Panorama konstelasi politik di Timur Tengah pekan ini diramaikan keputusan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, yang Rabu (5/3) lalu menarik duta besar masing-masing dari Qatar. Mesir juga ikut menarik duta besarnya dari Qatar pada hari Kamis (6/3). Harian Kuwait, Al Qabas, edisi Jumat (7/3) mengungkapkan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain kini bahkan sedang mempelajari kemungkinan melarang maskapai penerbangan Qatar terbang di atas wilayah tiga negara tersebut. Tiga negara di kawasan Teluk Persia tersebut juga memutuskan tak akan mengundang Qatar dalam semua forum dialog, seminar, atau konferensi yang digelar di wilayah mereka. Keputusan itu untuk pertama kali terjadi, tak hanya sejak dibentuknya Dewan Kerja Sama Teluk (GCC)tempat mereka semua tergabung tahun 1981. Ini juga peristiwa pertama sejak berdirinya sistem negara monarki keluarga di Semenanjung Arab pada abad ke-19 dan abad ke-20. GCC beranggotakan enam negara Arab Teluk, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Qatar, UEA, Bahrain, dan Kesultanan Oman. Keputusan tersebut menandai awal retaknya GCC, yang selama ini dikenal sebagai organisasi regional paling solid. Keretakan GCC itu muncul sebagai akibat pergeseran luar biasa konstelasi politik di Timur Tengah setelah meletusnya revolusi rakyat di sejumlah negara Arab pada tahun 2011, seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Revolusi rakyat itu kemudian disusul kemenangan partai-partai politik berbasis ideologi Ikhwanul Muslimin (IM) dalam pemilu di Tunisia, Mesir, dan Libya yang mengejutkan dunia Arab saat itu. Segera muncul poros Sunni pro dan kontra IM. Poros Sunni kontra IM memandang poros Sunni pro IM sebagai ancaman terhadap sistem politiknya. Tiga poros besar Kini ada tiga poros politik besar di Timur Tengah sesudah gelombang revolusi rakyat yang juga disebut Musim Semi Arab itu. Pertama adalah poros negara-negara Sunni pro IM, yang terdiri dari Qatar, Turki, pemerintahan Hamas di Jalur Gaza, Tunisia, Libya, dan Maroko. Kedua, poros Sunni kontra IM, yang terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, UEA, Bahrain, Aljazair, Otoritas Palestina di Ramallah, dan pemerintahan sementara Mesir sesudah penggulingan Presiden Muhammad Mursi pada 3 Juli 2013. Ketiga, poros Syiah yang terdiri dari Iran, pemerintahan Perdana Menteri (PM) Nouri al-Maliki di Irak, rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah, dan Hezbollah di Lebanon selatan. Pertarungan antara poros Sunni pro IM dan kontra IM tidak kalah sengit dibandingkan pertarungan antara poros Sunni dan Syiah. Keputusan Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir menarik dubesnya dari Qatar merupakan bagian dari pertarungan sengit antara poros Sunni pro dan kontra IM tersebut. Barometer pertarungan di antara dua poros Sunni tersebut kini berada di GCC mengingat kekuatan pengaruh finansial Arab Saudi, UEA, dan Qatar. Qatar dengan kekuatan finansial dan jaringan stasiun televisi Al Jazeera cukup menggetarkan kekuatan poros Sunni kontra IM. Apalagi Qatar juga menampung tokoh-tokoh IM yang lari dari Mesir. Bahkan, tokoh IM yang berdomisili di Doha, Qatar, seperti Sheikh Yusuf Qardhawi, sering mengkritik Arab Saudi dan UEA melalui khotbah Jumat atau Al Jazeera. Itu sebabnya poros kontra IM kini memandang perlu menundukkan Qatar untuk melemahkan poros pro IM di wilayah lain. Merusak kebersamaan Pertarungan sengit itu kini praktis telah mengempaskan nilai-nilai yang tertanam kuat di tubuh GCC selama ini. GCC selama ini dikenal memiliki tradisi kuat terikat dengan perasaan senasib dan seperjuangan dalam menghadapi tantangan internal maupun eksternal. Kekuatan kebersamaan itu muncul lantaran negara-negara GCC disatukan sistem politik sama, yakni sistem monarki keluarga, serta sistem lingkungan sosial, budaya, dan pandangan keagamaan yang sama, yaitu lingkungan konservatif. Anggota GCC juga sama-sama ketiban rezeki melimpah, yaitu kandungan minyak dan gas, yang jauh melampaui kebutuhan jumlah penduduknya yang relatif sedikit. Ancaman terhadap salah satu anggota GCC segera dianggap sebagai ancaman terhadap seluruh GCC. Hal itu dibuktikan ketika negara-negara Arab kaya itu membentuk GCC pada tahun 1981 untuk menghadapi kemungkinan ekspor revolusi Iran. GCC kemudian bersatu mendukung Irak dalam Perang Irak-Iran pada 1980-1988. Ketika Irak menduduki Kuwait pada tahun 1990, semua anggota GCC kompak mengirim pasukan ke Arab Saudi untuk mengusir Irak dari Kuwait. Upaya pelemahan Di luar Qatar, poros Sunni kontra IM juga terus berupaya menghabisi, atau minimal melemahkan jaringan pro IM. Keputusan pengadilan Mesir pada Selasa (4/3) untuk melarang aktivitas Hamas di Mesir dan menyita semua aset Hamas di negara itu juga bagian dari aksi melemahkan poros pro IM. Di Turki, pemerintahan PM Recep Tayyip Erdogan yang berideologi IM kini juga mulai goyah setelah konflik dengan bekas mitra seperjuangannya, Fethullah Gulen. Kini muncul asumsi kuat ada kekuatan poros Sunni anti IM di balik upaya Gulen merongrong kekuasaan PM Erdogan saat ini. Di Tunisia, pemimpin partai Islamis Ennahda, Rashid Ghannouchi, cukup cepat membaca gejala gerakan aksi melemahkan jaringan IM itu. Ghannouchi segera membangun kompromi dengan kubu sekuler di Tunisia dalam penyusunan konstitusi baru untuk mencegah kekuatan kontra IM dan kontra revolusi menggusur Ennahda dari kekuasaan. Di Libya, upaya poros Sunni kontra IM hingga saat ini gagal menggusur kekuatan poros Sunni pro IM. Kasus aksi dua milisi bersenjata kuat asal Zintan, Libya barat, yakni milisi Al Qaaqaa dan Al Sawaaq, pada 18 Februari lalu memberikan ultimatum kepada Kongres Nasional Umum (GNC) agar segera membubarkan diri, merupakan bagian dari pertarungan poros pro dan kontra IM di Libya. Dua milisi yang mengancam tersebut punya hubungan politik kuat dengan Aliansi Kekuatan Nasional (NFA) pimpinan Mahmud Jibril yang berideologi liberal. Komandan milisi Al Qaaqa, Usman Mlegta, adalah saudara politisi NFA, Abdelmajid Mlegta. Adapun GNC kini dikuasai oleh kelompok pro IM. Namun, upaya milisi Al Qaaqa dan Al Sawaaq itu gagal karena diancam balik oleh milisi kuat bersenjata di Misrata, yang loyalis IM, jika ada aksi membubarkan GNC. Itulah perubahan terkini yang terjadi di dunia Arab. Kemenangan partai-partai politik berbasis ideologi IM dalam pemilu sesudah revolusi Arab tahun 2011 memicu munculnya persaingan dan pertarungan baru di Timur Tengah dan dunia Arab secara keseluruhan. IM Makin Terjepit Arab Saudi Tetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai Organisasi Teroris
