You are on page 1of 41

LABORATORIUM

KIMIA FISIKA









Percobaan : KOEFISIEN DISTRIBUSI

Kelompok : III A

Nama :
1. M. Bayu Prasetyo NRP. 2313 030 049
2. Maulana Adi Wibowo NRP. 2313 030 025
3. Vonindya Khoirun N.M. NRP. 2313 030 021

Tanggal Percobaan : 11 Nopember 2013
Tanggal Penyerahan : 18 Nopember 2013
Dosen Pembimbing : Warlinda Eka Triastuti, ST. MT.
Asisten Laboratorium : -



PROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2013

i

ABSTRAK
Koefisien distribusi didefenisikan sebagai suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta merupakan
suatu harga tetap pada suhu tertentu. Tujuan dari praktikum ini adalah Menentukan harga
koefisien distribusi dan jumlah W
n
yang tertinggal dalam campuran larutan NaOH dan
Kloroform dalam HCl setelah 1 kali dan 2 kali ekstraksi.
Metode percobaan koefisien distribusi ini yang pertama adalah membuat larutan 1,25
N NaOH dengan cara mengambil 1,5 gram dan diencerkan dengan aquades sampai 100 ml.
Membuat larutan HCl 0,5 N, lalu diencerkan dengan aquades sampai 100 ml. Mengambil 30
ml larutan 1,25 N NaOH dan memasukannya ke dalam corong pemisah. Kemudian
menambahkan 40 ml klorofom dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan selama 5
menit. Dan mendiamkannya selama 1 menit. Kemudian mengulangi kegiatan no. 1 dan 2.
Kemudian mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing
lapisan tesebut ke dalam Erlenmeyer. Menghitung total NaOH pada lapisan atas dan
klorofom lapisan bawah. Selanjutnya mentitrasinya dengan larutan 0,5 N HCl dengan
menggunakan indicator MO. Kemudian lakukan percobaan kembali dengan mengambil 40
ml larutan 1,25 N NaOH dan memasukannya ke dalam corong pemisah. Kemudian
menambahkan 30 ml kloroform dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan selama 5
menit. Mendiamkannya selama 1 menit. Kemudian mengulangi kegiatan no. 1 dan 2.
Mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing lapisan
tersebut ke dalam Erlenmeyer. Menghitung total NaOH pada lapisan atas dan klorofom
lapisan bawah. Mentitrasinya dengan larutan 0,5 HCl dengan menggunakan indicator MO.
Dari percobaan koefisien disrtibusi ini dapat disimpulkan bahwa pada 1 x ekstrasi
diperoleh volume lapisan atas sebesar 30 ml. Sedangkan pada 2 x ekstrasi diperoleh volume
lapisan atas sebesar 40 ml. Pada volume lapisan bawah diperoleh pada 1 x ekstraksi
sebanyak 30 ml, sedangkan volume lapisan bawah pada 2 x ekstraksi sebanyak 40 ml. Pada 1
x ektraksi diperoleh volume rata-rata untuk lapisan atas sebesar 5,5 ml. Sedangkan pada 2 x
ektraksi diperoleh volume rata-rata untuk lapisan atas sebesar 1,75 ml. Pada 1 x ektraksi
diperoleh volume rata-rata untuk lapisan bawah sebesar 10,95 ml. Sedangkan pada 2 x
ektraksi diperoleh volume rata-rata untuk lapisan bawah sebesar 2,2 ml.
ii

DAFTAR ISI

ABSTRAKS ............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... iv
DAFTAR GRAFIK ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ........................................................................................... I-1
I.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... I-1
I.3 Tujuan Percobaan ...................................................................................... I-1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori ............................................................................................... II-1
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN
III.1 Variabel Percobaan ................................................................................. III-1
III.2 Bahan Yang Digunakan .......................................................................... III-1
III.3 Alat Yang Digunakan .............................................................................. III-1
III.4 Prosedur Percobaan ................................................................................. III-2
III.5 Diagram Alir Percobaan ........................................................................... III-3
III.6 Gambar Alat Percobaan .......................................................................... III-5
BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Percobaan koefisien distribusi ...................................................... IV-1
IV.2 Pembahasan.............................................................................................. IV-2
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... V-1
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ vi
DAFTAR NOTASI ................................................................................................... vii
APPENDIKS ............................................................................................................. viii
LAMPIRAN
- Laporan Sementara
- Lembar Revisi



iii

DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Sel Daniel ....................................................................................................... II-9
Gambar Alat Percobaan ...................................................................................................... III-5


iv

DAFTAR TABEL
Tabel IV 1.1 Hasil Ekstrasi NaOH dengan Kloroform ....................................................... IV-1
Tabel IV.1.2 Hasil Titrasi Lapisan Atas dan Lapisan Bawah dengan HCL ........................ IV-1
Tabel IV.1.3 Densitas Larutan Atas dan Larutan Bawah ................................................... IV-1
Tabel IV.1.4 Hasil Perhitungan K pada Tiap Lapisan ( N X Ekstrasi ) ............................. IV-1
Tabel IV.1.5 Hasil Perhtungan Nilai Wn (n x Ekstraksi) ................................................... IV-2






v
DAFTAR GRAFIK
Grafik IV.1.1 Ekstrasi Kloroform dengan NaOH 1,25N .................................................. IV-2
Grafik IV.1.2 Titrasi Lapisan Atas dan Lapisan Bawah Dengan HCL .............................. IV-3
Grafik IV.1.3 Hubungan n x Ekstraksi dengan Densitas Lapisan Atas
dan Lapisan Bawah ..................................................................................... IV-3
Grafik IV.1.4 Hubungan antara konsentrasi larutan dengan Kd ....................................... IV-4
Grafik IV.1.5 Wn dalam n x Ekstraksi .............................................................................. IV-5











