You are on page 1of 20

SGD 1 SISTEM IMUM DAN HEMATOLOGI

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

OLEH: KELOMPOK II

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

GEDE SUWANDRAYANA LUH AYU SUARDIANI PUTU BUDHI SANJAYA PUTRA JEANTTE CHRISATO NDOLU DORCE DAMALERO NI LUH SRI WAHYUNI MINAR AGUSTINA SEVENY NI LUH PUTU LIVA WAHYUNI GUSTI PUTU ALIK WIRAWAN NI LUH SUSIANI NI KOMANG EMI APRILIANTARI IDA AYU MADE JULIANTARI

(1302115002) (1302115004) (1302115006) (1302115014) (1302115016) (1302115018) (1302115020) (1302115022) (1302115025) (1302115032) (1302115033) (1302115034)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN B FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2013

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

RESPON ALERGI
Alergi adalah rangsangan berlebihan terhadap reaksi peradangan yang terjadi sebagai respon terhadap antigen lingkungan spesifik. Suatu antigen yang menyebabkan alergi disebut alergen. Reaksi alergi merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat reaksi antara antigen dn antibodi, (Brunner & Suddarth,2002). Reaksi alergi umum akan terjadi ketika system imun pada seseorang yang rentan bereaksi secara agresif terhadap suatu substansi yang normalnya tidak berbahaya ( mis: debu, tepung sari gulma). Respon alergi pada akhirnya akan menstimulasi sel mast untuk pelepasan mediator kimia yang akan menimbulkan rangkaian kejadian fisiologik dan mengakibatkan berbagai gejala. Ada dua tipe mediator kimia yaitu mediator primer yang sebelumnya dibentuk dan ditemukan dalam sel-sel mast atau basofil, dan mediator sekunder yang merupakan prekusor inaktif yang terbentuk atau yang dilepaskan sebagai reaksi terhadap mediator primer. Yang termasuk mediator primer antara lain: histamine, factor kemotaktik eosinofil pada reaksi anafilaksis, factor pengaktif trombosit, leukotrien, bradikinin, serotonin dan prostaglandin.

HIPERSENSITIVITAS
1. Pengertian Hipersensitivitas adalah keadaan dimana tubuh menghasilkan respon yang tidak tepat atau berlebihan terhadap antigen spesifik (Brunner & Sudarth, 2001) Hipersensitivitas merupakan respon yang berlebihan atau respon yang tidak tepat dan terjadi pada pajanan antigen yang kedua kali. Akibatnya adalah inflamasi dan destruksi jaringan yang sehat (Kowalak-Welsh-Mayer, 2002). Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi sesudah kontak dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kontak ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitasi. Sensitasi memulai respon humoral atau pembentukan antibodi.

2. Tipe dan Jenis Reaksi Hipersesitivitas


2

a. Hipersensitivitas Berdasarkan Respon Terhadap Alergen Hipersensitivitas atau respon alergi dapat dikategorikan menjadi dua kategori yang berlainan, yaitu hipersensitivitis tipe cepat (inmediate hypersensitivity) dan hipersensitiviti tipe lambat (delayed hypersensitivity). Pada hipersensitiviti tipe cepat respon alergi muncul dalam waktu sekitar 20 menit setelah orang yang tersensitisasi terpajan ke allergen, sementara pada hipersensitiviti tipe lambat, reaksi biasanya muncul satu hari atau lebih setelah pajanan. Perbedaan dalam waktu tersebut disebabkan oleh perbedaan mediator-mediator yang terlibat. Suatu allergen tertentu dapat mengaktifkan respon sel B atau sel T. Reaksi alergi tipe cepat melibatkan sel B dicetuskan oleh antibody dengan allergen, reaksi tipe lambat melibatkan sel T dan proses imunitas seluler terhadap allergen berlangsung lebih lambat. (Guyton)

