You are on page 1of 22

REFERAT FRAKTUR TERTUTUP SUBTROKHANTER FEMUR

Pembimbing : dr. Kamal Agung Wijayana, Sp.B

Disusun Oleh : Andina Frastiningsih G4A013044

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN SMF BEDAH RSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2013

LEMBAR PENGESAHAN

FRAKTUR TERTUTUP SUBTROKHANTER FEMUR

Oleh :

Andina Frastiningsih

G4A013044

Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Bedah RS Margono Soekardjo Purwokerto.

Purwokerto,

November 2013

Mengetahui, Pembimbing

dr. Kamal Agung Wijayana, Sp.B

ii

BAB I PENDAHULUAN Fraktur subtrokhanter merupakan fraktur yang terjadi antara bawah trokhanter dan 5 cm ke distal dari fraktur intertrokhanter (Kulkarni, 2006), yang ditemukan sekitar 10-30% dari semua fraktur tulang panggul. Fraktur subtrokhanter dapat terjadi pada usia berapapun, dan paling sering ditemukan pada dua kelompok populasi, yaitu pasien tua dengan gangguan osteopenik (osteoporosis atau osteomalasia) yang disebabkan oleh trauma dengan energi rendah; serta pasien yang lebih muda yang biasanya disebabkan oleh trauma energi tinggi (Ekstrm et al., 2009; Nieves et al., 2009). Hingga saat ini, menurut Boy dan griffin (dalam kurkarni, 2006) fraktur subtrokhanter adalah jenis fraktur yang paling sulit ditangani dari semua jenis fraktur trokhanter. Hal ini terkait dengan banyaknya komplikasi akibat fraktur femur subtrokhanter jika tidak ditangani (Rockwood et al., 2010), yaitu kehilangan darah yang lebih besar dibandingkan pada fraktur collum femur atau trokhanter (Kulkarni, 2006). Hasil dari manajemen penanganannya pun masih belum memuaskan (Nieves et al., 2009) karena penyembuhan fraktur yang berjalan lambat (Archdeacon et al., 2009), dan jika menggunakan plat bersudut, implant dapat gagal sebelum fraktur menyatu (Apley et al, 1995) atau terjadi malunion atau nonunion fraktur Chapman et al.,2001; Rockwood et al., 2001). Menurut Watson, campbell, dan wade (dalam kulkarni, 2006) pada 100 orang yang mengalami fraktur subtrokhanter, mortalitas mencapai hingga

19%, kemudian 19% sisanya mengalami nonunion atau delayed union. Masalah yang banyak ditemukan pada fraktur ini adalah malunion, delayed union, atau non union (Hasenboehler et al., 2007). Malunion akan tampak sebagai pemendekan tulang femur, adanya deformitas angular, dan ketidaksegarisan rotasional yang banyak ditemukan padda fraktur

subtrokhanter femur (Vaidya et al., 2003). Penyebab utama terjadinya malunion pada area fraktur ini adalah karena kebanyakan kerusakan terjadi pada bagian tulang kortikal dan sering berupa fraktur kominutif. Sedangkan faktor lainnya adalah biomekanika stress yang terjadi pada region subtrokhanter yang menghasilan kegagalan pada implantasi fiksasi (8-25%.) sebelum terjadi penyatuan tulang (union) [Kulkarni, 2006] Meskipun terdapat modalitas penanganan fiksasi implant yang lebih baru untuk mengatasi ketidaksatabilan pada trauma, namun angka kegagalan implant masih cukup tinggi (Saarenp et al., 2007). Kegagalan teknik seperti gagal reduksi, non-union (Massoud, 2009), dan kegagalan implantasi (penetrasi implant ke sendi) [Egol, 2005] dikarenakan kebanyakan fraktur daerah ini adalah kominutif (Jiang et al., 2007), merupakan hal yang penting untuk terus dikembangkan sebagai perencanaan penanganan dan prediksi outcome nya (Kulkarni, 2006).

BAB II PEMBAHASAN A. DEFINISI Fraktur adalah terputus atau hilangnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang biasa disebabkan oleh trauma (Sjamsuhidajat, 2004), dan jika tidak terdapat hubungan tulang yang patah dengan dunia luar maka disebut sebagai fraktur tertutup (Fitzgerald et al., 2002). Fraktur subtrokhanter femur adalah fraktur yang terjadi pada 1/3 proksimal femur dari bawah trokhanter ke tengah dari isthmus femur. Fraktur tersebut terjadi antara bawah trokhanter dan 5 cm ke distal, atau tampak sebagai perluasan dari fraktur intertrokhanterika (Kulkarni, 2006; Rockwood et al., 2010).

