You are on page 1of 6

1

ACUTE RESPIRATORY FAILURE


(GAGAL NAFAS AKUT)

Pendahuluan.
Gagal nafas merupakan sindroma dimana sistem pernafasan gagal melaksanakan salah satu atau kedua
fungsi pemeliharaan gas darah (memasukan O
2
kedalam tubuh dan mengeluarkan CO
2
dari tubuh).
Secara umum kriteria gagal nafas ialah apabila PaO
2
< 60 mmHg dan atau PaCO
2
> 50 mmHg pada
pernafasan dengan udara kamar. Gagal nafas bisa terjadi secara mendadak (acute) atau menahun
(chronis).
Fisiologi pernafasan:
Secara fisiologi, sistem pernafasan terdiri dari 2 bagian pokok yaitu :
1. Organ tempat terjadinya perpindahan gas / difusi gas (dari tempat yang bertekanan tinggi ke
tempat yang bertekanan rendah), yaitu di paru (alveoli).
2. Bagian yang berfungsi sebagai pompa, yaitu untuk memventilasi paru (alveoli). Bagian ini terdiri
dari dinding dada, otot pernafasan, dan pusat pernafasan sebagai pengontrol otot pernafasan,
dan syaraf yang menghubungkannya.
Kemampuan otot pernafasan menjalankan fungsinya, tergantung dari keseimbangan antara
kemampuan kontraksi, tahanan yang harus ditanggung dan keoptimalan pusat nafas sebagai
pusat pengendali.
Apabila salah satu dari bagian bagian sistem tersebut mengalami gangguan maka terjadilah gagal nafas.

Klasifikasi gagal nafas.
Ditinjau dari gambaran gas darah, gagal nafas terbagi menjadi :
1. Gagal nafas tipe hipoksemik (tipe I) : yaitu bila PaO
2
< 60 mmHg dengan PaCO
2
normal atau
rendah. Tipe ini disebabkan karena gangguan pada organ tempat difusi (perpindahan) gas yaitu
paru (pneumonia, ARDS, emphysema, atelectasis, edema paru).
2. Gagal nafas tipe hiperkapnik (tipe II) : yaitu bila PaCO
2
> 50 mmHg. Gagal nafas pada tipe ini
adalah akibat gangguan di sistem pompa (gangguan di pusat nafas, kerusakan sistem
neuromuskuler, gangguan rongga dada atau dinding dada) sehingga terjadi hipoventilasi
alveoler.
3. Gagal nafas tipe campuran : yaitu campuran antara tipe I dan II.

Berdasar kejadiannya, gagal nafas terbagi menjadi:
2

1. Akut : yaitu terjadi dalam waktu beberapa menit atau jam, yang ditandai dengan perubahan gas
darah dan penurunan pH ( < 7,3 ) karena kompensasi ginjal masih belum sempurna.
2. Khronis : yaitu terjadi dalam beberapa hari atau lebih, yang ditandai dengan perubahan gas
darah dan pH; namun penurunan pHtidak terlalu rendah, karena sudah ada kompensasi dari
ginjal (meningkatnya [bicarbonat]). Namun dampak dari gagal nafas kronis akibat hipoksemia
khronis seperti polycythemia, cor-pulmonale, clubbing finger kadangkala nampak. Demikian juga
dampak hiperkarbia khronis berupa asidosis yang khronis.

Patofisiologi gagal nafas.
Secara umum, terjadinya gagal nafas akut disebabkan karena :
1. Hipoventilasi
2. Ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch).
3. Shunt
Hipoventilasi.
Penyebab hipoventilasi antara lain gangguan pada pusat nafas (depresi karena obat2an), gangguan pada
neuromuskuler (kelumpuhan otot pernafasan, kerusakan persyarafan otot pernafasan), gangguan /
kelainan dinding dada (kegemukan, kyphoscoliosis, cicatrix dinding dada). Hipoventilasi akan
menyebabkan hipoksemia dan hiperkarbia. Hipoksemia akibat hipoventilasi ditandai dengan normalnya
perbedaan tekanan parsial O
2
di alveoli dan di arteri (A-a DO
2
).
Hipoksemia pada hipoventilasi bisa dikoreksi dengan pemberian (terapi) O
2.