1). Reaksi hipersensitivitas tipe cepat Pada hipersensitivitas tipe cepat, antibody yang berperan dalam proses-proses yang timbul kemudian setelah pajanan ke allergen berbeda dengan respon tipikal antibody terhadap bakteri. Allergen yang paling sering merangsang hipersensitivitas tipe cepat adalah butir-butir serbuk sari, sengatan lebah, penisilin, makanan tertentu, debu, dan bulu binatang. Untuk alasan yang tidak diketahui, allergen-alergen tersebut berikatan dan mencetuskan sintesis antibody IgE dan bukan antibody IgG yang berikatan dengan antigen bakteri. Sewaktu individu dengan kecenderungan alergi terpajan pertama kali ke allergen tertentu, sel-sel B kompatibel mensintesis antibody IgE yang spesifik untuk allergen tersebut. Yang lebih penting juga dibentuk sel-sel pengingat yang bersiap untuk melancarkan respon yang lebih kuat pada pajanan ulang ke allergen yang sama. Berbeda dengan respon humoral yang dicetuskan oleh antigen bakteri, antibody IgE tidak beredar bebas. Bahkan bagian ekor antibody ini melekat ke sel mast dan basofil. Pengikatan allergen yang sesuai dengan antibody IgE yang melekat tersebut mencetuskan pengeluaran beberapa zat perantara kimiawi dari sel mast dan basofil yang bersangkutan. Sebuah sel mast (atau basofil) mungkin dilapisi oleh sejumlah antibody IgE yang berbeda-beda, yang masing-masing mampu berikatan dengan allergen yang berbeda. Dengan demikian sel mast dapat dipicu untuk mengeluarkan produk-produk kimiawinya oleh salah satu dari sejumlah

allergen berbeda. Berikut ini adalah zat-zat kimia penting yang dikeluarkan pada reaksi alergi tipe cepat : Histamine, yang menyebabkan vasodilatasi dan menyebabkan

peningkatan permeabilitas kapiler. Slow-reactive substance of anaphylaxis (SRS-A), yang menyebabkan kontraksi otot polos kuat dan berkepanjagan, terutama dijalan napas halus. Factor kemotaksis eosinofil (eosinophil chemotactic factor), yang secara spesifik menarik eosinofil ke tempat reaksi. Yang menarik eosinofil mengeluarkan enzim-enzim yang menyebabkan inaktivasi SRS-A dan juga dapat menghambat histamine, mungkin berfungsi sebagai tombol pemadan untuk membatasi respon alergi. Gejala-gejala bervariasi tergantung pada tempat, alergan, dan mediator yang terlibat. Paling sering, reaksi terlokalisasi di bagian tubuh tempat sel-sel pembawa IgE bertemu untuk pertama kalinya dengan allergen. Apabila reaksi terbatas disaluran nafas atas setelah seseorang menghirup suatu allergen, misalnya serbuk sari, zat-zat kimia yang dilepaskan akan menimbulkan gejalagejala yang khas untuk hay-fever.

2).

Reaksi hipersensitivitas tipe lambat Sebagian allergen mencetuskan hipersensitivitas tipe lambat, yaitu suatu respon imun yang diperantarai oleh sel T dan bukan oleh respon antibody IgE sel B tipe cepat. Allergen-alergen tersebut antara lain adalah toksin poison ivy dan zat kimia tertentu yang sering mengenai kulit, misalnya kosmetik dan bahan pembersih rumah tangga. Biasanya respon ditandai oleh erupsi kulit yang mencapai puncaknya 1 sampai 3 hari setelah konyak dengan allergen terhadap system T yang sudah tersensitisasi. Sebagai ilustrasi, poison ivy adalah suatu hapten yang dapat berikatan dengan protein kulit yang berkontak dengannya. Toksin itu sendiri tidak merugikan kulit sewaktu berkontak, tetapi mengaktivkan sel T spesifik untuk toksin, termasuk pembentukan komponen pengingat. Pada pajanan berikutnya ke sel yang sama, sel-sel T yang sudah diaktivkan akan berdifusi ke kulit dalam 1 atau 2 haru, berikatan dengan

poison ivy yang ada. Interaksi yang terjadi menyebabkan kerusakan jaringan dan rasa tidak nyaman yang khas untuk penyakit ini.

Hipersensitivitas Berdasarkan Tipe Reaksi Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu : 1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik. 2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik. 3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun. 4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel (tipe lambat). Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.

