You are on page 1of 7

PENCEGAHAN HIV/AIDS HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan dan juga masalah sosial.

Penyebaran HIV/AIDS dipengaruhi oleh perilaku manusia sehingga upaya pencegahannya perlu memperhatikan faktor perilaku. Upaya pencegahan pada masyarakat luas dilakukan dengan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang cara penularan, pencegahan dan akibat yang ditimbulkannya sesuai dengan norma-norma agama dan budaya masyarakat melalui kegiatan KIE yang telah ada. Peningkatan pengetahuan untuk pendidikan formal dan non formal maupun pendidikan umum dan agama dilakukan dengan mengintegrasikan materi HIV/AIDS secara sistematis. Untuk melaksanakan hal tersebut perlu dilakukan peningkatan kemampuan bagi tenaga pendidik, tutor, pelatih, tenaga pembimbing, birokrat dan pimpinan unit kerja yang dapat meneruskannya kepada bawahan/anak didiknya. Untuk dapat melaksanakan kegiatan KIE dengan baik, perlu meningkatkan kemampuan tenaga yang berada di barisan terdepan seperti tenaga kesehatan, pekerja sosial, penyuluh lapangan, guru, pelatih utama dan lain-lain. Upaya pencegahan pada populasi beresiko tinggi seperti Penjaja Seks (PS) dan pelanggannya, ODHA dan pasangannya, penyalahguna Napza, dan petugas yang karena pekerjaannya beresiko terhadap penularan HIV/AIDS melalui pencegahan yang efektif seperti penggunaan kondom, penerapan pengurangan dampak buruk (harm reduction), penerapan kewaspadaan umum (universal precautions) dan sebagainya. Dengan dasar pemikiran tersebut, perlu dibedakan kelompok sasaran sebagai berikut: Kelompok rentan Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, rendahnya ketahanan keluarga dan rendahnya kesejahteraan keluarga, status kesehatan, sehingga mudah tertular HIV. Kelompok tersebut seperti : orang dengan mobilitas tinggi, perempuan, remaja, anak jalanan, orang miskin, ibu hamil, penerima transfusi darah. Kelompok beresiko tertular

Kelompok beresiko tertular adalah kelompok masyarakat yang berperilaku resiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, penyalahguna Napza suntik, dan narapidana. Kelompok tertular Kelompok tertular adalah kelompok masyarakat yang sudah terinfeksi HIV (ODHA) yang memerlukan penanganan khusus untuk mencegah kemungkinan penularan kepada orang lain. Tujuan program pencegahan adalah agar setiap orang dapat melindungi dirinya tidak tertular HIV dan tidak menularkannya kepada orang lain Untuk mencapai tujuan tersebut maka kegiatan yang dilakukan adalah: 1. Meningkatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Upaya meningkatkan komunikasi, informasi dan edukasi dilakukan melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku positif dalam mencegah penularan. 2. Menurunkan kerentanan Upaya menurunkan kerentanan dilakukan melalui peningkatan pendidikan, ekonomi dan penyetaraan gender. 3. Meningkatkan penggunaan kondom Meningkatkan penggunaan kondom sebagai alat pencegahan infeksi HIV dan IMS pada setiap hubungan seks beresiko. 4. Meningkatkan penyediaan darah yang aman untuk transfusi. Semua darah donor harus dilakukan uji saring virus HIV karena potensi penularan HIV melalui darah sangat tinggi, untuk itu setiap kabupaten/kota perlu dilengkapi dengan unit transfusi darah yang mampu memberikan pelayanan darah yang aman. 5. Meningkatkan upaya penurunan prevalensi infeksi menular seksual. Upaya menurunkan prevalensi Infeksi menular seksual dilakukan melalui pemeriksaan dan pengobatan IMS. Hal ini perlu dilaksanakan karena penderita IMS mempunyai resiko 2-9 kali lebih besar untuk tertular HIV dibandingkan dengan orang yang tidak menderita IMS. 6. Meningkatkan upaya pencegahan penularan dari ibu dengan HIV kepada bayinya. Upaya untuk mencegah infeksi HIV pada bayi dapat dilakukan dengan pemberian ARV pada masa kehamilan, proses persalinan yang aman, pemberian pengganti ASI. 7. Meningkatkan penerapan kewaspadaan universal.

