You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Defisiensi Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan defek enzim herediter dari eritrosit manusia yang paling sering ditemukan.1 Enzim G6PD bekerja pada jalur fosfat pentosa metabolisme karbohidrat.1 Diwariskan secara X-linked, oleh karena itu mutasi pada gen G6PD, ditemukan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan, menyebabkan varian fungsional dengan beberapa biokimia dan fenotipe.1,2 Paling banyak dilaporkan dari Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Asia Tenggara.1 Manifestasi klinis yang paling sering pada defisiensi G6PD adalah penyakit kuning neonatal, dan anemia hemolitik akut, yang biasanya dipicu oleh agen eksogen. Beberapa varian G6PD menyebabkan hemolisis kronis,anemia hemolitik bawaan non-spherocytic. Manajemen yang paling efektif pada defisiensi G6PD adalah mencegah hemolisis dengan menghindari stres oksidatif. Pada makalah ini akan dijelaskan secara umum mengenai defisiensi G6PD dan penatalaksanaannya. Diharapkan para pembaca mendapat gambaran umum mengenai penyakit ini.

Skenario:
Sepasang suami istri datang membawa putrinya berusia 12 tahun dengan keluhan anak ini sering merasa lemas/pingsan jika mencium uap kapur barus (kamfer). Kejadian ini sudah berulang kali. Anaknya juga pernah diberikan obat antibiotik kemudian anaknya menjadi lemas dan pucat.

1.2 Hipotesis
Anak perempuan usia 12 tahun sering merasa lemas dan pingsan jika mencium uap kamfer menderita penyakit defisiensi enzim G6PD.

1.3 Fokus Penelitian


Dari skenario yang diperoleh, maka penelitian makalah difokuskan kepada penyakit hipotiroidisme kongenital dari aspek: Cara pemeriksaan dan anamnesis yang tepat. Mengetahui diagnosis dari penyakit ini. Mengetahui epidemiologi dan etiologi. Mengetahui patogenesis, patofisiologi dan gejala penyakit. Mengetahui komplikasi penyakit Mengetahui penatalaksanaan dan pencegahan penyakit. Prognosis penyakit di masa hadapan.

1.4 Identifikasi istilah yang tidak diketahui


Tidak ada

1.5 Rumusan Masalah


Anak perempuan usia 12 tahun sering merasa lemas dan pingsan jika mencium uap kamfer Pernah diberikan antibiotik kemudian anak menjadi lemas dan pucat

BAB II PEMBAHASAN
Dengan bahan kuliah sebagai garis panduan dan mind mapping yang terhasil setelah diskusi kelompok, aspek yang dibahas adalah: 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 3. Working diagnosis (WD) dan differential diagnosis (DD) 4. Epidemiologi penyakit 5. Etiologi penyakit 6. Patofisiologi dan manifestasi klinis 7. komplikasi 8. Penatalaksanaan terapi 9. Pencegahan 10. Prognosis

2.1 Anamnesis
Anamnesis adalah pengumpulan data status pasien yang didapat dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keadaan pasien.1 Tujuan dari anamnesis antara lain: mendapatkan keterangan mungkin mengenai penyakit pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara dan diagnosa banding, serta membantu menentukan penatalaksanaan selanjutnya.1 Adapun anamnesis meliputi: pencatatan identitas pasien, keluhan utama pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, serta riwayat penyakit keluarga.1 Anak perempuan usia 12 tahun sering merasa lemas dan pingsan jika mencium uap kamfer, maka anamnesis yang dapat dilakukan yaitu: I. Riwayat penyakit terdahulu: 1. Apakah pasien mengalami masalah pembekuan darah? 2. Apakah ada riwayat pasien menderita kuning waktu bayi? 3. Apakah pasien pernah mengalami mengalami jumlah eritrosit yg rendah? 4. Adakah pasien terpapar oksidan lain ?
3

5. Adakah pasien pernah menderita malaria? 6. Adakah pasien merasa gatal-gatal kulit? II. Obat-obatan: 1) Apakah pasien ada alergi obat? 2) Adakah pasien setalh minum obat menjadi kuning atau lemas? 3) Adakah obat yang baru-baru ini diminum sebelum timbul gejala lemas? 4) Pernahkah pasien menjalani pengobatan yang lain? Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan pengawasan terapi? III. Riwayat keluarga: 1) Adakah di keluarga pasien ada yang mengalami kuning saat minum obat? 2) Adakah keluarga pasien yang mengalami alergi obat atau mengalami lemas setelah minum obat? 3) Adakah keluarga pasien merasa lemas setelah mencium bau kamfer? 4) Kalau ada digambarkan pohon keluarga pasien

2.2 Pemeriksaan Fisik


Kesadaran Dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Bila perlu, tingkat kesadaran boleh diperiksa dengan memberikan rangsang nyeri. Tingkat kesadaran terdapat beberapa tahap : 1. Kompos mentis : sadar sepenuhnya terhadap diri dan lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaaan dengan baik 2. Apatis : pasien tampak segan dn acuh tak acuh terhadap lingkungannya 3. Delirium : penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, dan meronta-ronta 4. Somnolen : mengantuk yang masih dapat pulih penuh apabila dirangsang tetapi akan tertidur kembali apabila rangsangan dihentikan.