1. Tipe I : Reaksi Anafilaksi a. Reaksi : Anafilaktik (immediate, atopic, IgE-mediated, reaginik). b. Patofisiologi Antibody IgE terikat dengan sel-sel tertentu ; pengikatan antigen menyababkan pelepasan amina vasoaktif dan mediator lainnya yang

mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas, kontraksi otot polos serta eosinofil. c. Tanda dan Gejala - Sistemik : angioedema, hipotensi, spasme bronkus, GI atau uterus, stridor - Local : urtikaria d. Contoh Klinis Asma ekstrinsik, rhinitis alergika musiman, anafilaksis sistemik, reaksi terhadap serangga penyengat, reaksi terhadap beberapa makanan dan obat, beberapa kasus urtikaria, eksim infantilis.

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu
5

kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya. Reaksi hipersensitivitas tipe I atau tipe cepat ini, ada juga yang membaginya menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan. Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga. Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen. Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I. Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) atau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil. Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat. Proses yang terjadi pada hipersensitivitas tipe I ini adalah: 1. Produksi IgE oleh sel B sebagai respon terhadap antigen paparan pertama 2. Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil
6

3. Interaksi antara antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan aktivasi sel bersangkutan dan pelepasan mediator yang tersimpan pada granulanya. Pada awalnya ketika terpapar pertama kali oleh antigen, tubuh akan merespon dengan mengirimkan IgM. Kemudian sel penghasil antibodi akan memproduksi Ig A, G, D, E dengan spesifisitas yang sama. Ig A, G, D tidak dapat menempel pada basofil dan mastosit karena reseptornya tidak cocok dan apoptosis. Ig E tidak demikian karena dia dapat berikatan reseptor FcRI. Basofil yang sudah ada IgEnya kemudi an terpapar antigen yang sama akan berdegranulasi mengeluarkan mediator-mediator kimiawi yang dapat bermanifestasi klinis hipersensitivitas tipe I (alergi).

2. Tipe II : Reaksi Sitotoksik a. Reaksi : Sitotoksik (sitolitik, sitotoksisitas yang tergantung komplemen, reaksi yang menstimulasi sel). b. Patofisiologi Antibodi IgG atau IgM terikat dengan antigen seluler atau antigen eksogenus. Keadaan ini dapat menyebabkan pengaktifan komponen komplemen lewat C3 dengan vagositosis atau opsonisasi sel atau pengaktifan sistem komplemen yang penuh dengan sitolisis atau kerusakan jaringan. c. Tanda dan Gejala Bervariasi menurut jenis penyakit, dapat mencakup dispnea, hemoptisis, panas.

d.

Contoh Klinis Sindrom Goodpasture, anemia hemolitik autoimun, trombositopenia,

pemfigus, pemfigoid, anemia pernisiosa, rejeksi cangkokkan hiperakut pada transplantasi ginjal, reaksi transfusi, kelainan hemolitik pada bayi baru lahir, beberapa reaksi obat. Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat
7

menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini. Antibodi (IgG dan IgM) menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan, misalnya pada penyakit anemia hemolitik.

3. Tipe III : Reaksi Imun Kompleks a. Reaksi : Kompleks Imun (kompleks solubel, kompleks toksik) b. Patofisiologi Kompleks antigen-antibodi IgG atau IgM bertumpyk dalam jaringan temapat kompleks tersebut mengaktifkan komplemen. Reaksi ini ditandai oleh infiltrasi leukosit polimorfonuklear dan pelepasan enzim-enzim proteolitik lisosom serta faktor permeabilitas dalam jaringan yang menimbulkan reaksi inflamasi yang akut. c. Tanda dan Gejala Urtikaria : ruam multivormis, skarlatini atau morbili formis ; adenopati ; nyeri sendi ; panas ; sindrom yang menyerupai serum sickness. d. Contoh Klinis Sistemik : serum sickness akibat serum, obat atau antigen virus hepatitis ; glomerulus nefritis akut ; sistemik lupus eritematosus, ; artritis reumatoid ; poliartritis ; krioglobulinemia Lokal : reaksi arthus. Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Dapat dilihat terjadi pada kornea, berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks. Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibodymediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat
8

turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis. Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibodi yang lemah, menimbulkan pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan 2. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan

autoantibodi secara terus menerus yang berikatan dengan jaringan self 3. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru-paru, akibat terhirupnya antigen secara berulang kali.

Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo, bukan saja bergantung pada jumlah absolut antigen dan antibodi, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif antar kadar antigen dan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema.

4. Tipe IV : Reaksi yang Diperantarai Sel atau Reaksi Tipe Lambat a. Reaksi : Lambat/delayed (seluler, cell-mediated, tipe-tuberkulin) b. Patofisiologi Sel penyampai-antigen akan menyampaikan antigen kepada sel-sel T dengan adanya MCH. Sel-sel T yang sudah tersensitisasi melepaskan limfokin yang menstimulasi makrofag ; lisozim dilepaskan ; dan jaringan di sekitarnya dirusak. c. Tanda dan Gejala

Bervariasi menurut jenis penyakit ; dapat mencakup panas, eritema dan gatal-gatal. d. Contoh Klinis Dermatitis kontak, penyakit cangkokkan-versus-resipien (graft-versus-host disease), rejeksi allograft, granuloma akibat mikroorganisme intraseluler, beberapa sensitivitas obat, tiroiditis hasimoto, tuberculosis, sarkoidosis.

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang dijumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis herpes simpleks dan keratitis diskiformis. Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T. Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar. Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs. Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit
10

autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen sendiri, dan keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

REAKSI ANAFILAKSIS a. Pengertian Istilah anafilaksis berasal dari 2 kata (ana:melawan; phylaxis: proteksi), yaitu suatu reaksi hipersensitivitas tipe I yang parah. Anafilaksis adalah reaksi neurologis cepat antara antigen spesifik dengan suatu antibody. Anafilaksis melibatkan respon cepat IgE sel mast setelah pajanan ke suatu antigen dan individu sangat peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh system pembuluh akibat histamine sehingga tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah sistemik selama reaksi anafilaktif disebut syok anafilaktik. Karena histamine adalah konstriktor kuat bagi otot polos bronkiolus, maka anafilaksis juga menyebabkan penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respon terhadap beberapa obat, misalnya penisilin, atau sebagai respon terhadap sengatan lebah, dapat bersifat fatal pada orang yang sangat peka karena dapat terjadi kolaps sirkulasi atau gagal napas.

b. Manifestasi Klinis 1. Ringan Kesemutan perifer; sensasi hangat; rasa sesak di mulut dan tenggorokan. Kongesti hidung; pembengkakan periorbital, pruritis; bersin-bersin; mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.

2. Sedang Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal.
11

Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. 3. Parah Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme, edema laring, dispnea berat dan sianosis. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi.

c. Penatalaksanaan 1. Evaluasi fungsi pernafasan dan kardiovaskular 2. Lakukan RJP jika terjadi henti jantung 3. Berikan oksigen dengan konsentrasi yang tinggi selama melakukan RJP atau ketika terjadi sianosis, dispnue atau mengi. 4. Berikan epinefrin, antihistamin, dan steroid untuk mencegaj kekambuhan reaksi dan untuk urtikaria serta angioedema. 5. Gunakan volume ekspander dan agen-agen vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan status hemodinamik yang normal. 6. Berikan penyuluhan pada pasien dengan reaksi ringan tentang resiko terhadap kemungkinan kekambuhan. 7. Dengan ketat amati pasien dengan reaksi berat selama 12-24 jam.

RESPON IMUN SELULER DAN RESPON IMUN HUMORAL Respon imun berawal sewaktu sel B atau T berikatan, seperti kunci dengan anak gemboknya, dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel T atau B sebagai benda asing. Selama perkembangan masa janin di hasilkan ratusan ribu sel B dan sel T yang memilki potensi yang berikatan dengan protein spesifik. Protein yang dapat berikatan dengan sel T
12

