You are on page 1of 25

MODUL NEFRO UROLOGI

SINDROMA NEFROTIK
KELOMPOK 10

Nurul Nurnita Afifah

030.08.187

Oktaria Lutfiani

030.08.188

Oriza Sativa

030.08.189

Paramitha Dwi Putri S

030.08.190

Phoespha mayangsarie

030.08.191

Ratna Harumi Putri

030.08.201

Reinita Arlin Puspita

030.08.202

Reza Praditya S

030.08.203

Ria Evasari Pratiwi

030.08.205

Ricksando Siregar

030.08.206

Rindy Yunita Pratamisiwi

030.08.208

Rini Rossellini Utami

030.08.209

Vida Rahmi Utami

030.08.250

Nur Nadra Bt Mohd Y

030.08.310

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

23 JUNI 2010
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh :

Proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari)

Hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl)

Edema

Hiperlipidemia

Lipiduria

Liperkoagulabilitas

Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan


dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang
disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T
diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi
neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah
perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T. Kelainan
histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif. Penyebab SN sekunder
sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan
jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi
ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif.
Kira-kira dua dari setiap 10.000 orang mengalami sindroma nefrotik. Prevalensi sindroma
nefrotik sulit untuk ditentukan pada orang-orang dewasa karena kondisi ini biasanya merupakan
suatu akibat dari penyakit yang mendasarinya. Pada anak-anak, penyakit ini didiagnosa pada
2

lebih banyak anak laki-laki dibandingkan dengan pada anak-anak perempuan, biasanya antara
usia 2 dan 3 tahun.
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (< 16
tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5
tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada
wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 3050 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000
anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.
Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.
Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk
mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam
regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan
setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan
SN.

BAB II
PEMBAHASAN

LAPORAN KASUS
Seorang anak perempuan, 8 tahun, dibawa ke poli dengan keluhan sembab dan sedikit
kencing. Bengkak sejak 5 hari dimulai dari mata dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Berdasarkan pemeriksaan fisik anak sadar, suhu 38,50C, edem anasarka dan sesak. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil sebagai berikut :
Urinalisa :

creatinin & ureum meningkat (32%)

Protein 3+/4+

Albumin <2,5 g/dl

Micr. hematuria (22%)

Cholesterol meningkat

Protein/cretinin ratio >2

C3 dan C4 normal

Darah :

ANALISIS KASUS
Identitas pasien
Nama : -

Alamat

:-

Umur : 8 tahun

Pekerjaan orang tua : -

Jenis kelamin : perempuan


Pemeriksaan fisik
4

Kesadaran : compos mentis


Suhu : 38,50C febris

Masalah pada pasien :


Berdasarkan analisis dan klinis masalah yang dihadapi pasien ini yaitu :

sembab sejak 5 hari yang kemudian menyebar ke seluruh tubuh

oligouria

demam (febris)

Ganggguan fungsi filtrasi ginjal terhadap hemodinamik :


Pada penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) tekanan darah juga menurun. Akibatnya
terjadi arus balik hemodinamik sehingga ginjal kurang mendapat aliran darah dan menjadi
iskemi. Sebagai kompensasi, iskemi ginjal akan mengaktivasi system rennin-angiotensin. Renin
bekerja mengkatalisis reaksi angiotensinogen menjadi angiotensin I. Kemudian dengan bantuan
ACE (angiotensin I converting enzyme), angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II meningkatkan vasokonstriksi pembuluh darah dan timbul rangsangan ke korteks
adrenal untuk mensekresi hormon aldosteron. Aldosteron menyebabkan retensi Na dan air
sehingga perfusi ke tubuh meningkat akibatnya akan timbul oliguria dan tekanan darah juga
meningkat sehingga aliran darah ke ginjal kembali normal dan menurunkan iskemi.

Diagnosis banding :

Glomerulonefritis akut et causa streptokokusus hemolitikus grup A


Infeksi streptokokus menimbulkan terbentuknya suatu kompleks antigen-antibodi
dalam darah yang bersirkulasi ke dalam glomerulus. Dalam glomerulus kompleks
5

tersebut terperangkap dalam membrane basalis. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi


mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik polimorfonuklear (PMN) dan
trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
membrane basalis glomerulus. Sebagai respons terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel sel endotel. Proliferasi dan kerusakan glomerulus ini menyebabkan
kebocoran kapiler glomerulus sehingga laju filtrasi glomerulus menurun, protein dan
eritrosit dapat keluar ke dalam urin yang mengakibatkan proteinuria dan hematuria.
Hipoproteinemia

mengakibatkan

penurunan

tekanan

onkotik

plasma

yang

memungkinkan transudasi cairan ke ruang interstisial sehinnga timbul edema. Selain itu
penurunan vilume plasma intravaskuler mengaktifkan system RAA, terjadi retensi air dan
natrium yang menyebabkan penurunan volume urin (oliguri).