5. Supor (stupor) : keaadaan mengantuk yang dalam. Masih boleh dibangunkan dengan rangsangan yang kuat tetapi tidak terbangun dengan sempurna dan kemampuan memberikan respon secara verbal juga menurun 6. Semi-koma (koma ringan) : penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon secara verbal tetapi refleks masih baik walaupun tidak dapat dibangunkan sama sekali 7. Koma : penurunan kesadaran yang sangat dalam yang tidak ada gerakan spontan atau respon terhadap nyeri.2,3 Tanda-tanda vital Suhu : ukuran diambil menggunakan termometer demam dan tempatnya meliputi rektum, mulut atau aksila. Grafik suhu terbagi tiga yaitu stadium inkremmenti, stadium fastigium, dan stadium dekrementi Stadium fastigium mempunyai beberapa macam demam berdasarkan dari stadium ini : 1. Febris kontinua apabila variasi suhu < 1C- pneumonia dan demam tifoid 2. Febris remiten apabila variasi suhu 1C 3. Febris intermiten apabila variasi suhu > 1C malaria, tuberkulosis milier dan endokarditis bakterialis 4. Tipus inversus apabila suhu pagi sahaja yang meningkat- tuberkulosis paru dengan prognosis buruk Tekanan darah : diukur dengan menggunakan tensimeter yang dipasang di lengan dan kemudian digunakan juga stetoskop untuk mendengarkan fase Korotkoff 1-4 bagi menentukan tekanan diastolik untuk mendapatkan tekanan nadi. Frekuensi nadi : yang normal berkisar 80 kali/menit, >100 kali/menit disebut takikardi, <60 kali/menit disebut bradikardi. Bila terjadi demam, frekuensi akan meningkat Abdomen : Palpasi hepar o Melakukan palpasi dari regio lower quadran (RLQ) menuju kearah inferior arcus costae dextra saat pasien inspirasi o Melakukan palpasi dari regio suprapubic menuju ke procesus xyphoideus saat pasien inspirasi.

o palpasi nyeri tekan (jika ada, check rebound tenderness), o peranjakan hati untuk memeriksa sekiranya terdapat hepatomegali

Perhatikan dan merasakan : 1. Ukuran pembesaran ( RLQ dan inferior arcus costae dextra) 2. Tepi (tajam atau tumpul) 3. Konsistensi ( lunak, kenyal atau keras) 4. Permukaan (licin atau berbenjol-benjol) Nyeri atau tidak nyeri.2,3

2.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan darah lengkap : CBC memberikan informasi tentang jumlah hemoglobin dan berbagai jenis sel darah, seperti sel darah merah, dalam sampel darah. Penderita thalassemia memiliki lebih sel-sel darah merah sehat lebih sedikit dan kurang hemoglobin dalam keadaan normal. Penderita alfa thalassemia atau beta thalassemia mungkin memiliki sel darah marah lebih kecil daripada sel darah merah normal 2. Darah tepi : Hb rendah dapat sampai 2-3 g% Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis dan sel target. Retikulosit meningkat.

3. Pemeriksaan lain : Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks. Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.4,5

2.4 Working Diagnosis(WD)


Defisiensi G6PD merupakan penyakit dengan gangguan herediter pada aktivitas eritrosit (sel darah merah), di mana terdapat kekurangan enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD). Enzim G6PD ini berperan pada perlindungan eritrosit dari reaksi oksidatif. Karena kurangnya enzim ini, eritrosit jadi lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya hemolisis ditandai dengan demam yang disertai jaundice (kuning) dan pucat di seluruh tubuhdan mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-kecoklatan; ditemukan tanda syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi pernapasan meningkat), dan tanda kelelahan umum.

2.5 Differential Diagnosis(DD)


Anemia sickle cell Penyakit Sel Sabit (sickle cell disease) adalah suatu penyakit keturunan yang ditandai dengan sel darah merah yang berbentuk sabit dan anemia hemolitik kronik . Kelainan bawaan dari penyakit anemia sel bulan sabit ini bersifat resesif, yaitu kedua orangtua membawa sebuah gen abnormal tapi mereka sendiri dalam kondisi sehat.

