You are on page 1of 14

Latar Belakang

Aksi Terorisme di Indonesia sepanjang tahun 2000-2009 di Indonesia tercatat telah


terjadi 22 pengeboman, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan yang baru-baru ini para
teroris melakukan peledakan Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton di Mega Kuningan pada
jumat pagi, tanggal 17 Juli 2009 dengan jumlah korban tewas 9 orang dan luka-luka 55 orang,
Aksi terorisme di Indonesia sebenarnya dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks
Perguruan cikini dalam upaya pembunuhan Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, pada tahun 1962
dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai pada bulan Agustus 2001 yaitu Peledakan
Plaza Atrium, Senen, Jakarta. Ledakan melukai 6 orang , semua aksi pemboman di Indonesia
sepanjang tahun 1962 sampai dengan Agustus 2001 ganya menjadi isu dalam negeri, namun
sejak terjadinya peristiwa world Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001, yang memakan 3.000 korban.(Adji,2001)
Peristiwa 11 September mengawali babak baru isu terorisme menjadi isu global yang
mempengarui kebijakan politik seluruh Negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak
persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musug internasional. Pembunuhan missal tersebut
telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Pasca Tragedi 11 september 2001
indonesia sendiri belum menganggap aksi pemboman yang terjadi di dalam negeri sebagai aksi
terorisme tapi aksi separatis/para pengacau keamanan seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan sebagainya, Pemerintah Indonesia baru menganggap adanya aksi Terorisme di Indonesia,
setelah terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan terror,
menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari
300 orang. Hal ini terbukti pasca tragedy Bom Bali I, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April
2003 disahkan menjadi Undang-undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini dikeluarkan menginat peraturan yang ada saat ini
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak
cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme. (Manullang, 2001)
Maka identifikasi pemasalahan pada makalah ini lebih difokuskan pada pendekatan-
pendekatan hukum yang dititik beratkan pada pengertian terorisme atau teroris, latar belakang
terjadinya aksi terorisme, kajian akademis yang berbasis hukum nasional dan internasional
terhadap pasal-pasal yang ada pada UU anti teroris Indonesia yaitu Perpu No. 1 tahun 2001 dan
revisi UU No. 15 tahun 2003 dan apakah terdapat kelemahan pendekatan legal formal yang
diterapkan melalui UU anti terorisme dalam menindak para pelaku terorisme.




























Perumusan Masalah


Menurut Konvensi PBB Tahun 1937. Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan
yang ditunjukkan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap
orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.(Manullang, 2001)
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat (1), tindak pidana terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsure-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme,
diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6,7, bahwa setiap orang
dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, Jika:
1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana terror atau rasa taktu terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban
yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa
dan hartta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau
fasilitas internasional (Pasal 6).
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk
menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau
fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).(Adji, 2001)
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana terorisme, berdasarkan ketentuan
pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak yang menjadi cirri
dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah :
1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakay sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
Dilakukan cara mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif
sosial, politik ataupun agama.(Mustofa, 2000)
Menurut A.C Manulang, Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari
kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideology dan etnis serta
kesenjangan ekonomi, serta terseumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena
adanya paham separatism dan ideologi fanatisme.(Manullang, 2001)
Menurut Muhammad Mustofa. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang ditujukkan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan
pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian, dan keputusasaan
massal.(Mustofa, 2000)




