V/Q mismatch (ketidak imbangan antara ventilasi dan perfusi).
Merupakan penyebab tersering gagal nafas akut. Pada V/Q yang rendah (akibat hipoventilasi, atau
ventilasi yang normal namun perfusi yang relatif tinggi) akan terjadi hipoksemia dan hiperkapnia.
Sedang pada V/Q yang tinggi biasanya tidak mempengaruhi gangguan difusi gas, kecuali bila
gangguannyasangat ekstrim.
Shunt.
Yaitu keadaan dimana darah yang tidak teroksigenasi bercampur dengan darah yang teroksigenasi.
Percampuran yang tidak normal tersebut bisa terjadi di jantung atau diluar jantung. Di jantung,biasanya
akibat kelainan jantung bawaan (VSD, ASD), sedang diluar jantung yaitu di paru, seringkali akibat
pneumonia, atelektasis, edema paru yang hebat. Dalam keadaan normal shunt juga terjadi, namun
hanya sekitar 2-3 % saja yaitu akibat sirkulasi di bronkhial dan thebesian. Pada shunt jarang terjadi
hiperkapnia, kecuali bila shunt > 60%, namun hipoksemia yang terjadi sulit bisa dikoreksi dengan terapi
(pemberian) O
2
.


Beberapa keadaan klinis penyebab gagal nafas akut:
3

1. Gangguan di tingkat pusat pernafasan
a. Depresi pusat nafas akibat obat2an, penyakit di otak (pusat nafas).
b. Gangguan metabolik sehingga terjadi gangguan perangsangan pusat nafas.
2. Gangguan di sistem syaraf tepi, otot pernafasan dan dinding dada.
a. Penyakit Guillain Barre.
b. Penyakit myasthenia gravis
c. Gangguan bentuk dada (kyphoscoliosis), kegemukan.
3. Gangguan di jalan nafas (bronchitis, asthma bronchiale).
4. Gangguan di alveoli (edema paru, atelectasis, pneumonia).
Tanda dan gejala:
Gejala akibat hipoksia dan hiperkarbia: sesak nafas, gangguan kesadaran (gelisah sampai coma),
takhikardia, sianosis (pada hipoksemia yang berat sehingga kadar deoksigenasi Hb 5 gr%).
Gejala akibat penyakit yang mendasari gagal nafas akut :
o Tanda dan gejala penyakit jantung sehingga terjadi edema paru.
o Tanda dan gejala penyakit sistemik sehingga terjadi ARDS.
o Tanda dan gejala akibat keracunan obat.
o Riwayat tranfusi darah
Tanda pada pemeriksaan penunjang:
o Tanda kelainan foto thorak (gambaran infiltrat, atelektasis, pneumothorak, dlsb).
o Ketidak normalan profil gas darah (P/F ratio, PaO
2
, PaCO
2
, A-aDO
2
)

Pengelolaan:
Prinsip pengelolaan gagal nafas akut:
1. Mengatasi hipoksia akibat hipoksemia:
a. Pengelolaan jalan nafas.
b. Memperbaiki alveoli (mengembangkan) dan membantu ventilasi alveoli dengan
menggunakan ventilator.
c. Terapi oksigen.
d. Mempertahankan perfusi jaringan tetap baik.
2. Mengatasi asidosis akibat hiperkarbia.
3. Mengelola penyakit yang mendasari terjadinya gagal nafas.
a. Mengelola edema paru karena gangguan sistem kardiovaskuler.
b. Mengelola sepsis yang menyebabkan ALI / ARDS.
c. Mengelola gangguan sistem syaraf yang menyebabkan hipoventilasi.
i. Mengelola cedera kepala akibat trauma, stroke.
ii. Mengelola gangguan akibat keracunan.
iii. Mengelola gangguan sistem neuromuskuler.
4

Pengelolaan jalan nafas:
Tujuan pengelolaan jalan nafas ialah: agar O
2
bisa lancar lewat dari hidung sampai ke alveoli.
Beberapa macam cara mengelola dan membebaskan jalan nafas ialah :
1. Tanpa alat :
a. Ektensi kepala + rahang bawah didorong ke ventral (jaw thrust).
b. Ekstensi kepala + angkat dagu (chin lift).
c. Triple maneuver
2. Dengan alat :
a. Pipa orofaringeal
b. Pipa nasofaringeal
c. Pipa endotrakheal
d. LMA
3. Operatif :
a. Krikotirotomi
b. Trakheostomi
Indikasi dilakukan pemasangan pipa endotracheal:
1. Obstruksi jalan nafas bagian atas
2. Resusitasi pada henti nafas (apneu) / henti jantung (cardiac arrest)
3. Penjagaan jalan nafas
4. Hipoksemia refrakter
5. Menggunakan alat bantu nafas (ventilator)
6. Bronchopulmonary toilet (penghisapan lendir jalan nafas)

