You are on page 1of 48

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN HIV /AIDS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Ibu
Dengan HIV/AIDS . Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok mata kuliah maternitas program study D3 Keperawatan AKPER
YPIB Majalengka.
Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini
banyak kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan
sarannya.





Majalengka,
Maret 2012


penyusun


















DAFTAR ISI



Hal
KATA PENGANTAR
.............................................................................................i
DAFTAR ISI
..............................................................................................ii



BAB 1 PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulis
............................................................................................2
1.3 Perumusan Masalah
............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian.............................................................................................4
2.2 Epidemiologi.............................................................................................6
2.3 Etiologi.............................................................................................7
2.4 Pathogenesis.............................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis
.............................................................................................
14
2.6 PemeriksaanDiagnostik
.............................................................................................
15
2.7 Penatalaksanaan
.............................................................................................
17
2.8 Pencegahan
.............................................................................................
22
2.9 Asuhan Keperawatan
.............................................................................................
25



BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
. ............................................................................................
31
3.2 Saran
.... ............................................................................................
31



DAFTAR PUSTAKA
.... ............................................................................................
32








BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun
kehamilan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada
kehamilan trimester pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya
mengalami mua, muntah, nafsu makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya
kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis wanita dengan
penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS[1].
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga
banyak penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap
usaha dilakukan untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa baik [2].
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu
syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang
menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem
kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit
lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS
pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan
virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983[3].
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan
kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-
negara dengan tingkat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang
tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child Transmission
MCTC) adalah rute infeksi HIVpada anak yang paling signifikan. Beberapa
intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan
persalinan secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama
kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan
dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2% [4].
Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka
mungkin dapat memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara
orang yang yang berisiko membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi,
penularan infeksi seksual, dan kehamilan yang tidak direncanakan dapat
membuat penurunan kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini jelas bahwa
banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan tes HIV untuk
memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin terinfeksi
karena pernah memiliki hubungan seksual denga seseorang yang telah diuji dan
ditemukan sero-positif HIV[5].
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai
factor pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk
infeksi HIV. Meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi remaja
merupakan prioritas dunia. Intervensi yang bertujuan untuk menunda perilaku
seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual dan meningkatkan penggunaan
kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan
bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk memberikan dampak
positif pada pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah perilaku
seksual sangat terbatas[6].
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua
pengaturan perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis.
Setiap perawat harus memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan,
pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam rangka untuk memberikan
perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang dengan atau berisiko
untuk HIV.

1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat :
a. Memahami tentang penyakit HIV/AIDS
b. Mengetahui bagaimana epidemiologi HIV/AIDS
c. Mengetahui etiologi pada HIV/AIDS
d. Memahami patoghenesis pada HIV/AIDS
e. Memahami manifestasi klinis pada HIV/AIDS
f. Mengetahui cara pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS
g. Memahami pengobatan HIV/AIDS
h. Mengetahui pencegahan HIV/AIDS
i. Mengetahui prognosis pada HIV/AIDS
j. Mengetahui asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS

1.3 Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
a. Apa pengertian HIV/AIDS ?
b. Bagaimana epidemiologi HIV/AIDS)?
c. Bagaimana etiologi pada HIV/AIDS?
d. Bagaimana patoghenesis pada HIV/AIDS?
e. Bagaimana manifestasi klinis pada HIV/AIDS?
f. Bagaimana pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS?
g. Bagaimana pengobatan HIV/AIDS?
h. Bagaimana pencegahan HIV/AIDS?
i. Bagaimana prognosis pada HIV/AIDS?
j. Bagaimana asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS?
































BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-
sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama
infeksiberlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi
lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal inidapat memakan waktu
10-15tahun untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang menjadiAIDS;
obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan
melalui hubungan seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang
terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi, dan antara ibu dan
bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui[8]
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh,
setelah penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan
berhentinya haid; mual yang timbul pada pagi hari (morning sickness);
pembesaran payudara dan pigmentasi puting; pembesaran abdomen yang
progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung
janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG[9].
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Fogel,
1996)[9].
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan
bahwa jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada
usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi
prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%,
saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang biasa
menggunakan narkotika intravena[10].
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi
HIV. Dilihat dari profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada
wanita mengarah ke umur yang lebih muda, dalam arti bahwa usia muda lebih
banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada usia di atas 45 tahun
infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli kebidanan
bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan
melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa
prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang
Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS perlu diwaspadai karena
cenderung terjadi pada usia reproduksi[10].
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-
AIDS pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya
yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara berkembang isteri tidak berani
mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi
oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat percaya
bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk
dibicarakan[10].
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV)
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil
lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi
daripada wanita yang tidak hamil International Microbicides Conference 2010,
abstract
#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah
mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis
yang tidak diketahui[11].
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di
seluruh dunia, terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat
puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui
hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama penyalahgunaan
narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada
janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara
13-48%[12].
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan
pemeriksaan laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu
hamil memiliki otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap
HIV, setelah diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus
menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata
HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh
kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang
pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa
menyusui[12].
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-
positif. Dalam hal ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan
hasilnya kepada pasangannya, perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka
rahasia pekerjaan dokter. Tentulah dalam memabuka rahasia ini akan
berpengaruh terhadap hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan
kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien terhadap
dokternya[12].
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang
dibantu dan salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada
mereka diberikan pelayanan tersebut. Dengan kemanjuan pengobatan masa kini,
penderita HIV dapat hidup lebih panjang dan risiko penularan dari ibu ke anak
berkurang. Dokter dengan HIV positif tidak perlu memberitahukan pasiennya
tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik
yang mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi, serta
berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan[12].
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual.
Kehamilan pada ibu dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan
penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi vertikal pada
saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin lebih dari 80%.
Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji
antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah
reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi
virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada
pemeriksaan rutin ibu hamil untuk melindunginya[13].

2.2 Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia
(pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996
diperkirakan telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari
6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data-
data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen
Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak
685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita
HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah
penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori Gunung Es
dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya.
Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi
telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui[2].
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif
dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus
meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang
mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV[2].
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000
epidemi tersebut sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-
populasi berisiko tinggi (dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik
(penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian
menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated
epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui
penggunaan jarum suntik tidak steril dan transmisi seksual di antara populasi
berisiko tinggi. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan
yang meningkat ini ternyata telah menular lebih jauh, yaitu telah terjadi
penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum
(dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua menunjukkan tahapan telah
mencapai generalized epidemic[14].
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen
Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai
konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari
beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV berkisar 21% 52%
pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria[14].
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan
Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta
orang paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi
pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan
pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya paling besar
namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi HIV.
Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-
217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS (Peria
Penjajah Seks)14%[12].
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini
berdasarkan hasil survey di daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru,
Nakura, Thika, dimana rata-rata prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira
28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di wilayah India prevalensi
secara nasional dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah miskin padat
penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi
peningkatan angka penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang
terinfeksi karena wilayah tersebut dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi
India. Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan dikalangan wanita hamil, di
wilayah industri di bagian barat dan selatan India[12].
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa
prevalensi HIV dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi,
yaitu 29,5% dari seluruh wanita yang mengunjungi klinik bersalin yang positif
terinfeksi HIV ditahun 2004. Prevalensi tertinggi adalah dikalangan wanita usia
25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga wanita yang diperkirakan akan
terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi 30% dikalangan
wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah Botswana,
Lesotho, Nambia dan Swaziland[10].

2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan
internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV[3].
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam
bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang
atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel
Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4.
Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang
lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun
demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang
setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut[3].
` Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti
(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun
atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan
beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp
41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang
rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka
HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih,
sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter,
aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten
terhadap radiasi dan sinar utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar
tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia
jaringan otak[3].

2.4 Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan
vagina, dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah
yaitu secara; seksual hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah,
eksposur perinatal, dan menyusui. HIV muncul sebagai epidemic global pada
akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan 33 juta orang diseluruh dunia
hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15 juta
anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua orang
tua mereka karena AIDS[6].
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang
rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd entre)[3].
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui
pertukaran cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi
berat pada sistem imun selular menandai sindrom immunodefiensi didapat
(AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah didokumentasi dengan
baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui[16].
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10
minggu pertama pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total
asimptomatik, perubahan ini disertai viremia, respons tipe-influenza terhadap
infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise, mialgia, mual, diare, nyeri
tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga minggu[16].
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel
otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar
tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan
menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang
terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah
penderita[3].
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini
cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui[3]:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi
dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya.
Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985)
ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada
hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia
yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas
homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua
golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko
tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima
ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan
mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada
saat berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok
umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan
dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksua
a. Transmisi Parenral
- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik)
yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping
dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan
tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini
kurang dari 1%.
- Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara
barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.
Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko
rendah.