Gambar 1. Pedigree resesif autosomal.6

Resesif autosomal Gangguan resesif autosomal adalah gangguan yang hanya terjadi pada individu yang mewarisi 2 salinan gen autosom yang abnormal, satu salinan gen abnormal dari masingmasing orang tua. Individu-individu yang terkena penyakit disebut homozigot; dan disebut karier bila heterozigot.7 Telah diketahui lebih dari 1500 penyakit resesif autosomal. Anemia sel sabit merupakan penyakit resesif autosomal.

Prinsip-prinsip dasar pewarisan resesif autosomal adalah: 1. Jika orang tua mempunyai seorang anak yang menderita penyakit ini, maka risiko untuk tiap-tiap anak selanjutnya adalah 1:4. Risiko ini sama untuk anak laki-laki dan anak perempuan. 2. Suatu gangguan resesif autosomal biasanya hanya mengenai individu-individu yang merupakan saudara kandung dalam satu keluarga-transmisi horizontal. Hal ini terjadi karena individu yang menderita hanya dapat meneruskan penyakit apabila ia juga mewariskan satu gen abnormal dari orang tuanya yang lain.7

Gangguan resesif autosomal khususnya yang jarang, menunjukkan peningkatan insiden pada keturunan orang tua yang mempunyai pertalian keluarga (ayah dan ibu ada pertalian keluarga). Diperkirakan hampir semua manusia membawa sekurang-kurangnya satu gen resesif autosomal yang rusak. Karena itu bila antara keluarga dekat menikah maka ada risiko (biasanya kecil) kedua-duanya membawa satu gen abnormal dari leluhurnya yang sama dan meneruskannya dalam dosis ganda kepada seorang anak.

Pada penyakit sel sabit, sel darah merah memiliki hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang bentuknya abnormal, sehingga mengurangi jumlah oksigen di dalam sel dan menyebabkan bentuk sel menjadi seperti sabit. Sel yang berbentuk sabit menyumbat dan merusak pembuluh darah terkecil dalam limpa, ginjal, otak, tulang dan organ lainnya; dan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen ke organ tersebut. Sel sabit ini rapuh dan akan pecah pada saat melewati pembuluh darah, menyebabkan anemia berat, penyumbatan aliran darah, kerusakan organ dan mungkin kematian.8 Penderita selalu mengalami berbagai tingkat anemia dan sakit kuning (jaundice ) yang ringan, tetapi mereka hanya memiliki sedikit gejala lainnya.

Berbagai hal yang menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen dalam darah, (misalnya olah raga berat, mendaki gunung, terbang di ketinggian tanpa oksigen yang cukup atau penyakit) bisa menyebabkan terjadinya krisis sel sabit , yang ditandai dengan: semakin memburuknya anemia secara tiba-tiba nyeri (seringkali dirasakan di perut atau tulang-tulang panjang) demam kadang sesak nafas.

Diagnosis: Anemia, nyeri lambung dan nyeri tulang serta mual-mual pada seorang kulit hitam merupakan tanda yang khas untuk krisis sel sabit. Pada pemeriksan contoh darah dibawah mikroskop, bisa terlihat sel darah merah yang berbentuk sabit dan pecahan dari sel darah merah yang hancur. Hemoglobinopati herediter ini diakibatkan oleh mutasi titik di gen globin, dan berkaitan dengan substitusi valin oleh asam glutamat di posisi ke-6 rantai -globin. Perubahan ini mengubah HbA menjadi HbS. Kira-kira 8% orang negro Amerika adalah individu heterozigot HbS. Fenomena Sickling dengan deoksigenasi, molekul HbS mengalami agregasi dan polimerisasi, menyebabkan sickling sel darah merah. Dalam keadaan homozigot, sel berbentuk sabit yang irreversibel dapat ditentukan dalam darah perifer. Banyak yang mempengaruhi sickling sel darah merah: Jumlah HbS dan interaksinya dengan rantai Hb lain di dalam sel (faktor yang terpenting). Pada heterozigot, hampir 40% Hb adalah HbS, sisanya adalah HbA, yang berinteraksi lemah dengan HbS selama proses agregasi. Oleh
9