B. KLASIFIKASI Beberapa klasifikasi fraktur subtrokhanter diantaranya adalah

klasifikasi menurut Seinsheimer (1978) [dalam Rockwood et al., 2010] yang mengelompokkan faktur ini kedalam 5 tipe berikut berdasarkan hilangnya stabilitas kortikal: 1. Tipe 1, yaitu jika displacement (pergeseran) < 2 mm. 2. Tipe 2, yaitu terjadi displacement hingga terbentuk 2 fragmen (2 bagian) dengan garis patahan transversal, ataupun spiral (baik dominan ke arah trokhanter proksimal ataupun kea rah distal). 3. Tipe 3, yaitu terjadi displacement hingga terbentuk 3 fragmen (3 bagian).

4. Tipe 4, yaitu terjadi displacement hingga terbentuk 4 fragmen (4 bagian) atau kominutif. 5. Tipe 5, yaitu jika terjadi patahan yang lebih luas hingga ke trokhanter.

Gambar 1. Klasifikasi fraktur subtrokhanter menurut seinsheimer (1978) [Rockwood et al., 2001].

Berdasarkan Orthopedic Trauma Association klasifikasi trauma subtrokhanter dikelompokkan menjadi 9 subtipe berdasarkan garis dan bentuk patahan (Kulkarni, 2006), seperti yang diilustrasikan pada gambar berikut ini:

Gambar 2. Klasifikasi fraktur subtrokhanter menurut orthopedic trauma association (Kulkarni, 2006).

Klasifikasi lain fraktur subtrokhanter juga dikenalkan oleh RussellTaylor (dalam Rockwood et al., 2001). Klasifikasi ini membagi fraktur subtrokhanter menjadi dua tipe utama, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Fraktur tipe 1 tidak melibatkan fossa piriformis dan dibagi kedalam subtype A, untuk fraktur di bawah trokanter minor, dan tipe B yang melibatkan trokanter minor. Sedangkan fraktur tipe 2 melibatkan fossa piriformis. Tipe 2A memiliki buttress medial stabil dan tipe 2B tidak memiliki stabilitas korteks medial femoral (Rockwood et al., 2001). Sistem klasifikasi Russell-Taylor ini berguna untuk membantu menentukan metode pengobatan yang tepat. Fraktur tipe 1 dapat diobati dengan generasi pertama atau kedua intramedullarydevices sementara fraktur tipe 2 memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi internal (ORIF) dengan screw plate devices atau fixed angle implants (Rockwood et al., 2001).

Gambar 3. Klasifikasi fraktur subtrokhanter menurut Russell-Taylor (Rockwood et al., 2001). Untuk kepentingan penelitian, menurut Karunakar et al. (2009) klasifikasi lain yang juga digunakan pada fraktur subtrokhanter adalah klasifikasi berdasarkan Association for the Study of Internal Fixation (AO-

ASIF) yang mengelompokkan fraktur ini menjadi 3 tipe (tipe A, B, dan C) [karunakar et al., 2009]. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk mempelajari teknik pemasangan implant (fiksasi internal) berdasarkan biomekanika fraktur subtrokhanter (Fitzgerald et al., 2002).

Gambar 4. Klasifikasi menurut Association for the Study of Internal Fixation (AO-ASIF) [Fitzgerald et al., 2002].

C. ANATOMI FEMUR Femur merupakan tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat penting untuk pergerakan normal. Seperti tulang panjang lainnya, femur terdiri atas corpus (body) dan dua ekstremitas, yaitu ekstremitas atas (proksimal) dan ekstremitas bawah (distal). Esktremitas proksimal femur teridri atas caput, collum, serta trokhanter mayor dan minor. Sedangkan ekstremitas distal femur terdiri atas dua penonjolan yang disebut condilus (Snell, 2006). Caput femur merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yang merupakan tempat perlekatan ligamen dari caput. Sebagian suplai darah untuk

caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea. Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 1250 (pada wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit (Snell, 2006).

Gambar 5. Anatomi femur (gambaran dari anterior dan posterior) [sumber: medical atlas, www.edoctoronline.com]

Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum. Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Bagian ini lebih licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya

terdapat linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah. Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju tuberculum adductorum pada condylus medialis. Tepian lateral menyatu ke bawah dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia poplitea (Snell, 2006).

