Professional Documents
Culture Documents
com
Referensi
Ilmu Sosial
Ilmu Sastra
Sastra merupakan warisan kebudayaan bangsa. Tidak berlebihan memang, sebuah tulisan bisa mewakili sebuah peradaban yang ada pada saat tersebut. Serat Centhini adalah salah satu contohnya. Ia adalah sebuah Karya Sastra terbesar dalam sejarah Kesusastreraan Jawa Baru. Serat Chenthini, menghimpun berbagai ilmu pengetahuan serta kebudayaan Jawa. Ini dimaksudkan agar kebudayaan Jawa tidak Punah dan teroganisir dengan baik dalam satu buku.
untuk menyusun cerita ini, para abdi dalem sampai menemuai banyak orang mulai dari petapa, pemuka agama, juga pandai besi di seluruh tatar Jawa. Seperti kisah perjalanan lainnya, Serat Centhini sendiri memiliki alur yang cukup baik. Kisahnya dimulai ketika tiga putra dari Sunan Giri Berpencar dari Tanah Jawa. Mereka Berpencar karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Pangeran Pekik dan Sultan Agung. Ketiga putra Sunan Giri tersebut adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti. Jayengresmi melakukan perjalanan spiritual ke sekitar Majapahit, Blitar, Pekalongan. Bahkan, perjalanan Jayengresmi membawa ia ke Tanah Sunda. Di mana ia menjelajah daerah seperti Bogor, Gunung Salak, dan lainlain. Dalam Perjalanannya, Jayengresmi menemukan banyak hal yang membuatnya matang secara spiritual. Di sini, ia banyak belajar dari para petapa, filsuf, dan juga mahluk gaib. Selain itu, Jayengresmi banyak belajar dari alam. Ia banyak mengetahui tentang candi, Syekh Siti Jenar, pembuatan kain, penanggalan, dan lain-lain. Akhir cerita, karena ilmunya tersebut, Jayengresmi dikenal sebagai Syekh Amongraga. Dalam perjalanan, ia bertemu Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya kelak. Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh dan berarti, akhirnya Jayengresmi bertemu kembali dengan keluarganya, namun tidak lama. Ia pun harus meninggal.
7. Kitab Tasdik menunjuk pada kitab Bayn at-Tasdq. 8. Kitab Juwahiru menunjuk pada Kitab Al-Jawhir ats-Tsaniyah f Syarh asSanusiyyah, ditulis oleh Abdullah as-Sughayir Suwaidan. Banyaknya unsur Islam dalam kitab ini memang tidak mengherankan. Karena beberapa penulisnya merupakan lulusan pesantren. Kyai Yasadipura I merupakan seorang lulusan pesantren Kedhu. Ia belajar di sini selama tujuh tahun. Bahkan, Kyai Yasadipura belajar agama Islam sampai ke Mekkah. Selain itu, Serat Centhini menunjukan kalau masyarakat Jawa pada saat itu memang kental dengan agama Islam. Dari keraton hingga masyarakat Jawa biasa pun telihat sangat taat dalam memluk Islam. Ada sebuah Cerita yang menujukan bagaimana Islma menjadi sebuah unsur yang kental dalam kehidupan di Jawa pada saat itu. Dalam Surat Chentini, diceritakan Syekh Amongraga memberikan nasihat pada istrinya, yaitu Ken Tambang Raras. Nasihat Syekh Amongraga tersebut adalah sebagai berikut. Syariah bersama dengan tarekat merupakan tempat untuk menanam makfirat dan hakikat sebagai perwujudan wiji nugraha (benih anugerah). Benih harus ditanam di tempat yang baik. Jika ditanama di tempat yang jelek maka akan menghasilkan sesuatu yang jelek pula. Syariah sebagai dasar agama harus dipegang kuat dan dijalankan dengan baik. Mencari kesempurnaan hidup tanpa didasari syariah akan sangat membahayakan. Perjalanan cinta Serat Centhini akan terasa hambar tampaknya, jika sebuah kisah tidak ada bumbu cinta di dalamnya. Serat Centhini juga memiliki kisah cinta di dalamnya. Kisah cinta antara Jayengresmi dan Tembangraras juga dituliskan secara apik dalam karya sastra ini. Hubungan cinta meraka juga seperti layaknya hubungan kedua sufi dalam menemukan jalan. Mereka banyak berdiskusi dan juga mencari jawaban perihal makna cinta, filosofi kehidupan, dan juga hal-hal lainnya. Bahkan untuk menemukan kesempurnaan dalam bercinta, Jayengresmi sampai menghabiskan waktu khusus selama 40 malam dengan istrinya. Selama 40 Malam ini, Jayengresmi dan istrinya bersemdi, menemukan jawaban tentang cinta, nafsu, dan kehidupan. Mereka juga saling berdiskusi satu sama lain. Ada sebuah kalimat terkenal yang dilontarkan oleh Jayengresmi terhadap istrinya, yaitu: Namun hatimu sudah dalam hatiku dan hatiku dalam hatimu, kau dengarkah keduanya berdebar-debar gugup karena asmara? Padahal kegugupan adalah halangan sanggama
Bait di atas seakan-akan menjadi sebuah representasi cinta pada zaman Jawa Kuno. Bait tersebut memperlihatkan bagaimana cinta dalam perspektif norma tradisional dan juga dari perspektif nilai keraton. Berbeda dengan cinta modern yang lebih terbuka, cinta yang diperlihatkan dalam Serat Centhini ini merupakan sebuah cinta yang masih terkekang oleh norma dan adat. Meskipun cerita cinta ini banyak beraroma Jawa, namun sebenarnya hakikat cinta secara sudut pandang Islam pun diceritakan dalam buku ini. Salah satunya, adalah bagaimana peran perempuan dalam rumah tangga. Cara melakukan hubungan suami istri, arti pernikahan, dan juga cinta dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam buku ini hampir sama dengan nila-nilai yang diajarkan oleh Agama Islam. Saking menariknya, buku Surat Chentini ini juga diterjemahkan oleh seorang warga asing. Ia adalah Elizabeth D. Inandiak, seorang penulis dan penyair Perancis yang mencoba untuk menerjemahkannya. Selain menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Elizabeth juga mencoba untuk menerjemahkan karya sastra ini ke dalam Bahasa Prancis. Tidak Dapat Dipungkiri, bahwa Serat Centhini memiliki pesan dan juga cerita yang kuat. Di dalamnya, kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan manusia Jawa pada abad tersebut, secara tradisi, dan juga pola Hidup. Serat Centhini juga memberikan pemahaman terhadap kita tentang bagaimana konsep dan penerapan agama Islam yang begitu kental dalam Tanah Jawa.