I-1


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Koefisien distribusi didefenisikan sebagai suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta
merupakan suatu harga tetap pada suhu tertentu. Praktikum koefisien distribusi
bertujuan untuk menentukan harga koefisien distribusi dan mencari jumlah W
n
yang
tertinggal dalam campuran larutan NaOH dan Kloroform dalam HCl setelah beberapa
kali ekstraksi serta kami akan memisahkan dua larutan yang tidak bisa tercampur
sempurna (ekstraksi) kemudian larutan tersebut di keluarkan dari corong pemisah dan
membedakannya menjadi larutan atas dan larutan bawah. Tujuan ekstraksi adalah
memisahkan suatu komponen campurannya dengan menggunakan pelarut.
Perbandingan konsentrasi solute (larutan) di dalam kedua pelarut tersebut disebut
tetapan distribusi atau koefisien distribusi.
Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling
bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam campuran dari
dua cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara dua fase sehingga
masing-masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan kedalam pelarut tidak
tercampur dalam jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat
tersebut akan tetap terdistribusikan diantara kedua lapisan dengan konsentrasi tertentu.
Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas
zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut dalam pelarut lain diketahui,
asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Faktor yang
mempengaruhi tetapan distribusi adalah jenis zat pelarut, konsentrasi, jenis zat terlarut
dan suhu.
Pentingnya praktikum koefisien distribusi ini bertujuan agar kita dapat
menghitung nilai k pada pencampuran NaOH dan Kloroform pada waktu tertentu
dengan menggunakan titrasi HCl (Asam Klorida).
I.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara menentukan harga koefisien distribusi larutan NaOH dan Wn
Kloroform dalam HCl?
I.3 Tujuan Percobaan
Untuk mencari harga koefisien distribusi larutan NaOH dan Wn Kloroform dalam
HCl.
II-1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan
dengan bantuan pelarut. Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari
komponen-komponen dalam campuran. Pada proses ekstraksi tidak terjadi pemisahan segera
dari bahan-bahan yang akan diperoleh (ekstrak), melainkan mula-mula hanya terjadi
pengumpulan ekstrak (dalam pelarut). Suatu proses ekstraksi biasanya melibatkan tahap-tahap
seperti : mencampur bahan ekstraksi dengan pelarut dan membiarkannya saling kontak.
Dalam hal ini terjadi perpindahan massa dengan cara difusi pada bidang antarmuka bahan
ekstraksi dan pelarut. Dengan demikian terjadi ekstraksi yang sebenarnya, yaitu pelarut
ekstrak. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut dalam proses ekstraksi
diantaranya sebagai berikut :
a. Selektivitas
Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen-komponen
lain dari bahan ekstraksi. Pada ekstraksi bahan-bahan alami, sering terjadi bahan lain
(misalnya lemak, resin) ikut dibebaskan bersama-sama dengan ekstrak yang diinginkan.
Dalam hal itu larutan ekstrak tercemar, larutan ekstrak tersebut harus dibersihkan,
misalnya diekstrak lagi dengan menggunakan pelarut kedua.
b. Kelarutan
Pelarut hendaknya memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar (kebutuhan
pelarut lebih sedikit).
c. Kemampuan tidak saling tercampur
Pada ekstraksi cair-cair, pelarut tidak boleh larut dalam bahan ekstraksi.
d. Kerapatan
Untuk ekstraksi cair-cair, sedapat mungkin terdapat perbedaan kerapatan yang besar
antara pelarut dan bahan ekstraksi. Hal ini dimaksudkan agar kedua fasa dapat dengan
mudah dipisahkan kembali setelah pencampuran (pemisahan dengan gaya berat)
e. Reaktivitas
Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada
komponen-komponen bahan ekstraksi. Seringkali ekstraksi juga disertai dengan reaksi
kimia. Dalam hal ini bahan yang akan dipisahkan mutlak harus berada dalam bentuk
larutan.
II-2

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
f. Titik didih
Pemisahan ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara penguapan,
destilasi atau rektifikasi, maka kedua bahan itu tidak boleh terlalu dekat dan keduanya
tidak membentuk aseotrop (chyay, 2010).
Pada sistem heterogen, reaksi berlangsung antara dua fase atau lebih. Jadi, pada sistem
heterogen dapat dijumpai reaksi antara padat dan gas atau antara padat dan cairan. Cara yang
paling mudah untuk menyelesaikan persoalan pada sistem heterogen adalah menganggap
komponen-komponen dalam reaksi pada fase yang sama (Tim Dosen kimia, 2010 : 21).
Ekstraksi campuran-campuran merupakan suatu teknik dimana suatu larutan (biasanya
dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada
hakikatnya tidak tercampurkan dengan yang pertama, dan menimbulkan perpindahan satu
atau lebih zat terlarut (solut) ke dalam pelarut kedua itu. Untuk suatu zat terlarut A yang
didistribusikan antara dua fasa tidak tercampurkan a dan b, hukum distribusi (atau partisi)
Nernst menyatakan bahwa asal keadaan molekulnya sama dalam kedua cairan dan temperatur
adalah konstan.
II.2 Koefesien Distribusi
Hukum distribusi atau partisi. Cukup diketahui berbagai zat-zat tertentu lebih mudah
larut dalam pelarut-pelarut tertentu dibandingkan dengan pelarut-pelarut yang lain. Jadi iod
jauh lebih dapat larut dalam karbon disulfida, kloroform, atau karbon tetraklorida. Lagi pula,
bila cairan-cairan tertentu seperti karbon disulfida dan air, eter dan air, dikocok bersama-sama
dalam satu bejana dan campuran kemudian dibiarkan, maka kedua cairan akan memisah
menjadi dua lapisan. Cairan-cairan seperti itu dikatakan sebagai tak-dapat-campur (karbon
disulfida dan air) atau setengah-campur (eter dan air), bergantung apakah satu ke dalam yang
lain hampir tak dapat larut atau setengah larut. Jika iod dikocok bersama suatu campuran
karbon disulfida dan air kemudian didiamkan, iod akan dijumpai terbagi dalam kedua pelarut.
Suatu keadaan kesetimbangan terjadi antara larutan iod dalam karbon disulfida dan larutan
iod dalam air (Vogel. 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi, diantaranya:
1. Temperatur yang digunakan.
2. Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil,
akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.

II-3

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
3. Jenis pelarut.
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan sangat
mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada perhitungan nilai k.
4. Jenis terlarut.
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau higroskopis, maka
akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya mempengaruhi
harga k.
5.Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k.
Harga K berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga K tergantung jenis
pelarutnya dan zat terlarut. Menurut Walter Nersnt, hukum diatas hanya berlaku bila zat
terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atas hanya berlaku untuk komponen
yang sama.
Distribusi larutan antara dua pelarut yang tak larut atau pelarut yang hanya sedikit larut
dapat dilakukan dengan beberapa zat terlarut dimana pasangan pelarut immisiblenya dapat
ditemukan larut sedangkan iodine larut di dalam keduanya. Bila iodine dikocok dalam larutan
yang terdiri dari karbon tetraklorida dan air maka iodine akan terdistribusi Jika suatu sistem
terdiri dari dua fraksi komponen larutan (liquida) yang tidak saling larut satu sama lain atau
immisible, ke dalamnya ditambahkan suatu zat yang larut dalam kedua komponen larutan
tersebut, maka zat tersebut akan terdistribusi dengan sendirinya diantara kedua fasa larutan
yang saling tidak larut tersebut sampai pada akhirnya mencapai kesetimbangan.
Apabila zat terlarut X terdistribusi dalam dua pelarut yang sukar melarut satu dengan
lainnya pada temperatur konstan, maka pada keadaan setimbang ; laju (R
1
) molekul X yang
berpindah dari pelarut A ke pelarut B akan sama dengan laju (R
2
) perpindahan molekul X dari
pelarut B ke pelarut A.