PENULARAN HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA
Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual
atau hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian
bersama penggidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan
alat kesehatan yang tidak steril, serta alat untuk menorah kulit. Menurut CDC
penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari yang
terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita
heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%[17].
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan
seksual. Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami
yang terinfeksi HIV ke isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke
suaminya sejumlah 8%. Namun penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari
pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif) dalam 1-3 tahun dimana
didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap sama[10].
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan
melalui hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang
menderita HIV atau AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun)
sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in
utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada
gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau
gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%[17].
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah
atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin
besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah dengan operasi section
caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI, resiko
bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%[17].
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat
ditularkanmelalui kontak langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan
sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV
tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA. Bilamana virus masuk
kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA oleh
enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel
hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus[10].
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan
atau pada periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan
fetal yang berusia 12 dan 24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50%
yang penularan secara vertikal terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan
terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi serviks dan darah
ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis, dan
adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for
Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-
luka merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang
mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka
tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran
darah[10].
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada
perubahan uterus, serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh
karena meningkatnya elastisitas dan penumpukan jaringan fibrous, yang
menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada trimester pertama, keadaan ini
mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini
juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering
terjadi antara pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20%
setelah melakukan hubungan seksual dengan tidak menggunakan kondom[10].
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan
HIV heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan
hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang
disebabkan oleh infeksi sifilis atau herpes simpleks, meningkatkan transfer virus
melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran mukosa dan merangsang
limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami inflamasi[10].

PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a).
Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus
meregleksikan perkiraan ini jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima
perawatan yang tepat. Individu yang berada pada kategori infeksi HIV
meliputi[16]:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan
kepada wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke
perawatan prenatal. Hasil negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama
bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya akan negative[16].
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis,
hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau
infeksi vaginal kronis), sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar
setengah jumlah penderita AIDS mengalami peningkatan titer[16].
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan
berat badan. Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding
semua keluhan akibat kehamilan dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda
utama perburukan infeksi HIV meliputi penurunan berat badan, lebih dari 10%
berat badan sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari satu bulan, dan
demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan[16].
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup
nutrisi optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi
HIV didiagnosis, wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan seksual
yang lebih aman. Penggunaan kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan
untuk meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika pasangan wanita tersebut
merupakan sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak dianjurkan. Hal
yang sama penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk
menghentikan penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-
obatan lain mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan
kondisi terkait[16]:
1. sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan
penyakit
2. alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi
alternatif untuk AIDS
3. dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi
lebih cenderung terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap
AIDS aatau meningkatkan pemaparan terhadap HIV
4. alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk
masalah tidur, yang membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus
tersebut ditemukan. Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah
3azido-3-deoksitimidin (zidovudin, AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini
menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi HIV, penggunaannya dalam
kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau toksik potensial
pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali
pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm3
dan terbukti secara signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita
terinfeksi ke janinnya[16].

PERIODE INTRAPARTUM
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi
asimptomatik HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya
pada pertimbangan obstetric karena virus menembus plasenta pada tahap awal
kehamilan[16].
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan
melindungi tenaga keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap
rendah selama proses kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi
terpapar pada darah, cairan amniotic, dan sekresi vagina ibunya[16].
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika
pemantauan diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika
pengambilan sampel darah dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda
dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu, individu yang melakukan salah satu
prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya[16].

PERIODE PASCAPARTUM
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi
HIV selama periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak
signifikan, follow-up yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis
yang tinggi pada ibu yang anaknya menderita penyakit. Konseling tentang
pengalihan pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu
merawat diri mereka[16].
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan
dengan cara yang peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan
menjunjung nilai kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi,
bukan suatu komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan
bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh
mempengaruhi kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang
efektif, penuh kasih sayang, dan obyektif kepada semua individu[16].
Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui.
Tindakan kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun
bayinya, sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya
dirujuk ke tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan
kondisi terkait[16].

