You are on page 1of 30

BAB I KASUS

I.1. Identitas

Nama Umur

: Ny. B : 77 tahun

Jenis kelamin : P Alamat Agama Suku Masuk RS : Mojorejo, Jenar, Sragen : Islam : Jawa : 17 September 2013

I.2. Keluhan Utama

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas

I.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh sesak napas sejak satu bulan SMRS. Sesak awalnya dirasakan hanya saat beraktifitas berat, namun semakin lama sesak semakin parah. Sesak tidak disertai dengan bunyi. Sesak juga terutama dirasakan saat pasien tidur. Agar sesak berkurang, pasien mengaku tidur dengan dua bantal. Selain sesak, pasien juga mengeluh adanya bengkak di kaki. Dua hari SMRS sesak menjadi semakin parah. Bahkan Pasien juga merasa bengkak di kaki semakin lama semakin membesar. Selain itu pasien mengeluh lemas, lesu, nafsu makan menurun, serta perut terasa sebah. Keluhan belum pernah diobati sebelumnya. Karena merasa khawatir, suami pasien membawa pasien ke IGD rumah sakit.

Anamnesis sistem: Cerebrovakuler : Nyeri kepala (-) pusing berputar (-) Kardiorespirasi : Sesak napas (+) batuk (-) nyeri dada (-) Digesti Urogenital : Sebah (+) BAB (-) mual (-) muntah (-) : BAK normal, nyeri pinggang (-) nyeri suprapubik (-)

Muskuloskeletal: Nyeri sendi (-) keterbatasan gerak (-) Integumentum : Gatal-gatal (-)

I.4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah merasakan keluhan serupa sebelumya. Riwayat mondok juga disangkal. Riwayat DM dan hipertensi juga disangkal. Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat nyeri dada sebelumnya disangkal.

I.5. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien dan suami tidak mengetahui apakah terdapat riwayat keturunan keluarga yang sakit serupa. Riwayat sakit asma di dalam keluarga juga tidak diketahui

I.6. Kebiasaan dan Lingkungan

Riwayat konsumsi makanan berlemak yang berlebih disangkal. Saat masih berusia produktif, pasien bekerja di sawah. Namun karena usia yang sudah lanjut, pasien hanya di rumah dan tidak beraktifitas fisik sama sekali. Pasien juga akhir-akhir mengaku sulit makan.

I.7. Pemeriksaan Fisik

I.7.1. Keadaan Umum : Sesak, kesadaran compos mentis I.7.2. Tanda vital Nadi Nafas : 92x / menit : 28x / menit

Suhu Tekanan darah

: 36,6o C per axillar : 160/90 mmHg

I.7.3. Kepala Mata : CA (+/+), SI (-/-) Hidung : Nafas cuping hidung (-) Mulut : bibir sianosis (-) mukosa bibir kering (-) Leher : JVP meningkat (+) tidak ada pembesaran linfonodi dan kelenjar tiroid

I.7.4. Thorax Pulmo Inspeksi : bentuk dada normal, simetris, massa (-), retraksi otot bantu pernafasan (-), pengembangan dada simetris Palpasi : nyeri (-), fremitus taktil kanan dan kiri sama, pengembangan paru simetris(-) Perkusi : Paru kanan: sonor di seluruh lapang paru Paru kiri : redup di SIC V

Auskultasi :suara dasar vesicular (+ normal/ menghilang) ronki (-/-), wheezing (-/-) Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : Denyut ictus kordis tidak terlihat : Ictus kordis (+), thrill (-) : - batas jantung kanan di linea sternalis dekstra, - batas jantung kiri tidak dapat dinilai - batas jantung atas di linea sternalis sinistra - batas pinggang jantung di linea parasternalis sinistra Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, regular, bising (-)

I.7.5. Abdomen I : Distensi (+) Antara kuadran kanan dan kiri simetris

Tidak terlihat adanya masa Tidak ada jaringan parut A : Peristaltik 12x / menit di 4 kuadran Tidak adanya bunyi bruit di abdomen P : Tidak teraba adanya massa Nyeri tekan epigastrium (+) Tidak ada rigiditas Hati tidak teraba Limpa tidak teraba P : timpani di 4 kuadran