Sindroma Nefrotik

Congestive heart failure


Pada CHF cardiac output menurun, volume darah menurun mengakibatkan
aktivasi system renin-angiotensin sehingga timbul oliguria.

Malnutrisi (kwashiorkor)
Keadaan kurang protein pada penderita kwashiorkor menimbulkan penurunan
tekanan onkotik plasma, ektravasasi cairan ke interstisiel sehingga timbul edema.

Sirosis hepatis
Pada sirosis hepatis parenkim hepar hilang, digantikan oleh stroma atau jaringan
ikat. Akubatnya sintesa protein menurun, terjadi hipoalbuminemia mengakibatkan
penurunan tekanan onkotik plasma, transudasi cairan ke ruang interstisial sehinnga
timbul edema.

Diare kronik
Pada diare kronik terjadi ekskresi protein yang berlebihan, timbul hipoalbuminemia yang
berakibat penurunan tekanan onkotik plasma, transudasi cairan ke ruang interstisial
sehinnga timbul edema.

Diagnosis Kerja :
Berdasarkan klinis ditemukan pada pasien ini oedema anasarka yang dimulai dari mata,
oliguria, sesak, dan demam. Berdasarkan hal tersebut kelompok kami menentukan diagnosis
kerja pada pasien ini yaitu sindroma nefrotik. Selain itu pasien ini baru berusia 8 tahun, dimana
prevalensi anak-anak yang menderita sindroma nefrotik cukup tinggi.

Pemeriksaan Penunjang :
Untuk memperkuat diagnosis kerja, diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

Pemeriksaan Lab :
o Urinalisa pada pasien ini ditemukan proteinuria 3+/4+, microhematuria (22%),
protein/cretinin ratio >2
o Darah lengkap pada pasien ini ditemukan peningkatan kadar ureum&kreatinin
(32%), hipoalbuminemia (<2,5 g/dl), peningkatan kolesterol, dan C3 serta C4
yang normal.

Selain itu juga diperlukan pemeriksaan penunjang lain sebagai berikut :

LVT SGOT/SGPT

Ro toraks untuk melihat adanya efusi pleura, dengan foto PA dan lateral.

RFT GFR
7

Pemeriksaan Laboratorium yang didapatkan :


Pemeriksaan darah perifer
Hb
Ht
Hitung jenis
Leukosit
Eritrosit
Trombosit
C3
LED
Kolesterol Total

Pada pasien
11,2gr/dl
36vol%
0/2/0/65/30/4
7000uL
4,5juta
280.000uL
Normal
60mm/jam
260mg/dl

Nilai normal
10-16gr/dl
33-38vol%

Urin Lengkap
Protein
BJ
pH
Warna
Bilirubin
Urobilin
Glukosa
Keton
Nitrit

Pada pasien
+4
1040
6,5
Keruh
+
-

Nilai normal
Tidak ada
1003-1030
4,5-8,5
Jernih
+
-

5000-10000uL
150.000-400.000
83-177
0-8mm/jam
<200mg/dl

Mikroskopik Urin
Eritrosit
Leukosit
Kristal
Silinder
Epitel

Nilai pasien
2-4
1-3
-

Nilai normal
0-1
0-3
-

Fungsi ginjal
Ureum
Kreatinin

Nilai pasien
38 mg/dl
1,2mg/dl

Nilai normal
20-40mg/dl
0,5-15mg/dl

Fungsi hati
Albumin
Globulin

Nilai pasien
1,5
3,4

Nilai normal
3,8-5
2,3-3,2

Kesimpulan hasil laboratorium :