Gambar 6. Anatomi femur (1) trochanter mayor, (2) linea intertrochanterica (3) foramen nutricium (4) corpus femoris [diaphysisi] (5) epicondilus lateralis (6) facies patellaris (7) caput femoris (8) fovea cavities femoris (9) collum femoris (10) trochanter minor (11) epicondilus medialis (12) linea pectinea (13) linea aspera (14) facies poplitea (15) condilus lateralis (16) condilus medialis (17) crista intertrochanterica (18) trochanter tertius (19) labium medial lineaaspera (20) labium lateral linea aspera (21) fossa intercondilaris [yokochi, 2006]

Ujung bawah femur atau ekstremitas distal memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis. Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis (Snell, 2006).

D. ETIOLOGI Etiologi fraktur subtrokhanter dikelompokkan berdasarkan kelompok usia tua dan usia muda. Kelompok pasien tua biasanya disebabkan oleh trauma energi ringan (jatuh minor). Pada kondisi ini, fraktur subtrokhanter terjadi karena kelemahan tulang (Nieves et al., 2009), dan mungkin juga terjadi kominutif karena adanya osteoporosis (Rockwood et al., 2010). Kelompok usia ini juga rentan terhadap penyakit metastasis yang dapat menyebabkan fraktur patologis (Nieves et al., 2009). Kelompok yang kedua adalah kelompok pasien muda yang biasanya karena trauma energi tinggi, dan kominutif terjadi karena adanya energi tinggi tersebut, baik dari trauma lateral yang langsung (misalnya, kecelakaan kendaraan bermotor [Motor Vehicle Accident]) atau dari beban aksial (misalnya, jatuh dari ketinggian). Fraktur pada kelompok ini dapat berupa fraktur terbuka dan berhubungan dengan trauma sistem yang multipel (Kulkarni, 2006). Sedangkan luka tembak menyebabkan sekitar 10% dari fraktur subtrochanteric karena energi tinggi (Nieves et al., 2009).

E. PATOFISIOLOGI Daerah subtrokhanter merupakan daerah yang dibatasi oleh bagian bawah trokhanter dan 5 cm di distalnya, yang predominan merupakan tulang kortikal. Penyembuhan pada daerah ini berjalan lambat karena konsolidasi yang lambat pada kortikal primer, serta karena daerah ini selalu mengalami stress yang tinggi selama aktifitas sehari-hari (Rockwood et al., 2010). Beban aksial melalui sendi pinggul membuat daerah regang yang cukup besar, karena adanya tarikan ke lateral dan beban tekan medial. Selain kekuatan regang yang cukup besar, kekuatan otot di bagian pinggul juga membuat efek torsional yang sekaligus mengakibatkan rotasi. Selama kegiatan normal sehari-hari, hingga 6 kali berat badan ditransmisikan di seluruh daerah subtrokhanter femur (Rockwood et al., 2010).

Gambar 7. Gangguan gerak (fleksi, rotasi, abduksi dan adduksi) akibat fraktur subtrokhanter (Rockwood et al., 2010)

Gambar 7. menunjukkan tipe deformitas muskular akibat fraktur subtrokhanter, yaitu fleksi iliopsoas, rotasi eksterna muskulus rotator breves, dan abduksi muskulus abduktor, serta batang femur menjadi lebih pendek dan terjadi adduksi oleh adductor dan kuadriseps (Rockwood et al., 2010).
10

F. DIAGNOSIS 1. Anamnesis Adanya riwayat trauma merupakan petunjuk tentang adanya fraktur (Kalkurni, 2006). Pada kelompok usia muda, penyebab utama fraktur subtrokhanter adalah trauma energi tinggi misalnya karena jatuh dari ketinggian, atau terbanyak karena kecelakaan lalu lintas (Nieves et al., 2009). Sedangkan pada kelompok usia tua, riwayat trauma biasanya ringan seperti terpeleset hingga terjadi fraktur (Archdeacon et al., 2009). Pada kelompok usia ini, perlu digali informasi mengenai adanya penyakit lain seperti keganasan (Kulkarni, 2006), atau pengeroposan tulang