KAIRO, KOMPAS Peta konstelasi politik di Timur Tengah bisa berubah lagi secara signifikan setelah Arab Saudi, Jumat (7/3), menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris. Selain Ikhwanul Muslimin (IM), Arab Saudi juga menetapkan sejumlah organisasi radikal sebagai organisasi teroris, seperti ISIL (Negara Islam di Irak dan Suriah), Front Al Nusra di Suriah, faksi Syiah Houthi di Yaman, jaringan Tanzim Al Qaeda di berbagai belahan bumi, dan Hezbollah di Arab Saudi. Jaringan IM tercatat berada di sekitar 80 negara yang tersebar di seluruh dunia. Partai politik yang berbasis ideologi IM atau sealiran dengan ideologi IM kini berkuasa di Turki, Jalur Gaza, Maroko, serta bagian dari kekuasaan di Tunisia, Libya, Kuwait, dan Yaman. Simpatisan IM juga cukup kuat di Qatar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Demikian dilaporkan wartawan Kompas, Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir. Sejauh ini belum ada reaksi dari negara-negara tersebut. Hanya Pemerintah Mesir yang langsung menyatakan mendukung keputusan Arab Saudi itu. Pemerintah Mesir telah menetapkan IM sebagai organisasi teroris pada November 2013. Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi, seperti dilansir berbagai media Arab, menegaskan, warga Arab Saudi dilarang keras berafiliasi, mendukung, menyatakan solidaritas, dan menggelar berbagai bentuk pertemuan di bawah naungan organisasi-organisasi tersebut. Larangan itu berlaku juga bagi semua organisasi yang memiliki filosofi pemikiran, perkataan, dan perbuatan yang serupa dengan organisasi-organisasi itu. Larangan tersebut berlaku pula bagi semua organisasi yang telah dinyatakan sebagai organisasi teroris dalam daftar Dewan Keamanan PBB dan lembaga internasional lainnya. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi, Mayor Jenderal Mansour al-Turki, kepada harian Asharq al-Awsat, mengatakan, keputusan itu merupakan langkah awal tahapan aksi membasmi akar terorisme dalam konteks strategi Pemerintah Arab Saudi memerangi teroris di berbagai belahan dunia. Mengevaluasi khotbah Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi juga mulai mengevaluasi isi khotbah para khatib shalat Jumat di seantero negeri itu yang sering bernuansa radikal. Kementerian itu juga memberikan ultimatum kepada semua warganya yang sedang ikut berperang di luar negeri agar segera kembali ke Arab Saudi selambat-lambatnya 15 hari ke depan. IM selama ini dikenal tidak hadir secara fisik dalam bentuk partai atau organisasi sosial di Arab Saudi. Namun, disebutkan, IM cukup memiliki pengaruh di Arab Saudi melalui lembaga-lembaga dakwah, media, pendidikan, dan perdagangan. Sementara itu, IM di Mesir menyampaikan keterkejutannya atas keputusan Arab Saudi menetapkan IM sebagai organisasi teroris. Dalam keterangan persnya, IM mengatakan, keputusan itu bertentangan dengan sejarah hubungan IM dan Arab Saudi sejak masa pendiri negara itu, Raja Abdul Aziz bin Saud. Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa pendiri IM, Hassan al-Banna, pernah melakukan pertemuan persahabatan dengan pendiri negara Arab Saudi, Raja Abdul Aziz bin Saud, pada musim haji tahun 1936. Sejak itu, hubungan IM dan Arab Saudi terjalin baik, terutama pada 1960-an dan 1970-an.
Obituari Selamat Jalan Muridan S Widjojo
JAKARTA, KOMPAS Jenazah peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muridan S Widjojo, yang meninggal Jumat (7/3) dimakamkan di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Sabtu pagi. Muridan mewariskan kegigihan seorang akademisi dan semangat seorang aktivis untuk menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Jenazah Muridan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Pondok Rajeg, Cibinong. Istrinya, Suma Riella Rusdiarti, ditemani tiga anaknyaChris Deikme (19), Galih Muridan (16), dan Naiya Muridan (7)serta peneliti dari sejumlah lembaga, aktivis hak asasi manusia, dan para mahasiswa asal Papua, memberikan penghormatan terakhir. Muridan meninggal dunia dalam usia 47 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok setelah 12 hari dirawat. Sejak 2010, peraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah Pra Kolonial dari Universitas Leiden, Belanda, itu bergulat melawan kanker. Hati antropolog yang dilahirkan di Surabaya pada 4 April 1967 itu bertaut dengan Papua sejak menjalani tugasnya sebagai peneliti LIPI di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Perannya sebagai juru damai dimulai pada 1993, saat memediasi perdamaian perang tujuh konfederasi suku di Wamena, Hitigima, Kurima, Pasema, dan Welesi. Pahlawan kemanusiaan Penghormatannya kepada harkat dan martabat orang Papua tertuang dalam bukunya. Pada tahun 2010, Muridan menjadi editor laporan LIPI, Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Presence, and Securing the Future. Demi menjalankan gagasan Papua Road Map, Muridan bersama sejumlah tokoh agama dan aktivis HAM mendirikan Jaringan Damai Papua (JDP) pada 2010. Meski sakit, hingga 2013 Muridan berkeliling Papua, mengampanyekan dialog Jakarta-Papua sebagai solusi konflik. Pada Rabu (5/3), Muridan mendiskusikan kekhawatirannya akan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate di Papua dengan istrinya, Riella. Masyarakat adat (kini) tercerabut dari sumber relasi sosial dan sumber kehidupan ekonomi yang lebih baik. Saya takut, kata Muridan. Dua peraih penghargaan hak asasi manusia Yap Thiam Hien, Pastor John Djonga Pr dan Yosepha Alomang, menyebut keberpihakan Muridan kepada orang Papua sepatutnya menjadi contoh bagi orang Papua. Ia adalah pahlawan kemanusiaan, kata Pastor Djonga. (ROW/JOS) Pemilihan Umum Mau Berpartisipasi, tetapi Rumit
