You are on page 1of 12

1

BAB I
PENDAHULUAN

Teratoma berasal dari bahasa Yunani teratos yang artinya monster dan
onkoma yang artinya tumor. Teratoma merupakan jenis tumor sel germinal
yang berasal dari sel pluripoten dan tersusun oleh unsur berbagai jenis jaringan
yang berbeda dari satu atau lebih ketiga lapisan sel germinal; paling sering
ditemukan dalam ovarium atau testis orang dewasa dan pada daerah
sacrococcygeus anak-anak. Teratoma berkisar dari jinak (matur, dermoid, dan
kistik) sampai ganas (imatur dan padat).
1

Willis mendefinisikan teratoma sebagai tumor atau neoplasma yang
tersusun oleh jaringan multipel yang bersifat asing bagi tempat dimana tumor itu
tumbuh. Tumor ini dapat mengandung elemen kulit, jaringan neural, gigi,
kartilago, kalsifikasi, lemak dan mukosa usus.
2
Tumor ini tersusun dari ketiga lapis embrionik. Biasanya jinak, tetapi
dapat mengandung elemen ganas. Tempat bervariasi, paling sering pada area
sakrokoksigeus (40%). Tempat lainnya termasuk mediastinum anterior, ovarium,
retroperitoneum, testis dan leher.
3
Empat puluh tujuh persen dari teratoma ditemukan di daerah
sacrokoksigeal dan sacrokoksigeal ini adalah tumor yang sering terjadi pada bayi
baru lahir, dengan insiden dari 1 : 40.000 kelahiran. Dan rasio pria : wanita adalah
1 : 4.
4
Teratoma sakrokoksigeus merupakan varian yang tersering (45-65%
kasus), selain gonad (10-35%), mediastinal (10-12%), retroperitoneal (3-5%),
cervical (3-6%), presakral (3-5%) dan susunan saraf pusat (2-4%).
2
Sekitar 20% dari teratoma sakrokoksigeus merupakan tumor ganas.
Teratoma lebih banyak terjadi pada perempuan, tetapi keganasan teratoma lebih
banyak terjadi pada laki-laki. Seluruh spesimen harus dieksisi oleh ahli patologi
untuk mencari elemen keganasan. Terapi radiasi dan kemoterapi khususnya
penggunaan Cytoxian, vincristine dan actinomycin seharusnya menjadi
2

pertimbangan terapi pada pasien ketika elemen keganasan ditemukan. Sayangnya,
hampir tidak ada bayi baru lahir yang selamat ketika mereka teratoma yang
diderita merupakan tipe keganasan.
Jumlah kematian pada anak-anak dengan teratoma sakrokoksigeum
benigna harus diminimalkan. Dalam survei rantai luas oleh American Academy of
Pediatric tahun 1973, 2 persen dari pasien yang dioperasi untuk penyakit benigna
meninggal post operasi, setengahnya disebabkan oleh perdarahan sedangkan
setengah lainnya disebabkan oleh meningitis. Ada beberapa kematian yang terjadi
pada kelompok benigna, tetapi semua itu berhubungan dengan anomali yang
terkait.
5















3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Os sacrum orang dewasa yang besar dan berbentuk baji, terbentuk dari
lima vertebra sacralis yang bersatu. Os sacrum memberi kekuatan dan kemantapan
pada pelvis dan meneruskan berat tubuh kepada cingulum membri inferioris
melalui articulation sacro-iliaca. Basis ossis sacri dibentuk oleh permukaan cranial
vertebra sacralis I. Processus articularis vertebrae sacralis I bersendi dengan
processus articularis inferior vertebrae lumbalis V. Tepi ventral corpus vertebrae
sacralis I yang menganjur kearah ventral adalah promontorium (os sacrum).
Pada facies pelvica dan facies dorsalis terdapat empat pasang foramen
sacralis guna jalan keluar cabang-cabang keempat nervus sacralis paling cranial
dan pembuluh pengiringnya. Facies pelvica ossis crani adalah licin dan cekung.
Keempat garis transversal member petunjuk mengenai tempat terjadinya
persatuan vertebrae sacrales. Facies dorsalis ossis crani adalah kasar dan
cembung. Persatuan processus spinosus membentuk crista sacralis mediana.
Hiatus sacralis yang berbentuk seperti U terbalik, terjadi karena tidak adanya
lamina arcus vertebrae dan processus spinosus pada vertebra sacralis IV dan
vertebra sacralis V. Hiatus sacralis mengantar ke canalis sacralis, yakni ujung
kaudal canalis vertebralis. Cornu sacrale yang mewakili processus articularis
inferior vertebrae sacralis V, menonjol ke kaudal dari masing-masing sisi hiatus
sacralis dan membantu untuk menentukan tempat letak hiatus sacralis. Pars
lateralis ossis sacri mempunyai facies articularis yang berbentuk seperti telinga
dan merupakan bagian articulation sacro-iliaca.
Vertebrae coccygea yang meruncing adalah sisa-sisa kerangka ekor
embriologis. Vertebrae coccygea ini telah menjadi kecil dan tidak memiliki
pediculus arcus vertebrae, lamina arcus vertebrae, atau processus spinosus. Ketiga
4

vertebra kaudal bersatu pada usia setengah baya untuk membentuk os coccygis
yang menyerupai paruh dan bersendi dengan os sacrum.
6