(osteoporosis) [Sanders et al., 2009]. Pasca trauma, pasien mengeluhkan adanya nyeri, keterbatasan gerak pada kaki yang mengalami fraktur, kaki menjadi lebih pendek (Ekstrm et al., 2009). 2. Pemeriksaan fisik Kaki berada pada rotasi luar, bentuknya pendek, dan paha jelas membengkak. Gerakan akan terasa sangat nyeri (Apley et al., 1995; kulkarni, 2006). Pada Inspeksi, tampak pembengkakan pada daerah fraktur (paha), dengan kaki yang tampak mengalami rotasi internal maupun eksternal, serta terdapat nyeri tekan pada paha proksimal (Talley, 2005). Pada kondisi ini, pasien tidak dapat melakukan gerakan fleksi atau abduksi kaki ke panggul (Rockwood et al., 2010). Perdarahan harus dievaluasi dengan monitoring kemungkinan syok sistemik, dan evaluasi kemungkinan terjadinya kompartemen sindrom di

11

region femur (dengan pemeriksaan arteri dorsalis pedis). Pada fraktur akibat energi tinggi, harus dilakukan pemeriksaan fisik lengkap, yaitu terkait dengan Waddell triad (trauma cranium, thorak, dan abdomen). Pelvis, tulang belakang, dan tulang panjang lainnya harus diperiksa, terutama di bagian ipsilateral, agar dapat dilakukan penanangan segera jika terbukti terdapat trauma (Kulkarni, 2006). 3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan sinar X akan menunjukkan lokasi fraktur yang berada pada atau dibawah trokanter minor (Rockwood et al., 2010). Fraktur ini mungkin tampak dengan garis patahan melintang, oblik, atau spiral, dan tersering adalah kominutif. Fragmen bagian atas berfleksi dan tampak seakan-akan pendek, batang berabduksi dan bergeser-geser ke bagian proksimal (Apley et al., 1995; Egol, 2005).

Gambar 8. Fraktur kominutif subtrokhanter (Rockwood et al., 2010)

12

Biplanar plain radiography (foto polos biplanar) merupakan pemeriksaan radiologis dasar dan esensial untuk mendiagnosis fraktur subtrokhanter femur. Pencitraan Full-length anteroposterior (AP) femur dari panggul ke lutut harus tergambarkan. Pencitraan juga harus mencakup dari lateral panggul untuk mengevaluasi kolum femur dan menyingkirkan adanya perluasan fraktur. Pemeriksaan AP pada pelvis serta lutut ipsilateral juga harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya kecurigaan trauma (Rockwood et al., 2010). Jika dicurigai adanya fraktur patologi, maka dapat dilakukan pemeriksaan radiologis skrining yaitu technetium bone scanning atau dengan MRI untuk mengevaluasi keterlibatan skeletal. Pemeriksaan lain seperti foto thorak juga dapat dilakukan untuk mencari adanya kemungkinan metastasis suatu keganasan ke pulmo (Kulkarni, 2006)

G. TATALAKSANA Tindakan non operatif hanya dilakukan jika pasien dalam keadaan yang sangat lemah (karena usia tua) atau diperkirakan akan meninggal dengan tindakan operatif (Craig et al., 2005). Secara umum, fiksasi internal untuk fraktur subtrokhanter meliputi nailing (paku) dan plating. Fiksasi internal bertujuan untuk stabilisasi region femur (terutama subtrokhanter dengan menggunakan implant intramedular) [Perren, 2002]. Sedangkan fiksasi eksternal digunakan sebagai tindakan segera, atau stabilisasi sementara pada

13

politrauma, namun secara umum tidak direkomendasikan sebagai terapi definitif (Rockwood et al., 2010). 1. Nailing Keuntungan mekanik dan biologis dengan teknik intramedular terhadap stabilisasi fraktur subtrokhanter masih diperdebatkan. Teknik nailing merupakan mayoritas teknik yang dipilih untuk stabilisasi fraktur subtrokhanter. Dalam penggunaan teknik nailing, harus dipertimbangkan 1) titik awal pemasangan harus dari fossa piriformis atau pada ujung trokhanter mayor (dengan menggunakan teknik tersebut dapat memberikan hasil yang baik), 2) mengunci bagian proksimal dengan standar greater to lesser (dari trokhanter mayor ke trokhanter minor) dengan kunci tunggal (single screw) ke dalam caput dan collum femoris yang disebut sebagai rekonstruksi atau cepalomedulari nailing. Penggunaan single screw pada trokhanter mayor dan minor harus berdasarkan intergritas dari fragmen proksimal dan kualitas tulang (Rockwood et al., 2010).

Gambar 9. Fiksasi internal intramedular atau cephalomedularry rekonstruksi (Rockwood et al., 2010).