2.5 Manifestasi Klinis
Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50% kepada seseorang yang baru
terinfeksi. Gejala yang ditimbulkan adalah[6]:
Demam
Malaise
Ruam
Myalgia
Sakit kepala
Meningitis
Kehilangan napsu makan
Berkeringat
Adapun gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut[6]:
Infeksi bakteri berulang
Candidiasis di saluran bronkus, trachea, paru dan esophagus
Herpes simpleks kronis
Kaposi sarcoma (proliferasi vaskuler neoplastik ganas yang multi
sentrik dan ditandai dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan,
biasanya pada pada ekstremitas bawah yang ukuran dan jumlahnya membesar
dan menyebar ke daerah yang lebih proksimal)
Pneumoncystis
Wasting syndrome
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil
atau orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak
spesifik dengan spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala
(asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada
stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS
rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi[15].
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun.
mereka merasa sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang
yang terinfeksi HIV akan menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang
lain[15].
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu[15]:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes
darahnya negatif. pada tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk.
Waktu antara masuknya HIV disebut window period yang memerlukan waktu
antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah
positif. Keadaan tanpa gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau
lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi infeksi
HIV pada orang dewasa sebagai berikut[6]:
Kelompok I: infeksi akut
Kelompok II: infeksi asimptomatik
Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)
Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik
`Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat
menunjukkan tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba
mengembangkan prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan
respons antibody bayi vs.ibu[18]:
Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan
diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.
EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi
invalid
Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia,
plasma).
Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer:
Mendeteksi DNA viral pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer
terinfeksi.
Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat
menjadi indikatif dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada
tahap sanagt awal infeksi HIV)
Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN,
dan IgA): Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar
imunoogis.


Diagnosis pada Bayi dan Anak
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama
periode neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak
adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang
ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang,
kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan
lien)[17].
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18
bulan, maka tes ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak
terinfeksi HIV karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap
virus HIV. Tes paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR pada
dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan
karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC
merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi
berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila
bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes
PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeiksaan ELISA
bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain[17].
Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan
menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal
tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang,
sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis
dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua
klasifikasi yang bisa digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV
yaitu menurut CDC dan WHO[17].
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan
hitung limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan
berdasarkan derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C,
E). Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien
yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali
pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini tidak
berubah walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau factor
lain[17].
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah
jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS
dicegah supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya
tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi
maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan
keluarga[17].
Uji HIV pada Wanita Hamil
CDC telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu
hamil sejak tahun 2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal
opt-out skrining HIV (yang berarti bahwa pengujian adalah otomatis kecuali
jika wanita secara khusus memilih untuk tidak di uji) pada wanita hamil selama
tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk konseling sebelum
uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV. Penelitian dianalisis oleh
Angkatan US Preventive Services Task mengungkapkan bahwa pada tahun
1995 tingkat tes HIV di antara wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9
(dianjurkan dilakukan tes universal pada tahun pertama kehamilan) dan
meningkat menjadi 60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara bagian dan
provinsi Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di
antara perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan dengan
15% menjadi 83% dalam keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan opt-
in yang membutuhkan seorang wanita untuk secara khusus meminta tes
HIV[6].
Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian
pengobatan terapi antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi
risiko penularan bayinya. Tes HIV direkomendasikan Tes HIV
direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan prenatal pertama.
Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga
dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi,
atau memiliki tanda-tanda atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV
akut[6].
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba
saat persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes
awal positif, segera inisiasi ARV profilaksis yang tepat intravena harus
direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika wanita menolak
pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera mungkin
setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat
indikasi[6].


2.7 Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan
pemberian makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO
untuk pemberian makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada
tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan bahwaantiretroviral (ARV)
intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar HIVsecara
signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui
menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang
hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan
bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama,
intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk
meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi
HIV[19].
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya,
mereka mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan
merekomendasikan bahwa otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan
praktik pemberian makan bayi, seperti menyusui yaitu dengan intervensi
ARVuntuk mengurangi transmisi atau menghindari menyusui, harus
dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal
ini berbeda dengan rekomendasi sebelumnya di mana petugas kesehatan
diharapkan untuk memberikan nasihat secara individual kepada semua ibu yang
terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan pemberian makanan bayi, dan
kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian makanan bayinya[19].
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang
diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi
mereka setidaknya sampai usia 12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan
pengganti tidak boleh digunakan kecuali jikadapat diterima, layak, terjangkau,
berkelanjutan dan aman (AFASS) [19].
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus
yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
Obat yang bisa dipilih untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat
ibu saat persalinan diberikan 200mg dosis tunggal, sedangka bayi bisa diberikan
2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal. Obat lain yang bisa
dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36 minggu 2x300mg/hari
dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung [17].