I.7.6. Ekstremitas Oedema di kedua tungkai (+) akral hangat

I.8. Hasil laboratorium

I.8.1. Darah Rutin Hb Hmt MCV MCH MCHC AT AL GDS SGOT SGPT Ureum Kreatinin : 2,1 g/dl : 7,4 % : 78,4 fL : 22,1 : 28,4 : 211.000/L : 5.200 /L : 104 : 29 : 21 : 34,9 : 0,95

I.8.2 Radiologis dan EKG Radiologis : Kardiomegali dan oedem pulmo EKG : Normal Sinus Rhythm

I.9. Diagnosis Congestive Heart Failure NYHA klas fungsional II-`III Anemia

I.10. Terapi O2 2-3 lpm Infus RL 8 tpm Inj. Sohobion 1 amp/24 jam drip Inj. Ondancentron 1amp/8 jam Inj. Furosemid 1 amp/24 jam KSR 1x1 tab Digoxin 2x1 tab Antasida syr 3x1 cth Transfusi PRC 1 colv

I.11. Follow Up

Tanggal

Perjalanan Penyakit

Diagnosis

Pengobatan

18/9/2013 Sesak napas, Hb: 2,1 Nyeri perut bagian uluh hati, Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,8OC

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam

TD: 130/80mmHg R: 30x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo 19/9/2013 Sesak napas, Hb: 2,4 Nyeri perut bagian uluh hati, Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 82x/menit S: 36,8OC TD: 130/70mmHg R: 28x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo 20/9/2013 Sesak napas, Hb: 4,8 Nyeri perut bagian uluh hati, Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 94x/menit S: 36,8 C TD: 110/60mmHg
O

Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab Transfusi PRC 1 colv

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab Transfusi PRC 1 colv

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1

R: 32x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Digoxin 2x1 tab Transfusi PRC 2 colv

21/9/2013 Sesak napas, Hb: 7,4 Nyeri perut bagian uluh hati, Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,8OC TD: 120/80mmHg R: 29x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab Transfusi PRC 1 colv

22/9/2013 Sesak napas, Nyeri perut bagian uluh hati, Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,6OC TD: 130/80mmHg R: 30x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

23/9/2013 Sesak napas, Hb: 9,2 Nyeri perut bagian uluh hati, Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,6OC TD: 100/70mmHg R: 28x/menit

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

24/9/2013 Sesak napas, Nyeri perut bagian uluh hati, Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,6OC TD: 140/80mmHg R: 28x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab Transfusi PRC 1 colv

25/9/2013 Nyeri perut bagian uluh hati, Hb: 10,7 Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,6OC TD: 130/80mmHg R: 24x/menit

Anemia, CHF Infus RL 8 tpm NYHA klas Injeksi sohobion 1

fungsional II- amp/24 jam drip III Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

26/9/2013 Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,6OC TD: 140/70mmHg R: 30x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF Infus RL 8 tpm NYHA klas Injeksi sohobion 1

fungsional II- amp/24 jam drip III Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

27/9/2013 Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,6OC TD: 140/80mmHg R: 24x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn

Anemia, CHF 02 2-3 lpm NYHA klas Infus RL 8 tpm

fungsional II- Injeksi sohobion 1 III amp/24 jam drip Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

28/9/2013 Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,6 C TD: 140/80mmHg R: 24x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo
O

Anemia, CHF Infus RL 8 tpm NYHA klas Injeksi sohobion 1

fungsional II- amp/24 jam drip III Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

29/92013

Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit S: 36,9OC TD: 140/80mmHg R: 22x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF Infus RL 8 tpm NYHA klas Injeksi sohobion 1

fungsional II- amp/24 jam drip III Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

30/9/2013 Perut sebah, kaki bengkak, Nafsu makan menurun Ks: Compos Mentis TV: N: 85x/menit S: 36,6OC TD: 130/70mmHg R: 20x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF Infus RL 8 tpm NYHA klas Injeksi sohobion 1

fungsional II- amp/24 jam drip III Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

1/10/2013 kaki bengkak, Nafsu makan normal Ks: Compos Mentis TV: N: 82x/menit S: 36,6OC TD: 120/70mmHg R: 24x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF Infus RL 8 tpm NYHA klas Injeksi sohobion 1

fungsional II- amp/24 jam drip III Injeksi ondancentron 1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