Pembahasan


Istilah Terorisme
Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang
artinya dalam keadaan terror (under the terror), berasal dari bahasa latin terrere yang berarti
gemetaran dan detererre yang berarti akut. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk
menunjuk suatu musuh dari sengketa territorial atau kultural melawan ideology atau agama yang
melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki
arti politis dan sering digunakan untuk mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya
untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang.
Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut
William D Purdue (1989), the use word is one method of delegitimation often use by side that
has the military advantage.(Salim, 2003)
Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme.
Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai alternative
dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk
sipil menggunakan istilah positif untuk kombatan mereka, misanya antara lain paramiliter,
pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara,
bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh teroris yang mana tidak mematuhi
hokum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat
dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi
label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State Terorism, namun mayoritas
membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas
bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal kompromi, korban bisa saja militer
atau sipil, pria, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan
dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan,
motivasi dan legitimasi dari aksi terorisme tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa
aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci, motif
ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif berdasarkan aliran kepercayaan tertentu. Namun
patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama.
Ia sekedar strategi, instrument atau alat untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain tidak ada
terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.(Powel, 2009)
Kajian Akademis terhadap UU Anti Terorisme Indonesia
Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal
formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat
dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan undang-undang untuk mengatasi masalah
terorisme ini, termasuk usulan untuk mengeluarkan Internal Security Act yang diyakini oleh
banyak pihak pasti akan bersifat represif. Pada saat akan disahkan Perpu 1 tahun 2002 menjadi
UU No. 15 tahun 2003 banyak kecaman yang akan menyulut pertentangan dan kritik terhadap
seputar hak-hak asasi manusia berkenaan dari berbagai hal antara lain Asas Retroaktif, waktu
penangkapan yang 7 x 24 jam, laporan intelejen dan sebagainya. Dalam Revisi UU No. 15 tahun
2003 ada pencantuman beberapa tindak pidana dimana beberapa pasal bukan hanya dirumuskan
terlalu luas, tetapi berpotensi melanggar HAM. Hal tersebut terlihat dengan adanya kriminalisasi
atau menjadikan perbuatan sebagai tindak pidana pada aktivitas-aktivitas untuk perbuatan
sebelum terjadinya tindak pidana terorisme seperti pada Pasal 9 A, yang berbunyi : (Adji, 2001)
a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, setiap orang dengan sengaja dan
melawan hokum memperdagangkan bahan-bahan utama yang berpotensial untuk digunakan
sebagai bahan peledak.
b. Apabila bahan-bahan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti digunakan dalam
tindak pidana terorisme, pelaku dipidana paling lama 15 tahun.
Diakui untuk peledak adalah Kewenangan Intelejen tidak menjelaskan jenis-jenis bahan-
bahan menambah yang dimaksud, padahal produsen pupuk, nelayan kecil-kecilan dan pekerja
tambang pun membutuhkan bahan-bahan yang jika dicampur dengan bahan-bahan tertentu dapat
menjadi peledak. Bahkan bensin, kain dan botol kosong pun dapat menjadi bahan peledak. Jika
ketentuan pasal tersebut disahkan akan terjadi ketidakadilan dan kerancuan dalam penerapannya
di lapangan. Untuk itu ada baiknya diperlukan peraturan distribusi bahan-bahan kimia serta
badan pengawas yang bertugas mengawasi peredaran bahan kimia yang berpotensi sebagai
bahan peledak di pasaran. Dimana hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit
dalam pelaksanaannya dan diragukan terealisasi dengan baik. Selain itu menimbulkan kerancuan
siapa dapat digolongkan sebagai pembeli yang legal atau illegal berdasarkan dari itikad
pembeliannya. (Salim, 2003)
Pada pasal 26 RUU dinyatakan bahwa laporan intelejen dapat dijadikan sebagai bukti
permulaan. Laporan intelejen ayat (1a) jika berasal dari instansi lain selain dari kepolisian RI
wajib diautentifikasi oleh Kapolri atau pejabat yang ditunjuk. Namun tidak disebutkan siapa
pejabat lain yang ditunjuk itu. Selain itu diakui oleh Direktur Jenderal Strategi Pertahanan
Departemen Pertahanan Mayor Jenderal Sudradjat bahwa memang pasal ini ditambahkan untuk
memberikan perluasan kewenangan intelejen untuk memburu dan menangkap pihak-pihak yang
berencana melakukan aksi terorisme. Laporan intelejen tersebut dapat dijadikan sebagai alat
bukti sebagaimana revisi pasal 27 UU Anti Terorisme. Sebelumnya dalam UU No. 15 Tahun
2003, laporan intelejen tidak dijadikan sebagai alat bukti (Primary Evidance) melainkan sebagai
bukti permulaan yang merupakan bukti pendukung (Supporting Evidance). Dalam hukum pidana
terdapat perbedaan mendasar antara pengertian intellegence evidance dan crime evidance. Crime
evidance dapat mencakup intellegence evidance tetapi intelligence evidance tidak dapat dianggap
crime evidance karena intelegence evidance tidak memerlukan sebagai fakta hukum untuk
merumuskan perbuatan-perbuatan sebagai indikasi atau dasar adanya tindak pidana. Hal ini
dikarenakan intelligence evidance merupakan abstraksi data yang seringkali tidak memerlukan
pembuktian, Misalnya korban tewas yang dikarenakan bom mobil atau keterlibatan Noordin M
Top dan dr. Azhari dalam peledakan Bom Kuningan adalah Intellegance evidence. Sedangkan
crime evidence merupakan fakta hukum yang konkret sebagai cirri rule of law, dalam prespektif
hukum pidana menggunakan laporan intelejen sebagai alat bukti jelas mengabaikan azas praduga
tak bersalah (presumption of innocent) dan tidak dapat diabaikan kemungkinan dilakukannya
inkriminasi terhadap para tersangka terorisme. Pasal 31 RUU juga memasukkan hak-hak
penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos serta
melakukan penyadapan pembicaraan. Pasal itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap
tindakan penyadapan apa saja yang boleh dilakukan oleh penyidik. Penyidik cukup memiliki