Kelarutan terjadi hanya pada permukaan (interface) molekul, dimana terdapat sifat
kimia yang sama atau mirip antara dua komponen tersebut. Substansi polar cenderung lebih
misible atau lebih soluble ( lebih larut) pada substansi yang polar. Begitu pula dengan
substansi non polar yang cenderung lebih misible pada substansi yang non polar. Sedangkan
antara substansi polar dan non polar kecenderungan misible sedikit bahkan tidak ada
(immisible).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan adalah :
R1 = R2
II-4

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
A
O
A A
a RT G G ln + =
G G RT a
B B
O
B
= + ln
Suhu, konsentrasi, dan tekanan. Jika H positif maka kenaikan temperatur akan
menyebabkan kelarutan bertambah besar, dan jika H negatif maka kenaikan temperatur akan
menyebabkan kelarutan bertambah kecil. Pada gas, umumnya H negatif dimana
kelarutannya akan bertambah besar jika temperatur diturunkan. Pengaruh konsentrasi
terhadap kelarutan umumnya terhadap fluida berwujud liquid, sedangkan pengaruh tekanan
terhadap kelarutan umumnya terhadap fluida berwujud gas.
Kesetimbangan dapat diartikan sebagai keadaan dimana sistem tidak memiliki driving
force untuk melakukan perubahan secara spontan. Dalam hal ini konsentrasi antara dua zat
yang saling tidak larut tersebut adalah konstan. Hal ini terjadi manakala kecepatan molekul
yang terdistribusi dari permukaan satu ke permukaan yang lain (permukaan dua) sama
dengan kecepatan distribusi molekul dari permukaan dua ke permukaan satu.
Salah satu contoh adalah iodine dalam air dan karbon tetraklorida. Air dan karbon
tetraklorida saling tidak ke dalam keduanya. Setelah tercapai kesetimbangan, perbandingan
konsentrasi iodine dalam air dan karbon tetraklorida pada temperatur yang tetap akan sama.
(Maron Lando)
Contoh lain dari sistem kesetimbangan ini adalah : merkuri bromida dalam air dan
benzena. Merkuri bromida mempunyai sifat larut pada air dan benzena. Bila larutan merkuri
bromida dalam air dikocok dengan benzena yang tidak bercampur dengan air, maka merkuri
bromida akan terbagi dalam air dan dalam benzena. Setelah tercapai kesetimbangan,
perbandingan konsentrasi merkuri bromida dalam air dan benzena pada temperatur yang tetap
akan sama.
Kenyataan diatas merupakan akibat langsung dari hukum termodinamika bagi
kesetimbangan. Bila dalam larutan terdapat sepasang pelarut yaitu pelarut A dan B yang
saling immisible, maka energi bebas zat terlarut dalam pelarut A dan B adalah :



dimana :
G
A
O
dan G
B
O
adalah partial molal energi bebas standart zat terlarut dalam pelarut A dan B.
Sedangkan a
A
dan a
B
adalah aktifitas zat terlarut dalam pelarut A dan B.
Dalam keadaan setimbang :

maka dari persamaan 1 dan 2 dapat dinyatakan :
G G
A B
=
II-5

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
ln
a
a
A
B
= konstan
a
a
A
B
= konstan




Karena pada temperatur yang sama harga energi bebas standart untuk tiap zat dalam pelarut
selalu konstan ( G
A
O
danG
B
O
konstan) maka :




Persamaan ( 5 ) adalah pernyataan secara matematika dari Hukum Distribusi Nernst,
dimana hukum distribusi Nernst menyatakan bahwa suatu zat dapat terdistribusi dengan
sendirinya di antara dua pelarut sampai terjadi kesetimbangan dimana rasio perbandingan
aktifitas zat dalam kedua pelarut adalah konstan pada temperatur tertentu.
Apabila larutan tersebut encer atau bersifat ideal maka koefisien aktivitas larutan
bernilai 1 sehingga aktivitas dianggap sama dengan konsentrasi. C, sehingga persamaan (5)
menjadi :

K disini adalah merupakan konstanta dan disebut sebagai koefisien distribusi dari suatu
solut diantara dua pelarut. Konstanta K tergantung pada solute dan pelarut, juga pada suhu
dan cara penulisannya, apakah konstanta ditulis C
A
/ C
B
atau C
B
/ C
A
. Sebagai contoh bahwa
koefisien distribusi tergantung pada suhu adalah koefisien distribusi asam benzoat dalam air
dan kloroform pada suhu 10
o
C adalah 0,564 sedang pada suhu 40
o
C adalah 0,442.
Hal yang penting untuk diketahui adalah hukum distribusi Nernst hanya berlaku bila
zat terlarut tidak mengalami perubahan pada kedua pelarut. Jika solut tersebut terdisosiasi
menjadi ion-ion atau molekul-molekulnya yang lebih sederhana ataupun terasosiasi
membentuk molekul yang lebih kompleks, maka hukum tersebut tidak berlaku untuk
konsentrasi total dalam dua fasa tersebut tapi hanya untuk konsentrasi spesies yang sama yang
hadir dalam kedua pelarut tesebut.
Jadi misalkan suatu zat X yang terlarut dalam dua buah pelarut, dimana pada pelarut
pertama, X tidak mengalami perubahan molekul sedangkan pada pelarut yang kedua X
mengalami perubahan total menjadi X
1
maka koefisien distribusi X bukan merupakan
konsentrasi total dalam kedua fase melainkan konsentrasi total pada pelarut yang pertama
G RT a
A
O
A
+ ln = G RT a
B
O
B
+ ln
G G RT
a
a
B
O
A
O A
B
= ln
K
C
C
A
B
=
II-6

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
dibandingkan dengan konsentrasi X yang tidak mengalami perubahan molekul dalam pelarut
yang kedua. Atau dengan kata lain koefisien distribusi suatu zat merupakan perbandingan
konsentrasi molekul zat yang mempunyai berat molekul yang sama.
Seperti konstanta kesetimbangan yang lain, koefisien distribusi merupakan fungsi
suhu yang dinyatakan dalam persamaan :



Dimana A H
o
adalah panas yang diperlukan untuk memindahkan 1 mol zat tersebut
dari pelarut satu ke pelarut yang lain.
Kesetimbangan heterogen ditandai dengan adanya beberapa fase antara lain
kesetimbangan fisika dan kesetimbangan kimia. Kesetimbangan heterogen dapat dipelajari
dengan 3 cara:
a. Dengan mempelajari tetapan kesetimbangannya, cara ini digunakan untuk kesetimbangan
kimia yang berisi gas.
b. Dengan hukum distribusi nerst, untuk kesetimbangan suatu zat dalam 2 pelarut.
c. Dengan hukum fase, untuk kesetimbangan yang umum (Scribd: Antoni Clasius).
Hal-hal yang mempengaruhi kesetimbangan sebagai berikut:
1. Pengaruh Perubahan Konsentrasi
Perhatikan sistem kesetimbangan sebagai berikut:
2SO
2
+ O
2
2SO
2

Bila ke dalam sistem ditambahkan gas oksigen, maka posisi keseimbangan akan
bergeser untuk menetralkan efek penambahan oksigen.
2. Pengaruh Tekanan
Bila tekanan dinaikkan, keseimbangan akan bergeser ke kiri yaitu mengarah
pada pembentukan NO
2
. Dengan bergesernya ke kiri, maka volume akan berkurang
sehingga akan mengurangi efek kenaikan tekanan.
3. Pengaruh Perubahan Suhu
Reaksi pembentukan bersifat endotermik dan eksotermik. Jika suhu dinaikkan
maka keseimbangan akan bergeser ke kanan, ke arah reaksi yang endotermis sehingga
pengaruh suhu dikurangi (Anonim, 2010).
Satu jenis kesetimbangan heterogen yang penting melibatkan pembagian suatu spesies
terlarut antara dua fase pelarut yang tidak dapat bercampur. Misalkan, dua larutan tak
bercampur seperti air dan karbon tetraklorida dimasukkan ke dalam bejana. Larutan-larutan
d K
dT
ln
=
AH
RT
o
2