Dari hasil pemeriksaan laboratorium dilihat adanya hiperkolesterolemia yang didapatkan pada
kolesterol total yang tinggi dibanding normal.
Titer C3 yang normal menyingkirkan DD dari GNA, dimana pada GNA C3 mengalami
penurunan dan LED yg meningkat menunjukkan adanya penyakit yang sedang berlangsung,
dalam hal ini bias terjadi inflamasi pada tubuh pasien.
Lalu terdapatnya proteinuria yang massif (+4) yang menyebabkan BJ urin naik dan karena
protein itu juga menyebabkan perubahan pada warna urin menjadi keruh
Pada pemeriksaan fungsi ginjal dapat disimpulkan bahwa ginjal pasien masih normal. Pada
pemeriksaan fungsi hati terdapat rasio albumin : globulin (A/G Ratio) berbanding terbalik yang
mengindikasikan adanya liver dysfunction. Pada sindroma nefrotik juga dapat ditemukan A/G
ratio yang terbalik.

Diagnosis Pasti :
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, & pemeriksaan laboratorium yang didapatkan,
kelompok kami merancang diagnosis pasti dari pasien ini adalah Sindroma Nefrotik.

Pada anamnesis didapatkan pasien menderita oligouri. Oedema anasarca yang merupakan ciri
khas dari Sindroma Nefrotik juga didapatkan pada pemeriksaan fisik. Hasil laboratorium yang
juga mendukung diagnosis ini adalah adanya :

Protenuria massif +4
Hiperkolesterolemia

Albuminuria
A/G ratio yang terbalik

Pemeriksaan lanjutan untuk mencari etiologi & konfirmasi diagnosis


Meskipun sudah didapatkan tanda-tanda dari pasien ini yang mengarah ke Sindroma
Nefrotik, suatu biopsi ginjal tertutup bisa digunakan untuk menentukan penyebab utama dan
luasnya penyakit. Anak-anak dengan NS paling sering mengalami penyakit perubahan minimal
dan memberiksan respon yang baik pada steroid. Suatu biopsi harus dipertimbangkan jika pasien
tidak menunjukkan respon yang baik pada steroid dalam waktu 6 8 minggu.
Selain itu, untuk mengkonfirmasi diagnosis, dapat juga dilakukan pemeriksaan urin
kuantitatif 24 jam Esbach untuk menentukan jumlah protein yang sesungguhnya dalam urine,
yang menunjukkan tingkat-tingkat protein dan creatine dalam urine.

Penatalaksanaan :
Terapi yang diberikan pada pasien ini yaitu :
1. Rawat inap di Rumah Sakit
2. Non medikamentosa:
o Dietika

Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi


resiko komplikasi. Pembatasan asupan protein 0,8 sampai 1,0 gr/kg
BB/hari dapat mengurangi proteinuria.

Diet rendah garam untuk mengurangi edema


10

o Edukatif

Diberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien agar obat diminum


secara teratur dan dihabiskan untuk mencegah terjadi kekambuhan

Sebisa mungkin mencegah infeksi karena sistim imun menurun

Edukasi keluarga tentang masalah psikososial yang sedang & akan dialami
oleh pasien

3. Medikamentosa
o Kortikosteroid : Prednison
Dosis 30 mg setiap hari selama 4 minggu, bila terjadi remisi pengobatan
dilanjutkan dengan prednisone 20 mg pagi hari selang sehari (alternating dose ).
Sebelum pemberian kortikosteroid sebaiknya pasien menjalani tuberculin test,
karena prevalensi TB di Indonesia masih tinggi dan pemberian KS akan
menurunkan system imun hingga dapat memperparah penderita TB.
o Obat penurun lemak golongan statin : simvastatin , vastatin, dll
Obat-obat tsb dapat meunurunkan kolesterol LDL, trigliserid dan meningkatkan
kolesterol HDL. Sebaiknya obat golongan statin ini diberikan sebelum terapi
kortikosteroid
o Suportif
Diuretik disertai diet rendah garam, dan tirah baring dapat membantu edema.
(Furosemid oral 1-2 mg/kg/4jam) dapat berikan dan bila resisten dapat diberi
kombinasi dengan tiazid,metalzon,asetolamid.
o Metolazon 0,24-0,4 mg/kg/24jam dalam 2 dosis
o Human albumin 25% 0,25 gr/kgBB/12jam

11

Komplikasi :
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien ini, yaitu :

Malnutrisi

Toksik obat

Infeksi

Relaps
Hipovolemia
Gangguan pertumbuhan &
perkembangan

Prognosis
Berdasarkan keadaan pasien, gejala klinis, dan pengobatan yang adekuat, jika pasien

ini

sensitive terhadap kortikosteroid, maka prognosisnya dubia ad bonam.