2/10/2013 kaki bengkak, Nafsu makan normal Ks: Compos Mentis TV: N: 89x/menit

Anemia, CHF Infus RL 8 tpm NYHA klas Injeksi sohobion 1

fungsional II- amp/24 jam drip III Injeksi ondancentron

S: 36,6OC TD: 120/70mmHg R: 20x/menit Kepala: mata CA (+/+) Thorax: Cardiomegali Abdomen: dbn Rontgen thorax: Cardiomegali, oedem pulmo

1 amp/ 8 jam Injeksi Furosemid 1 amp/ 24 jam Antasida sirup 3x1 Digoxin 2x1 tab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia 2.1.1. Definisi Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Definisi anemia itu sendiri adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsi untuk menyediakan oksigen ke seluruh jaringan tubuh.

2.1.2. Kriteria Kadar hemoglobin (Hb) sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal dan keadaan fisiologis tertentu seperti hamil. Cut off point yang umum dipakai untuk kriteria anemia menurut WHO tahun 1968 adalah laki-laki dewasa perempuan dewasa tidak hamil perempuan hamil anak umur 6-14 tahun anak umur 6 bulan- 6 tahun hemoglobin < 13 g/dl, hemoglobin < 12 g/dl, hemoglobin < 11 g/dl, hemoglobin < 12 g/dl, hemoglobin < 11 g/dl.

Adapun klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah ringan sekali ringan sedang berat Hb 10 g/dl-cut off point Hb 8 g/dl-Hb 9,9 g/dl Hb 6 g/dl-Hb 7,9 g/dl Hb < 6 g/dl

2.1.3. Klasifikasi Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut mana kita melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut. Klasifikasi yang paling sering dipakai adalah klasifikasi menurut morfologiknya, yang berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit. Berikut adalah klasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit:

A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl; MCH < 27 pg) 1. anemia defisiensi besi 2. thalassemia 3. anemia akibat penyakit kronik 4. anemia sideroblastik B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg) 1. anemia pascaperdarahan akut 2. anemia aplastik-hipoplastik 3. anemia hemolitik 4. anemia akibat penyakit kronik 5. anemia mieloptisik 6. anemia pada gagal ginjal kronik 7. anemia pada mielofibrosis 8. anemia pada sindrom mielodisplastik 9. anemia pada leukemia akut C. Anemia makrositer (MCV > 95 fl) 1. megaloblastik: anemia defisiensi folat dan anemia defisiensi vitamin B12 2. nonmegaloblastik: anemia pada penyakit hati kronik, anemia pada hipotiroid, dan anemia pada sindrom mielodisplastik

2.1.4. Patofisiologi Gejala Anemia Pada dasarnya gejala anemia timbul karena: 1. anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah ke jaringan. 2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia. Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut sebagai sindrom anemia. Gejala anemia biasanya timbul apabila hemoglobin menurun kurang dari 7 atau 8 g/dl. Berat ringannya gejala tergantung pada: 1. Beratnya penurunan kadar hemoglobin 2. Kecepatan penurunan hemoglobin 3. Umur: adaptasi orang tua lebih jelek, gejala lebih cepat timbul

4. Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya.

2.1.5. Gejala Anemia Gejala anemia bervariasi, pada umunya dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: 1. Gejala umum anemia Gejala umum anemia disebut juga sindrom anemia yaitu gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai berikut: a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpatasi, takikardi sesak waktu kerja, angina pectoris dan gagal jantung. b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas. c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus. 2. Gejala khas masing-masing anemia a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue) c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi 3. Gejala akibat penyakit dasar Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul karena penyakitpenyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejal seperti: pembesaran parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulka gejala berupa perubahan sifat defekasi, feses bercampur darah atau lendir.