karena itu heterozigot mempunyai kecenderungan kecil untuk membentuk sabit dan dikatakan mempunyai ciri sel sabit. Sebaliknya, homozigot mempunyai hanya HbS dan anemia sel sabit yang berkembang sepenuhnya. Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) per sel. Makin tinggi konsentrasi HbS dalam sel, makin besar pula kesempatan terjadinya kontak dan interaksi di antara molekul HbS. Jadi, dehidrasi yang meningkatkan MCHC sangat membantu terjadinya sickling dan dapat menimbulkan oklusi di pembuluh kecil.8 Pada sickle cell anemia, akan terjadi berbagai keadaan yaitu: 1. keadaan hemolitik kronik sel sabit mempunyai membran sel kaku dan tak lentur sehingga mudah mengalami sekuestrasi dan destruksi. Usia rata-rata sel darah merah memendek sampai sekitar 20 hari dan berkorelasi dengan presentasi sel berbentuk sabit yang irreversibel di sirkulasi. 2. Oklusi mikrovaskuler karena ketidak elastisannya dan kecenderungan untuk menempel pada endotel kapiler, sel sabit cenderung menyumbat pembuluh kecil. Cedera hipoksik (infark) yang diakibatkannya penting dalam klinis dan merupakan penyebab utama kelemahan pada anemia sel sabit.

Manifestasi klinis dari sickle cell anemia antara lain: Anemia hemolitik kronik dengan gambaran yang terkait (misalnya hiperbilirubinemia kronik dan kecenderungan membentuk batu empedu). Krisis vaso-oklusif mencerminkan episode nyeri karena nekrosis iskemik, paling sering mengenai tulang, paru-paru, hati, otak, penis, limpa. Pada anakanak, krisis yang nyeri pada tulang dapat menyerupai osteomielitis. Krisis aplastik mencerminkan supresi eritropoiesis sumsum sementara yang dicetuskan oleh infeksi parvovirus; beberapa kasus dapat disebabkan oleh defisiensi folat. Mudahnya terjadi infeksi, khususnya osteomielitis Salmonella, dan infeksi lainnya yang disebabkan oleh organisme berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophillus influenzae. Fibrosis limpa progresif dan kerusakan jaras komplemen alternatif diyakini merupakan predisposisi terhadap infeksi.8

10

Herediter Spherocytosis Herediter spherocytosis merupakan sebuah penyakit anemia hemolitik yang memiliki ciri anemia, jaundice, splenomegali, dan responsif terhadap spelenectomy. Dimana dalam gejala klinis dapat terlihat gejala dari asimptomatik sampai ke anemia hemolitik.9 Pada HS sel-sel merah adalah lebih kecil, lebih bulat, dan lebih mudah rusak daripada yang normal. Sel-sel merah ini mempunyai suatu bentuk yang berbentuk bola daripada berbentuk lempeng cekung ganda (biconcave-disk shape) dari sel-sel merah yang normal. Sel-sel merah yang gemuk bulat ini (spherocytes) adalah secara osmotik mudah rusak dan kurang fleksibel daripada sel-sel merah normal dan cenderung untuk menyangkut pada pembuluh darah yang sempit, terutama di limpa, dan disana mereka pecah (hemolyze) menjurus pada hemolytic anemia.9,10 Penyumbatan limpa dengan sel-sel merah hampir tanpa kecuali menyebabkan pembesaran limpa (splenomegaly). Pemecahan sel-sel merah melepaskan hemoglobin dan bagian heme memberikan kenaikkan pada bilirubin, pigment dari jaundice. Kelebihan bilirubin menjurus pada pembentukan batu-batu empedu (gallstones), bahkan pada masa kanak-kanak. Seringkali juga ada kelebihan beban dari zat besi (iron) yang disebabkan oleh penghancuran yang berlebihan sel-sel merah yang kaya zat besi.9 Hereditary spherocytosis adalah paling umum pada orang-orang keturunan Eropa utara. Di amerika serikat insidennya 1: 3000 sampai 5000. Kalau dihitung dengan yang asimptomatik ataupun rendah, insidennya bisa mencapai 1:2000. HS ini sendiri juga berlaku sebagai autosomal dominan. Lebih 25% dari pasien ini mendemonstrasikan penurunan autosomoal non-dominan, dan keluarga dari pasien memiliki riwayat darah yang normal.10 Dominan autosomal adalah suatu keadaan yang terjadi pada seseorang yang hanya mempunya satu salinan tunggal suatu gen abnormal yang terletak pada salah satu autosom. Lebih dari 3000 keadaan atau sifat yang telah diketahui menunjukjan pewarisan dominan autosomal ini. Beberapa gangguan dominan autosomal seperti polidaktili mungkin sangat ringan. Sedangkan gangguan yang lain seperti osteogenesis imperfekta bentuk letal merupakan kelaianan yang berat. Sferositosis herediter merupakan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan secara dominan autosomal.9