dan B mencakup protein yang terdapat di membran sel bakteri, mikoplasma, selubung virus, atau serbuk bunga, debu, atau makanan tertentu. Setiap sel dari seseorang memiliki proiteinprotein permukaan yang dikenali berbagai benda asing oleh sel T atau B milik orang lain. Protein yang dapat berikatan dengan sel; T atau B di sebut deengan antigen, apabila suatu antigen menyebabkan sel T atau B menjadi aktif bermultiplikasi dan berdeferensiaasi lebih lanjut, maka antigen tersebut dapat bersifat imunogenik. 1. RESPON IMUN HUMORAL Di dalam imunitas humoral yang berperan adalah limfosit B atau sel B berasal dari stem sel . Fungsi utamanya adalah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin. Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi (pluripotent stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang(Bone Marrow). Limfosit B menyerang antigen yang ada di cairan antar sel. Terdapat 3 jenis sel limfosit B yaitu : limfosit B plasma memproduksi antibodi, limfosit B pembelah menghasilkan limfosit dalam jumlah banyak secara cepat, limfosit B memori mengingat antigen yang pernah masuk ke tubuh. Humor berarti cairan di dalam tubuh. Sel B bila dirangsang oleh benda asing, akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepaskan akan ditemukan di dalam serum. Fungsi utama adalah antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya. Sel Th 2 juga mempunyai kontribusi didalam sistim imunitas ini. Th 2 akan memproduksi Il-4, Il-5, Il-6 yang merangsang sel B untuk menghasilkan immunoglobulin (Ig), menekan kerja monosit/makrophag dan respon imun seluler
2,8

Immunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B

akibat kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka IgG ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin alfa dan beta. Ada lima jenis IgG yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, IgE. 1. IgG merupakan komponen utama didalam Ig serum dengan kadar di dalam darah sekitar 75 % dari semua immunoglobulin. IgG dapat menembus plasenta dan masuk ke fetus dan berperan dalam imunitas bayi sampai berusia 6-9 bulan.
13

IgG dan komplemen bekerja saling membantu di dalam sebagai opsonin pada pemusnahan antigen. IgG juga berperan di dalam imunitas sellular. 2. IgA ditemukan dalam jumlah yang sedikit didalam darah. IgA di dalam serum dapat Amengagglutinasi kuman. Mengganggu motilitasnya hingga

memudahkan fagositosis oleh sel PMN. 3. IgM merupakan antibody dalam respon imun primer terhadap kebanyakan antigen. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator poten protein. 4. IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah didalam sirkulasi. IgD merupakan 1% dari total immunoglobulin dan ditemuksan banyak pada sel membran sel B bersama IgM dan berfungsi sebagai reseptor pada aktivasi sel B. 5. IgE ditemukan dalam serum dengan kadar yang rendah di dalam serum dan meningkat pada penyakit alergi, infeksi cacing. Respon imun primer terjadi pada paparan pertama pada antigen. Karakteristiknya mempunyai lag period ini dibutuhkan sel B spesifik dalam melawan antigen untuk berproliferasi dan berdifferensiasi menjadi plasma sel. Jika seseorang terpapar untuk kedua kalinya dengan antigen yang sama respon imun sekunder terjadi. Respon ini lebih cepat lebih lama, dan lebih efektif karena sistim imun sudah disiapkan melawan antigen tersebut. Walaupun antibodi tidak dapat menghancurkan antigen secara langsung tetapi dapat menginaktifkan dan menandainya untuk dihancurkan. Yang terjadi di dalam interaksi antigen-antibodi adalah suatu formasi kompleks antigen-antibodi.

2. RESPON IMUN SELULER Di dalam imunitas seluler yang berperan adalah limfosit T atau sel T yang berasal dari sel yang sama dengan sel B tetapi proliferasinya di dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus.Limfosit T menyerang antigen yang berada di dalam sel. Fungsi utama sistim imun spesifik seluler ialah untuk pertahanan terhadap bakteri, virus , jamur dan keganasan di intra seluler. Yang berperan disini adalah limfosit T atau sel T. Sel T bermacam-macam jenisnya, berdasarkan fungsinya secara umum ada tiga golongan utama dari sel T. Yang merupakan sel efektor dari killing sel Adalah sel sitotoksik (Tc), dua golongan lagi termasuk di dalam sel regulasi yaitu sel T helper (Th) dikenal juga sebagai CD4 dan sel T suppressor (Ts)
14