2.1.6. Laboratorium

Pemeriksaan

laboratorium

merupakan

penunjang

diagnostik

pokok

dalam

diagnosis

anemia.Pemeriksaan yang dilakukan, meliputi : 1. Tes penyaring Tes ini dikerjakan pada tahap awal setiap kasus anemia. Dengan pemeriksaan ini,dapat dipastikan adanya anemia dan bentuk morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi : Kadar hemoglobin Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) Apusan darah tepi

2. Pemeriksaan rutin Untuk mengetahui kelainan pada leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yangdikerjakan : LED Hitung diferensial Hitung leukosit

3. Pemeriksaan sumsum tulang Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitif meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnyatidak memerlukan pemeriksaan sumsum tulang. 4. Pemeriksaan khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya : Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (total iron binding capacity),saturasi transferin dan feritin serum Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12 Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb Anemia pada leukimia akut : pemeriksaan sitokimia Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang

5. Pemeriksaan non-hematologik Pemeriksaan yang diperlukan adalah : Faal ginjal Faal endokrin

Asam urat Faal hati Biakan kuman, dll.

2.1.7. Terapi

Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan 2. terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien Jenis-jenis terapi yang diberikan adalah: 1. Terapi gawat-darurat Untuk mengatasi kasus gawat darurat pada anemia seperti pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah ( packet red cell). 2. Terapi khas untuk masing-masing anemia Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai. 3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik. Jika tidak, anemia akan kambuh kembali. 4. Terapi ex juvantivus Terapi ini terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini berhasil berarti diagnosis dapat dilakukan. Pada pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasidengan ketat. Jika terdapat respons yang baik terapi diteruskan,tetapi jika tidak terdapatrespons maka harus dilakukan evaluasi kembali.

2.2 Congestive Heart Failure (CHF) 2.3 Definisi Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh (Nettina, 2002). Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk menggambarkan keadaan secara patofisologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan metabolism jaringan dari berbagai sistem organ di dalam tubuh. 2.4 Epidemiologi Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang sangat luas baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan jumlah penderita gagal jantung mencapai beberapa juta, sedangkan di USA sekitar 4,8 juta dan rata-rata 400.000-700.000 penderita baru tiap tahunnya. Diperkirakan hampir 23 juta orang di dunia ini menderita gagal jantung. Angka kematian di rumah sakit akibat gagal jantung akut mencapai 5-8% dan angka kematian 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit mencapai 60%. Dari tahun 1990 sampai dengan 1999 jumlah penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit meningkat dari sekitar 810.000 menjadi lebih dari 1 juta dimana gagal jantung sebagai diagnose primer dan dari 2,4 juta menjadi 3,6 juta baik sebagai diagnose primer atau sekunder (Cleland, 2001) Jumlah kematian akibat gagal jantung baik primer maupun sekunder meningkat sampai 6 kalinya dalam kurun waktu 40 tahun belakangan ini, pada gagal jantung derajat ringan risiko kematian setiap tahunnya meningkat menjadi derajat yang lebih tinggi dari 5%-10% menjadi sektiar 30%-40% (Cleland, 2001).

2.5 Etiologi Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati jantung, defek katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab spesifik gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru, dan PPOK (Corwin, 2001). Berikut adalah etiologi gagal jantung akibat etiologi penyebabnya: Pengisian volume yang abnormal: Inkompetensi aorta Inkompetensi mitral Inkompetensi trikuspidal Overtransfusi Pirau kiri ke kanan Hipervolemia sekunder Tekanan pengisian yang abnormal: Stenosis aorta Hipertrofi Idiopatik Stenosis Subaorta Koarktasio aorta Hipertensi Disfunsi miokard: Kardiomiopati Miokarditis Penyakit arteri koroner Iskemik Infark Disritmia Presbikardia Gangguan pengisian Stenosis mitral Stenosis tricuspid Tamponade jantung

2.6 Patofisiologi Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankna cardiac output (volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit). Cardiac output dipengaruhi oleh perputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup. Mekanisme kompensai meliputi 1). Respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor, 2) Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume, 3) vasokontriksi arteri renal dan aktivitas sistem rennin angiotensin, 4) respon-respon terdap serum sodium dan regulasi ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk menentang peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri koronaria, menurunkan cardiac output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium. Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain, apabila kebutuhan oksigen tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia, sehingga kontraktilitas berkurang. Hipertensi sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertropi dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan mengalami hipertropi dan melemah. Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium kiri, lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka darah akan mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung. Kenaikan tekanan vena pulmo mengakibatkan terjadinya transudasi cairan dari kapiler ke dalam jaringan alveoli dan hal ini menyebabkan sesak napas. Pegurangan curah jantung dan volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal. Pengaktifan sistem saraf simpatik dan sistem angiotensin menyebabkan vasokonstriksi arteriola dan pemintasan aliran darah