Intervensi Terapetik Antiretrovirus
Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai harapan
dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus, memanipulasi
gen virus untuk mengendalikan produksi protein virus, membangun kembali
sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua
pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA HIV serum,
digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit dan
menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat.
Hitung sel T CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien
yang sekarang, sedangkan kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan
prognosis klinis (status hitung sel T CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA
HIV sebesar 20.000 salinan/ml (2x104) dianggap oleh banyak pakar sebagai
indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T
CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat
bermanfaat untuk mengetahui laju perkembangan penyakit, angka pergantian
virus, hubungan antara pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat
terjadinya resistensi obat antiretrovirus disebabkan oleh penurunan kadar RNA
HIV[20].
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan
berkelanjutan jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya)
fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas an
mortalitas HIV[20].
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV[20]
1. replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem
imun rusak dan berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan
kesintasan jangka-panjang sejati yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat
jarang terjadi.
2. Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV
dan berkaitan dengan laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh
HIV, perlu dilakukan pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan
hitung sel T CD4+ untuk menentukan factor risiko perkembangan penyakit serta
mengetahui saat yang tepat untuk memulali atau memodifikasi regimen terapi
antiretrovirus
3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang
yang terinfeksi HIV, maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan
orang per orang berdasarkan tingkat risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA
HIV plasma dan hitung sel T CD4+.
4. Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan
replikasi HIV dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-
pemeriksaan RNA HIV plasma yang sensitive akan membatasi kemungkinan
munculnya varian-varian HIV resisten-penyakit. Karena itu, tujuan terapi
seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai.
5. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka
panjang lama dalah pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV
yang efektif yang belum pernah diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan
resistensi silang dengan obat antiretrovirus yang pernag diterima oleh pasien.
6. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi
kombinasi harus selalu dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.
7. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang
tersedia masih terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara
obat-obat spesifik. Karena itu, setiap perubahan dalam terapi antiretrovirus
meningkatkan pembatasan-pembatasan terapetik di masa mendatang.
8. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa
memandang status kehamilan.
9. Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja
dan dewasa yang terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi
oleh HIV memerlukan pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik
tersendiri.
10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan
terapi antiretrovirus kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar
batas deteksi pemeriksaan pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
11. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang
dibawah batas yang dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan
demikian, para pasien harus diberi penyuluhan untuk menghindari perilaku
seksual dan penyalahgunaan obat yang berkaitan dengan penularan atau akuisisi
HIV dan pathogen menular lainnya.

Tabel 1. Rekomendasi untuk pengobatan antiretroviral infeksi HIV selama
kehamilan[21]

Rekomendasi
Kelas Obat
NRTI
NNRTI
Protease inhibitor
Entry inhibitor
Integrase inhibitor
Direkomendasikan
Zidovudine, lamividine
Nevirapinea
Lopinavir/ritonavir
...
...
Agen Pengganti
Didanosine,b emtricitabine, stavudine,b abacavir
...
Indinavir, ritonavil, saquinavir hard gel capsule, nelvinafire
...
...
Ketidakcukupan Data
Tenofovir
...
Atazanavir, darunavir, fosamprenavir, tipranavir
Enfuvirtide, maraviroc
Raltegravir
Tidak Direkomendasikan
...
Efavirenz, delavirdine
...
...
...
Catatan. NNRTI, nonnukleoside reverse-transcriptase inhibitor; NRTI,
nukleoside reserve-transcriptase inhibitor.
a Sebaiknya hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 >
250sel/mm3 jika manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang berhubungan
dengan hepatotoxicity.
b Didanosine dan stavudine sebaiknya tidak digunakan dalam
kombinasi lainnya

Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan dan Regimen yang Dihindari
Obat yang direkomendasikan yaitu zidovudine (ZDV) yang menjadi
bagian dari beberapa regimen untuk pengobatan wanita hamil, kecuali terdapat
dokumentasi riwayat keparahan ZDV-berhubungan dengan toksisitas atau
resisten. Untuk wanita yang memiliki riwayat keracunan ZDV atau resisten,
regimen sebaiknya termasuk sedikitnya 1 obat antiretroviral yang melewati
plasenta untuk memberikan fetus preexposure prophylaxis. Obat antiretroviral
lainnya yang melewati plasenta manusia termasuk didanosine, lamivudine
(3TC), tenofovir, nevirapine (NVP), dan lopinavir. Beberapa dari inhibitor
protease juga memiliki variabel yang sedikit ke bagian plasenta[21].
Ketika memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi
regimen antiretroviral terdiri dari 3 obat yang direkomendasikan. Pada
umumnya, prinsip pedoman pengobatan untuk wanita yang tidak hamil
sebaiknya benar-benar dipertimbangkan. Harus terdapat dua kekuatan inhibitor
nukleosida reverse-transkriptase dengan inhibitor nonnukleosida reverse-
transkriptase atau inhibitor pratease yang cocok (tabel 1). Efavirenz pada
umumnya dihindari selamas trimester pertama kehamilan karena menyangkut
teratogenitas. NVP tidak direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah sel
CD4 >250 sel/mm3 karena meningkatkan risiko terjadinya ruam dan
hepatotoksik. Tetapi jika si wanita telah toleransi terhadap NVP- terdiri dari
regimen sebelumnya saat kehamilan, regimen ini sebaiknya dilanjutkan selama
kehamilan[21].
Kombinasi dari stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama
kehamilan karena berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis
laktat. Pada umumnya, monoterapi sebaiknya dihindari selama kehamilan
karena berpotensi dalam menyebabkan perkembanagan resistensi antiretroviral.
Pengobatan ZDV intravena intrapartum direkomendasikan untuk semua wanita
yang terinfeksi HIV kecuali terdapat riwayat hipersensitif terhadap ZDV[21].
Yang paling utama, dan mungkin sangat penting, langkah dalam
mencegah MTCT merupakan uji umum HIV dari seemua wanita yang hamil
untuk diidentifikasi mana yang berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di
negara berkembang, terapi kombinasi antiretroviral direkomendasikan selama
masa kehamilan tanpa memperhatikan jumlah sel CD4 atau jumlah virus untuk
menurunkan risiko penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi caesar
direkomendasikan untuk wanita hamil dengan muatan plasma RNA HIV > 1000
kopi/ mL. Di United States dan negara berkembang lainnya, hindarkan
pemberian air susu direkomendasikan untuk menurunkan lebih lanjut risiko
penularan perinatal. Dari sumber- negara terbatas, penelitian yang sederhana
dan singkat dari regimen antiretroviral juga berperan dalam mengurangi
transmisi MTCT. Terapi yang optimal untuk infeksi maternal dalam kehamilan,
dan perawatan untuk janin akan sukses dengan pendekatan multidisiplin untuk
merawat wanita hamil yang terinfeksi HIV[21].
Keterangan untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS[23]:
3TC (nama dagang)
Lamivudine 150 mg
Indikasi: pengobatan HIV pada dewasa dengan progresive immunodefeciency
dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral, infeksi HIV
pada anak-anak (umur 3 bulan) dengan progresif immunodefeciency dengan
atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan retrovir
Norvir (nama dagang)
Ritonavir
Indikasi: monoterapi untuk infeksi HIV.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Efek samping: astenia, gangguan GI dan neurologi, termasuk mual, muntah,
diare, anoreksia, nyeri abdomen, gangguan pengecapan, prestesis perifer dan
sirkum oral
Dosis: kapsul/solid sehari 2 x 600mg
Reyataz (nama dagang)
Atazanavir sulfat
Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan obat antiretroviral
lain.
Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa atazanavir, kombinasi dengan
midazolam, dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisapride,
dan pimozid.
Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah, diare, nyeri abdomen, pusing,
insomnia, gangguan saraf perifer, ruam kulit.
Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi) sehari 1 x 400mg,
dewasa (pasien yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x 300mg, pasien
ditambah dengan ritnovir sehari 1 x 100mg + efavirenz.

Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan
obat anti-HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi
virus HIV kepada janin dengan cara penggunaan sebagai berikut[23]:
selama kehamilan setelah trimester pertama: dengan memberikan
anti-HIV sedikitnya tiga anti-HIV yang berbeda yang dikombinasikan (atripla).
selama labor dan persalinan: diberikan AZT (zidovudine) IV,
kemudaian diberikan anti-HIV yang lain melalui mulut.
setelah melahirkan: diberikan cairan AZT selama 6 minggu.

2.8 Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat
hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu[17]:
- Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
- Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru
dilahirkan
- Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus
tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-
HIV ibu menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari
ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat
membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini,
seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga
tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status
seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-
pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA
atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena
sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus[20].
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum
diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang
tidak menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40%
pada populasi serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa
menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan 80%
terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi
melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko
15% penularan perinatal[20].
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup
penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T
CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical
Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada
perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi
sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS
yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997
akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin.
Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat.
Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih
banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian
zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan
lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak
antaea lain[20]:
1. seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban
(mengurangi angka penularan sebesar 50%);
2. pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada
anak. Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui
penularan vertical. Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak,
dan setelah gejala muncul, progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat.
Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak
berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi
diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status
infeksi, status klinis, dan status imunologik[20]
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan
perbedaan. Pada anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan
dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan
mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-patogen bakteri ini
menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis media, sinusitis,
infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit
lain[20].
Seluruh dunia, pada 2008,diperkirakan 430.000[240.000-610.000]
infeksibaru karenahuman immunodeficiency virus(HIV) terjadi pada anak-anak,
yang 90% diperolehmelaluimotherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari
430.000 infeksi baru, antara280dan 360.000.000 diperolehselama persalinan
danpada periodepra-melahirkan. Dari infeksi baruyang tersisa,sebagian
besardiperolehselama menyusui.Padabayi yangterjangkit HIVselama waktu
persalinan, perkembangan penyakitterjadi sangat cepatdalam beberapa
bulanpertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk
mengaktifkanantiretroviral(ARV) profilaksisharus diberikan kepada bayi
sesegera mungkin setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV
harus diketahui sejak lahir[24].
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan
hidup dramatis bagi bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah
diagnosis HIV, diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia(WHO)
pedoman pengobatan pediatrik. PadaJuni 2008, pedoman baru dikeluarkan,
yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis dengan
infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan
membutuhkan ART segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada
November 2008, pertemuandiadakan untukmeninjaurekomendasioleh
WHOuntuk pengujiandiagnostikinfeksi HIVpada bayidan anak-anak[24].





Asuhan Keperawatan

I.Pengkajian.
1.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan
obat-obat.
2.Penampilanumum : pucat, kelaparan.
3.Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat
malam hari berulang
kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4.Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola
hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
5.Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl,
hilang interest
pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori,
gangguan atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser
pada bibir atau
mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7.Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
8.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu
pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
11.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia,
perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12.Gu : lesi atau eksudat pada genital,
13.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

II.Diagnosa keperawatan
1.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan
pola hidup yang
beresiko.
2.Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
4.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.

III.Intervensi keperawatan.
Diagnosa keperawatan 1
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi,
malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
Intervensi Keperawatan :
1.Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan
sebelum meberikan
tindakan.
3.Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
4.Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order
Rasional
1.Untuk pengobatan dini
2.Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.
3.Mencegah bertambahnya infeksi
4.Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan
5.Mempertahankan kadar darah yang terapeutik Pasien akan bebas infeksi
oportunistik dan
kriteria hasil
komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak
ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau
eksudat.

Diagnosa 2
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Intervensi
1.Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi
HIV dan kuman patogen lainnya.
2.Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.
Rasional
1.Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini
2.Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
Kriteria Hasil :
Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal
precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak
terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC.

Diagnosa 3
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi, kelelahan.
Intervensi :
1.Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
Rasional :
1.Respon bervariasi dari hari ke hari
2.Mengurangi kebutuhan energi
3.Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Kriteri Hasil :
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan
takikardi selama aktivitas.

Diagnosa 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya
absorbsi zat gizi.
Intervensi :
1.Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Monitor BB, intake dan ouput
3.Atur antiemetik sesuai order
4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.
Rasional :
1.Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
2.Menentukan data dasar
3.Mengurangi muntah
4Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien
Krtiteria Hasil :
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol,
pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB
mendekati seperti sebelum sakit.