dikenal juga sebagai CD8.T helper(Th) yang disebut juga dengan CD4 dan sel T suppressor (Ts) yang dikenal juga dengan CD8. Th berbeda fungsi berdasarkan kemampuan sitokin yang diproduksi, terbagi menjadi Th1 dan Th2. Th1 mempunyai kontribusi di dalam imunitas humoral. Sel T terdapat dalam jumlah yang banyak didalam submukosa jalan nafas dan dinding alveoli. Sebagai tambahan sel T terdapat dalam jumlah sedikit didalam lumen bronkus dapat melakukan migrasi ke jaringan. Hal ini dapat menjelaskan bahwa limfosit dapat melakukan resirkulasi dari darah ke jaringan limpoid dan kembali ke darah. Sel B terdapat dalam jumlah yang sedikit di dalam lamina propria dari saluran nafas. Konsisten dengan observasi, sejumlah kecil IgA terdapat di dalam sekresi jalan nafas seperti pada sputum maupun pada BAL. IgG juga didapat dalam lumen bronkus. Pada keadaan penyakit atopik sel B juga memproduksi IgE yang didapati disekresi saluran nafas. Fungsi respon imun seluler lanjutan : Sel CD8 mematikan scr langsung sel sasaran Sel T menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat Sel T memiliki kemampuan menghasilkan sel pengingat Sel T sbg pengendali CD4 dan CD8 memfasilitasi dan menekan respon imun seluler dan humoral

Peran sel T helper (CD4) Th berperan menolong sel B dalam differensiasi dan memproduksi antibodi. Sel Th1 memproduksi mediator interleukin-2 (IL-2) dan interferon gamma (IFN-) yang memegang peranan penting proteksi dengan meningkatkan kemampuan makrophag untuk fagositosis dan mencerna kuman yang telah difagotisir. Sel Th berinteraksi secara langsung dengan sel B yang banyak mengandung fragmen antigen pada permukaannya untuk berikatan dengan reseptor MHC II memacunya untuk cepat membelah dan memberi sinyal untuk antibodi untuk memulai fungsinya. Ketika sel Th berikatan dengan sel B, sel T IL 2 (dan limpokin lainnya). Limpokin yang dilepaskan oleh sel Th tidak hanya memobilisasi sel imun dan makrophag, juga menarik sel darah putih seperti neutropil untuk memperkuat pertahanan non spesifik.

15

Fungsi sel CD4 Pengendali ; mengaitkan sist monosit-makrofag ke sist limfoid Berinteraksi dg sel penyaji antigen untuk mengendalikan I Menghasilkan sitokin yang memungkin tumbuhnya sel CD4 dan CD8 Berkembang menjadi sel pengingat

Peran sel T sitotoksik (Tc) Sel T sitotoksikj juga dikenal sebagai sel T killer (pemusnah) adalah satu-satunya sel T yang dapat langsung menyerang dan membunuh sel lainnya. Target utamanya adalah sel yang terinfeksi virus, juga menyerang jaringan lain yang yang terinfeksi oleh bakteri intraseluler, parasit, sel kanker, dan sel asing lainnya yang memasuki tubuh melalui transfusi darah maupun transplantasi organ.

Peran sel T suppressor (Ts) (CD8) Seperti sel Th, Ts adalah sel regulasi. Bagaimanapun aksinya adalah inhibisi karena ia melepaskan limpokin yang dapat menekan aktivitas dari sel T dan sel B. Sel Ts akan menghentikan respon imun setelah sukses menginaktifkan dan menghancurkna antigen. Hal ini membantu mencegah tidak terkontrolnya dan tidak dibutuhkannnya lagi kerja dari sistem imun.

RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) : pernah kontak dengan antigen tertentu (bakteri mikobakterium, virus, fungus, obat dll) dipaparkan kembali reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau peradangan pada tempat antigen berada setelah beberapa hari kemudian. Pada penyakit infeksi intraseluler (bakteri, virus, jamur, parasit dan protozoa ) : mis. kavitas dan granuloma pada infeksi Mycobacterium tuberculosis, lesi granulomatosa pada kulit penderita lepra. Limfokin yang dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma dan sel yang mengandung antigen akan mengalami lisis oleh sel Tc dan sel killer lainnya. Reaksi graft versus host : disebabkan sel imunokompeten donor terhadap jaringan resipien reaksi berupa kelainan kulit (makulopapular, eritroderma, bula dan deskuamasi), kelainan pada hati dan traktus gastrointestinal
16