II-7

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS

= K

ini terpisah menjadi dua fase dengan zat cair yang kerapatannya lebih rendah, dalam hal ini
air berada pada bagian atas larutan satunya. Contoh penggunaan hukum distribusi dalam
kimia yaitu dalam proses ekstraksi dan proses kromatografi.
Persamaan hukum distribusi:



Dalam kesetimbangan maka,








Dimana:
- GA dan GB : Tenaga bebas zat terlarut dalam pelarut A dan B
- GA
o
dan GB
o
: Tenaga bebas Gibbs A dan B
- K : Konstanta
- T : Suhu
-
A
dan
B
: Konsentrasi A dan B
Bila larutan encer atau zat terlarut bersifat ideal maka aktifasi () dapat diganti c,
hingga:


Dimana:
- K : Koefisien distribusi
- C
A
: Konsentrasi zat terlarut pada pelarut organik
- C
B
: Konsentrasi zat terlarut pada pelarut anorganik
Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas zat
terlarut dalam satu pelarut jika aktivasi zat terlarut dalam pelarut lain diketahui, asalkan kedua
pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien
C



GA = GA
o
+ RT In A
GB = GB
o
+ RT In B

GA = GB
GA
o
+ RT In A = GB
o
+ RT In B
RT In

= GB
o
GA
o

In

= K



II-8

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
distribusi diantranya:
1. Temperatur yang Digunakan
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil,
akibatnya berpengaruh terhadap nilai K.
2. Jenis Pelarut
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka akan
mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut) akibatnya mempengaruhi harga K.
3. Jenis Terlarut
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap/higroskopi, maka akan
mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut) akibatnya mempengaruhi harga K.
4. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi suatu zat yang terlarut makin besar pula harga K.
Harga K berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga K tergantung
jenis pelarutnya dan zat terlarut. Menurut Waiter Nerst, hukum diatas hanya berlaku bila zat
terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atas hanya berlaku unuk komponen
yang sama.
Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan penentuan
tetapan kesetimbangan. Dalam laboratorium ekstraksi dipakai untuk mengambil zat-zat
terlarut dalam air dengan menggunakan
pelarut-pelarut organik yang tidak bercampur seperti eter, CHCl
3
, CCl
4
, dan benzene.
Dalam industri ekstraksi dipakai untuk menghilangkan zat-zat yang tidak disukai
dalam hasil, seperti minyak tanah, minyak goreng, dsb.
Hukum distribusi Nerst ini menyatakan bahwa solut akan mandistribusikan diri
diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur, sehingga setelah kesetimbangan distribusi
tercapai, perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan
merupakan suatu tetapan tang disebut koefisien distribusi (KD), jika di dalam kedua fasa
pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi apapun. Akan tetapi, jika solut didalam kedua fasa pelarut
mengalami reaksi-reaksi tertentu seperti asosiasi, disosiasi, maka akan lebih berguna untuk
merumuskan besaran yang menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam
tiap-tiap fasa, yang dinamakan angka banding distribusi (D), contoh dalam penggunaan
koefisien distribusi dalam teknik kimia yaitu dapat dilihat pada aplikasi sel elektrik (Scribd:
Antoni Clasius). Dimana dilihat pada gambar berikut:
II-9

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS

Gambar I I .1.1 Sel Daniel
Pada sel elektrolit mengalir dari anoda tembaga ke katoda seng. Hal ini akan
menimbulkan potensial antara kedua elektroda. Perbedaan potensial akan mencapai
maksimum ini dinamakan GGL sel atau E
sel
. Nilai E
sel
bergantung pada berbagai faktor. Bila
konsentrasi larutan seng dan tembaga adalah 1,0 M dan suhunya 298
o
K (25
o
C. E
sel
berada
dalam keadaan standart dan diberi simbol E
o
sel.
Salah satu faktor yang mempengaruhi E
sel
adalah konsentrasi. Persamaan yang
menghubungkan konsentrasi dengan E
sel
dinamakan persamaan nerst. Bentuk persamaan
tersebut adalah sebagai berikut:


Dimana:
-

: Aktivitas dipangkatkan dengan koefisien reaksi


- F : Konsentrasi Faraday
- N : Jumlah elektron yang diperlukan dalam reaksi
redoks
Hal yang penting untuk diketahui adalah hukum distribusi Nernst hanya berlaku bila
zat terlarut tidak mengalami perubahan pada kedua pelarut. Jika solut tersebut terdisosiasi
menjadi ion-ion atau molekul-molekulnya yang lebih sederhana ataupun terasosiasi
membentuk molekul yang lebih kompleks, maka hukum tersebut tidak berlaku untuk
konsentrasi total dalam dua fasa tersebut tapi hanya untuk konsentrasi spesies yang sama yang
hadir dalam kedua pelarut tesebut.
Jadi misalkan suatu zat X yang terlarut dalam dua buah pelarut, dimana pada pelarut
pertama, X tidak mengalami perubahan molekul sedangkan pada pelarut yang kedua X
mengalami perubahan total menjadi X
1
maka koefisien distribusi X bukan merupakan
konsentrasi total dalam kedua fase melainkan konsentrasi total pada pelarut yang pertama
dibandingkan dengan konsentrasi X yang tidak mengalami perubahan molekul dalam pelarut
Esel = E
o
sel -

In


II-10

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
M
Cw
K
) 1 ( o
=

) / ) 1 ( ( (
) / ) 1 ( (
2
0
1
K Cw Cc
K Cw
K
o
o


=


yang kedua. Atau dengan kata lain koefisien distribusi suatu zat merupakan perbandingan
konsentrasi molekul zat yang mempunyai berat molekul yang sama.
Seperti konstanta kesetimbangan yang lain, koefisien distribusi merupakan fungsi
suhu yang dinyatakan dalam persamaan :



Dimana A H
o
adalah panas yang diperlukan untuk memindahkan 1 mol zat tersebut
dari pelarut satu ke pelarut yang lain.
Besarnya koefisien distribusi dapat dicari sebagai berikut :
Dalam air :
CH
3
COOH CH
3
COO
-
+ H
+

Cw (1- o) Cwo Cwo



Keterangan : o = Derajat dissosiasi


Cw = Konsentrasi total asam dalam air
Dalam chloroform :
(CH
3
COOH)
2
2CH
3
COOH
Cc-m m



Dimana : Cc : konsentrasi total mol/l dalam molekul tunggal
m : konsentrasi dalam CHCl
3

