadaran Vital Sign Tekanan darah Respirasi Nadi Suhu d. Kepala 1) Mata = 110/70 mmHg = 20 kali/menit = 76 /menit, isi dan tekanan penuh = 36,5oC : Mesochepal, simestris, tumor (-) : Konjungtiva anemis -/Sklera tidak ikterik Reflek cahaya +/+ Pupil isokor, (/) 3 mm 2) Hidung : Discharge (-) epistaksis (-) deviasi septum (-) 3) Mulut : Lidah Kotor (-) bibir kering (-) hiperemis (-) pembesaran tonsil (-) mallapati kelas 1 4) Gigi : Gigi palsu (-) : Compos Mentis

28

5) Telinga e. Leher

: Discharge (-) tidak ada kelainan bentuk : Simestris trakea ditengah pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening (-)

f.

Thorax 1) Pulmo a) Simetris kanan kiri, Tidak ada retraksi b) SD : vesikuler (+/+) normal c) ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-) 2) Cor 3) Abdomen : BJ I-II reguler, S1>S2, , bising (-) : Status lokalis

g.

Extremitas 1) Superior 2) Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-) : Edema (-/-), sianosis (-/-) : cukup : hangat : Tidak ada kelainan : lendir-lendir (-) air ketuban (-)

h. i. j. k. 2.

Turgor kulit Akral Vertebrae Vagina

Status lokalis a. Regio Abdomen 1) Inpeksi 2) Auskultasi 3) Palpasi 4) Perkusi 3. Regio genitalia 1) PPV (+) FA (-) 2) Pemeriksaan dalam a) VT 2cm teraba jaringan b) perdarahan sisa : Datar : Bising usus (+) normal : Tinggi fundus Uterus (TFU) tidak teraba : Timpani

29

D. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 21 3 2013) Pemeriksaan darah lengkap : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Hb Leukosit Ht Eritrosit Trombosit MCV MCH MCHC Hitung jenis a. b. c. d. e. Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit : 12.2 g/dl (12 16 g/dl) : 13080 ul (4800 10800 ul) : 33 % (W 37 47 %) : 4.0 jt/ul (W 4.2 5.4 jt) : 245000/ul (150000 450000/ul) : 83.6 fl (79 99 fl) : 30.7 pgr (27 31 pgr) : 36.7 % (33 -37 %) : : 0.1 (2 4%) : 0.1 (0-1%) : 0 (2 5%) : 65.4 (40-70 %) : 10.6 (25 40 %) : 2.8 (2 8%) : 12.1 detik (11.5-15.5 detik) : 29.8 detik (25-35 detik)

10. Monosit 11. PT 12. APTT

E. Diagnosis Klinis Diagnosis prabedah Diagnosis pasca bedah Jenis pembedahan : Abortus inkomplet : post kuretase : Kuretase

F. Kesimpulan Pemeriksaan Fisik Status ASA II

G. Tindakan Dilakukan : Kuretase Tanggal : 22 Maret 2013

30

H. Laporan Anestesi 1. Persiapan Anestesi a. b. 2. Informed concent Stop makan dan minum 6 jam sebelum operasi

Penatalaksanaan Anestesi a. b. c. Jenis anestesi Premedikasi Medikasi : General Anestesi (GA) : Diazepam : Ketalar 30 ml Propofol 50 mg Methergin 0,2mg/ml

3.

Teknik anestesi a. b. c. d. e. General anestesi Respirasi Posisi Inhalasi Jumlah cairan yang masuk : Terkendali : Litotomi : O2 : Kristaloid = 500 cc (RL 1)

4.

Pemantauan selama anestesi : a. Waktu anestesi 1) Mulai anestesi 2) Mulai operasi 3) Selesai operasi b. : 09.35 : 09.35 : 09.45

Cairan yang masuk durante operasi: RL : 500 cc

c.

Tindakan dan pemantauan selama operasi 09.35 : TD (103/83) RL 500 cc Diazepam 10mg/2ml bolus Ketalar 30 ml IV bolus Propofol 50 mg IV bolus Inhalasi 02 Mulai operasi

31

09.40 09.45

: TD (103/83) : TD (103/83) Operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan

09.50 10.00

: pasien sadar : pasien kembali ke ruang perawatan

I.

Prognosa 1. 2. 3. ad vitam ad bonam ad functionam dubia ad bonam ad sanationam ad bonam

32

BAB IV PEMBAHASAN

A. Pre Operatif Persiapan pre operatif yang dilakukan pada pasien dalam kasus ini diantaranya : 1. Persiapan alat Persiapan alat meliputi alat-alat kuretase, monitor tanda vital, alat inhalasi dan alat-alat pendukung lain yang berada di ruang operasi. 2. Persiapan obat Obat yang disiapkan diantaranya : a. b. c. d. 3. Ketalar 30 ml Propofol 50 mg Diazepam 10mg Methergin 0,2 mg

Penilaian dan persiapan pasien Penilaian dan persiapan pasien diantaranya: a. Anamnesis Pada saat anamnesis ditanyakan mengenai identitas, riwayat asma, riwayat alergi obat dan makanan, riwayat penyakit jantung, diabetes melitus dan hipertensi, serta riwayat operasi sebelumnya. Pada kasus ini pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi, penyakit jantung, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien pernah kuret sebelumnya dan tidak ada masalah selama proses anestesinya. Hasil anamnesis mengindikasikan minimalnya kemungkinan penyulit yang akan terjadi pada saat pelaksanaan kuretase. b. c. d. e. Pemeriksaan fisik dan laboratorium Penilaian status pasien (ASA II) Puasa 6 jam pre operasi Persiapan informed consent, suatu persetujuan medis untuk mendapatkan ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien untuk

33

melakukan tindakan anestesi dan operasi, sebelumnya pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post operasi.