Jauh dari kampung halaman tak hanya menghadapi budaya dan tantangan yang berbeda. Namun, menjelang peristiwa politik 2014, semua warga memiliki harapan dan tak abai menggunakan hak pilih. Sekitar 100 warga negara Indonesia di perantauan, di Auckland, Selandia Baru, berkumpul di Auckland Normal Intermediate School, Mount Eden, Auckland, Sabtu (8/3) pukul 11.00. Jadwalnya pukul 11.00- 15.00, tetapi budaya jam karet tak hilang di negeri orang, apalagi acara dikemas tak formal. Warga bisa sekaligus melepas kangen dengan membeli masakan dan kudapan khas Indonesia yang disediakan beberapa warga. Tentu saja, sosialisasi pemilu dan perkenalan dengan Jose Tavares, Duta Besar RI untuk Selandia Baru, yang mulai bertugas sebulan ini menjadi acara utama. Semua warga pun saksama mendengarkan cara mereka memberikan hak pilih. Di Selandia Baru, hanya ada dua metode yang diterapkan. Memberikan suara di TPS Luar Negeri di Wellington, Minggu (6/4), atau pemungutan suara melalui pos. Cara kedua ini, pemilih mengirimkan surat suara melalui pos atau memasukkan surat suara yang dicoblos ke dropbox. Fasilitas dropbox ini hanya dinikmati warga Indonesia di Auckland dan Wellington. Menurut Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri Wellington Ridwan, dari 3.700 pemilih untuk pemilu legislatif, 2.400 orang di antaranya berada di Auckland. Di Tanah Air, pemilih sebanyak ini harus dibagi dalam lima TPS. Kendati surat suara dikirim melalui pos dalam rentang waktu tertentu, penghitungan suara baru dilakukan pada 9 April, bersamaan dengan penyelenggaraan pemilu di Tanah Air. Tak ada jawaban Pertanyaan demi pertanyaan pun disampaikan warga. Salah seorang mahasiswa asal Jakarta yang baru memulai studi di University of Auckland, Syafira (35), menanyakan kemungkinannya menggunakan hak pilih. Apalagi, pada awal semester ganjil 2014, setidaknya puluhan mahasiswa asal Indonesia memulai masa studi di wilayah ini. Ridwan mempersilakan warga yang baru pindah mencatatkan datanya pada daftar pemilih khusus. Namun, dia menambahkan, surat suara tambahan yang disiapkan KPU hanya 2 persen dari jumlah pada daftar pemilih tetap (DPT). Karena itu, warga dalam daftar pemilih khusus bisa menggunakan hak pilih sepanjang jumlah surat suara cadangan memadai. Tak hanya berada dalam ketidakpastian hak pilih, mekanisme mencabut hak suara di TPS asal pun tak berjalan. Saat Kompas mencoba menjalankan kewajiban warga negara ini pada 18 Februari lalu, Panitia Pemungutan Suara (PPS) Babakan Pasar Kota Bogor, Jawa Barat, tak mampu merespons. Anggota PPS Babakan Pasar, Agus, mengatakan, formulir A-5 yang menunjukkan pemilih pindah belum dikirimkan KPU. PPS pun tak mampu memberikan sekadar surat keterangan permintaan pencabutan hak pilih. Keesokannya, Kompas bertemu Sekretaris PPS Babakan Pasar, Saefulloh. Jawabannya tak berbeda. Kami belum tahu seperti apa format surat pemindahan hak pilih. Apalagi formulir A-5 belum ada, ujarnya. Padahal, pada 20 Februari lalu, KPU mengirimkan keterangan pers yang menegaskan adanya kemudahan untuk pindah memilih. Warga yang pindah karena dinas luar, tugas belajar, pindah domisili, sakit, bencana, atau persoalan hukum mengakibatkan seseorang ditahan bisa menggunakan formulir A-5. Kalaupun formulir A-5 belum dikirimkan KPU, kata anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, PPS bisa merujuk pada Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyusunan Daftar Pemilih untuk Pemilu DPR, DPRD, dan DPD. Aturan dan kenyataan memang lain. Sampai saat ini, puluhan warga tak pasti dapat menggunakan hak politiknya di Pemilu Legislatif 2014. Kalau demikian rumit urusan administrasi ini, jangan lagi bicara menaikkan partisipasi publik dalam Pemilu 2014. (Nina Susilo dari Aucland, Selandia Baru)
Gunung Sinabung Warga Pun Makin Paham
Sebanyak 17.513 jiwa dari 16 desa di luar zona bahaya telah pulang dari pengungsian setelah aktivitas Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mereda. Pun demikian, warga masih diliputi kekhawatiran lantaran Gunung Sinabung dapat erupsi kapan saja. Kekhawatiran itu beralasan lantaran hingga kini status Gunung Sinabung masih Awas, level tertinggi dalam status kegunungapian. Guguran awan panas terjadi puluhan kali dalam sehari dengan jarak luncur hingga 500 meter dan tremor terus-menerus. Hanya saja, aktivitasnya tidak setinggi pada Januari lalu saat luncuran awan panas mencapai 4,5 kilometer. Dua malam ini belum bisa tidur tenang, suara gemuruh Sinabung terdengar terus sampai pagi, kata Isna (32), warga Desa Sukandebi, Kecamatan Naman Teran, sekitar 5,5 kilometer dari puncak Sinabung, Rabu (5/3). Isna sudah tiga pekan kembali ke rumah setelah hampir tiga bulan mengungsi. Setiap pagi dia melongok ke arah puncak Gunung Sinabung yang terlihat jelas dari halaman rumahnya. Itu sekadar memastikan bahwa kondisi gunung setinggi 2.460 meter dari permukaan laut itu baik-baik saja. Namun, kekhawatiran Isna itu sedikit terobati dengan semakin banyak petunjuk jalur evakuasi. Apalagi saat di pengungsian dia pernah mendapat materi sosialisasi mitigasi bencana, termasuk upaya praktis mengevakuasi diri saat Gunung Sinabung erupsi. Apabila nanti Gunung Sinabung erupsi lagi, kata Isna, semua warga harus segera berkumpul di titik-titik kumpul yang sudah diberi tanda. Kebetulan salah satu titik kumpul itu hanya berjarak 100 meter dari rumah Isna, yakni masjid di tepi jalan. Setelah berkumpul, mereka akan dijemput kendaraan evakuasi untuk diungsikan ke tempat yang lebih aman. Pemahaman ini juga diingat secara baik oleh Tapi Karo (72), warga Desa Naman Teran, Kecamatan Naman Teran. Saat ditanya mengenai langkah-langkah evakuasi, dia segera menunjukkan tas berisi dua baju, dua celana, dan dua sarung. Dia juga mengambil tas berisi peralatan mandi. Kalau Sinabung meletus lagi, saya tinggal bawa ini ke pengungsian. Semua sudah saya siapkan mulai sekarang, kata Tapi mantap. Di sepanjang jalan sejak Desa Ndokum Siroga, Kecamatan Simpang Empat, hingga Kuta Rayat, terpasang paling tidak 80 rambu-rambu petunjuk jalur evakuasi. Rambu-rambu tersebut juga menunjukkan jarak titik dengan puncak Gunung Sinabung agar warga mengetahui zona bahaya, yakni lingkar 5 kilometer dari puncak Gunung Sinabung. Jalur evakuasi itu menuju Simpang Empat yang berjarak 8,2 kilometer dari puncak. Jalur lainnya menuju Berastagi, 20 kilometer dari puncak Gunung Sinabung. Komunikasi Saat erupsi, warga dapat menyelamatkan diri mengikuti jalur evakuasi tersebut menggunakan kendaraan pribadi atau berkumpul di titik kumpul menunggu penjemputan. Komunikasi evakuasi disiarkan melalui Radio Sora Sinabung FM yang disiarkan dari Posko Media Center di Kabanjahe. Itu diperkuat dengan komunikasi antarkepala desa yang mereka lakukan via handy talkie. Di Gunung Kelud (di Kabupaten Kediri, Jawa Timur), komunikasi warga dilakukan dengan kentungan. Ide itu mau disampaikan kepada masyarakat dan aparat (di Sinabung), kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho. Warga di lereng Gunung Sinabung mudah memahami langkah-langkah evakuasi dan cepat sadar terhadap ancaman erupsi Gunung Sinabung meskipun sudah seribuan tahun Gunung Sinabung tidak erupsi. Hal ini karena dalam enam bulan terakhir Gunung Sinabung erupsi secara maraton sehingga warga mengalami sendiri proses evakuasi dan penyelamatan diri. Dari pengalaman itu, warga diajarkan untuk lebih siaga dan mawas diri. Menurut Sutopo, pemahaman warga di lereng Sinabung cukup matang. Hal ini misalnya terlihat dari kasus tewasnya 17 korban akibat awan panas di Desa Suka Meriah pada awal Februari lalu. Korban adalah orang luar Suka Meriah. Sutopo mengakui bahwa kesiapsiagaan dari lembaga formal dan pemerintah lokal masih minim. Ini lantaran mereka tidak memiliki referensi sejarah mengenai letusan. Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karo pun baru efektif bekerja sejak awal pekan ini. Kami masih menyusun program kerja dan anggaran, kata Sekretaris BPBD Karo Jhonson Tarigan. Sekitar 1.200 tahun lalu Gunung Sinabung meletus. Luncuran awan panas sampai ke Desa Berastepu, sekitar 3,5 kilometer dari puncak gunung. Setelah itu dia tidur panjang sampai akhir tahun 2010. Masyarakat di lereng Gunung Sinabung terus belajar membangun harmoni dengan alam. Sinabung dapat meletus setiap saat dan tak ada yang tahu kapan dia tidur panjang lagi. Cara efektif untuk menghindari bahaya letusan Gunung Sinabung adalah dengan menjauhinya. Yang dikeluarkan Sinabung itu pasti ada manfaatnya bagi kita. Kesuburan tanah dan hilangnya hama tanaman, misalnya. Biarkan dia batuk-batuk dulu, kata Salmin Sembiring (38), warga Desa Sukandebi. Konsep menjauh dari gunung itu telah disepakati pemerintah dalam bentuk rencana relokasi desa-desa yang berada di radius 3 kilometer dari puncak gunung. Sayangnya, rencana yang tercetus enam bulan lalu tersebut belum terealisasi dengan alasan pemerintah belum menemukan cukup lahan. Warga pun terpaksa bertahan di pengungsian. (Mohammad Hilmi Faiq)
PAUS FRANSISKUS Waktu Khusus untuk Indonesia
Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, berjanji akan menyediakan waktu khusus untuk Indonesia. Meski tak menyebut waktu secara pasti, Paus Fransiskus menyampaikan hal itu secara jelas kepada perwakilan Indonesia yang hadir di audiensi umum Paus di Vatikan, 12 Februari. Saya akan menyediakan waktu khusus untuk Indonesia, tutur Paus Fransiskus kepada Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar di akhir perbincangan singkat seusai audiensi tersebut. Pernyataan itu merupakan puncak kunjungan Sapta dan rombongan, termasuk Kompas, ke Vatikan, selain tentu saja kesempatan berjumpa langsung dengan Paus Fransiskus. Bertemu dan berjabat tangan langsung dengan Paus Fransiskus di Vatikan jelas bukan hal mudah. Bahkan, permintaan yang diajukan para kepala negara dari seluruh dunia pun biasanya membutuhkan waktu lama baru bisa terpenuhi. Namun, hal itu tak menyurutkan keinginan Sapta menemui Paus. Apalagi, saat itu bersamaan dengan rencana pameran wisata Indonesia di Museum Etnologi Vatikan. Menggelar kegiatan di Vatikan tanpa berjumpa dengan Paus rasanya tidak lengkap, kata Sapta. Menjelang keberangkatan ke Roma, 10 Februari 2014, Sapta mengontak Duta Besar Indonesia di Vatikan, Budiarman Bahar. Ia mendapat informasi bahwa setiap Rabu, Paus Fransiskus menggelar audiensi umum di Lapangan Basilika Santo Petrus, Vatikan. Dalam kesempatan itu, tamu-tamu dari sejumlah negara bersalaman dengan Paus. Sapta pun memutuskan memilih momentum tersebut. KBRI bertindak cepat dengan mengirim surat permohonan resmi ke bagian Protokol Vatikan dan langsung disetujui. Hari Rabu, 12 Februari, sekitar pukul 09.00 waktu Roma, Sapta dan Budiarman serta rombongan sudah berada di area VIP di Lapangan Basilika Santo Petrus. Area VIP tersebut dipenuhi 1.000 tamu, sekitar 600 orang berada di area VIP sisi kanan altar dan 400 orang di sebelah kiri. Mereka berasal dari sejumlah negara di Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika. Sementara di Lapangan Basilika berjubel ribuan orang yang ingin mengikuti acara audiensi. Rombongan Indonesia ditempatkan pada urutan pertama di barisan terdepan area VIP sebelah kiri altar. Hanya yang berada di barisan terdepan ini yang bisa bersalaman dengan Paus. Ini sebuah kehormatan bagi Indonesia, kata Budiarman. Seusai audiensi, Paus Fransiskus langsung mendekati puluhan orang sakit dan cacat, lalu memeluk, mencium, dan memberkati mereka. Setelah itu, dia menuju area VIP dan mulai menyalami para tamu. Sapta menjadi orang pertama yang disalami Paus. Sapta memanfaatkan kesempatan itu untuk menyampaikan rencana pameran wisata di Museum Etnologi Vatikan. Ia juga menyerahkan cendera mata miniatur Candi Borobudur kepada Paus. Pada akhir obrolan sekitar dua menit itulah, Sapta pun menanyakan, kapan Paus berkunjung ke Indonesia. Paus Fransiskus pun menjawab akan menyediakan waktu khusus bagi Indonesia. (Jannes Eudes Wawa)
Ekstremisme di Afrika Kekerasan di Luar Batas Seakan Tak Berkesudahan
Ekstremisme cenderung diikuti dengan kekerasan. Aksi pembunuhan, pembantaian massal, dan tindak kejahatan lainnya yang amat melukai kemanusiaan bisa terjadi. Hal itu terbukti di Afrika. Hingga Maret ini, aksi main hakim sendiri yang dilakukan kelompok-kelompok militan radikal, seperti Boko Haram, Al Shebab, Seleka, dan Anti Balaka, kian marak di Afrika. Sejak awal tahun hingga Sabtu (8/3), kekerasan meningkat tajam di Nigeria, Afrika Tengah (Afteng), dan Somalia. Boko Haram, berbasis di Nigeria, dikategorikan sebagai sayap Al Qaeda paling tidak berperikemanusiaan oleh Amerika Serikat, seperti halnya Al Shebab di Somalia, karena aksinya sangat brutal dan tanpa ampun. Awal Maret, Boko Haram menebar teror dan membantai warga sipil tak berdosa. Lebih dari 30 orang tewas di Desa Mafa, Negara Bagian Borno, di Nigeria timur laut. Dalam tiga hari, 1-3 Maret, sedikitnya 116 orang dieksekusi. Dengan senjata tajam, senapan, dan bom, Boko Haram menyerang membabi buta kelompok lain yang berbeda paham dengan mereka. Namun, yang paling memilukan, anak-anak yang sedang bermain juga mereka jadikan target, seperti terjadi di Bama, akhir Februari. Anti Barat Boko Haram secara harfiah berarti pendidikan Barat dilarang. Semua tempat, baik rumah ibadah, kantor, permukiman, maupun sekolah, yang kedapatan menyimpan atau memasang simbol-simbol Barat, termasuk soal keyakinan yang dibawa dari Barat, adalah musuh yang harus dilenyapkan. Kelompok garis keras ini mulai berulah di wilayah Borno pada 2009, terutama setelah Presiden Nigeria Goodluck Jonathan yang berasal dari bagian selatan mulai berkuasa. Dia menggantikan Umaru YarAdua, tokoh yang berasal dari utara. Di Nigeria, kata utara dan selatan tidak saja menunjuk arah