Distribusi : CH
3
COOH (dalam CHCl
3
) CH
3
COOH (dalam H
2
O)
m Cw(1-o)






d K
dT
ln
=
AH
RT
o
2

o
o
o
o

=
1 ) 1 (
) (
2 2
0
1
Cw
Cw
Cw
K

m Cc
m
K

=
2
1

II-11

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
( )
( ) ( )
(

=
2 1 1
2 1 1
/
/ /
V BM W W
V BM W
K
i
K
1
, K
D
dan o tidak diketahui, namun demikian untuk setiap Cw dapat dicari dari
K
1
0
= (Cwo)
2
1-o
K
1
0
= 6.6x10
-5

Harga K
1
tetap, dengan mengambil dua harga untuk Cc, Cw dan o, maka K dapat ditentukan.
Selanjutnya dapat dicari harga m.
Hukum distribusi telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang baik secara
teoritis maupun praktek, misalnya dalam proses-proses ekstraksi, analisis, dan penentuan
tetapan kesetimbangan. Ekstraksi mempunyai peranan penting dalam air dengan
menggunakan pelarut-pelarut organik yang tidak bercampur seperti eter, kloroform, karbon
tetraklorida, dan benzena. Ekstraksi merupakan suatu proses pentransferan komponen suatu
zat baik berupa solid maupun liquid ke dalam pelarut lain.
Proses ekstraksi telah banyak dilakukan baik dalam skala industri maupun skala
laboroatorium. Dalam skala lab ekstraksi digunakan untuk mengambil zat terlarut yang tidak
diinginkan dalam pelarut, misal untuk mengambil air dari pelarut eter, kloroform, karbon
tetraklorida ataupun benzena. Dalam industri, ekstraksi dipakai untuk menghilangkan zat-zat
yang tidak disukai dalam hasil seperti minyak tanah, minyak goreng, dan yang lain.
Bila zat mendistribusikan dirinya dalam dua pelarut dimana tidak terjadi disosiasi,
asosiasi ataupun reaksi dengan pelarut., maka dapat dihitung berat zat yang dapat diambil
dalam proses ekstraksi. Misal kita memiliki larutan yang berisi W gram dalam V
1
cc larutan,
dan larutan ini dikocok secara berulang-ulang dengan V
2
cc pelarut lain yang tidak saling
larut dengan pelarut yang pertama sampai distribusi mencapai kesetimbangan maka kita dapat
menghitung solut yang tidak terekstraksi pada n kali ekstraksi.
Setelah satu kali ekstraksi, konsentrasi pada pada pelarut pertama adalah W
1
/V
1
dan
pada pelarut kedua (W W
1
)/V
2
. Sehingga koefisien distribusinya dapat dituliskan sebagai
berikut :






( )
1 1
2 1
V W W
V W
K

=
II-12

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS

2 1 1 1 1
V W V KW KWV =



( ) ( )
1 2 1 1
KV W V KV W = +

|
|
.
|

\
|
+
=
2 1
1
1
V KV
KV
W W

Setelah ekstraksi kedua, terdapat W
2
gram zat terlarut dalam pelarut pertama. Volume
pelarut pertama tetap V
1
dan volume pelarut kedua tetap V
2
. Sehingga koefisien distribusi
setelah ekstraksi kedua dapat dituliskan sebagai berikut :

( )
( ) ( )
|
|
.
|

\
|

=
2 1 2 1
1 1 2
/
/ /
V BM W W
V BM W
K

( )
1 2 1
2 2
V W W
V W
K

=

( )
2 2 1 2 1
V W V W W K =







Dengan mensubstitusikan persamaan (9) ke persamaan (10) maka diperoleh
persamaan sebagai berikut :

|
|
.
|

\
|
+
|
|
.
|

\
|
+
=
2 1
1
2 1
1
2
V KV
KV
V KV
KV
W W

2
2 1
1
2
|
|
.
|

\
|
+
=
V KV
KV
W W
Dengan menggeneralisasikan hasil penurunan untuk ekstraksi kedua tersebut maka
diperoleh rumusan untuk ekstraksi yang ke-n sebagai berikut:

n
n
V KV
KV
W W
(

+
=
2 1
1




( ) ( )
1 1 2 1 2
2 2 1 2 1 1
KV W V KV W
V W V KW V KW
= +
=

( )
2 1
1 1
2
V KV
KV W
W
+
=
II-13

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
Jadi berat solut yang terekstraksi adalah :

n
n
V KV
KV
W W W W
(

+
=
2 1
1



n
V KV
KV
W
(

+
=
2 1
1
1
dimana K = C
1
/ C
2

Bila harga K diketahui maka persamaan (12) dapat dipakai untuk menghitung jumlah
ekstraksi yang diperlukan untuk mengurangi jumlah solut dari W menjadi W
n
.
Hal lain yang penting adalah bila dalam suatu ekstraksi tersedia sejumlah volume
pelarut untuk ekstraksi, maka efisiensi ekstraksi akan lebih besar bila volume pelarut yang
tersedia ini digunakan dalam beberapa kali ekstraksi daripada jika digunakan langsung dalam
satu kali ekstraksi.
Dengan kata lain, efisiensi dari ekstraksi yang besar diperoleh dengan membuat V
2
kecil dan
n besar, sehingga lebih baik untuk mengekstraksi dengan pelarut yang volumenya sedikit,
tetapi dengan berulang kali, daripada mengekstraksi satu kali dalam volume yang besar.
(Sukardjo, 1989).
II.3 Indikator
Indikator asam-basa adalah senyawahalokromik yang ditambahkan dalam jumlah kecil
ke dalam sampel, umumnya adalah larutan yang akan memberikan warna sesuai dengan
kondisi [pH]] larutan tersebut. Padatemperatur 25 Celsius, nilai pH untuk larutan netral
adalah 7,0. Di bawah nilai tersebut larutan dikatakan asam, dan di atas nilai tersebut larutan
dikatakan basa. Kebanyakan senyawa organik yang dihasilkan makhluk hidup mudah
melepaskan proton (bersifat sebagai Asam Lewis), umumnya Asam Karboksilat dan Amina,
sehingga indikator asam-basa banyak digunakan dalam bidang kimia hayati dan kimia
analitik. Mekanisme perubahan warna oleh indikator adalah reaksi asam-basa, pembentukan
kompleks, dan reaksi redoks (Soekarjo, 1989).
Macam-macam Indikator
Indikator untuk titrasi asam basa memegang peranan yang amat penting disebabkan
indicator ini akan menunjukkan kita dimana titik akhir titrasi berlangsung. Pemilihan
indicator yang tepat akan sangat membantu dalam keberhasilan titrasi yang akan kita lakukan.
Jangan sampai kita salah memilih indicator yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
penentuan titik akhir titrasi.
II-14

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
Untuk memilih indicator yang akan dipakai pada titrasi asam basa maka terlebih dahulu kita
harus memperhatikan trayek pH indicator tersebut. Misalkan kita memiliki indicator asam
lemah HIn dimana bentuk takterionisasinya berwarna merah sedangkan bentuk terionisasinya
berwarna kuning.
HIn H
+
+ In
-