bukti permulaan yang cukup untuk bisa melakukan itu semua. Pada pasal 34 RUU dicantumkan
bahwa pemeriksaan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa melakukan tatap muka dengan
tersangka dengan menggunakan layar monitor. RUU ini mengijinkan penggunaan teleconference
sebagai alternatif kehadiran saksi di muka sidang pengadilan. Namun RUU tidak menjelaskan
apa prasyarat teknis untuk membuat suatu kesaksian di pengadilan dengan menggunakan
teleconference seperti sertifikasi sistem komunikasi dan keamanan ruangan saksi yang diperiksa
melalui teleconference sehingga keterangan saksi terlepas dari intervensi yang dilakukan oleh
penyidik di belakang layar teleconference tersebut. (Mustofa, 2000)
Terorime memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga pandangan
mengenai terorisme seringkali bersifat subjektif. Dalam Perpu No.1 Tahun 2002 sebenarnya
terdapat pasal-pasal yang sangat riskan melanggar HAM yaitu pasal 46 tentang Asas Retroaktif.
Kemudian pada Bulan Juli 2004 MK menyatakan bahwa UU No. 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan Perpu No.1 Tahun 2002 mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme pada
peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
Mahkamah Konstitusi(MK) mempertimbangkan Asas Retroaktif adalah asas hukum yang
bersifat universal yang hanya dapat diberlakukan ada jenis kejahatan tertentu yang berupa
Kejahatan Genosida (crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes of
humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (agression). Menurut MK,
terorisme merupakan kejahatan biasa yang sangat kejam, maka kejahatan terorisme untuk Bom
Bali tidak dapat diberlakukan asas retroaktif. Ini artinya, terorisme bukanlah kejahatan terhadap
genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. UU No.15 tahun 2003
tidak dapat diberlakukan Asas Retroaktif karena hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat
(3) dan pasal 28 i ayat (1) Undang-Undang dasar 1945. Hal ini tentunya menimbulkan
kontroversi para praktisi hukum di Indonesia karena keputusan MK tersebur hanya
memperhatikan Hak Asasi para pelaku Terorisme saja tidak mempertimbangkan akibat dari
terorisme itu sendiri termasuk para korban, keluarga korban, masyarakat pada umumnya bahkan
akibat terorisme itu akan menyebabkan persepsi negatif bangsa-bangsa dunia terhadap Indonesia
bahwa Indonesia merupakan sarang terorisme dan beranggapan bahwa situasi keamanan
Indonesia tidak aman. Di lingkup internasional pengertian terorisme masih terdapat perdebatan
alot, perdebatan tersebut berputar apakah terorisme dapat dimasukkan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atau kejahatan luar biasa ( extra ordinary
crimes), tetapi bukan sebagai kejahatan kemanusiaan. Dan ternyata terdapat desakan yang sangat
kuat untuk memasukkan kejahatan treaty based crimes related to terorism and drug trafficking
sebagai kejahatan kemanusiaan sehingga banyak ahli hukum yang mendukung International
Criminal Court (ICC) untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut dalam yurisdiksinya.
International Criminal Court (ICC) adalah lembaga prospektif yang seharusnya tidak hanya
menerapakan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh Statuta Roma
Tahun 1998. Dalam hal ini asas legalitas, tetap dipandang sebagai asas fundamental. Namun
berkaitan dengan yurisdiksi ICC, asas ini dapat disimpangi bila negara yang bersangkutan telah
membuat pernyataan bahwa negara tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh
pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan masa lalu. Bertitik tolak dari pembahasan mengenai
yurisdiksi ICC diatas, maka sewajarnyalah bahawa kejahatan terorisme termasuk kejahatan
terhadap kemanusiaan karena korbannya missal dan menghancurkan kemanusiaan dan
peradaban.(Salim, 2003)
Sisi negatif pendekatan legal formal
Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif,
perlu ditinjau ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justru
dapat meningkatkan tindak kekerasan semacam itu di masa depan. Pemerintah perlu memikirkan
alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar pendekatan
legal formal/represif. Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara penyelesaian
berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu:
pertama logika dibelakang pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan logika
yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah seseorang
tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang
dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan
cara menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang
terberat seperti hukuman mati. Tetapi logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris
yang bertindak melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk
mewujudkan tujuan mereka. Kedua cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan
represif seperti ini dapat menimbulkan efek balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk
memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak mustahil justru dapat memicu perlawanan dan
radikalisme baru yang lebih hebat, bukan hanya dari kelompok masyarakat yang dituding
sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari kelompok-kelompok lainnya.
Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya mengobati dan
menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi cenderung
berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka. Kelompok masyarakat lain akan
memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat. Terorisme itu kejahatan kelompok yang
menerima stigma tersebut sehingga kepada pemerintah dan kelompok tersebut akan berdampak
melakukan perlawanan. Penerapan UU yang represif seperti UU anti terorisme dan internal
security act dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
khususnya kehidupan masyarakat demokrasi. Jika UU tersebut diberlakukan wewenang aparat
Negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk disalahgunakan. Ada kemungkinan
orang yang dicurigai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hokum yang
sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat dikenakan dengan
pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan menimbulkan masalah
panjang yang tidak berkesudahan. (Mustofa, 2000)
Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak
positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus apapun produk hukum formal
yang ada tidak ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang
sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal
ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu
sendiri. (Salim, 2003)

