dari mana mereka berasal, tetapi juga bermakna konfrontasi di antara dua kelompok masyarakat utama di negara itu, warga Muslim di utara dan warga Kristen di selatan. Boko Haram kini menjadi salah satu sekte garis keras paling berbahaya di Afrika, terutama di wilayah Afrika Barat. Sejak 2013, AS menetapkan Boko Haram sebagai sayap Al Qaeda paling berbahaya saat ini. Hingga Rabu (5/3), Nigeria telah menutup lima sekolah tinggi di Borno menyusul serangan Boko Haram terhadap sekolah-sekolah itu. Selain merusak dan membakar sekolah, mereka juga membunuh puluhan siswa yang menurut kelompok ini telah dididik dengan kurikulum Barat. Menurut pemerintahan Presiden Jonathan, sudah lebih dari 200 sekolah ditutup dan siswanya diliburkan untuk menghindari serangan itu. Hal yang menarik, aparat keamanan tidak berdaya menghadapi kelompok ini. Ketidakkompakan di kabinet merupakan salah satu penyebabnya. Pembersihan etnis Seolah berada pada satu komando yang sama, kekerasan juga dilakukan kelompok milisi Seleka dan Anti Balaka di Afteng. Berita terbaru tentang Afteng adalah adanya semacam upaya pembersihan etnis oleh kubu mayoritas terhadap kelompok minoritas. Amnesty International sampai menegaskan, terjadi pembersihan etnis terhadap sekelompok masyarakat akibat sentimen agama di Afteng. Kelompok hak asasi manusia itu melaporkan, 200 orang yang berasal dari sebuah suku telah dibunuh oleh milisi dari suku lain yang dikenal dengan sebutan Anti Balaka. Hanya dalam satu bulan, Januari-Februari, hampir 1.000 orang tewas dan lebih dari satu juta orang mengungsi di Afteng. Peristiwa itu dipicu aksi kudeta pada Maret 2013 yang dilakukan pemberontak garis keras Seleka, yang menggulingkan Presiden Francois Bozize. Seleka berasal dari etnis minoritas dan menggulingkan Bozize dari etnis mayoritas dengan kekuatan senjata. Pemimpin Seleka, Michel Djotodia, mengangkat diri menjadi presiden. Kebencian terhadap minoritas pun menguat dengan pembentukan milisi tandingan Anti Balaka atau kelompok anti parang. Kekerasan dibalas kekerasan, senjata dilawan senjata, nyawa dibalas nyawa. Apa pun bentuk dan alasannya, para pemimpin kelompok ekstrem ini ingin membangun perdamaian dengan cara mereka sendiri. Seperti pepatah Latin, si vis pacem, para bellum, ingin damai, bersiaplah untuk perang. Sifat dari semua kelompok itu hampir sama, yakni sadis, brutal, dan tidak pandang bulu. Tidak saja menembak, mereka juga melukai dengan senjata tajam, siapa pun lawannya. Ketegasan pemimpin Meskipun kekuatan militer Perancis dan Uni Afrika telah hadir di negara-negara itu, penyerangan terhadap warga sipil terus meluas. Membangun lagi kepercayaan dan lembaga sosial dan pemerintah akan makan banyak waktu, uang, dan kerja keras yang penuh tantangan. Gugatan yang muncul, di manakah peran negara, yang seharusnya memiliki kekuatan untuk menekan agar kekerasan tak terulang? Para pengamat sampai pada satu keyakinan, faktor kepemimpinan yang tak tegas merupakan salah satu pemicu utama kekerasan itu muncul. Menguatnya ekstremisme agama juga terjadi karena para pemimpin spiritual tidak banyak berperan menyejukkan pengikutnya. Doktrin-doktrin yang menganggap pihak lain sebagai musuh telah ikut memanaskan situasi. Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Kemanusiaan Valerie Amos mengatakan, dibutuhkan dukungan internasional yang luas dalam menghadapi ekstremisme ini. Jika tidak, kekerasan akan berulang. (Pascal S Bin Saju)
sisi lain Racun dan Obat Teknologi
Teknologi itu seperti racun, sekaligus obat, dalam serangkaian kasus kriminal di DKI Jakarta belakangan ini. Keberadaannya menopang aksi pelaku, tetapi juga membantu polisi mengungkap perkara. Kedua pihak seperti berkejaran. Kamis (6/3) pukul 06.00, IA (26), tersangka pembunuh Desi Ekasari (19), tak menduga bakal disergap polisi, empat hari sesudah pembunuhan yang ia lakukan di Jalan Pantai Indah Barat, Penjaringan, Jakarta Utara. Padahal, segenap petunjuk sekuat tenaga ia hapus di lokasi kejadian, antara lain dengan melucuti identitas, dompet, dan telepon milik korban. IA menjerat calon korbannya melalui media sosial. Dia berusaha menyita perhatian Desi dengan mengaku lulusan Akademi Kepolisian. Selain itu, IA juga bercakap di situs jejaring layaknya orang kaya yang tengah mencari gadis idaman. Dalam kasus lain, Pn (34), tersangka pembunuh Mustain (45), barangkali merasakan hal yang sama dengan IA, yang nyaman dalam pelarian. Telah 10 hari dia berpindah tempat untuk menghindari kejaran polisi. Pn bahkan telah sampai di Lampung, sekitar 250 kilometer dari lokasi kejadian di Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, lalu terbang ke Gresik, Jawa Timur. Namun, polisi mengendus geraknya. Seperti IA, gerak Pn terlacak berkat perangkat teknologi informasi, selain informasi yang digali dari keterangan saksi, sidik jari, dan peta kasus yang dirangkai dari mosaik peristiwa sebelumnya. Bekerja sama dengan operator telepon seluler dan perangkat khusus, penelusuran jejak pelaku lebih mudah. Pengungkapan sejumlah kasus pembunuhan di Jakarta Utara setahun terakhir tak luput dari peran teknologi informasi. Beberapa tersangka bahkan ditangkap dalam hitungan jam sejak peristiwa terjadi. Percakapan terakhir, pesan singkat, bahkan kicauan dan status di media sosial, juga menjadi jalur bagi polisi untuk mengejar pelaku. Bagi sejumlah penyidik, perangkat teknologi itu sering kali meninggalkan jejak petunjuk yang bisa dirangkai untuk menggenapi puzzle. Apalagi di kalangan penegak hukum ada pemeo tak ada kejahatan yang sempurna. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah. Seperti kisah trio pencuri mobil, Kar (37), Nar (38), dan Rus (28), yang ditangkap Polsek Metro Penjaringan Oktober 2013. Ketiganya telah merancang pencurian dengan sangat matang. Rus dan Kar menyurvei lokasi dan calon korban. Ketiganya sukses membuka pintu mobil, mematikan alarm, dan melarikan mobil dari Penjaringan, Jakarta Utara, ke Pondok Kopi, Jakarta Timur. Dalam perjalanan, mereka juga berusaha mendeteksi dan mematikan perangkat global positioning system (GPS) di dalam mobil. Akan tetapi, trio pencuri itu tak menduga perangkat GPS secara periodik mengirim koordinat lokasi mobil ke telepon seluler pemiliknya. Petugas pun dengan mudah mengamati pergerakan mobil. Polisi akhirnya menangkap ketiganya saat akan bertransaksi dengan penadah di Pondok Kopi. Kasus terakhir, pembunuhan Ade Sara Angelina (19), juga tak luput dari peran teknologi dalam pengungkapannya. Dua tersangka, AI (19) dan AR (18), ditelusuri dari sejumlah jejaknya, antara lain sidik jari di tubuh korban yang kemudian dicocokkan dengan data elektronik pada kartu tanda penduduk. Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, polisi dan penjahat berlomba menjadi pemenang. Muka ganda teknologi terlihat jelas, racun sekaligus obat! (Mukhamad Kurniawan)