Merah Kuning
Perubahan warna HIn terjadi pada kisaran pH tertentu. Perubahan ini tampak
bergantung pada kejelihan penglihatan orang yang melakukan titrasi. Untuk warna indicator
yang terjadi akibat terbentuknya dari transisi kedua warna (misal HIn berubah dari warna
merah ke kuning maka kemungkinan warna transisinya adalah oranye), maka umumnya
hanya satu warna yang akan teramati jika perbandingan kedua konsentrasi adalah 10:1 jadi
hanya warna dengan konsentrasi yang paling tinggi yang akan terlihat.
Sebagai contoh jika hanya warna kuning yang terlihat maka konsentrasi [In-]/[HIn] = 10/1
dan jika kita masukkan ke persamaan Henderson-Hasselbalch diperoleh :
pH = pKa + log 10/1 = pKa + 1
dan jika hanya warna merah yang terlihat maka konsentrasi [In]/HIn] = 1/10 sehingga:
pH = pKa + log 1/10 = pKa 1
Jadi pH indicator akan berubah dari kisaran warna yang satu dengan yang lain adalah
berkisar antara pKa-1 sampai dengan pKa + 1, dan pada titik tengah daerah transisi perubahan
warna indicator konsentrasi [In-] akan sama dengan [HIn] oleh sebab itu pH = pKa.
Dengan demikian kita dapat memilih suatu indicator dengan cara mimilih indicator
yang nilai pKa-nya adalah mendekati nilai pH pada titik ekuivalen atau untuk pH indicator
dari basa lemah nilai pKb-nya yang mendekati nilai pH ekuivalen. Contoh indicator pp yang
dipakai untuk titrasi asam kuat dan basa kuat atau asam lemah dan basa kuat, indikato metil
merah yang dipakai untuk titrasi basa lemah dan asam kuat.



II-15

BAB II Tinjauan Pustaka

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
Tabel II.1 Macam-macam Indikator untuk Titrasi








BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Variabel Percobaan
1. Variabel Bebas : - 30ml larutan 1,25N NaOH dan 40ml larutan 1,25N NaOH
- 30ml dan 40ml kloroform dikocok 5 menit pada ekstraksi pertama
dan 5 menit pada ektraksi kedua
2. Variabel Terikat : 0,5N HCL
3. Variabel Kontrol : - 1 x Ekstraksi : 5 menit
- 2 x Ekstraksi : 5 menit
III.2 Bahan yang Digunakan
1. Larutan NaOH 1,25 N
2. Klorofom
3. Larutan HCl 0,5 N
4. Aquadest
5. Indikator MO
III.3 Alat yang Digunakan
1. Corong pemisah
2. Erlenmeyer
3. Statif, Klem, dan Buret
4. Gelas ukur
5. Labu ukur
6. Beaker gelas
7. Corong
8. Pipet tetes
9. Pengaduk
10. Timbangan Elektrik
III-2

BAB III Metodologi Percobaan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
III.4 Prosedur Percobaan
III.4.1 1 x Ekstraksi
1. Mengambil 30 ml larutan NaOH 1,25 N dan memasukannya ke dalam corong
pemisah.
2. Menambahkan 40 ml kloroform dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan
selama 5 menit.
3. Mendiamkannya hingga terjadinya pemisahan dua lapisan.
4. Mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing
lapisan tesebut ke dalam Erlenmeyer.
5. Menghitung total NaOH pada lapisan atas dan klorofom lapisan bawah.
6. Mentitrasi masing-masing lapisan menggunakan HCl 0,5 N dengan menggunakan
indikator MO.
III.4.2 2 x Ekstraksi
1. Mengambil 40 ml larutan NaOH 1,25 N NaOH dan memasukannya ke dalam
corong pemisah.
2. Menambahkan 30 ml kloroform dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan
selama 5 menit.
3. Mendiamkannya hingga terjadi pemisahan dua lapisan.
4. Mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing
lapisan tesebut ke dalam Erlenmeyer.
5. Menghitung total NaOH 1,25N pada lapisan atas dan klorofom lapisan bawah.
6. Mentitrasinya dengan larutan HCl 0,5 N dengan menggunakan indikator MO.

III-3

BAB III Metodologi Percobaan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
III.5 Diagram Alir Percobaan
III.5.1 1 x Ekstraksi


























MULAI
Mengambil 30 ml larutan NaOH 1,25 N dan memasukannya ke dalam corong
pemisah

Menambahkan 40 ml kloroform dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan
selama 5 menit.

Mendiamkannya hingga terjadinya pemisahan dua lapisan.

Mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing
lapisan tesebut ke dalam Erlenmeyer.

Menghitung total NaOH pada lapisan atas dan klorofom lapisan bawah

SELESAI
Mentitrasinya dengan larutan HCl 0,5 N dengan menggunakan indikator MO


III-4

BAB III Metodologi Percobaan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
III.5.2 4 x Ekstraksi





















MULAI
Mengambil 40 ml larutan NaOH 1,25 N dan memasukannya ke dalam corong
pemisah

Menambahkan 30 ml kloroform dan mengocoknya hingga terjadi kesetimbangan
selama 5 menit.

Mendiamkannya hingga terjadinya pemisahan dua lapisan.

Mengambil 10 ml lapisan atas dan lapisan bawah memasukan masing masing
lapisan tesebut ke dalam Erlenmeyer.

Menghitung total NaOH pada lapisan atas dan klorofom lapisan bawah

SELESAI
Mentitrasinya dengan larutan HCL 0,5 N dengan menggunakan indikator MO


III-5

BAB III Metodologi Percobaan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
III.6. Gambar Alat Percobaan






Buret, statif, klem






Labu ukur




Kaca Arloji




Corong






Beaker Glass






Corong pemisah




Erlenmeyer




Gelas Ukur
III-6

BAB III Metodologi Percobaan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS






Pipet Tetes



Pengaduk







Timbangan Elektrik
II-1

BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Percobaan
Tabel IV.1.1 Hasil Ekstrasi NaOH dengan Kloroform

Tabel IV.1.2 Hasil Titrasi Lapisan Atas dan Lapisan Bawah dengan HCl
Ekstrasi
Waktu
(menit)
Titrasi
Lapisan Atas (ml) Lapisan Bawah (ml)
V
1
(ml) V
2
(ml) V rata-rata V
1
(ml) V
2
(ml) V rata-rata
I
1 x 5
menit
5 6 5,5 2,5 2,1 1,75
II
1 x 5
menit
14,8 7,1 10,95 2,4 2 2,2

Tabel IV.1.3 Densitas Larutan Atas dan Larutan Bawah
Ekstrasi
Densitas (g/ml)
Lapisan Atas Lapisan Bawah
I 1,15 1,216
II 0,9125 1,53

Tabel IV.1.4 Hasil Perhitungan K pada Tiap Lapisan ( N X Ekstrasi )
n x ekstraksi
Waktu
(menit)
Konsentrasi
Kd
Lapisan Atas Lapisan Bawah
1 Kali 5 menit 16,5333 0,9375 17,6355
2 Kali 5 menit 9,3 1,6666 5,5802

Ekstraksi
Waktu
(Menit)


NaOH Lapisan
Atas
Klorofom
Lapisan
Bawah
I 1 x 5 30 ml 40 ml 40 ml 30 ml
II 1 x 5 40 ml 30 ml 30 ml 40 ml
Volume (ml)
IV-2

BAB IV Hasil dan Pembahasan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
Tabel IV.1.5 Hasil Perhitungan Nilai W
n
(n x ekstraksi)
n x ekstraksi V
lap. atas
V
lap. bawah
K W (gr) W
n
(gr)
1 x 5 menit 40 ml 30 ml 17,6355 82,48 79,1153
2 x 5 menit 30 ml 40 ml 5,5802 88,575 57,7039

IV.2 Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan harga koefisien distribusi dan jumlah Wn
yang tertinggal dalam campuran larutan NaOH dan Kloroform dalam HCl setelah 2 kali
ekstraksi. Variabel waktu yang diperlukan pada 1 x ekstraksi yaitu selama 5 menit dan waktu
yang diperlukan pada 2 x ekstraksi yaitu selama 5 menit.