B. ETIOPATOLOGI
Teratoma tersusun atas berbagai jenis sel parenkimal yang berasal lebih
dari satu lapisan germinal dan sering berasal dari ketiga lapisan. Tumor ini berasal
dari sel-sel totipoten, umumnya pada garis tengah atau paraxial. Lokasi yang
paling sering adalah sakrokoksigeal. Karena berasal dari sel totipoten, sehingga
sering ditemukan di kelenjar gonad (29%). Sejauh ini, lokasi gonad yang paling
sering terjadi adalah pada ovarium, disusul pada testis. Kista teratoma kadang
muncul pada sequestered midline embryonic cell rests dan bias pada mediastinum,
retroperitoneal, servikal, dan intracranial. Sel-sel berdiferensiasi sesuai lapisan
germinal, yang terdiri dari berbagai jaringan pada tubuh, seperti rambut, gigi,
lemak, kulit, otot dan jaringan endokrin.
7
Teratoma terbentuk dan berkembang selama kehidupan intrautrin, dapat
menjadi sangat besar pada teratoma sakrokoksigeus seiring dengan perkembangan
fetus. Teratoma sakrokoksigeus muncul dari primitif knot atau hensens node.
Hensens node adalah suatu agregasi dari sel totipotensial yang merupakan
pengatur utama pada perkembangan embrionik. Semula terletak di bagian
posterior embrio yang bermigrasi secara caudal pada minggu pertama kehidupan
didalam ekor embrio, akhirnya berhenti di anterior tulang ekor (coccyx). Alur
migrasi dari sel germinal menunjukan lokasi dan patologi yang paling sering
terdapat teratoma (sakrokoksigeus dan gonad). Sel-sel ini dapat meluas ke
postero-inferior masuk daerah glutea dan /atau postero-superior masuk ke rongga
abdominopelvik. Pemisahan sel totipotensial dari hansens node mungkin
menyebabkan munculnya teratoma sakrokoksigeus. Sel pleuripotensial ini
melarikan diri dari kontrol pengatur embrionik dan berdiferensiasi masuk dalam
jaringan yang tidak biasa ditemukan pada daerah sakrokoksigeus. Tumor terjadi
dekat dengan tulang ekor, dimana konsentrasi terbesar primitif sel berada untuk
waktu yang lama selama masa perkembangan.
8
5

C. GAMBARAN KLINIK
Secara klinis, Tumor paling sering muncul sebagai massa yang menonjol
antara coccyx dan anus yang biasa ditutupi dengan kulit normal yang intak.
Beberapa pasien, seluruh atau sebagian benjolan terletak pada permukaan
retrorektal atau retroperitoneum. Pada bayi dan anak-anak, Tumor muncul sebagai
massa pada daerah sakropelvis yang menekan kandung kemih dan rectum.
Seringnya gejala obstruksi pada traktus urinarius yang disebabkan oleh kompresi
ureter dan urethra terhadap pubis atau kompresi ureter terhadap pinggiran pelvis
dan terjadi kesulitan defekasi sebagai tanda obstruksi yang mungkin tidak cukup
dikenali.
Sebagian kecil pasien dapat mengalami paralysis, nyeri, atau kelemahan
pada kaki, terutama pada stadium lambat dari invasi maligna dari tumor.
Pada teratoma sakrokoksigeus pada fetus, jika tumornya besar, dapat
menyebabkan distosia, kesulitan melahirkan dan perdarahan atau laserasi tumor.
8

D. DIAGNOSIS BANDING
Prinsip pertimbangan diagnosis banding pada bayi dengan masa posterior
ke koksigeus adalah meningokel, kordoma, duplikasi rectum, tumor neurogenik,
lipoma dan hemangioma. Untungnya, teratoma memilliki penampilan
karakteristik yang membuat diagnosis pada bayi relatif mudah.
5