Kehidupan Seni Berbagi dalam Kesederhanaan Oleh: Putu Fajar Arcana & Gregorius Magnus Finneso
Lengger dan takir merupakan bahasa kebersamaan dalam kesederhanaan. Ia lahir dari rahim alam pedesaan sebagai wujud rasa syukur, sikap toleran, dan kepasrahan para petani. Mereka berkesenian untuk merayakan kemurahan semesta. Gang sempit menuju Petilasan Panggihsari, Desa Somakaton, Somagede, Banyumas, Jawa Tengah, licin dan berbatu. Desa kecil ini berjarak 35 kilometer di selatan Purwokerto. Mbah Dariah (86), cikal bakal penari lengger lanang, sedang berdandan di bilik kecil milik Mbok Sanem (60-an). Sebagaimana umumnya rumah-rumah di desa itu, bilik Mbok Sanem berdinding gedek dan berlantai tanah. Halamannya tampak becek. Bahkan, lumpur terbawa sampai ke ruang tamunya yang kecil dan seadanya. Tak berapa lama, dua penari lengger, Astuti (46) dan Sariyah (40), turun dari sepeda motor. Keduanya sudah menggunakan kostum tari. Tampak anggun di antara alam pedesaan yang perawan. Astuti dan Sariyah saling menuntun untuk melewati jalanan licin dan berbatu sebelum sampai di rumah Mbok Sanem. Hari Rabu Wage, bulan Sura menurut penanggalan Jawa, tepatnya Rabu, 19 Februari 2014. Pada hari itu, warga Desa Somakaton selalu menggelar ritual takiran. Selain berdoa di Petilasan Panggihsari, dipimpin sesepuh desa setempat, Jaya Martana alias Mbah Sajum (68), warga juga mempersembahkan nasi di wadah pincuk daun pisang dengan lauk sepotong telur dadar, tempe, mi goreng, kerupuk gendar, teri, dan pecak ikan. Warga menyebut suguhan ini sebagai nasi takir. Bentuk pincuknya menyerupai wujud sebuah sampan. Syukur-syukur pada hari itu juga digelar tari lengger. Selain menampilkan Mbah Dariah, Astuti, dan Sariyah, pergelaran tari yang disaksikan aparat desa itu juga menampilkan penari lengger lanang muda bernama Agus Agnes Widodo (26). Agus bisa dibilang penerus penari lengger lanang yang selama ini nyaris putus generasi. Setelah Mbah Dariah, yang bernama asli Sadam, berusia lebih dari 80 tahun, warga setempat seolah putus asa menunggu penggantinya. Kini, Agus, yang pernah memerankan Dariah muda dalam sebuah film dokumentasi tentang maestro tari, telah menjelma menjadi lengger lanang muda. Ia mulai dikenal di kawasan Banyumas, Cilacap, dan sekitarnya. Spirit lengger Kira-kira pukul 11.00, gamelan mulai ditabuh. Warga mulai berdatangan. Para wartawan, yang mengikuti Workshop Karya Tulis dan Fotografi bersama Sampoerna Kretek dari Jakarta, juga sudah siap di lokasi. Di halaman samping petilasan, warga membangun panggung kecil dan tenda. Penggerak lengger Banyumas, Yusmanto, mengatakan, Petilasan Panggihsari besar maknanya bagi warga Somakaton dan penari lengger. Panembahan Panggihsari dianggap sebagai cikal bakal leluhur Desa Somakaton. Di sini juga para penari lengger melakukan ritual untuk memohon indhang, spirit yang merasuki lengger, kata Yusmanto. Mbah Dariah, warga asli Somakaton, menurut cerita, juga melakukan berbagai ritual di Petilasan Panggihsari sebelum menjadi penari lengger yang kemudian dikenal luas pada era 1950-an sampai 1960-an. Mbah Dariah berdiri. Meski tubuhnya sudah renta, ia minta pengrawit memainkan tembang pangkur, tembang yang terbilang klasik. Dulu pangkur sekarang gadung, katanya dalam bahasa Banyumas. Maksudnya, dulu, setiap naik panggung, tembang pangkur wajib dinyanyikan. Namun, pada era sekarang, penari lebih suka menembangkan Kembang Gadung. Dalam kerentaan usianya, Mbah Dariah berkelebat, merentangkan tangan, meliuk, dan menggoyangkan pinggulnya. Penonton terkesima. Barangkali karena peristiwa ini jarang terjadi di desa mereka: seorang penari lengger legendaris menari di situs, tempat indhang lengger biasa diraih. Mandan suwi langka lenggeran. Gemiyen si ujare Somakaton nggene lengger kondang, ya kaya Mbah Dariah sing jare ratune lengger, kata Sukem (50), warga Somakaton. Maksud Sukem, cukup lama tidak ada pentas lengger di desanya. Padahal, dahulu Somakaton adalah tempat para lengger terkenal seperti Mbah Dariah. Siang menjadi lebih meriah karena peran Astuti, Sariyah, dan Agus yang menari bersama- sama di panggung. Tak disangka, di antara kepadatan penonton, para ibu menyodorkan tenong (wadah dari bambu). Sebelum tenong dibuka, para ibu juga sudah menyiapkan budin, makanan dari singkong. Ada pula mendoan, kacang rebus, dan rambutan hasil panen kebun petani. Puluhan tenong itu berisi nasi takir. Sebelum makan bersama, Mbah Sajum bercerita bahwa tradisi takiran merupakan ritual yang selalu dilakukan saat perayaan panen sebagai wujud ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Takiran, kata Sajum, menjadi cerminan kebersamaan dan toleransi antarwarga yang berbeda agama di desa itu. Karena sepadan di hadapan Sang Khalik, manusia mesti mawas diri. Itu diwujudkan dalam bentuk saling berbagi nasi takir yang dimaknai sebagai nata pikir atau menata pikiran, dari yang belum baik menjadi baik dan kalau sudah baik menjadi lebih baik lagi, ujar Mbah Sajum. Kebersamaan Yusmanto mengatakan, lengger dan takir ibarat dua artefak kebudayaan yang berpijak pada kebudayaan agraris. Dalam kebudayaan agraris, perasaan kebersamaan senantiasa dibungkus dengan ritual-ritual sebagai ekspresi rasa syukur atas kemurahan alam. Takir itu dimasak oleh para ibu di setiap rumah, lalu dibawa ke tempat ritual. Seusai persembahan, mereka selalu makan bersama meski menunya sangat sederhana, ujarnya. Sejarawan dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sugeng Priyadi, melihat pertunjukan lengger sebagai cerminan etika kesepadanan manusia Banyumas yang bersifat universal dan dibangun atas dasar humanitarian. Sikap egaliter itu menjauhkan setiap individu dari sikap feodalistis yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai kiblat hubungan sosial, kata Sugeng. Estetika yang ada dalam lengger dan takiran mengandung nilai etika universal yang dibutuhkan dalam tata laku hidup dewasa ini. Seni telah menjadi medium bagi manusia untuk berbagi kebersamaan dalam kesederhanaan. Sekelebat gerak lengger dan setakir nasi telah menjelma menjadi kebahagiaan kecil di sela-sela sulitnya hidup di pedesaan. Mari belajar dari petani.