menjauhi kortek perifer. Jadi kadar filtrasi glomeruli seiring dengan peningkatan reabsoprsi tubuli proksimal dan keduanya menyebabkan retensi garam dan air. Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, terjadi dilatasi dari ruang, peningkatan volume dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel dan peningkatan tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena kava dan dapat diketahui dengan peningkatan pada tekanan vena jugularis. Retensi natrium dan air dapat terakumulasi pada rongga abdominal akibat peningkatan tekanan intravaskuler yang mendorong cairan keluar dari sirkulasi portal, yang dikenal sebagai ascites. Hal ini menimbulkan manifestasi seperti mual, muntah, atau anoreksia. 2.7 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal, batuk iritasi, oedema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama gallop, crakles paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai dengan curah jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, dependen disritmia, penurunan bunyi napas.

Pemeriksaan penunjang untuk CHF dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah: o EKG: Hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis dan iskemia o Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi struktur katup atau area penurunan kontraktilitas ventrikuler. o Rontgen dada: dapat menunjukkan perbesaran jantung, bayangkan mencerminakan dilatasi/hipertropi bilik o Enzim hepar: meningkat dalam gagal/kongestif hepar o Elektrolit: mungkin berubah karena penurunan fungsi ginjal o Analisa gas darah: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan atau hiposemia o BUN: peningkatan BUN menandakan penurunan fungsi ginjal o Kreatinin: Peningkatan merupakan indikasi gagal jantung Kriteria Framingham untuk diagnosis CHF adalah sebagai berikut: Kriteria Mayor Paroksismal nocturnal dispnea Distensi vena leher Kardiomegali pada gambaran radiologis Edema paru akut Ronki paru Gallop S3 Refleks hepatojugular Didapatkan edema paru, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi Peninggian tekanan vena jugularis Kriteria Minor Edema tungkai bilateral Batuk malam hari Sesak napas saat beraktifitas normal Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Dispnea deffort Takikardia (>120/menit) Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan ditambah dengan dua gejala minor. New York Heart Association (NYHA) menetapkan klasifikasi sesak napas berdasarkan aktifitas: Derajat I : Tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa Derajat II : Timbul gejala bila melakukan aktifitas fisik biasa Derajat III: Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan Derajat IV : Timbul gejala pada saat istirahat 2.8 Penatalaksanaan 2.8.1 Terapi Medikamentosa Obat yang mempengaruhi kerja angiotensin II Gagal jantung fase kompensata terjadi akibat aktifitas baik sistem simpatis maupun sistem rennin angiotensin aldosteron, disini angiotensin II dan aldosteron merupakan respon neuro-humoral yang mengakibatkan gangguan pada jantung, sehingga sesudah sewajarnya diperlukan agen yang mampu menghambat aktifitas keduanya. ACE adalah suatu zat yang diperlukan dalam konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II di dalam sistem RAA. Sistem ini juga berpengaruh terhadap hipertensi, namun yang lebih penting lagi adalah efek remodeling pada target organ sehingga menimbulkan gangguan fungsi target organ. Diuretika Diuretika dianjurkan diberikan pada semua gagal jantung kongestif dimana agen ini lebih bersifat simptomatis daripada proteksi di organ target. Pada gagal jantung kongestif loop diuretika (furosemid) lebih dianjurkan dibandingkan golongan tiazid . Namun demikian pemakaian lama diuretika jenis ini dapat mengakibatkan aritmia yang ganas. Sebaliknya kombinasi furosemid dengan spironolakton (diuretic hemat kalium) tidak meningkatkan risiko aritmia ganas. Bahkan spironolakton direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung berat (NYHA III-IV) guna memperbaiki baik angka kesakitan maupun angka kematian.