E. DIAGNOSIS
1. Prenatal
USG prenatal dapat mendeteksi tumor ini mulai pada usia kehamilan 13
minggu. USG menunjukkan peningkatan ukuran uterus, placentomegaly,
polihidramnion, hidrops fetalis, massa inhomogen pada sakrum dengan gambaran
kalsifikasi. Ibu pasien bergejala polihidramnion, meningkat kadar alfa fetoprotein
darah sebelum partus dan partus prematur. Bila gejala ini timbul sebelum usia 30
minggu kehamilan maka prognosis anak adalah buruk. Persalinan akan beresiko
6

pada ibu sehingga untuk menghindari distosia atau ruptur tumor dianjurkan untuk
dilakukan sectio cesarea bila ukuran tumor lebih dari 5 cm atau tumor lebih besar
dari diameter fetus.
2. Postnatal
Teratoma benign hanya sedikit bergejala atau bahkan tidak bergejala sama
sekali. Massa pada pelvis yang besar dapat menyebabkan dekompresi traktus
urinarius maupun rektum. Defisit neurologis jarang terjadi, bila terjadi
mengindikasikan malignansi. Tanda metastasis perlu dicari pada anak lebih tua.

Diagnosis teratoma sakrokoksigeus biasanya ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik. Tumor ini biasanya didiagnosa ketika ditemukan benjolan
sacrum yang besar setelah kelahiran yang sulit atau obstruksi pada kelahiran.
Anamnesis didapatkan adanya nyeri rectum, konstipasi, dan adanya sebuah
benjolan.
Teratoma sakrokoksigeus juga sering didiagnosa sebelum bayi lahir
dengan pemeriksaan ultrasonografi fetal. Laporan bertahap diagnosis antenatal
7

pada teratoma sakrokoksigeus menunjukkan bahwa sebagian besar fetus yang
didiagnosa teratoma sakrokoksigeus kemungkinan meninggal sebelum kelahiran.
Diagnosis prenatal penting karena tumor ini mungkin cukup besar untuk
menyebabkan distosia dan ruptur dari tumor dengan perdarahan masif dapat
terjadi selama kehamilan.
Pada sebagian besar kasus, teratoma sakrokoksigeus sangat khas sehingga
diagnosisnya sangat jelas. Kadang-kadang, bagaimanapun diagnosis tidak begitu
jelas dan adanya lesi lain seperti kondroma, fibroma, duplikasi rektal, terutama
mielomeningocele dan tumor neurogenic presakral, harus dikeluarkan. Apabila
sulit membedakan teratoma sacrococygeal dengan lesi lain, studi diagnostic
seperti Foto polos, Ultrasonografi, computer tomografi (CT) atau MRI.
Foto thoraks membantu menyingkirkan penyakit metastase. Foto polos pada
sacral dapat menunjukkan adanya kalsifikasi dalam tumor. Ultrasonografi berguna
untuk menentukan sifat lesi (padat atau kistik, adanya komponen intraabdominal
dan keterlibatan hati). Baik CT Scan lateral dan magnetic resonance imaging
(MRI) akan menunjukkan perluasan intrapelvis dan intraspinal dari lesi sacral
dengan rincian yang jelas. Beberapa teratoma mengandung elemen yolk salk,
dimana mengeluarkan alfafetoprotein. Deteksi AFP dapat membantu
memperjelas diagnosis dan sering digunakan sebagai marker untuk rekurensi atau
efektifitas pengobatan, tapi metode yang jarang pada diagnosis awal. Pada satu
tahap, AFP meningkat pada 31 dari 32 teratoma maligna. AFP juga ditemukan
meningkat pada cairan amnion jika infan menderita teratoma.
8

8



F. STADIUM
Klasifikasi Altman membagi tumor berdasarkan fungsi bentang
anatominya ke dalam 4 kelompok :
1. Altman I : eksternal tumor yang mendominasi, dengan perluasan
minimal
2. Altman II : eksternal tumor dengan perluasan signifikan intrapelvis.
9

3. Altman III : tumor eksternal dengan perluasan intra-abdominal
4. Altman IV : hanya tumor intrapelvis, tidak dapat dilihat dari luar.
9





G. PENATALAKSANAAN
Teratoma sakrokoksigeus harus dieksisi lengkap. Lesi Tipe I dan II dapat
dimulai pada daerah posterior melalui chevron insisi dan sagital. Lesi tipe III dan
IV harus insisi tambahan transversal pada perut bagian bawah. Bagian penting
10