Penari Tak Renta Dimakan Usia
Secara fisik Mbah Dariah (86) boleh ringkih. Tetapi, maestro tari lengger lanang asal Desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Banyumas, Jawa Tengah, ini masih tegar di atas panggung. Ia masih menunjukkan kebesaran lengger klasik pada pentas hari Rabu (19/2) di halaman samping Petilasan Panggihsari, Somakaton. Di petilasan ini, ia memperoleh indhang, spirit yang membuatnya menempuh jalan hidup sebagai penari lengger. Mbah Dariah memperoleh gelar Maestro Seniman Tradisional dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2011. Sebagai lelaki, Mbah Dariah memiliki nama kecil Sadam. Ia diperkirakan lahir tahun 1928 dari ibu bernama Samini dan ayah Kartameja. Mereka hidup sebagai petani kecil di Somakaton. Karena ayahnya meninggal, Sadam kemudian hidup bersama kakeknya, Wiryareja. Pada suatu hari seorang pengelana bernama Kaki Danabau datang ke rumah mereka. Danabau mengatakan, Sadam dirasuki indhang lengger dan pada suatu masa akan menjadi orang terkenal. Karena mengaku gelisah, Sadam kemudian pergi meninggalkan rumah. Ia bertapa di satu makam tua, yang kemudian diketahui sebagai tempat memohon indhang lengger. Kaya ana sing nuntun nyong mlaku maring Gandatapa, kata Mbah Dariah. Maksudnya, perjalanannya seperti ada yang menuntun sehingga sampai di Gandatapa. Setelah kembali dari pertapaan, Sadam kemudian berganti nama menjadi Dariah pada usia 16 tahun. Tak ada guru, semua bisa sendiri, tutur Mbah Dariah. Pada zamannya, Dariah dikenal sebagai lengger cantik yang terlaris di kawasan Banyumas. Ia bahkan tak jarang diperebutkan para lelaki. Dariah bisa pentas dalam dua hari sekali. Upah menari lengger itu kemudian ia belikan tanah, membangun rumah, dan membeli sawah. Semua demi keluarga besarnya. Zaman boleh beringsut membawa dangdut. Mbah Dariah tetap dengan prinsipnya memainkan lengger klasik. Sekarang sudah tidak kuat, kaki saya sering pegel, kata Dariah di atas panggung. Ia kemudian memilih duduk setelah menarikan Pangkur. Tariannya memang tidak eksotis dan segesit dulu. Usianya sudah 86 tahun. Toh begitu, Dariah ingin mati dan dikenang sebagai penari lengger. (CAN/GRE)
Lengger Dangdut dan Geol Pinggul yang Menggoda Oleh: Putu Fajar Arcana & Gregorius Magnus Finesso
Lengger bukan artefak tradisi yang mati. Seni masyarakat banyumasan ini mencoba lentur menghadapi gemuruh perubahan. Para penari lengger berkreasi menciptakan genre baru yang disebut lengger dangdut, bahkan ada lengger calengsai (calung lengger barongsai). Agus Agnes Widodo (26), yang membangun kelompok Organ Lengger Meranggi Laras, rela menempuh jarak 50 kilometer dari Purwokerto menuju Kecamatan Maos, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (22/2). Malam itu ia ditanggap seorang warga untuk menggelar lengger yang telah dipadukan dengan musik dangdut. Kelompok Agus memang kemudian jadi lebih ramping. Ia cuma butuh seorang pemain organ dan seorang pemukul kendang. Jadilah pentas lengger dangdut, yang menonjolkan goyangan alias geol pinggul yang menggoda para penonton. Ketika malam makin larut, pentas lengger dangdut semakin panas. Selain geol pinggul, arena juga penuh suitan nakal penonton di tengah-tengah dentuman irama dangdut. Agus mesti cukup mahir membawakan lagu-lagu dangdut yang lagi hits, seperti Goyang Oplosan, Kucing Garong, Kereta Malam, dan Iwak Peyek. Lagu-lagu inilah yang belakangan menjadi medium goyang massal di berbagai acara hiburan televisi. Mau apa lagi, ini sudah tuntutan pasar. Kalau mau tetap eksis, ya, terpaksa ngikutin, ujar penari lengger yang dianggap sebagai penerus tradisi lengger lanang Mbah Dariah (86). Agus memang terpaksa berkompromi dengan pasar. Belakangan lengger klasik tidak begitu diminati lantaran dianggap membosankan dan ongkosnya mahal. Seorang penanggap harus membayar setidaknya Rp 5 juta untuk mendatangkan penari lengger seperti Astuti (46) bersama kelompoknya, Kencana Laras. Ongkos itu sebenarnya harus dibagi Astuti bersama puluhan pengrawit dan menyewa perangkat tata suara (sound system). Kalau satu grup lengger dengan calung dan sound system bisa jumlahnya 20 orang, kata Astuti. Sementara kelompok Organ Lengger Meranggi Laras, milik Agus, cukup dibayar dengan Rp 3 juta. Sebagai penari lengger, Astuti sebenarnya tidak fanatik mengusung langgam klasik. Sebelum ditasbihkan sebagai penari lengger, Astuti menjalani berbagai ritual, seperti berpuasa, mandi malam, tidur beralas daun, serta makan singkong mentah. Itu saya lakukan bisa berminggu- minggu, kata dia di sela-sela pentas lengger di Desa Somakaton, Somagede, Banyumas, pekan lalu. Semua ritual dan pantangan itu memang kemudian menjadikannya sebagai lengger paling terkenal di kawasan Karisidenan Banyumas. Astuti bahkan pernah melawat ke Inggris, Jerman, dan Belgia. Semua itu kini seakan luluh digerus arus selera zaman. Ia harus berkompromi untuk menanggung hidup dan kebalikannya, menghidupi lengger sebagai artefak tradisi. Pembaruan Kompromi itu, misalnya, dilakukan Astuti, Jumat (28/2), di Desa Mipiran, Kecamatan Padamara, Purbalingga. Ia tampil menjadi pentas pendamping dari acara utama pementasan wayang Ki Wahid dari Purwokerto. Sebelum acara utama berupa ruwatan pernikahan penanggap, Sahrudin (34), Astuti harus menari menghibur para