You are on page 1of 6

Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di
kepulauan Nusantara.[1] Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad
ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun
671 selama 6 bulan.[2][3] Prasasti pertama mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7,
yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, Sumatra, pada tahun 683.[4] Kerajaan ini
mulai jatuh pada tahun 1200 dan 1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi
kerajaan Majapahit.[1] Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya
berarti "kemenangan".[5]

Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan sejarawan tidak mengetahui
keberadaan kerajaan ini. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh
sejarawan Perancis George Coedès dari École française d'Extrême-Orient.[5] Sekitar tahun
1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di
Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra
Selatan, Indonesia).

Pengaruh Budaya

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India , pertama oleh budaya agama Hindu
dan kemudiannya diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di
Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha
Mahayana.Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu menerusi perdagangan dan
penaklukan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Kerajaan Sriwijaya juga membantu
menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan
Borneo Barat.Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra menerusi Aceh
yang telah disebarkan menerusi perhubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada
tahun 1414 pangeran terakhir Majapahit, Paramisora , memeluk agama Islam dan
berhijrah ke Tanah Melayu di mana dia telah mendirikan kesultanan Melaka. Agama
Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan
Melayu dan Palembang menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1025 ,
Sriwijaya telah diserbu kerajaan Cholas dari India. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah
hilang kuasa monopoli ke atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok -India . Dengan itu,
kemewahan Sriwijaya menurun. Kerajaan Singhasari yang berada di bawah naungan
Sriwijaya melepaskan diri daripadanya. Pada tahun 1088 kerajaan Melayu Jambi, yang
dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya.
Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berangsur hingga 2 abad.

Kehidupan Politik
Dalam kehidupan politik. Raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga,
dengan pusat kerajaannya ada 2 pendapat yaitu pendapat pertama yang menyebutkan
pusat Sriwijaya di Palembang karena daerah tersebut banyak ditemukan prasasti
Sriwijaya dan adanya sungai Musi yang strategis untuk perdagangan.
Sedangkan pendapat kedua letak Sriwijaya di Minangatamwan yaitu daerah pertemuan
sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan yang diperkirakan daerah Binaga yaitu terletak di
Jambi yang juga strategis untuk perdagangan. Dari dua pendapat tersebut, maka oleh ahli
menyimpulkan bahwa pada mulanya Sriwijaya berpusat di Palembang. Kemudian
dipindahkan ke Minangatamwan.
Untuk selanjutnya Sriwijaya mampu mengembangkan kerajaannya melalui keberhasilan
politik ekspansi/perluasan wilayah ke daerah-daerah yang sangat penting artinya untuk
perdagangan. Hal ini sesuai dengan prasasti yang ditemukan Lampung, Bangka, dan
Ligor. Bahkan melalui benteng I-tshing bahwa Kedah di pulau Penang juga dikuasai
Sriwijaya.
Dengan demikian Sriwijaya bukan lagi sebagai negara senusa atau satu pulau, tetapi
sudah merupakan negara antar nusa karena penguasaannya atas beberapa pulau. Bahkan
ada yang berpendapat Sriwijaya adalah negara kesatuan pertama. Karena kekuasaannya
luas dan berperan sebagai negara besar di Asia Tenggara. Kehidupan EkonomiKerajaan
Sriwijaya memiliki letak yang strategis di jalur pelayaran dan perdagangan Internasional
Asia Tenggara. Dengan letak yang strategis tersebut maka Sriwijaya berkembang menjadi
pusat perdagangan dan menjadi Pelabuhan Transito sehingga dapat menimbun barang
dari dalam maupun luar.Dengan demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan
internasional sangat baik. Hal ini juga didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan
bijaksana seperti Balaputradewa. Pada masanya Sriwijaya memiliki armada laut yang
kuat yang mampu menjamin keamanan di jalurjalur pelayaran yang menuju Sriwijaya,
sehingga banyak pedagang dari luar yang singgah dan berdagang di wilayah kekuasaan
Sriwijaya tersebut.
Dengan adanya pedagang-pedagang dari luar yang singgah maka penghasilan Sriwijaya
meningkat dengan pesat. Peningkatan diperoleh dari pembayaran upeti, pajak maupun
keuntungan dari hasil perdagangan dengan demikian Sriwijaya berkembang menjadi
kerajaan yang besar dan makmur.

Kehidupan sosial
Masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya
Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia
Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya
terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta
Budha terkenal yaitu Sakyakirti.Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga
mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti
Nalanda. Dari prasasti ini diketahui pula raja Sriwijaya yaitu Balaputra Dewa mempunyai
hubungan erat dengan raja Dewa Paladewa (India). Raja ini memberi sebidang tanah
untuk asrama pelajar dari Sriwijaya. Sebagai penganut agama yang taat maka raja
Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam
Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya. Dengan
demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Sriwijaya sangat baik dan makmur,
dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan
dalam bidang budaya sampai sekarang dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan
suci seperti stupa, candi atau patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus,
dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).Kebesaran dan
kejayaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran dan keruntuhan akibat serangan
dari kerajaan lain.
• Serangan pertama dari Raja Dharmawangsa dari Medang, Jatim tahun 990 M. pada
waktu itu raja Sriwijaya adalah Sri Sudarmaniwarmadewa. Walaupun serangan tersebut
gagal tetapi dapat melemahkan Sriwijaya.
• Serangan berikutnya datang dari kerajaan Colamandala (India Selatan) yang terjadi
pada masa pemerintahan Sri Sangramawijayatunggawarman pada tahun 1023 dan diulang
lagi tahun 1030 dan raja Sriwijaya ditawan.
• Tahun 1068 Raja Wirarajendra dari Colamandala kembali menyerang Sriwijaya tetapi
Sriwijaya tidak runtuh bahkan pada abad 13 Sriwijaya diberitakan muncul kembali dan
cukup kuat sesuai dengan berita Cina.
• Keruntuhan Sriwijaya terjadi pada tahun 1477 ketika Majapahit mengirimkan
tentaranya untuk menaklukan Sumatera termasuk Sriwijaya.

Masa keemasan

Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 - 850, pemerintahan
Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China
pada tahun 853 dan 871. Kemerdekaan Jambi bertepatan dengan dirampasnya tahta
Sriwijaya di Jawa dengan diusirnya raja Balaputradewa. Di tahun 902, raja baru
mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang
menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya.

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan
keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibn Batutah sangat
terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang
(khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Penurunan

Tahun 1025, Rajendra Chola, raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan
Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan
penaklukannya selama 20 tahun berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya. Meskipun
invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan
hegemoni Sriwijaya yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk
kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 - 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta
besar dari Jambi dan Palembang.[19] Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari
dua duta besar ke China.[19] Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara
bertahap dari Palembang ke Jambi.[19] Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan
Jambi telah menggantikannya sebagai pusat kerajaan.[20]

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[21]yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan
yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan
bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya
memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah
kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra)
dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi;
Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-
tan (Kelantan), Fo-lo-an (?), Ji-lo-t'ing (Jelutong), Ts'ien-mai (?), Pa-t'a (Batak), Tan-ma-
ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-
lin-fong (Palembang), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan
(Srilanka?)[22].

Pada tahun 1288, Singasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan
Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singasari,
memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut
kepada Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377
terjadi pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat
dipadamkan walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.

Dimasa berikutnya, terjadi pengendapan pada sungai Musi yang berakibat tertutupnya
akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan.
Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang di sebarkan
oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, kerajaan Pasai di bagian
utara Sumatra berpindah agama Islam.

Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan kesultanan


Malaka di semenanjung Malaysia.

You might also like