Kesimpulan


1. Terorisme timbul dengan dilatar belakangi berbagai sebab dan motif. Namun patut kita sadari
bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama.
2. Terorisme merupakan strategi, instrument dan atau alat mencapai tujuan.
3. Penerapan UU anti terorisme di dalam No.15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan
efektivitas untuk mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris .
4. Pemberian wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk memberantas terorisme tanpa
disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan suatu terorisme baru yang
dilakukan terhadap warga negaranya atau State Terorisme.



















Saran


Untuk memerangi tindakan terorisme pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang
tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan kemungkinan
rekonsilisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan unsur-unsur
di dalam masyarakat itu sendiri baik melalui pendekatan Agama maupun Budaya. Karena patut
disadari bahwa terorisme tidak akan memadai jika hanya mengandalkan undang-undang saja
tanpa didukung oleh kinerja aparat penegak hukum yang professional dalam menegakkan
peraturan yang ada dan perlu dilakukannya revisi UU anti terorisme yang harus disesuai dengan
basis kerangka hukum yang harus mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan
perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai, keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen
dan pelatihan (milisi atau pelatihan militer illegal), keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan
persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil. Serta mewajibkan setiap prosedur dan
tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif, melindungi dan menghormati HAM.
















Daftar Pustaka


A.C. Manullang. 2001. Menguak Tabu Intelejen Teror, Motif dan Rezim. Jakarta. hal. 151
Collin L Powell. 2009. Sebuah Perjuangan Keras yang Panjang.
http://www.jakarta.usembassy.gov. Di akses tanggal 14 juli 2013.
Dafri Agussalim,Mencari Cara Memerangi Terorisme, Kompas Cyber Media,(kamis 23
Agustus 2003). Di akses tanggal 15 juli 2013.
Indriyanto Seno Adji. 2001. Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.
Jakarta. hal. 51
Muhammad Mustofa. 2000. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no.III.Jakarta. hal.30



















TUGAS KELOMPOK TERORISME







Disusun oleh:
Anton Christian O.S 1111017814
Febri Kumalasari 1111017841

You might also like