Penerapan kewaspadaan universal harus dilaksanakan dengan benar oleh petugas dan masyarakat yang langsung terpapar seperti petugas medis dan paramedis, petugas sosial, polisi/reserse, pemulasaraan jenazah, petugas lapas dan lainlainnya. Oleh karena itu mereka harus ditingkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencegah penularan serta penyediaan sarana. 8. Meningkatkan upaya pengurangan penularan HIV pada penyalahguna Napza suntik. Penggunaan jarum suntik secara bersama yang tidak steril menyebabkan penularan HIV melalui darah. Upaya ini dilakukan melalui kesepakatan lintas sektor di tingkat nasional antara lain KPA, Departemen Kesehatan, Badan Narkotika Nasional, POLRI, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat. Namun upaya pencegahan dapat juga dilakukan denagn menjaga diri sebaik-baiknya, cara untuk mencegah antara lain : Pengobatan sebagai pencegahan Pemanfaatan obat HIV sebagai metode pencegahan HIV merupakan topik hangat yang kontroversial. Beberapa peneliti percaya bahwa dalam situasi tertentu, orang yang sedang dalam terapi HIV, yang tidak menderita infeksi menular seksual dan yang memiliki viral load tak terdeteksi, tidak berisiko infeksi terhadap pasangan seksual mereka. Para peneliti sangat berhati-hati dalam menekankan bahwa mengkonsumsi obat HIV tidak akan menggantikan fungsi penggunaan kondom dalam pencegahan penularan. Namun, beberapa peneliti mengindikasikan bahwa dalam keadaan tertentu, penurunan risiko terkait dengan konsumsi obat HIV, serta dengan memiliki viral load tak terdeteksi, paling tidak mendekati apa yang dicapai oleh penggunaan kondom. Tidak semua orang setuju dengan hal ini, dan sesi-sesi paling heboh dalam konferensi HIV terjadi saat penelitian-penelitian tentang pemanfaatan pengobatan HIV sebagai upaya pencegahan dipresentasikan.

Perdebatan tentang pengobatan sebagai upaya pencegahan dimulai kurang lebih dua tahun yang lalu dengan diluncurkannya apa yang kini disebut sebagai 'pernyataan Swiss'. Dokter dan peneliti senior dari Swiss mengatakan bahwa orang HIV positif yang mengkonsumsi obat-obatan HIV tidak berisiko infeksi kepada pasangan seksualnya apabila:

Viral load mereka tak terdeteksi paling tidak selama enam bulan. Mengkonsumsi obat-obatan HIV secara benar dan tepat. Tidak menderita infeksi menular seksual.

Para peneliti dari Denmark ingin melihat apakah orang yang mengkonsumsi obat HIV yang memiliki viral load tak terdeteksi dapat mempertahankannya. Karenanya mereka meneliti hasil viral load dari tiap orang di negara tersebut yang melakukan pengobatan HIV. Hasilnya menunjukkan bahwa transmisi HIV sangat jarang terjadi bila seseorang memiliki viral load di bawah 1000 copies/ml. Karenanya para peneliti Denmark tersebut mengkategorisasi orang yang melakukan pengobatan HIV dengan viral load di atas level ini sebagai masih mungkin menular. Mereka kemudian mengkalkulasikan jumlah waktu orang yang melakukan pengobatan HIV yang memiliki viral load di atas tingkat tersebut. Bagi pasien yang mencapai viral load tak terdeteksi, 99.5% waktunya viral load tersebut akan tetap dalam tingkat di bawah 1000 copies/ml. Namun selama tahun pertama pengobatan HIV, viral load akan tiba-tiba meningkat menjadi terdeteksi selama 5%. Mereka memperkirakan bahwa rekomendasi Swiss terebut perlu direvisi, dan bahwa pasien harus memiliki viral load tak terdeteksi paling tidak selama 12 bulan. Mereka juga menemukan bahwa viral load jarang sekali menjadi terdeteksi bila seseorang telah mengkonsumsi obat HIV dengan viral load tak terdeteksi selama lima

tahun atau lebih. Pasien-pasien tersebut menjalani 99.97% waktunya dengan viral load di bawah 1000 copies/ml. Menjauhkan diri dari seks. Hal ini jelas memiliki daya tarik yang terbatas, tapi benarbenar melindungi terhadap penularan HIV melalui rute ini. Berhubungan seks dengan mitra tunggal yang tidak terinfeksi. Reksa monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi menghilangkan risiko penularan HIV secara seksual. Gunakan kondom dalam situasi yang lain. Kondom menawarkan perlindungan jika digunakan dengan benar dan konsisten. Kadang-kadang, mereka bisa pecah atau bocor. Hanya kondom terbuat dari lateks harus digunakan. Hanya pelumas berbasis air harus digunakan dengan kondom lateks. Jangan berbagi jarum suntik atau obat-obatan terlarang. Jika Anda bekerja di bidang kesehatan, ikuti pedoman yang direkomendasikan untuk melindungi diri terhadap jarum tongkat dan paparan cairan terkontaminasi. Jika Anda telah terlibat dalam perilaku beresiko, bisa diuji untuk melihat apakah Anda memiliki HIV. Risiko penularan HIV dari wanita hamil kepada bayinya secara signifikan berkurang jika ibu mengambil obat selama kehamilan , persalinan, dan pengiriman dan bayinya memakai obat untuk enam minggu pertama kehidupan. Bahkan program yang lebih singkat pengobatan yang efektif, meski tidak optimal. Kuncinya adalah untuk diuji HIV sedini mungkin dalam kehamilan. Dalam konsultasi dengan dokter mereka, banyak wanita memilih untuk menghindari menyusui untuk meminimalkan risiko penularan setelah bayi lahir. Penanggulangan yang dapat dilakukan adalah: 1. Dari sudut komunikasi: Yaitu dengan melakukan diseminasi informasi dan edukasi melalui media tentang HIV AIDS. Media utama ditargetkan adalah Majalah Kedokteran Indonesia (MKI) dan Berita Ikatan Dokter Indonesia (BIDI). Dua majalah yang terbit setiap bulannya ini diharapkan sebagai salah satu jalan untuk dapat mengkomunikasikan informasi dan edukasi terbaru tentang perkembangan HIV-AIDS dan cara penangulangan yang lebih efektif. Rencananya setiap edisi akan diterbitkan sebuah tulisan baik itu sebuah penelitian, laporan kasus, ataupun mengenai kegiatan-kegiatan