11

Gambar 2. Pedigree dominan autosomal.6

Prinsip-prinsip dasar pewarisan dominan autosomal: 1. Setiap seorang individu dengan gangguan dominan autosomal mempunyai anak, maka kemungkinan untuk mempunyai anak dengan gangguan tersebut adalah 1:2. Jadi keadaan-keadaan ini cenderung diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang memperlihatkan transmisi vertikal dalam satu keturunan. 2. Umumnya, kemungkinan terkena gangguan dominan autosomal pada anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama dan masing-masing dapat meneruskan gangguannya kepada individu yang berlawanan jenis. Hal ini bertentangan dengan pewarisan terkait-seks, yaitu tidak pernah terjadi pemindahan dari laki-laki kepada laki-laki. 3. Jika kedua orang tua menderita penyakit dominan autosomal yang sama dan mempunya seorang anak, maka risiko terhadap anak itu adalah: 1:4 untuk mewarisi kedua salinan gen mutan 1:2 untuk mewarisi satu salinan gen mutan 1:4 untuk tidak mewarisi salinan gen mutan.7

12

Studi-studi laboratorium menunjukan bukti tidak hanya banyaknya spherocytes namun juga jumlah-jumlah yang meningkat dari reticulocytes (sel-sel darah merah yang muda), hyperbilirubinemia (tingkat-tingkat darah yang meningkat dari pigment bilirubin yang membuat kuning karena pemecahan dari sel-sel merah) dan kerusakan osmotik yang mudah dari sel-sel merah yang meningkat.9,10 HS disebabkan oleh suatu kekurangan dari suatu protein yang disebut ankyrin. Ankyrins adalah protein-protein selaput sel (diperkirakan saling menghubungkan secara integral protein-protein dengan kerangka selaput yang berdasarkan spectrin). Ankyrin dari sel-sel darah merah (erythrocytic ankyrin) disebut ankyrin-R atau ankyrin-1. Ia direpresentasikan oleh simbol ANK1.10 Gen-gen HS yang untuk ANK1 telah dipetakan pada kromosom 8 dan, secara khusus, pada chromosome band 8p11.2. HS diwariskan sebagai suatu ciri yang dominan, jadi jika seseorang dengan HS reproduksi, anak-anak mereka (tidak peduli apakah ia seorang anak laki atau anak perempuan) mempunyai suatu kemungkinan sebesar 50:50 mendapat HS.10

2.6 Epidemiologi
Defisiensi G6PD terkait kromosom x, dimana pada umumnya terbanyak bermanifes pada laki-laki. Defisiensi G6PD sangat polimorfik dan memiliki banyak varian, dilaporkan lebih 300 varian telah diketemukan pada manusia. Diperkirakan sekitar 400 juta manusia di seluruh dunia menderita kelainan/defisiensi enzim ini. Frekuensi tertinggi didapatkan pada daerah tropis dan menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia insidennya diperkirakan sebesar 1-14%.

2.7 Etiologi
Puncak utama kepada berlakunya masalah kekurangan enzim G6PD ialah mutasi di dalam gen G6PD. Gen G6PD mengeluarkan arahan supaya enzim G6PD dibentuk. Enzim ini terlibat dengan normal pemprosesan karbohidrat dan ia juga melindungi sel-sel darah merah daripada molekul berbahaya yang dipanggil molekul oksidan relative. Molekul ini merupakan hasil kumuhan sel. Tindak balas kimia yang melibatkan G6PD menghasilkan unsure yang

13

mencegah molekul oksigen reaktif daripada terbina dan terkumpul di dalam sel darah merah sekaligus melindungi sel darah merah daripada pecah.11,13 Setidaknya mutasi di dalam gen G6PD mengurangkan kuantitas enzim G6PD atau menukarkan strukturnya, enzim ini tidak lagi dapat memainkan peranannya sebagai pelindung sel darah merah sekaligus menyebabkan pengumpulan molekul oksigen reaktif yang membawa kerusakan pada sel darah merah. Factor seperti obat-obatan bisa meningkatkan molekul oksigen reaktif dan ini akan menyebabkan sel darah merah dirusakkan lebih cepat dibandingkan penghasilannya. Berkuranngya sel darah merah membawa kepada timbulnya gejala dan tanda anemia hemolitik. Masalah kekurangan enzim G6PD ini ditentukan oleh kromosom resesif X. Gen yang dikaitkan dengan masalah kekurangan enzim ini terletak pada kromosom X. Lelaki hanya mempunyai satu kromosom X. Oleh itu, sebarang perubahan secara mutasi pada kromosom X tersebut sudah cukup untuk mewujudkan keadaan kekurangan enzim G6PD. Berlainan pula dengan perempuan yang mempunyai 2 kromosom X, mutasi perlu berlaku pada kedua-dua kromosom untuk mewujudkan keadaan kekurangan enzim G6PD ini. Oleh kerana faktor inilah, kebanyakan pesakit kekurangan enzim G6PD adalah lelaki.