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan:
1. Target mengatasi hipoksemia ialah : PaO
2
60 mmHg dan SaO
2
> 90%.
2. Menilai gangguan difusi jangan hanya melihat PaO
2
nya saja , namun sebaiknya melihat P/F
ratio. P/F ratio adalah perbandingan antara PaO
2
dan FiO
2
( dalam desimal). Harga normalnya
antara 300-500. Bila P/F ratio < 300 berarti ada gangguan difusi O
2
di alveoli.
3. Memperbaiki difusi O
2
di alveoli (dengan menggunakan ventilator) akan mengurangi "work of
breathing". Usaha demikian hendaknya dilakukan secara dini.
4. Target penggunaan ventilator :
a. Membantu mengeliminasi CO
2

b. Memperbaiki difusi O
2
dari alveoli ke kapiler
c. Mengurangi "work of breathing" dengan cara membantu otot pernafasan.
5. Cara memperbaiki perfusi jaringan ialah :
5

a. Mencukupi volume cairan tubuh (terutama volume cairan intra vaskuler).
b. Mengoptimalkan kontraksi otot jantung.
c. Memperbaiki keadaan pembuluh darah dengan golongan obat vasoaktif.
d. Mengoptimalkan denyut jantung.

6. Asidosis yang disebabkan gagal nafas adalah akibat hiperkarbia (respiratory acidosis), dan pada
keadaan lanjut juga akibat hipoksia (metabolic acidosis). Oleh karenanya mengatasi asidosis
pada gagal nafas adalah dengan mengeliminasi CO
2
dengan cara memperbaiki jalan nafas dan
membantu ventilasi alveoli (dengan ventilator), dan mengatasi hipoksia dengan cara memper-
baiki DO
2
(oxygen delivery) dan mikrosirkulasi.

7. Rumus : DO
2
= (HR x SV) x {(1,34 x SaO
2
x Hb) + (0,03 x PaO
2
)}.
HR = heart rate : frekuensi denyut jantung.
SV = stroke volume : banyaknya darah yang dipompa jantung dalam sekali kontraksi.
SaO
2
= saturasi O
2
di darah arteri
PaO
2
= tekanan partial O
2
dalam darah.

Faktor yang mempengaruhi SV:
o Volume darah yang masuk ke jantung (preload).
o Kekuatan kontraksi otot jantung (contractility).
o Keadaan pembuluh darah (after load).

8. Beberapa tanda laboratorium / pemeriksaan penunjang secara praktis untuk memantau
oksigenasi jaringan a.l.:
a. [laktat] darah.
b. Base Excess (BE).
c. Saturasi vena sentral.

Kesimpulan:
Gagal nafas akut bisa disebabkan karena gangguan di paru dan diluar paru. Prinsip pengelolaanya ialah
secara dini membantu faal paru sambil mengelola penyakit dasar yang menyebabkan gagal nafas akut .
Agar pengelolaannya bisa berhasil perlu mendeteksinya secara dini.
Karena penyebab gagal nafas akut multifaktorial, maka pengelolaannyapun memerlukan pendekatan
yang komprehensif, artinya tidak bisa tersekat sekat berorientasi secara organ.



6

Kepustakaan:
1. C. Roussos, A. Koutsoukou, Respiratory failure; Eur Respir J 2003; 22: Suppl. 47, 3s14s
2. Ata Murat Kaynar, Sat Sharma: Respiratory Failure; emedicine.medscape.com
3. Andrews P, Azoulay E, Antonelli M, et al. Year in review in intensive care medicine. 2005. I.
Acute respiratory failure and acute lung injury, ventilation, hemodynamics, education, renal
failure. Intensive Care Med. Feb 2006;32(2):207-16.
4. Kregenow DA, Rubenfeld GD, Hudson LD, Swenson ER. Hypercapnic acidosis and mortality in
acute lung injury. Crit Care Med. Jan 2006;34(1):1-7.
5. Manning HL, Schwartzstein RM: Pathophysiology of dyspnea; N Engl J Med 333, 1995 p 1547-
1553.
6. Shelly MP, Nightingale P: Respiratory Support, BMJ 1999; 318: 1674-1677.
7. Levy MM: Pathophysiology of Oxygen Delivery in Respiratory Failure, Chest 2005;128;547-553
8. TreacherDF, Leach RM: Oxygen transport1. Basic principles: BMJ 1998; 317, 1302-1306.
9. Treacher DF, Leach RM: Oxygen transport- 2. Tissue hypoxia: BMJ 1998 ; 317 , 1370-1373.
10. Hameed SM, Aird WC, Cohn SM: Oxygen delivery: Crit Care Med 2003 (31), 12 (Suppl.),S 658-
667.
11. Patrick A Nee, et al:Critical care in the emergency department: acuterespiratory failure : Emerg
Med J 2011;28:94-97.

You might also like