Penolakan jaringan transplantasi : jaringan yang tadinya mulai tumbuh berhenti tumbuh reaksi imunitas selular karena adanya antigen asing disebabkan sel T resipien mengenal antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen diri sama seperti pengenalan antigen asing di antara celah domain molekul MHC

Penolakan sel tumor : simunitas sama dgn pada penolakan jaringan transplantasi bukan satu-satunya cara untuk hambat pertumbuhan sel tumor, imunitas humoral juga berperan

Uji In Vivo Fungsi Imunitas Selular : reaksi tipe lambat oleh antigen yang pernah dikenal, misalnya tuberkulin, kandida, toksoid tetanus, streptokinase, dan antigen virus mumps Antigen disuntikkan intradermal dinilai apakah terjadi indurasi pada tempat antigen dimasukkan

BEBERAPA HAL YANG TERLIBAT DALAM SISTEM IMUN 1. Histamin Jika seseorang terpapar dengan antigen tertentu, maka hubungan silang antara antibody di sel mastosit dan antigen terbentuk. Hubungan silang tersebut memicu sel mastosit melepas agen aktif, salah satunya Histamin. Histamin bertindak sebagai pembawa pesan, melakukan perjalanan ke lokasi iritasi untuk mengaktifkan respon tertentu di daerah itu. Secara kimia, histamin bekerja dalam tubuh dengan cara mengikat dengan reseptor khusus pada molekul protein di berbagai bagian tubuh. Ketika terikat pada reseptor, efek tertentu diproduksi, seperti peradangan atau peningkatan produksi lendir. Histamin juga menyebabkan penyempitan otot polos. 2. Sel Mast
Perkembangan sel mast ini sampai sekarang belum bias dijelaskan. Sel mast sebagian besar menempati jaringan disekitar pembuluh darah kapiler. Peranan utama sel mast sejauh ini diketahui berhubungan dengan respon alergi dan dipercaya mampu member perlindungan terhadap pathogen pada permukaan jaringan mukosa.

17

Gambar1. Sel mast banyak dijumpai dibawah kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernakan. Sel mast mempunyai granula yang berisi molekul penting yang terlibat pada reaksi inflamasi. Molekul yang ada pada granula itu pada dasarnya digunakan untuk melawan parasit yang masuk. Sel mast mempunyai sisi ikat dengan antibody IgE. IgE dapat diproduksi ketika tubuh terpapar antigen dari parasit misalnya protein dari cacing atau protein lain yang mempunyai bentuk yang sama. Komplek sel mast:IgE juga terjadi pada paparan pollen yang mempunyai antigen dengan bentuk yang sama dengan antigen parasit. 3. Basofil

Basofil disebut granulosit karena penampakannya yang granular (memiliki butirbutir). Sel-sel ini tetap berada dalam sumsum tulang atau sirkulasi sampai mereka tertarik ke daerah infeksi, peradangan, atau trauma oleh zat-zat yang keluar dari jaringan yang rusak, yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau oleh limfosit B atau T. Granulosit ini mengandung enzim yang penting untuk fagositosis (pencernaan) sisa-sisa sel dan penghancuran mikroorganisme. Setelah menyelesaikan fungsinya, granulosit mati. Pada infeksi serius, granulosit mungkin hanya dapat bertahan beberapa jam. 4. Prostaglandin Prostaglandin, terutama seri E, merupakan perantara penting peradangan.

Prostaglandin dihasilkan ketika membrane sel mengalami kerusakan atau pecah dan asam arakidonat, suatu kontituen utama dari membrane sel, dimetabolisme oleh enzim I dan II siklosigemase. Prostaglandin meningkatkan aliran darah ke tempat peradangan dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Prostaglandin juga

18

meningkatkan efek histamine yang menyebabkan demam ketika terjadi infeksi, dan serangan reseptor nyeri.

19

DAFTAR PUSTAKA

Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC Elizabeth J. Conwik.2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC Dr. Jan Tambayong. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Cetakan: I. Jakarta:EGC

20

You might also like