Gambar 3. Pedigree resesif terkait-X.12

14

Gangguan-gangguan terkait-seks disebabkan oleh gen abnormal pada kromosom X. gangguan ini disebut sebagai pewarisan resesif terkait-X apabila gengguan tersebut tidak bermanifestasi pada perempuan yang hanya mempunyai satu salinan gen abnormal. Telak dikenal lebih dari 300 gangguan resesif terkait-X. Defisiensi G6PD merupakan salah satu gangguan resesif terkait-X.

Prinsip-prinsip dasar pewarisan resesif terkait-X adalah: 1. Setiap seorang karier mempunyai anak, kemungkinan dia meneruskan gen abnormal adalah 1:2, karena itu kemungkinan setiap anak perempuan menjadi karier adalah 1:2 dan disebut pola pewarisan vertikal 2. Bila penderita laki-laki mempunyai anak-anak, maka ia akan meneruskan gen abnormal kesemua anak perempuannya yang akan menjadi karier dan tidak sama sekali kepada anak laki-laki. Perempuan mungkin saja menderita penyakit resesif terkait-seks, akan tetapi jarang sekali kejadiannya.7

2.8 Patofisiologi
Pada sel darah merah orang normal, terdapat enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) yang berguna untuk mengkatalisa oksidasi glukosa-6-fosfat menjadi bentuk 6fosfoglukonat bersamaan dengan pengurangan bentuk teroksidasi NADP+ menjadi bentuk NADPH. NADPH berguna untuk mempertahankan glutation dalam bentuk tereduksi. Glutation tereduksi berperan sebagai pemulung untuk zat-zat oksidatif berbahaya di dalam sel, termasuk sel darah merah. Dengan bantuan glutation peroksidase, glutation tereduksi juga dapat mengubah H2O2 (hidrogen peroksida) ke bentuk H2O (air). Dengan tetap dipertahankannya bentuk glutation tereduksi ini dengan tetap adanya NADPH dari reaksi yang dikatalisa oleh enzin G6PD, maka stress oksidatif yang ada di dalam sel pun dapat diminimalisir sehingga keutuhan membrane sel tetap terjaga.

Pada pasien penderita defisiensi G6PD, pasien mengalami kekurangan enzim G6PD yang berakibat pada keutuhan membran sel darah merah. Defisiensi G6PD disebabkan oleh adanya mutasi gen yang memproduksi enzim G6PD. Pada defisiensi G6PD membran sel darah merah menjadi rentan terhadap stress oksidatif sehingga mudah pecah dan terjadi
15

hemolisis. Di bawah pengaruh obat yang merupakan oksidan, maka akan mempermudah pasien mengalami hemolisis dan memberikan gejala-gejala seperti yang dikeluhkan oleh pasien pada kasus (lemas dan pucat setelah minum obat penurun panas).14

Pucat seringkali dikaitkan dengan anemia.

Menurut definisi, anemia adalah

berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan hematokrit. Pada defisiensi G6PD, terdapat pengurangan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh banyaknya hemolisis yang terjadi sehingga hemoglobin pun keluar. Selain itu penurunan jumlah sel darah merah akibat hemolisis secara langsung juga mengurangi volume sel darah merah dalam 100ml darah (hematokrit) dari ketiga hal tersebut, maka dapat dikatakan pasien menderita anemia. Anemia yang dialami oleh pasien bertipe hemolitik karena anemia yang dialami oleh pasien diakibatkan dari lisisnya sel darah merah.14,16 Berkurangnya hemoglobin mengakibatkan pasien mengalami keadaan hipoksia

(berkurangnya oksigen) karena hemoglobin dalam sel darah merah berguna untuk mengangkut oksigen dan mengantarkannya ke jaringan. Pada hemoglobinemia, respon tubuh adalah melakukan vasokonstriksi untuk memaksimalkan penghantaran oksigen yang ada ke organ-organ vital (tidak termasuk kulit), sehingga akan didapatkan keadaan kulit yang pucat. Bantalan kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut serta konjungtiva merupakan indicator yang lebih baik untuk menilai pucat.15