B. Durante Operatif Teknik anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan Total Intravenous Anesthesi (TIVA). Teknik ini merupakan teknik yang mudah dan paling disenangi ahli anestesi. Teknik ini merupakan teknik anestesi pilihan pada beberapa beberapa pasien, tetapi penggunaannya harus diawasi karena dosisnya dapat meningkat secara tiba-tiba dan dapat menyebabkan henti nafas (Dobson, 1994). Induksi intravena dilakukan dengan ketamin dan propofol secara bolus melalui karet selang infus. Ketamin merupakan obat yang mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadangkadang tonusnya sedikit meninggi. Kesadaran pasien yang menggunakan ketamin akan pulih setelah 10-15 menit. Efek analgesia akan bertahan selama 40 menit, sedangkan amnesia dapat berlangsung selama 1-2 jam (Zunilda, 2009). Ketamin dapat digunakan dalam proses induksi maupun rumatan pada proses anestesi saat pembedahan. Obat ini banyak digunakan dalam pembedahan singkat (Omoigui, 1997). Propofol lebih sering digunakan sebagai terapi rumatan anestesi dibandingkan dengan induksi. Penyuntikan propofol secara intravena dapat menimbulkan nyeri sehingga biasanya didahului dengan lidokain. Kelebihan propofol dibandingkan obat anestesi lain diantaranya dapat meminimalisasi konfusi dan mual-muntal pasca bedah (Zunilda, 2009). Kombinasi ketamin (ketalar) dan propofol dikenal dengan ketofol. Kombinasi ini sering digunakan pada anestesi jenis TIVA. Ketamin dianggap lebih aman pada sistem pernafasan dibandingkan dengan golongan opioid yang dapat menyebabkan depresi nafas. Kombinasinya (ketamin) dengan

34

propofol dapat menghambat efek gangguan hemodinamik oleh propofol (Badrinath, 2000). Propofol dapat menyebabkan depresi nafas dan sistem kardiovaskuler, sifat sedasi kuat tetapi tidak sebagai analgesik. Ketamin memiliki efek minimal terhadap sistem pernafasan dan kardiovaskuler, serta memiliki sifat analgesik kuat (Willman, 2007). Diazepam yang diberikan setelah induksi sebenarnya berfungsi sebagai obat-obatan premedikasi. Diazepam pada pra anestesia berfungsi sebagai neurolepanalgesia, yaitu suatu bentuk analgesia yang dihasilkan dari penggunaan neuroleptik dan analgesia secara bersamaan yang dapat menurunkan kecemasan, aktivitas motorik dan kepekaan terhadap rangsang sakit sehingga pasien menjadi tenang dan tidak terganggu oleh lingkungan sekitarnya. Efek ini diperlukan untuk mencegah terjadinya emergence phenomenon yang terjadi karena pemberian ketamin (Badrinath, 2000). Diazepam merupakan obat pre medikasi golongan benzodiazepin. Golongan ini menyebabkan tidur, amnesia retrograd dan dapat mengurangi rasa cemas (Zunilda, 2009). Pada pasien ini diberikan cairan infus RL. (ringer laktat) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang akibat puasa.

C. Post Operatif Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang perawatan. Observasi post kuretase dilakukan selama 15 menit dan dilakukan pemantauan tekanan darah. Oksigen tetap diberikan. Setelah pasien sadar dan tidak ditemukan tanda-tanda kegawatan, pasien dibawa kembali ke ruangan.

35

BAB V KESIMPULAN

1. TIVA atau anastesi intravena total adalah suatu teknik yang dirancang untuk menginduksi dan/atau mempertahankan anestesi umum dengan agen atau obat yang dimasukkan secara intravena atau parenteral saja. 2. Kuretase adalah tindakan medis untuk mengeluarkan jaringan dari dalam rahim 3. Abortus inkomplit merupakan jenis abortus spontan (abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, sematamata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah). Pada kasus abortus inkomplit, hanya sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta. 4. Diazepam digunakan pada pra medikasi untuk mengatasi emergence phenomenon yang disebabkan oleh penggunaan ketamin. 5. Propofol digunakan untuk efek sedasi, sedangkan ketamin digunakan untuk analgesik serta mengatasi depresi nafas dan sistem kardiovaskuler karena penggunaan propofol

36

DAFTAR PUSTAKA

Badrinath, S., M.N. Avramov, M.Shadrick, T.R.Witt dan A.D. Ivankovich. 2000. The Use of a Ketamine-Propofol Combination During Monitored Anesthesia Care. International Anesthesia research Society, volume 90(4) : 858-862. Behrman, R.E., R.M Kliegman, dan A.M. Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson : Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Berman, A., S. Snyder, B. Kozier dan G. Erb. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Dobson, M.B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Dorland. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Latief A.L., K.A. Suryadi dan M.R. Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Omoigui, S. 1997. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Syaifuddin A.B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal : Edisi I. YBP-SP, Jakarta. Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta. Willman, E.V. dan G. Andolfatto. 2007. A Prospective Evaluation of Ketofol (Ketamine/Propofol Combination) for Procedural Sedation and Analgesia in the Emergency Department. American College of Emergency Physician, volume 49 : 23-30. Zunilda, D.S. dan Elysabeth. 2006. Farmakologi dan Terapi : Anestetik Umum. Balai Penerbit FKUI, Jakarta

37

LAMPIRAN

38

39

40

You might also like