You are on page 1of 2

ASAL PENSYARI’ATAN KURBAN

Oleh Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar


www.almanhaj. or.id

Kurban disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’


Dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala

“Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah” [Al-Kautsar : 2]

Ibnu Katsir Rahimahullah dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang dimaksud dengan an-nadr
adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta dan sejenisnya” [1]

Sedangkan dari sunnah adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Anas
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca basmalah
dan bertakbir” [2]

Demikian juga hadits dari Al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya kurban, lalu beliau
berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata,
‘Aku memiliki inaq laban, ia lebih baik dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan
disembelih dan tidk sah jadz’ah dari seorang setelahmu” [3]

Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapn ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin dari zaman
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang tentang pensyari’atan kurban, dan tidak ada satu
nukilan dari seorang pun yang menyelisihi hal itu. Dan sandaran ijma’ tersebut adalah Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni, ‘Kaum muslimin telah sepakat tentang
pensyariatan kurban [4]. Sedangkan Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan
pendapat bahwa kurban itu termasuk syi’ar-syi’ar agama [5].

HIKMAH PENSYARIATAN KURBAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan kurban untuk mewujudkan hikmah-hikmah berikut.

[1]. Mencontoh bapak kita Nabi Ibrahim “Alaihis Salam yang diperintahkan agar menyembelih buah
hatinya (anaknya), lalau ia meyakini kebenaran mimpinya dan melaksanakannya serta membaringkan
anaknya di atas pelipisnya, maka Allah memanggilnmya dan menggantikannya dengan sembelihan yang
besar. Mahabenar Allah Yang Mahaagung, ketika berfirman.

“Artinya : Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka
fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. Tatkala keduanya telah berserah
diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya) , (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami
panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah mebenarkan mimpi itu’, sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-
benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” [Ash-
Shaaffaat : 102-107]

Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari
pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan Pemberi
kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintahNya.
[2]. Mencukupkan orang lain di hari ‘Id, karena ketika seorang muslim menyembelih kurbannya, maka ia
telah mencukupi diri dan keluarganya, dan ketika ia menghadiahkan sebagiannya untuk teman dan
tetangga dan kerabatnya, maka dia telah mencukupi mereka, serta ketika ia bershadaqah dengan
sebagiannya kepada para fakir miskin dan orang yang membutuhkannya, maka ia telah mencukupi
mereka dari meminta-minta pada hari yang menjadi hari bahagia dan senang tersebut.

HUKUM BERKURBAN

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban menjadi beberapa pendapat, yang paling masyhur
ada dua pendapat, yaitu.

Pendapat Pertama
Hukum kurban adalah sunnah mu’akkadah, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya
tidak berdosa. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf dan yang setelah mereka.

Pendapat Kedua
Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas muslim yang mampu dan tidak musafir, dan berdosa jika
tidak berkurban. Inilah pendapat Abu Hanifah dan selainnya dari para ulama.

Setiap pendapat ini berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab madzhab. Pendapat
yang menenangkan jiwa dan didukung dengan dalil-dalil kuat dalam pandangan saya bahwa hukum
kurban adalah sunnah mu’akkadah, tidak wajib.

Ibnu Hazm Rahimahullah berkata, “Kurban hukumnya sunnah hasanah, tidak wajib. Barangsiapa
meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya, maka tidaklah berdosa [6]

Sedangkan Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang
kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa kurban itu sunnah
bagi orang yang mampu, jika tidak melakukannya tanpa udzur, maka ia tidak berdosa dan tidak harus
mengqadha’nya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kurban itu wajib atas orang yang mampu.
[7]

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang
Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Foote Note

[1]. Tafsir Ibni Katsir (IV/558), Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (I/249) dan Tafsiir Al-Qurthubi (XI/218]
[2]. Hadits Riwayat Bukhari dan Musim lihat Fathul Baari (X/9) dan Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi
(XIII/120).
[3]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim lihat Fathul Baari (X/6) dan Shahihh Muslim bi Syarh An-
Nawawi (XIII/113)
[4]. Al-Mughni (VIII/617)
[5]. Fathul Baari (/3)
[6]. Al-Muhalla (VIII/3)
[7]. Shahiih Muslim bi Syarh An-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua pendapat ini dan perdebatannya
dalam Fathul Baari (X/3), Bidaayatul Mujtahid (I/448), Mughniyul Mubtaaj (IV/282) Majmu Al-Fatawaa
(XXVI/304), Al-Mughni dan Syarhhul Kabiir (XI/94) dan Al-Mughni (VIII/617) dan setelahnya.

You might also like