Pasokan oksigen yang berkurang juga berpengaruh terhadap otot. Otot mengalami hipoksia sehingga metabolismenya untuk menghasilkan energi (ATP) juga berkurang sehingga pasien mengeluhkan lemas. Hemoglobin yang keluar dari sel darah merah akan dipecah menjadi heme dan globin. Heme yang mengandung besi dan porfirin akan dipecah. Besi akan dibawa oleh transferin dalam sirkulasi darah dan disimpan ke dalam sum-sum tulang dan hati untuk dibentuk kembali menjadi pembentuk hemoglobin dalam sel darah merah, sedangkan porfirin akan diubah menjadi pigmen empedu oleh hati. Pigmen yang pertama dibentuk adalah biliverdian yang akan cepat diubah menjadi bilirubin bebas (bilirubin indirek) yang akan berikatan dengan albumin dan dibawa ke hati untuk diubah menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk akan diubah menjadi urobilinogen oleh mikroorganisme usus untuk dibuang melalui faeces (sterkobilinogen) dan direabsorbsi kembali kemudian dibuang melalui urin. Urobilinogen dan sterkobilinogen akan teroksidasi menjadi bentuk urobilin urin dan sterkobilin.16

16

Pada pemecahan sel darah merah yang meningkat, maka pembentukan bilirubin indirek pun akan meningkat tetapi fungsi hati masih normal sehingga sel hati tidak dapat mengekskresi bilirubin secepat pembentukannya. Oleh karena itu kadar bilirubin indirek lebih meningkat daripada bilirubin direk. Bilirubin indirek adalah bilirubin yang tidak larut air sehingga kurang mewarnai jaringan.16

Gambar 4: Patofisiologi defisiensi G6PD4

2.9 Manifestasi klinis


Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya, akan tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik akut dan hal tersebut dapat timbul bila penderita terpapar bahan eksogen yang potensial menimbulkan kerusakan oksidatif.3 Beberapa penyakit yang diketahui berhubungan dengan defisiensi G6PD adalah: hiperbilirubinemia (Kern Ikterik), hemolisis intravaskuler, favism, sindroma hepatitis hemolisis, anemia hemolisis kronik. Gejala klinik timbul 1-3 hari setelah terpapar faktor pencetus, berupa anemia hemolitik akut dengan gambaran khas berupa rewel, iritabel/tampak rewel, letargi, suhu meningkat > 380 C, mual, nyeri abdominal, diare, anemia, ikterik dan kelainan pada urine (hemoglobinuria). Pada pemeriksaan fisik didapat kepucatan yang bervariasi dan takikardi, lien dan hepar biasanya membesar. Pada kasus berat terjadi syok hipovolemik dan gagal jantung.

17

2.10 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan defisiensi G6PD, hemolisis terjadi self-limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari. Pada kasus kritis, identifikasi dan penghentian agen penyebab sangatlah penting, dan penderita harus segera diberikan oksigen serta bed rest. Penting juga mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat mungkin diperlukan transfusi darah.

Pada bayi dengan ikterus neonatorum yang berkepanjangan akibat defisiensi G6PD diletakkan di bawah cahaya khusus yang meringankan ikterus, dapat juga dilakukan exchange transfusion bila terjadi kasus ikterus atau anemia hemolitik berat. 17,18

2.11 Komplikasi
Kernikterus adalah resiko bagi bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia neonatal. Episode hemolisis akut pada anak-anak dapat mengancam jiwa. Varian G6PD yang jarang berhubungan dengan anemia hemolitik kronik; pada pasien ini dapat ditemukan splenomegali dan pembentukan batu empedu.19

2.12 Pencegahan
Pasien harus menghindari berbagai macam kacang-kacangan (favism hanya terjadi pada varian Mediterania). Selain itu pasien harus menghindari obat-obatan seperti obat antimalaria (primaquine, chloroquine, pamaquine, dan pentaquine), nitrofurantoin, nalidixic acid, ciprofloxacin, norfloxacin, methylene blue, chloramphenicol, phenazopyridine, dan analog vitamin K, obat golongan sulfonamid (sulfanilamide, sulfamethoxypyridazine, sulfacetamide, sulfadimidine, sulfapyridine, sulfamerazine, dan sulfamethoxazole),

acetanilid, doxorubicin, isobutyl nitrite, naphthalene, phenylhydrazine, pyridium, dan bahanbahan kimia lainnya. 17,18

Penecegahan terhadap terjadinya post partum hemoragik ini kadang dalam banyak hal masih dapat dilakukan, misalnya :

18

skrining defisien enzim G6PD terhadap setiap bayi yang baru lahir menggunakan metode dengan darah umbilikal dan terbukti cukup efektif.

pencegahan primer yaitu dengan memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat mengenai kelainan enzim G6PD, termasuk berupa konseling genetik pada pasangan resiko tinggi.