Tetapi jika pasien ini mengalami resistensi terhadap kortikosteroid, maka prognosisnya dubia ad
malam.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia
dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal ( Ngastiyah, 1997).
Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa oliguria dengan urin
berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat ( Mansjoer Arif, dkk. 1999).
12

Nephrotic Syndrome merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury
glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik : proteinuria,

hypoproteinuria,

hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema (Suryadi, 2001).


Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh:
Peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria)
Penurunan albumin dalam darah
Edema
Serum cholesterol yang tinggi (hiperlipidemia)
Tanda tanda tersebut dijumpai disetiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler
glomerulus dan menyebabkan peningkatan permiabilitas glomerulus (Sukiane, 2002).

B. Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal
(75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan
laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak
nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan lakilaki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan
pada dewasa 3/1000.000/tahun.

C. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen antibodi. Umumnya etiologi dibagi
menjadi :
1. Sindrom nefrotik primer
Sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri
tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak-anak. Termasuk
dalam sindroma nefrotik perimer adalah sindrom nefrotik congenital, yaitu salah satu
jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
13

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal dan biasanya
resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. Sindrom nefrotik primer yang banyak
menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal.
2.

Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai
sebab yang nyata vseperti efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :

Penyakit metabolic atau congenital : DM, amiloidosis, sindrom alport,


miksidema.

Infeksi : hepatitis B, streptokokus, schistomiasis, lepra, sifilis, AIDS, Malaria


kuartana atau parasit lainnya.

Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun


serangga, bisa ular.

Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.

Penyakit sistemik bermediasi imunologik : SLE, sarkoidosis

Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

Glumerulonefritis akut atau kronik,

Trombosis vena renalis.

Penyakit

sel

sabit,

hiperprolinemia,

nefritis

membranoproliferatif

hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
14

a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara
imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif

Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial


dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat.

Dengan penebalan batang lobular.


Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.

Dengan bulan sabit ( crescent)


Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan
viseral. Prognosis buruk.

Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran
basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis
buruk.

Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.

4. Glomerulosklerosis fokal segmental


Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus.
Prognosis buruk.
D. Patofisiologi
Reaksi antigen antibody menyebabkan permeabilitas membrane basalis glomerulus
meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin
15

lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran klinis sindrom
nefrotik seperti sembab, hiperliproproteinemia dan lipiduria.
Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :

Proteinuri
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan kelainan dasar SN yang merupakan
penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria
belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan
negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran
basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri
glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular).
Perubahan

integritas

membrana

basalis

glomerulus

menyebabkan

peningkatan

permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomerulus disertai peningkatan filtrasi


protein plasma utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri
tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein
plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya
dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size
selective barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh
hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama
oleh hilangnya size selectivity.

Hipoalbuminemi

.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Akibat rendahnya
kadar albumin serum menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan sehingga
16

terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstisial yang menyebabkan edema.


Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu sisim reninangiotensin dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urin menjadi
berkurang (oliguria), pekat, dan kadar natrium rendah. Berikut ini adalah penjelasan lebih
lanjut tentang hipoalbuminemia :
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan ekstra
vascular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah
protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk
meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein
dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia
pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan
beberapa factor :
kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein
losing enteropathy)
Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun
dan mual-mual
Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin ila kompensasi sintesis albumin dalam
hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia
ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak
jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi
natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia
ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular.
Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion
Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air
H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi
17

bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi
natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan
pemberian takaran tinggi diuretic yang mengandung antagonis aldosteron.

Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),

trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal
atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan
katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah, dan hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang
lipase). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid di hati distimulasi oleh penurunan albumin
serum dan penurunan tekanan onkotik.

Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini

berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.

Edema

Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah
dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler. Penurunan sirkulasi volume darah
mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemi
dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin,
aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic
peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan
laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan
edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume
adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP. Beberapa
penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa
18

pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun
secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli,
diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis dinamakan sembab.
Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia.
Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air.
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari
kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
1. Jalur langsung/direk : Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung
menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
2. Jalur tidak langsung/indirek : Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat
menyebabkan penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
3. Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron : Kenaikan plasma rennin dan angiotensin
akan menyebabkan rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron.
Kenaikan konsentrasi hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal
untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.
4. Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines : Kenaikan aktivasi
saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau resistensi
vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat
oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin.

Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen
activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,

19

peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor
zimogen (faktor IX, XI).

Kerentanan terhadap infeksi


Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan karena

hypoalbuminemia, hyperlipidemia atau defisiensi seng.


Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan
sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi
bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga
terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan
peritonitis.

E. Manifestasi Klinik
Gejala utama yang ditemukan adalah :
Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.
Hipoalbuminemia < 30 g/l.
Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan edema
muka, ascxites dan efusi pleura.
Anorexia
Fatique
Nyeri abdomen
Berat badan meningkat
Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis vena dan arteri.
F. Komplikasi
Infeksi sekunder (akibat defisiensi respon imun) terutama infeksi kulit yang disebabkan
oleh Streptokokus, Stafilokokus
Tromboembolisme (terutama vena renal) akibat hiperkoagulabilitas
20

Syok akibat sepsis, emboli pulmo, atau hipovolemia


Peningkatan terjadinya aterosklerosis
Hilangnya protein dalam urin
Dehidrasi
Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi dan perilaku

G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau
seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat
ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi

Pemeriksaan penunjang

Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju
endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik
(>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal). Dapat
juga dilakukan biopsi ginjal.

H. Penatalaksanaan Terapeutik
21

o Diit tinggi protein, diit rendah natrium jika edema berat


o Pembatasan sodium jika anak hipertensi
o Antibiotik untuk mencegah infeksi
o Terapi diuretik sesuai program
o Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang
o Terapi prednison dgn dosis 2 mg/kg/hari sesuai program
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :
a. Remisi lengkap

proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)

albumin serum >3 g/dl

kolesterol serum < 300 mg/dl

diuresis lancar dan edema hilang

b. Remisi parsial

proteinuri <3,5 g/harI

albumin serum >2,5 g/dl

kolesterol serum <350 mg/dl

diuresis kurang lancar dan masih edema

c. Resisten

klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah


pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.

I. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
22

Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
Jenis kelamin laki-laki.
Disertai oleh hipertensi.
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa gambaran
klinis
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang
baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan
relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid

J. Pathways

23

Bawaan

Sekunder

Idiopatik

Sindrom Nefrotik

Gangguan pembentukan
glomerulus

Fokal Segmental

Kurang informasi

MK : Kurang pengetahuan
tentang penyakit

Albumin melewati membran


bersama urine

Hpoalbuminemia

Tekanan koloid turun,


tekanan hidrostatik naik

Retensio cairan di rongga perut

Cairan masuk ke ekstra seluler

Asites

Retensio cairan seluruh tubuh

Gangguan citra tubuh

Edema anasarka
Menkan isi perut

Menekan diafragma

Gangguan imobilisasi

Ekspansi otot pernapasan


tidak optimal

Mual muntah

Nafas tidak adekuat

Nafsu makan turun

Penekanan terlalu dalam


pada tubuh

Pengiriman nutrisi dan


O2 ke jaringan turun

MK : Ganguan nutrisi kurang


dari kebutuhan

MK : Gangguan pola napas

MK : Gangguan cairan
dan elektrolit

Hipoksia jaringan
Daya tahan tubuh turun

Kondisi lemah

MK : Gangguan tumbuh
kembang

MK : Gangguan mobilitas fidsik

MK : Resiko infeksi

MK : Kerusakan integritas kulit

MK : Ganguan perfusi jaringan

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1. Media
Aesculapius.
2. Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam : Soeparman, Soekaton U, Waspadji
S et al (eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282305.
3. Price, Sylvia Anderson & Wilson, Lorraine McCarty, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Buku II, Edisi IV (terjemahan), Penerbit EGC, Jakarta, 1994.
Hal: 832-833.
4. Robbins, Stanley L & Kumar, Vinay, Buku Ajar Patologi II, Edisi IV (terjemahan),
Penerbit EGC, Jakarta, 1995. Hal: 189-194.
5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1990. Hal: 282304
6. Stein, Jay H, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam (terjemahan), Penerbit EGC, Jakarta,
1994. Hal: 171-174
7. Nephrotic Syndrome, available from: http://www.kidney.org/general/news/nephrotic.cfm
8. Nephrotic Syndrome, available from:

http://www.merck.com/pubs/mmanual/section17/chapter224/224c.htm

25

You might also like