Grafik IV.2.1 Ekstraksi Kloroform dengan NaOH 1,25 N
Pada grafik IV.3.1 menunjukan hubungan antara setiap ekstraksi dengan jumlah volume
(atas dan bawah) yang didapat. Pada 1 x ekstraksi diperoleh lapisan atas sebanyak 40 ml
sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh lapisan atas sebanyak 30 ml. Sedangkan untuk
lapisan bawah pada 1 x ekstraksi diperoleh sebanyak 30 ml sedangkan pada 2 x ekstraksi
diperoleh sebanyak 40 ml.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
1 x ekstraksi 2 x ekstraksi
Lapisan atas (ml)
Lapisan bawah (ml)
IV-3

BAB IV Hasil dan Pembahasan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS








Grafik IV.2.2 Titrasi lapisan atas dan lapisan bawah dengan HCl
Pada Grafik IV.3.2 menjelaskan bahwa volume HCl yang dibutuhkan untuk proses
ekstraksi pada lapisan bawah membutuhkan lebih sedikit HCl dibandingkan dengan lapisan
atas. Pada lapisan atas ekstraksi pertama dibutuhkan volume rata-rata penitran sebanyak 5,5
ml sedangkan dalam 2x titrasi sebanyak 10,95 ml pada lapisan bawah dalam 2x titrasi.
Sementara untuk ekstraksi kedua dibutuhkan volume rata-rata penitran sebanyak 10,25 ml
untuk lapisan atas dalam 2x titrasi dan 0,4 ml untuk lapisan bawah dalam 2x titrasi. Hal ini
dikarenakan larutan lapisan bawah lebih cepat tepat dalam habis bereaksi dengan HCl dan
disebut titik ekuivalen. Pada titik ekuivalen ini, belum terjadi perubahan warna tetapi
kelebihan satu tetes saja larutan HCl akan menyebabkan terjadinya perubahan warna dari
orange menjadi merah muda yang berasal dari reaksi antara kelebihan titran asam dengan
indikator MO. Percobaan diatas sesuai dengan literatur, karena kloroform bersifat lebih cepat
mencapai titik ekivalen.

Gambar IV.2.3 Hubungan n x Ekstraksi dengan Densitas Lapisan Atas dan Lapisan
Bawah
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
1 x Ekstraksi 2 x Ekstraksi
Lapisan
Atas
Lapisan
Bawah
0
2
4
6
8
10
12
Ekstraksi 1 Ekstraksi 2
Vrata-rata lapisan atas (ml)
Vrata-rata lapisan bawah
(ml)
IV-4

BAB IV Hasil dan Pembahasan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS
Pada grafik IV.3.2 menunjukan hubungan antara n x ekstraksi dengan densitas lapisan
atas dan lapisan bawah. Pada 1 x ekstraksi diperoleh densitas lapisan atas sebesar 1,15
sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh densitas lapisan atas sebesar 0,9125. Hal ini tidak
sesuai dengan literatur, yaitu semakin banyak ekstrasi yang dilakukan, maka zat yang tinggal (
Wn) volume yang diperoleh pada lapisan bawah / original solvent, dikarenakan semakin
banyaknya NaOH yang terekstrak oleh klorofom sehingga mempengaruhi lapisan atas /
lapisan bawah. Hubungan lapisan atas berbabnding lurus dengan ekstrasi. Semakin banyak
ekstrasi yang dilakukan maka semakin besar densitas lapisan atas yang diperoleh
dibandingkan densitas pada lapisan bawah.
(Maron dan Lando, 1994)










Grafik IV.2.4 Hubungan antara konsentrasi larutan dengan Kd
Pada grafik IV.3.4 menunjukan hubungan antara n x ekstraksi dengan koefisien
distribusi. Pada 1 x ekstraksi diperoleh koefisien distribusi sebesar 17,6355 sedangkan pada 2
x ekstraksi diperoleh koefisien distribusi sebesar 5,582. Hal ini sesuai dengan literatur, yaitu
semakin banyak ekstrasi yang dilakukan, maka zat yang tinggal ( Wn) volume yang diperoleh
pada lapisan bawah / original solvent, dikarenakan semakin banyaknya NaOH yang terekstrak
oleh klorofom sehingga mempengaruhi lapisan atas / lapisan bawah. Semakin banyak ekstrasi
yang dilakukan maka semakin besar harga koefisien distribusinya.
(Maron dan Lando, 1994)

0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Ekstraksi 1 Ekstraksi 2
Lapisan atas
Lapisan bawah
Kd
IV-5

BAB IV Hasil dan Pembahasan

Laboratorium Kimia Fisika
D-3 Teknik Kimia
FTI-ITS











Grafik IV.2.5 Wn dalam n x ekstraksi
Pada grafik IV.3.5 menunjukan hubungan antara n x ekstraksi dengan Wn ( zat yang
tertinggal) lapisan atas dan lapisan bawah. Pada 1 x ekstraksi diperoleh Wn sebesar 79,1153
gram. Sedangkan pada 2 x ekstraksi diperoleh Wn sebesar 57,7039. Hal ini sesuai dengan
literatur, yaitu semakin banyak ekstrasi yang dilakukan, maka zat yang tinggal ( Wn) volume
yang diperoleh pada lapisan bawah/original solvent, dikarenakan semakin banyaknya NaOH
yang terekstrak oleh klorofom sehingga mempengaruhi lapisan atas/lapisan bawah. Hubungan
lapisan atas berbanding lurus dengan ekstrasi. Semakin banyak ekstrasi yang dilakukan maka
semakin besar koefisien distribusi, sehingga semakin kecil harga Wn. (Maron dan Lando,
1994).
Ekstraksi 1 Ekstraksi 2
W (gr) 82.48 88.575
Wn (gr) 79.1153 57.7039
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Grafik Wn dalam n x Ekstraksi
V-1