14

2. Plating Teknik plating dapat digunakan pada fraktur subtrokhanter, khususnya pada fraktur dengan fragmen proksimal yang sangat pendek yang sangat sulit jika menggunakan teknik nailing dan sulit untuk dilakukan reduksi (Sanders et al., 2009). Beberapa kategori plate yang dapat digunakan diantaranya DCS (dynamic condilar screw) atau traditional sliding hip screw (Rockwood et al., 2010). Jika menggunakan teknik plating, maka harus dievaluasi dengan hati-hati kemiringan (obliquity) dari fraktur (Kulkarni, 2006).

Gambar 10. Plating (Rockwood et al., 2010)

H. KOMPLIKASI Komplikasi tersering pada fraktur subtrokhanter adalah nonunion, malunion, kegagalan fiksasi, dan infeksi (Larsson et al., 1990; Archdeacon et al., 2009; Rockwood et al., 2010). Nonunion biasanya terjadi setelah 4 hingga 6 bulan akibat tidak mampunya tulang yang fraktur menahan beban tubuh.

15

Jika pada pemeriksaan foto polos tidak tampak, maka dapat menggunakan CTScan, atau bone scanning. Pada kondisi dimana fiksasi masih dapat stabil maka dapat pula dilakukan autogenous bone grafting pada fraktur union, atau pada pasien dengan paku intramedular (intramedullary nails), dapat dilakukan penggantian paku yang lebih lebar (over-reaming) [Kulkarni, 2006]. Malunion biasanya tampak sebagai pemendekan kaki (pincang) atau deformitas dengan keterbatasan rotasi pinggul. Seringkali, deformitas rotasi (gross rotational deformity) dapat dideteksi saat pemasangan paku intramedulla dan dapat dikoreksi saat itu juga atau dengan tindakan derotasional osteotomi pada tulang yang cedera. Jika terjadi pemendekan sekunder yang membentuk varus di kolum femur maka dapat dilakukan osteotomi valgus (Rockwood et al., 2010).

Gambar 11. Komplikasi fraktur subtrokhanter, a) malunion, b) nonunion, c) gagal fiksasi (Rockwood et al., 2010)

Komplikasi berupa adanya kegagalan fiksasi (implant) dapat diatasi dengan mengulangi pemasangan plat screw dan bone graft, atau dengan

16

nailing generasi kedua. Sedangkan komplikasi deep sepsis mungkin merupakan manifestasi akibat nonunion fraktur, sehingga perlu evaluasi infeksi memalui pemeriksaan darah rutin, yaitu leukosit, sedimentasi eritrosit, dan CRP (C-reaktif protein). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan aspirasi daerah yang dicurigai mengalami infeksi, kemudian melakukan kultur kuman (Kulkarni, 2006).

I. PROGNOSIS Relatif sedikit data yang ada mengenai outcome pada pasien dengan fraktur subtrochanteric femur (Karunakar et al, 2009). Pada pasien muda, cedera ini umumnya karena luka traumatis, dan prognosisnya cenderung buruk. Patah tulang melibatkan cedera jaringan lunak pada lutut dan akan mempersulit upaya rehabilitasi. Pada pasien yang lebih tua, patah tulang subtrochanteric dapat dikelompokkan dengan patah tulang femur proksimal lainnya dengan morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi (Hasenboehler et al., 2007) Perlu dilakuakan follow-up untuk memantau penyembuhan. Luka operasi diperiksa 7-14 hari pasca operasi. Harus dilakukan evaluasi radiologis dan klinis setiap bulan untuk memantau penyembuhan. Rehabilitasi quadriceps harus dimulai dalam waktu 2 minggu pasca operasi. Kebanyakan pasien memiliki cacat yang signifikan selama minimal 4-6 bulan. Jika terjadi nonunion yang nyata maka perlu dipertimbangkan bone graft (Craig et al., 2005).

17

BAB III KESIMPULAN 1. Fraktur subtrokhanter femur adalah fraktur yang terjadi pada 1/3 proksimal femur dari bawah trokhanter ke tengah dari isthmus femur, atau dari bawah trokhanter hingga 5 cm ke distal. 2. Etiologi utama fraktur subtrokhanter adalah trauma energy tinggi (pada kelompok usia muda) dan energy rendah (pada kelompok usia tua dengan kealinan osteogenik). 3. Prinsip tatalaksana pada fraktur subtrokhanter adalah dengan tindakan operatif (stabilisasi dengan nailing dan plating) kecuali jika tidak memungkinkan dilakukan operasi. 4. Jika tidak ditangani, dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan sehingga dikhawatirkan terjadi syok. Meski demikian, kemungkinan terjadinya komplikasi nonunion, malunion, dan delayed union tetap dapat terjadi setalah penanganan operatif.