Penghambat Beta Pada masa yang lalu penghambat beta merupakan kontraindikasi pada semua klas fungsional gagal jantung dan telah dibuktikan dapat menurunkan baik angka kematian maupun angka kesakitan pada gagal jantung. Pada penelitian CIBIS II, penambahan bisoprolol pada terapi dengan diuretika dan penghambat ACE pada pengobatan penderita gagal jantung dapat menurunkan angka kematian oleh sebab apapun sebesar 32%, kematian mendadak 45%, masuk rumah sakit 29% dengan tanpa efek samping yang berarti. Namun demikian beberapa keadaan seperti asma bronkiale dan bradikardi tidak dianjurkan pemberian penghambat beta. Digitalis Dahulu digitalis merupakan indikasi utama pada pengobatan gagal jantung, akan tetapi akhir-akhir ini sudah tidak merupakan indikasi utama walaupun masih bisa digunakan sebagai tambahan terapi pada penderita gagal jantung yang dengan pemberian obat konvensional masih belum membaik. Saat ini digitalis lebih dipakai untuk tujuan mengontrol frekuensi ventrikel yang terlalu cepat baik pada atrial takikardi, flutter, maupun fibrilasi. Agen anti aritmia Pada umumnya anti aritmia dipakai pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi dimana respon ventrikelnya sangat cepat. Disini fungsi anti aritmia hanyalah mengontrol frekuensi ventrikel sehingga masa diastolnya lebih panjang oleh karenanya isi ventrikel saat diastole makin besar dan strok volume akan meningkat. Anti aritmia yang paling sering dipakai adalah amiodaron, namun amiodaron ini punya efek toksik pada paru, hepar, dan tiroid dan juga mempunyai efek inotropik negative sehingga tidak tepat untuk gagal jantung berat. Anti koagulan Pemberian anti koagulan warfarin pada pasien gagal jantung berat dengan irama sinus masih merupakan kontroversi. Oleh karena itu perlu pertimbangan masak terapi anti koagulan pada gagal jantung, dan mesti sangat dipertimbangkan efek dan risikonya. Pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi, warfarin dapat member manfaat menurunkan risiko terjadinya trombo-emboli maupun stroke. Tidak semua pusat rumah sakit yang menangani

gagal jantung memakai anti koagulan secara rutin untuk semua pasiennya dengan gangguan fungsi ventrikel sedang sampai berat dimana tidak ada kontraindikasinya.

2.8.2 Terapi lainnya Ada banyak terapi tambahan yang lain dan biasanya dilakukan di negara maju maupun yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, diantaranya pemasangan defibriliator secara implant, biventricular pacing, ventricular assist devices. Demikian juga tindakan bedah seperti transplantasi jantung, Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), rekonstruksi katup mitral pada disfungsi ventrikel kiri, Ventricular Reduction Surgery.

BAB III PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien adalah seorang wanita usia 77 tahun datang dengan keluhan utama sesak napas. Dari keluhan utama ini, masih terdapat banyak diagnosis banding yang dapat dipikirkan oleh seorang dokter, sehingga diperlukan anamnesis lebih lanjut. Anamnesis lebih lanjut diharapkan dapat mengarahkan diagnosis, apakah sesak napas tersebut merupakan gejala utama dari kelainan paru, jantung, metabolik, atau sebab lainnya. Setelah dilakukan anamnesis kepada pasien, keluhan tersebut mengarah kepada diagnosis gagal jantung. Ini terlihat dari sesak napas pasien yang perjalanannya kronis, dan sering dirasakan ketika pasien tidur malam. Selain itu, kebiasaan pasien yang tidur menggunakan dua bantal dan keluhan kaki bengkak juga mendukung ke arah diagnosis gagal jantung. Meski demikian, diagnosis pasti dapat ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Di samping keluhan utama, pasien mengalami keluhan lain berupa perut sebah, nafsu makan menurun, serta lemas dan lesu. Keluhan ini tergolong tidak khas, terutama jika terdapat pada pasien berusia lanjut. Dari riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan informasi yang cukup untuk mendukung diagnosis. Keluhan pasien berupa lemas dan lesu dapat diarahkan ke diagnosis anemia, mengingat pasien memiliki kebiasaan sulit makan, sehingga intake kurang. Faktor risiko seperti riwayat penyakit jantung, DM, dan hipertensi juga tidak didapatkan dalam kasus ini. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva anemis, di mana hasil ini mendukung data dari riwayat anamnesis bahwa pasien memiliki anemia. Namun perlu pemeriksaan penunjang berupa darah rutin untuk melihat jenis anemia, dan mencari kemungkinan penyebab anemia. Selain itu, dari pemeriksaan fisik juga ditemukan perut pasien yang distensi. Pasien mengaku belum BAB selama beberapa hari namun mengaku masih bisa kentut. Anamnesis lanjutan ini dilakukan saat follow up saat pasien dirawat di bangsal. Sementara dari pemeriksaan fisik thorax tidak didapatkan kelainan. Sedangkan di ekstremitas, ditemukan edema tungkai bilateral.

Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil hemoglobin 2,1 gr/dl, hematokrit 7,4% MCV 78,4 fL dan MCH 22,1. Dari hasil tersebut didapatkan kesimpulan pasien mengalami anemia mikrositik hipokromik. Dari hasil pemeriksaan EKG dan radiologis juga didapatkan hasil yang mendukung ke arah diagnosis CHF, yaitu adanya kardiomegali, oedem pulmo, dan hipertrofi ventrikel kiri. Jika disesuaikan dengan kriteria diagnosis menurut Framingham, maka pasien ini dapat didiagnosis dengan CHF karena telah memiliki 2 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Di mana untuk menegakkan diagnosis, hanya diperlukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor. Adapun jika digolongkan menurut New York Heart Association (NYHA), maka pasien ini dapat digolongkan menjadi CHF dengan kelas fungsional II-III. Yaitu pasien mengalami sesak saat beraktifitas, baik ringan maupun berat. Untuk pengobatan pada pasien ini, telah diberikan transfuse 6 kantong darah, hal ini dilakukan mengingat kadar Hb pasien yang sangat rendah saat masuk ke rumah sakit, yaitu 2,1 gr/dl sehingga diperlukan pengobatan yang cepat untuk mengembalikan Hb ke kadar normal, sehingga dipilih cara yaitu melalui transfusi. Selama perawatan di RS, pasien mengalami perbaikan keluhan yang berhubungan dengan anemia. Adapun untuk pengobatan yang terkait dengan diagnosis CHF, pada pasien ini diberikan diuretic berupa furosemid, inotropik golongan digitalis yaitu digoxin, dan KSR sebagai obat untuk mencegah terjadinya hipokalemia. Selain itu juga diberikan ondancentron dan ranitidine untuk mengobati keluhan pasien berupa rasa tidak nyaman di perut. Pemilihan jenis pengobatan ini termasuk rasional dan tepat pada pasien, sesuai dengan penatalaksanaan pada kasus pasien CHF.

BAB IV KESIMPULAN

1. Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai. Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsi untuk menyediakan oksigen ke seluruh jaringan tubuh. 2. Pada kasus ini, pasien didiagnosis anemia dari gejala klinis yang timbul berupa lemas dan lesu, serta didukung dari pemeriksaan fisik berupa konjunctiva anemis, dan hasil laboratorium: hemoglobin 2,1 gr/dl, hematokrit 7,4% MCV 78,4 fL dan MCH 22,1 sehingga tergolong anemia mikrositik hipokromik 3. Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. 4. Pada kasus ini, CHF ditegakkan dari gejala klinis yang timbul berupa sesak napas saat aktifitas dan tidur di malam hari, perjalanan sesak yang kronis, dan kebiasaan tidur menggunakan dua bantal. Pemeriksaan fisik yang mendukung adalah edema tungkai bilateral, serta pemeriksaan penunjang berupa EKG: LVH, dan radiologis ditemukan kardiomegali dan oedema pulmo 5. Sesuai kriteria Framingham, pada kasus ini terdapat 2 gejala mayor dan 2 minor berupa paroksismal nokturnal dispnea, kardiomegali dari gambaran radiologis, edema tungkai bilateral, serta sesak napas saat beraktifitas normal 6. Kasus ini tergolong CHF NYHA klas fungsional II-III

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA. Task Force on Practice. Guidelines. 2005. Guideline updates for diagnosis and management chronic heart failure in adult. J Am Coll Cardioll 46:111 Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. Cleland JG, Khand A, Clark A. 2001. The heart failure epidemic: exactly how big isit?. Eur Heart Jurnal 22:623-6. Ghanie, Ali.. Gagal Jantung Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Aru W. Sudoyo., Bambang Setiyohadi., Idrus Alwi., Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Interna Publishing. Jilid II Edisi V. 2010:169-183 Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga: Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.

You might also like