BAB V
KESIMPULAN

Dari percobaan koefisien distribusi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada 1 x ekstrasi diperoleh harga Kd sebesar 17,6355, sedangkan pada 2 x ekstraksi
diperoleh harga Kd sebesar 5,5082.
2. Pada 1 x ekstrasi diperoleh harga Wn sebesar 79,1153, sedangkan pada 2 x ekstrasi
diperoleh harga Wn sebesar 57,7039.
3. Pada 1 x ekstrasi diperoleh volume lapisan atas sebesar 40 ml. Sedangkan pada 2 x
ekstrasi diperoleh volume lapisan atas sebesar 30 ml. Pada volume lapisan bawah
diperoleh pada 1 x ekstraksi sebanyak 30 ml, sedangkan volume lapisan bawah pada 2 x
ekstraksi sebanyak 40 ml.
4. Pada 1 x ekstraksi untuk densitas lapisan atas diperoleh densitas seebesar 1,15,
sedangkan untuk 2 x ekstraksi diperoleh densitas untuk lapisan atas sebesar 0,9125.
Untuk densitas lapisan bawah pada ekstraksi 1 x diperoleh sebesar 1,216, sedangkan
untuk 2 x ekstraksi diperoleh densitas sebesar 1,53.
5. Pada 1 x ektraksi pada lapisan atas diperoleh volume rata-rata sebanyak 5,5 ml,
sedangkan untuk 2 x ekstraksi pada lapisan atas diperoleh kosentrasi sebesar 10,95 ml.
Sedangkan untuk 1 x ekstrakasi pada lapisan bawah pada ekstraksi diperoleh 1,75 ml,
dan untuk volume rata-rata pada lapisan bawah saat 2 x ekstraksi diperoleh 2,2 ml.
6. Semakin banyak ekstraksi yang dilakukan maka semakin besar nilai koefisien distribusi
yang didapat.
7. Semakin banyak ekstraksi yang dilakukan, maka semakin sedikit pula zat yang akan
tertinggal di dalam larutan.


vi

DAFTAR PUSTAKA
Akhmad. 2011. Koefisien Distribusi. Diakses dari
(http://anitabintiakhamad.blogspot.com/2011/12/praktikum-kimia-fisika_27.html), pada
tanggal 25 September 2012
Maron, Samuel H dan Lando, Jerome B. 1974. Fundamentals of Physical and Chemistry.
New York: Macmillan Publishing
Rahayu. 2012. koefisien distribusi. Diakses dari
(http://triyasrahayu.blogspot.com/2012/02/praktikum-kimia-analitik-koefisien.html), pada
tanggal 25 September 2012
Scribd. 2011. Koefisien Distribusi. Diakses dari
(http://www.scribd.com/doc/72983112/koefisien-distribusi), pada tanggal 25 September 2012
Scribd. 2011. Koefisien Distribusi. Diakses dari
(http://www.scribd.com/doc/56213662/17162567-Praktikum-Koefisien-Distribusi), pada
tanggal 25 September 2012
Teknik Kimia, Artikel. 2011. Koefisien Distribusi. Diakses dari
(http://artikelteknikkimia.blogspot.com/2011/12/koefisien-distribusi.html), pada tanggal 25
September 2012
Theonalle. 2010. Koefisien Distribusi. Diakses dari
(http://theonalle.blogspot.com/2010/08/laporan-praktikum-kimia-organik-i.html), pada
tanggal 25 September 2012
Sukardjo. 2002. Kimia Fisika. Jakarta: PT. Rineka Cipta


v
DAFTAR NOTASI
Simbol Nama Satuan
V Volume ml
K
d
Koefisien distribusi -
C
a
Konsentrasi lapisan atas M
C
b
Konsentrasi lapisan bawah M



viii

APPENDIKS

1. Membuat larutan NaOH 1, 25 N dalam 30 ml dan 40 ml.
e NaOH = 1
BM NaOH = 40
N = M . e
N =


1,25 =


Gram =


= 1,5 gram
Menimbang NaOH sebanyak 1,5 gram kemudian ditambahkan aquadest hingga
volumenya 30 ml.
N =


1,25 =


Gram =


= 2 gram
Menimbang NaOH sebanyak 1,5 gram kemudian ditambahkan aquadest hingga
volumenya 30 ml.
2. Membuat larutan HCl 0,5 N dalam 100 ml.
e HCl = 1
BM HCl = 36,5
% HCl = 37
HCl = 1,19
N = M.e
N = M
N =


N =


N =


ix

N = 12,06
N
1
. V
1
= N
2
.V
2

12,06. V
1
= 0,5.100
V
1
=


V
1
= 4,1459 ml
Mengambil HCl sebanyak 4,1459 ml kemudian ditambahkan aquadest hingga
volumenya 250 ml.
3. Hasil titrasi lapisan atas dan lapisan bawah dengan HCl 0,5 N
a. Ekstrasi 1
V
rata-rata
lapisan bawah = V
1
+ V
2

2
= 5 + 6
2
= 5,5 ml
V
rata-rata
lapisan bawah = V
1
+ V
2

2
= 2,5 + 2,1
2
= 1,75 ml
b. Ekstrasi 2
V
rata-rata
lapisan bawah = V
1
+ V
2

2
= 14,8 + 7,1
2
= 10,95 ml
V
rata-rata
lapisan bawah = V
1
+ V
2

2
= 2,4 + 2
2
= 2,2 ml

x

4. Densitas lapisan atas dan lapisan bawah
a. Ekstraksi 1
Lapisan bawah = 97,5 61
30
= 1,216 gr/ml
Lapisan atas = 107 61
40
= 1,15 gr/ml

b. Ekstraksi 2
Lapisan bawah = 107 61
30
= 1,53 gr/ml
Lapisan atas = 97,5 61
40
= 0,9125 gr/ml
5. Hasil perhitungan K pada tiap larutan
a. Ekstraksi 1
Caklorofom
=
Mr
= 1,48 100 10
119,3
= 12,4
M
1
V
1
= M
2
V
2

12,4 40 = M
2
30
M
2
= 16,5333
C
b
(NaOH) = M
1
V
1
= M
2
V
2

1,25 30 = M
2
40
M
2
= 0,9375
K
d
= C
a
= 16,5333
C
b
0,9375
= 17,6355
xi

b. Ekstraksi 2
Ca
klorofom
=
Mr
= 1,48 100 10
119,3
= 12,4
M
1
V
1
= M
2
V
2

12,4 30 = M
2
40
M
2
= 9,3
C
b
(NaOH) = M
1
V
1
= M
2
V
2

1,25 40 = M
2
30
M
2
= 1,6666
K
d
= C
a
= 9,3
C
b
1,6666
= 5,5802
6. Hasil perhitungan nilai W
n
(nekstraksi)
a. Ekstraksi 1
W = m
a
+ m
b

= (

V
a
) + (

V
b
)
= ( 1,15 40) + (1,216 30)
= 46+ 36,48
= 82,48
W
n
= W (


= 82,48 (

( )
)


= 82,48 (

)
= 79,1153 gr
b. Ekstraksi 2
W = m
a
+ m
b

= (

V
a
) + (

V
b
)
= (0,9125 30) + (1,53 40)
= 27,375 + 61,2
xii

= 88,575
W
n
= W (


= 88,575 (

()
)


= 88,575 (


= 57,7039 gr

You might also like