18

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013. Femur bone anatomy. http://www.edoctoronline.com/medicalatlas.asp?c=4&id=22094 diakses tanggal 22 November 2013 pukul 20.06 WIB. Apley, A Graham., Solomon, Louis. 1995. Buku ajar orthopedic dan fraktur sistem Apleys. Jakarta: Widya medika Archdeacon, MT., Cannada, LK., Herscovici, D Jr., Ostrum, RF., Anglen, JO. 2009. Prevention of complications after treatment of proximal femoral fractures. Instr Course Lect.;58:13-9. Chapman MW, Campbell WC. 2001. Chapman's Orthopaedic Surgery. 3rd ed. Philadelphia, Pa:. Lippincott Williams & Wilkins;. Craig NJ, Maffulli N. 2005. Subtrochanteric fractures: current management options. Disabil Rehabil. 15;27(18-19):1181-90. Egol KA. 2005. Opinion: Open reduction and internal fixation in conjunction with total hip arthroplasty. J Orthop Trauma. 19(1):60-1. Ekstrm W, Nmeth G, Samnegrd E, Dalen N, Tidermark J. 2009. Quality of life after a subtrochanteric fracture: a prospective cohort study on 87 elderly patients. Injury. 40(4):371-6. Fitzgerald, Robert H., kaufer, Herbert., malkani, Arthur L. 2002. Orthopaedics. Philadelpia. Elseviers Hasenboehler EA, Agudelo JF, Morgan SJ, Smith WR, Hak DJ, Stahel PF. 2007. Treatment of complex proximal femoral fractures with the proximal femur locking compression plate. Orthopedics. 30(8):618-23. . Jiang SD, Jiang LS, Zhao CQ, Dai LY. 2007. No advantages of Gamma nail over sliding hip screw in the management of peritrochanteric hip fractures: A meta-analysis of randomized controlled trials. Disabil Rehabil. Jul 13;1-5. Karunakar, M., McLaurin, TM., Morgan, SJ., Egol, KA. 2009. Improving outcomes after pertrochanteric hip fractures. Instr Course Lect. 58:91-104 Kulkarni GS. 2006. Textbook of Orthopedics and Trauma. New delhi. Jaypee brothers medical publisher.

19

Massoud EI. 2009. Fixation of subtrochanteric fractures : Does a technical optimization of the dynamic hip screw application improve the results?. Strategies Trauma Limb Reconstr. 4(2):65-71. Nieves JW, Bilezikian JP, Lane JM, Einhorn TA, Wang Y, Steinbuch M, et al. Fragility fractures of the hip and femur: incidence and patient characteristics. Osteoporos Int. May 30 2009. Perren SM. 2002. Evolution of the internal fixation of long bone fractures. The scientific basis of biological internal fixation: choosing a new balance between stability and biology. J Bone Joint Surg Br. 84(8):1093-110. Rockwood, Charles A., Bucholz, Robert W., M, Charles., Court-Brown., D, James., Heckman., Tornetta, Paul., Williams, Lippincott., Wilkins. 2010. Rockwood and Green's Fractures in Adults, Volume 1. London: Amazon Media EU Saarenp I, Heikkinen T, Jalovaara P. 2007. Treatment of subtrochanteric fractures. A comparison of the Gamma nail and the dynamic hip screw: short-term outcome in 58 patients. Int Orthop. 31(1):65-70. Sanders S, Egol KA. 2009. Adult periarticular locking plates for the treatment of pediatric and adolescent subtrochanteric hip fractures. Bull NYU Hosp Jt Dis. 67(4):370-3. Sjamsuhidajat, R. dan W. De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal. 198-200. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC Talley, Nicholas J., Oconnor, Simmon. 2005. Clinical Examination: A Systematic guide to physical diagnosis. Elsevier. Philadelpia. 191pp. Vaidya SV, Dholakia DB, Chatterjee A. 2003. The use of a dynamic condylar screw and biological reduction techniques for subtrochanteric femur fracture. Injury. 34(2):123-8. . Yokochi. 2006. Atlas anatomi manusia. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC

20

You might also like