Diagnosa 5
Diare berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
1.Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Auskultasi bunyi usus
3.Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Rasional
1.Mendeteksi adanya darah dalam feses
2..Hipermotiliti mumnya dengan diare
3.Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada
intestinal 4.menghilangkan distensi
Kriteriaa hasil :
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal
dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram
perut hilang,

Diagnosa 6
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
Intervensi :
1.Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
Rasional :
1.Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
2.Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3.Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.
Krtiteria Hasil :
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi
terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga
berinteraksi dengan cara yang konstrukt
IV. Implentasi
DX. 1
1.Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
2.Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci
tangan sebelum
meberikan tindakan.
3.Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
4.Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order

DX.2
1.Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan
kuman patogen lainnya.
2.Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.

DX.3
1.Memonitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Memberikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

DX.4
1.Memonitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Memonitor BB, intake dan ouput
3.Mengatur antiemetik sesuai order
4.Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

DX.5
1.Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Mengauskultasi bunyi usus
3.Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside

DX.6
1.Mengkaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Membiarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
V. Evalusi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien
sedikit demi sedikit terpenuhi.



























BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang
disebabkan oleh infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai
depresi berat imunitas seluler, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk
pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat intravena, penderita
hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu
yang terinfeksi virus tersebut.

3.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca.
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik























DAFTAR PUSTAKA

1. Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-
AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.
2. Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Childrens
Phychological Wellbeing. International Journal of Mental Health system
2009;3(26):1-8
3. Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan.
Universitas Sumatera Utara, 2004.
4. Heemanides HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D,
Gerard VO, et all. Developinh quality indicators for the care of HIV-infected
pregnant women in the Dutch Caribbean. Aids Research and Therapy 2011;
8(32) : 1-9.
5. Wamoyi J, Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes in
sexual desires and behaviours of people living with HIV after initiation of ART:
Implications for HIV prevention and health promotion. BMC Public Health
2011; 11(633): 1-11.
6. Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV Nurse.
AJN 2010;110(3):33-39.
7. Bastien S, LJ Kajula, WW Muhwezi. A review of studies of parent-
child communication about sexuality and HIV/AIDS in sub-Saharan Africa.
Reproductive Health 2011;8(25):1-17.
8. Anonymous. HIV/ AIDS. WHO. 2010
9. Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta:
EGC.
10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison:
Prinsip- Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol. 1 (Edisi 13). 1995.
11. Walter J, Linda F, Melanie JO, William DD, Theresa G, Alice S, et all.
Immunomodulatory factors in cervicovaginal secretions from pregnant and non-
pregnant women: A cross-sectional. BMC Infectious Disease 2011; 11(263): 1-
7.
12. Anonymous. 2007. Rencana Nasional Penanggulangan HIV-AIDS di
Indonesia 2007-2010. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS.
13. Susanti NN. Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC, 2000.
14. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4.
EGC: Jakarta. 2007.
15. Hartati N, Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar:
Jurnal Ilmiah Keperawatan. 2009:2:1.
16. Bobak, Lowdermik, Jensen. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas
Edisi 4. Jakarta: EGC.
17. Nursalam, Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
18. Doengoes ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan
Maternal/Bayi Edisi 2. Jakarta: EGC.
19. Anonymous. Guidelines on HIV and infant feeding 2010 Principles and
recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of
evidence. WHO. 2010.
20. Price SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
21. Anderson Brena L, Uvin Susan Cu. Pregnancy and optimal care of
HIV-Infected Patients. Clinical Infectious Diseases, 2009; 48: 449-55.
22. Anonymous. 2010. HIV and Pregnancy: anti-HIV medications for Use
in Pregnancy. AIDS info: A service of the U.S. Department of Health and
Human Service.
23. Anonymous. 2009. ISO indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia.
24. Anonymous. 2010. WHO recommendations on the diagnosis of HIV
infection in infant and children. WHO.
25. Trsetianingsih Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Program
Studi Ilmu Keperawatan STIKES A. Yani.
26. Wiley, Blackwell. Nursing Dianoses Definition and Classification
2009-2011. 2009. United States of America: Mosby Elsevier.
27. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing
Outcome Classification (NOC) Fourth Edition. United States of America:
Mosby Elsevier.
28. Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing
Interventions Classification (NIC) Fifth Edition. United States of America:
Mosby Elsevier.

You might also like