2.13 Prognosis
Prognosis bagi penyakit genetic diatas adalah baik walaupun tidak dapat disembuhkan. Penderita masih dapat bertahan hidup dengan melakukan pencegahan terhadap kontak-kontak yang dapat menyebabkan risiko timbul gejala.

19

BAB III PENUTUP


G6PD merupakan satu-satunya enzim yang menyediakan NADPH yang dibutuhkan sebagai kofaktor untuk meredam senyawa oksidan (ROS) didalam sel eritrosit. Kekurangan enzim ini diturunkan secara X-linked resesif dapat menyebabkan hemolisis pada eritrosit dan manifestasi klinis lainnya terkait berkurangnya perlindungan sel terhadap senyawa oksidan. Tata laksana hanya dititikberatkan pada upaya pencegahan, sebagaimana penyakit herediter lainnya.

KESIMPULAN
Hipotesis tidak dapat dipastikan sebelum pemeriksaan penunjang dilakukan. Namun, dari anamnesis yang dilakukan, anak perempuan berusia 12 tahun yang sering merasa lemas dan pingsan jika mencium uap kamfer berkemungkinan menderita penyakit defisiensi enzim G6PD.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson WE, berhman RE, Arwin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Ed 15 EGC. Jakarta: 2000. 1714-16 2. Bickley LS. Guide to physical examination dan history taking. 8th ed. New York : Lippincott; 2003:332-5 3. Hay WW, Levin MJ. Haematologic disorders. Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th Edition. New York : Lange Medical Books/ McGraw Hill Publishing Division ; 2007: 576-90 4. Murray L, Ian BW, Edward HD et al. Anaemia. Oxford handbook of clinical medicine. 8th ed. New York; 2010: 318-21 5. Atul BM, Victor H. haemolytic anaemias IV : genetic defects of haemoglobin-G6PD enzymes. Haematology at a glance. 3rd ed. Oxford; 2009: 42-5 6. Ch. 11: Introduction to Genetics; Ch. 14: The Human Genome. Available at: http://biobook.nerinxhs.org/si301/outlines/si301_ol_genetics.htm. September 27th, 2012. 7. David H., Derek I. J. Dasar-dasar pediatri. Ed 3. Jakarta; EGC: 2008. Hlm 19-22 8. Wang WC. Sickle Cell Anemia and Other Sickling Syndromes. In: Green JP, Foerster J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D. Wintrobes Clinical Hematology. 12th ed. USA:Lippincot Williams & Wilkins. 2009;37:1038-83. 9. Luzzato L. Hemolytics Anemia and Anemia Due to Blood Loss. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrisons principle of internal medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies. 2008;101:652-62. 10. Glader B, Gallagher PG. Hereditary Spherocytosis, Hereditary Elliptocytosis and Other Disorders Associated with Abnormalities of the Erythrocytes Membrane. In: Green JP, Foerster J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D. Wintrobes Clinical Hematology. 12th ed. USA: Lippincot Williams & Wilkins. 2009;31:911-20 11. Robbins dan Cotran. Dasar patologis penyakit. In: Kumar V, Abul K, Abbas, Fausto N. Ed 7. Jakarat: EGC; 2009; p. 640-5 12. Pedigree for colour deficiency. Available at: http://www.mun.ca/biology/scarr/Pedigree_colour_deficiency.html. Accessed on, September 27th, 2012
21

Accessed

on,

13. Carter SM. Glucose-6-phosphate deficiency. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/200390-overview#a0104. Accessed on A, September 15th 2012 14. Baldy CM. Gangguan sel darah merah. In: Price SA, Wilson LM,editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi keenam. Jakarta:EGC ; 2007.p.256-7 15. Price SA, Wilson LM. Gangguan sel darah merah. In : Hartanto H, Susi N, Wulanasari P, Mahanani DA, Editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit volume 2. 6th ed. Jakarta : EGC; 2005; p. 256-7 16. Guyton AC, Hall JE. Hati sebagai suatu organ. In: Rachman LY, Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N, Editors. Buku ajar fisiologi kedokteran. 11th ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 907 17. Glader B. Hereditary Hemolytic Anemias Due to Red Blood Cell Enzyme Disorders. In: Green JP, Foerster J, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, Arber D. Wintrobes Clinical Hematology. 12th ed. USA: Lippincot Williams & Wilkins. 2009;32:933-44. 18. Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-Phosphate Dehidrogenase Deficiency. Lancet. 2008;371:64-4. 19. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current Diagnosis & Treatment: Pediatrics. 19th Ed. USA: McGraw-Hill. 2007: Chapter 28.

22

You might also like