pada prosedur termasuk pengangkatan lengkap pada tumor intak, ligasi arteri
sakral tengah, dan eksisi tulang ekor ( coccyx ) bersama tumor.
Jika tumor secara histologi benigna ( hanya jaringan matur) atau mengandung
jaringan embrionik tanpa maligna seutuhnya, eksisi lengkap adekuat. Jika lesi
benigna (97 %), tidak diindikasikan terapi lanjutan. Untuk Tumor yang agresif
dan terdapat jaringan malignan seutuhnya, pembedahan eksisi sendiri tidak
adekuat dan pasien harus mendapatkan kemoterapi dan atau radioterapi. Pasien
dengan rekurensi kanker dan tidak dapat dieksisi diberikan terapi VAC
(vinkristin, dactinomycin, cyclophosphamide) ditambah radiasi lokal. Pasien ini
harus dievaluasi setiap 3 bulan selama 2 tahun pertama dengan pemeriksaan rectal
dan jumlah AFP. Pasien yang diperkirakan rekurensi harus dievalusi dengan
pemeriksan radiologi yang sesuai, Ultrasonografi dan/ atau CT.
Lesi ini paling baik direseksi dalam 24 jam pertama, sejak usus tidak dikoloni
pada 24 jam pertama setelah kelahiran., mengurangi resiko infeksi pada daerah
yang terkontaminasi feses selama reseksi. Perioperatif antibiotic diberikan segera
sebelum pembedahan dan dilanjutkan 24-48 jam setelah operasi.
8



11

H. KOMPLIKASI
Infeksi luka umumnya tidak terjadi, tetapi sama seperti pada seluruh
pembedahan bayi baru lahir lainnya, antibiotik spektrum luas diberikan 5 hingga 7
hari. Luka infeksi yang terjadi ditangani dengan tidak ada perbedaan dengan luka
infeksi lainnya di bagian tubuh mana saja, dan seharusnya tidak menjadi suatu
masalah serius. Kontinesia urin dan feses tergantung dari derajat kerusakan
nervus yang terlibat dan kerusakan ketika waktu pembedahan dan distorsi
sejumlah otot levator. Perlu untuk memperbaiki otot levator sesudah eksisi tumor
akan memberikan hasil inkontinensia feses seminimal mungkin.
5


I. PROGNOSIS
Mortalitas berada dalam batas 15 hingga 20 persen untuk operasi yang
dilaksanakan segera setelah kelahiran, dan hampir tiga kali jumlahnya jika
dilaksanakan 1 bulan atau lebih setelah kelahiran (Ravitvh 1951). Peningkatan
mortalitas berhubungan dengan adanya eksisi yang tertunda oleh karena adanya
ruptur dan perdarahan dan adanya perluasan maligna. Gambaran ini menegaskan
bahwa perlunya intervensi pembedahan pada periode kelahiran baru yang lebih
cepat.
10
Secara keseluruhan, dengan tingkat kesuksesan hidup lebih dari 95%,
prognosis dari bayi baru lahir dan anak-anak penderita sacro-coccygeal teratoma
baik. Pasien dengan maligna sacro-coccygeal teratoma akan menghadapi
prognosis yang kurang menyenangkan dibandingan pasien dengan gambaran
histologi benigna, tetapi perbaikan substansial telah dicatat sejak lebih dari 20
tahun yang lalu. Angka pasien yang hidup 80%-90% bisa dicapai di sub kelompok
tumor maligna.
9



12

DAFTAR PUSTAKA
1. Hartanto Huriawati, Koesoemawati Herni, Salim Ivo. Kamus Kedokteran
Dorlan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002.
2. Ilmu Bedah. Teratoma Sacrococcygeus. 2012. Available on :
http://ilmubedah.info/teratoma-sacrococcygeus-20120713.html.
3. Seymour Schwartz, Shires Tom, Spencer Frank. Intisari Prinsip-Prinsip
Ilmu Bedah. Ed 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000.
4. Burge David, Griffiths Mervyn, Steinbrecher Henrik. Paediatric Surgery.
Ed 2. Hodder Arnold, 2005.
5. Coran Arnold, Behndt Douglas, Weintraub William. Surgery of the
Neonate. Boston : Little, Brown and Company, 1978.
6. Moore Keith, Agur Anne. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates,
2002.
7. Medscape Reference. Cystic Teratoma. 2012. Available on :
http://emedicine.medscape.com/article/281850-overview#a0104
8. When Youll Be A Doctor. Teratoma Sakrokoksigeus. 2010. Available on:
http://dokterblogger.wordpress.com/2010/11/11/teratoma-sakrokoksigeus/
9. Oldham Keinth, Colombani Paul, Foglia Robert. Principles and Practice
of Pediatric Surgery. Vol 1. Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
10. Haller Alex, Talbert James. Surgical Emergencies in the Newborn.
Philadelphia : Lea & Febiger, 1972.
11. Tanda-tanda Vital dan Pemeriksaan Fisik pada Bayi. 2011. Available on :
http://freyadefunk.wordpress.com/2011/11/16/tanda-tanda-vital-dan-
pemeriksaan-fisik-pada-bayi/
12. Four Season News. Penjelasan Tentang Teratoma Sakrokoksigeus.
Available on : http://fourseasonnews.blogspot.com/2012/01/penjelasan-
tentang-teratoma.html

You might also like