yang dilakukan oleh berbagai instansi yang menangani bidang AIDS baik itu lembaga atau yayasan yang berkaitan dengan penanggulangan HIV-AIDS. Langkah lain untuk mengkomunikasikan penangulangan ini adalah dengan membuat website khusus tentang AIDS serta untuk lebih mudah dalam penyebaran informasi ini. Dalam pembuatan website ini merupakan langkah awal untuk jangka panjangnya, website ini akan digunakan sebagai salah satu program Continuing ProfessionalDevelopment (CPD) tentang HIV-AIDS. Selain kedua cara diatas IDI juga mempunyai strategi yaitu dengan mengikuti simposium-simposium ataupun kegiatan ilmiah HIV-AIDS baik tingkat nasional maupun international. Dengan semakin banyaknya kegiatan ilmiah akan semakin banyak pula pemikiran-pemikiran terbaru guna penanggulangan tersebut. Tidak hanya dengan menghadiri/mengadakan simposium atau kegiatan ilmiah namun IDI juga memberikan jalan kepada mahasiswa atau pun tenaga kesehatan yang telah mendapatkan banyak ilmu atau perkembangan terbaru tentang HIV-AIDS untuk diikutsertakan dalam kegiatan temu ilmiah ASHM dengan pemilihan abstrak terbaik. Kegiatan ini juga memicu para tenaga kesehatan untuk lebih peduli pada HIV-AIDS. 2. Selain dengan komunikasi strategi yang kedua adalah dengan menjalankan koordinasi dan pemberdayaan profesi. Salah satu caranya adalah dengan memfungsikan sekretariat HIV-AIDS PB IDI sebagai tempat koordinasi dan membangun jejaring dengan pihakpihak terkait dalampenangulangan HIV-AIDS. Dalam jangka pendek ditargetkan adanya pertemuan dengan berbagailembaga kesehatan seperti KPA, Depkes RI, PDPAI, MPAI untuk membangun aliansi dan membahassystem kooordinasi yang kuat. Rencana pertemuan ini akan dilakulkan setiap dua bulan dan rutin.Dengan tujuan jangka panjang adalah Sekretariat HIV-AIDS PB IDI sebagai sumber nformasi utamadan mendukung kegiatan ilmiah nasional tentang HIV-AIDS. Tidak itu saja, sebagai sumber datasekretariat HIV-AIDS PB IDI akan membuat database dan direktori tentang pusat pelayanan HIVAIDSdi Indonesia dimana akan terdapat datadata kegiatan setiap lembaga yang berkaitan denganHIV-AIDS dan sejumlah data SDM yang telah mendapatkan pelatihan HIV-AIDS. 3. Dalam konteks pendidikan dan pelatihan. IDI merencanakan untuk materi HIVAIDS dapat masuk dalam kurikulum Fakultas Kedokteran, dan dalam waktu dekat Sekretariat HIV-AIDS PB IDI akan melakukan pertemuan dengan KD, AIPKI, PDPAI, MKKI, guna penyusunan kurikulum pendidikan. Untuk itu, dibuat modul

kepada instansi kesehatan dana masyarakat guna peningkatan pengetahuan yang lebih luar tentang HIV-AIDS. Tidak bergerak disitu saja, IDI juga merencanakan mengadakan penelitian tentang pelayanan dan evaluasi kebijakan. Salah satu isu penelitian yang diangkat adalah tentang pemanfaatan ARV, tentang SDM dokter yang sudah mendapat pelatihan HIV-AIDS dan lainnya. 4. Dan tak luput pula dari rencana ini adalah adanya kebijakan dan advokas, dengan malukukan advokasi intern organisasi di badan PB IDI dan perhimpunan Spesialis dan Seminat. Dan melakukan advokasi ekstern yang dapat mendorong peningkatan program penangulangan HIV-AIDS. Pertemuan dengan berbagai pihak luar tidak menutup kemungkinan cara penangulangan HIV-AIDS akan lebih efektif, karena tidak dari satu atau dua pemikiran saja namun dari berbagai sudut pandang orang yang berbeda-beda akan menghasilkan sesuatu yang lebih dibanding dengan apa yang kita harapakan. Kebijakan-kebijakan secara bersamaan akan diusulkan dan disusun sedemikian rupa yang dpat digunakan untuk melaksanakan kegiatan-kegitan ilmiah dan sosial.

You might also like