tamu undangan. Jangan berharap tarian Astuti menuruti pakem lengger klasik, ia diwajibkan bisa meng-geol pinggul sambil membawakan lagu-lagu dangdut dan campursari. Tak ada tembang-tembang klasik lengger seperti Eling-eling, Ricik-ricik, Gunung Sari, Sekar Gadung, atau Renggong Manis. Lagu-lagu yang diperdengarkan tak jauh dari Goyang Oplosan, Kereta Malam, dan Kucing Garong, yang dianggap lebih bisa memancing joget bersama. Bukan hal mudah bagi Astuti yang terbiasa menembang lengger lalu membawakan cengkok dangdut dan campursari. Pada beberapa lagu, perempuan yang kini memiliki warung kecil di rumahnya itu masih terkesan kental memainkan laras slendro. Sementara bagi dalang Ki Wahid, lengger hanya dijadikan sebagai pelengkap dan pemanis pertunjukan wayangnya. Seni rakyat ini cuma ditampilkan saat adegan wayang memasuki limbukan dan gara-gara. Selain masuk dalam wayang, lengger juga jadi pemanis untuk seni begalan dan ebeg (kuda kepang), kata Wahid. Sebagai penanggap, Sahrudin mengatakan, para pengundang kini tidak terlalu berminat menanggap lengger. Lengger cenderung membosankan, kata dia. Menurut dia, lengger yang dioplos dengan musik dangdut, wayang, atau campursari lebih mampu menarik minat penonton. Kalau cuma lengger, pas bintangnya istirahat, penonton bisa pulang, ujar Sahrudin. Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, menganggap seni lengger sekarang ini dalam posisi bertahan. Dulu lengger menjadi perangkat kebudayaan di setiap desa di Banyumas. Sebuah pedukuhan akan merasa lengkap kalau memiliki kelompok lengger, apalagi kelompok itu kemudian terkenal. Kini lengger benar-benar harus bersaing dengan dunia showbiz dan juga keamanan, kata penulis trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, yang berkisah tentang penari ronggeng alias lengger itu. Akan tetapi, kata Tohari, Saya kira memang harus ada pembaruan supaya lengger bisa bertahan, kata dia. Lengger lahir di zaman agraris, tetapi kini di zaman industri banyak hal di dalamnya yang harus disesuaikan. Sudah banyak anak muda yang tidak mengerti ungkapan-ungkapan dalam tembang klasik lengger. Mengapa para pengrawit tidak menciptakan tembang-tembang baru yang lebih sesuai dengan konteks zaman, ujar Tohari. Di Banyumas kini terdapat berbagai pembaruan untuk lengger. Selain lengger dangdut, lengger wayang, dan calengsai, ada pula lengger gambyong dan lengger gibyak. Lengger gibyak ini disesuaikan dengan tempat pentasnya di pesantren, kata Tohari. Bagi pegiat lengger seperti Yusmanto, berbagai perubahan yang menimpa seni lengger di kawasan Banyumas justru menunjukkan kelenturan kebudayaan yang lahir dari para petani itu. Ini menjadi penemuan makna terhadap akar budaya lengger banyumas, seperti gerakan tariannya yang dinamis, lengger telah terbukti mampu beradaptasi dan bertransformasi, kata dia. Cara bertahan paling jitu dari gerusan arus zaman, menari mengikuti ke mana arus itu bergerak. Lengger telah membuktikan dirinya sebagai artefak masa lalu yang lentur dan terbuka terhadap berbagai perubahan. Ikut hanyut bersama dangdut bukan berarti menghamba selera massa, melainkan bersiasat menemukan senyawa, yang akan melahirkan zat baru bernama: lengdut, lengger dangdut. Dan, itu kini populer di kawasan Banyumas dan sekitarnya.
Memahami Perang di New Orleans Oleh: Wisnu Aji Dewabrata
New Orleans di Negara Bagian Louisiana, Amerika Serikat, tidak hanya memiliki musik jazz dan karnaval Mardi Gras. Kota yang dibelah Sungai Mississippi itu juga menyimpan harta karun lain: museum. Museum yang paling terkenal adalah museum tentang Perang Dunia II, National World War II Museum, yang lokasinya di 945 Magazine Street, tepat di jantung kota, tempat deretan hotel berbintang. National World War II Museum terdiri atas tiga gedung dan sedang dikembangkan menjadi empat gedung. Dua gedung sebagai ruang pameran koleksi, satu gedung sebagai tempat perbaikan koleksi, dan satu lagi berfungsi sebagai bioskop, restoran, dan toko suvenir. Dari luar, kompleks gedung tersebut tidak seperti museum, tetapi malah seperti ruang mobil karena bagian depannya adalah dinding kaca. Pejalan kaki bisa melihat sebagian koleksi museum yang dipajang di balik kaca, seperti tank, pesawat, dan kapal. Museum tersebut merupakan gagasan mantan Presiden AS Dwight D Eisenhower yang juga panglima tertinggi sekutu di Eropa saat Perang Dunia II. Eisenhower memimpin invasi sekutu ke Pantai Normandia, Perancis, 6 Juni 1944. Peristiwa bersejarah itu, disebut D-Day, menjadi awal kekalahan Jerman. Eisenhower yang ingin mengenang perjuangan bangsa AS di Perang Dunia II melontarkan gagasan kepada sejarawan dan penulis buku Stephen Ambrose. Ia meminta museum itu dibangun di New Orleans. Mengapa? Karena New Orleans adalah tempat produksi ribuan kapal perang saat Perang Dunia II. Kapal buatan New Orleans yang paling terkenal adalah kapal pendarat dengan pintu di anjungan yang bisa dibuka. Menurut Eisenhower, kapal-kapal buatan New Orleans berjasa besar memenangkan perang. Stephen Ambrose, penulis sejumlah buku antara lain Citizen Soldiers, D-Day, dan Band of Brothers (telah difilmkan sebagai miniseri HBO), menjadi direktur museum. Menurut Stephen Ambrose, tujuan mendirikan museum adalah memberi pemahaman kepada generasi muda mengapa terjadi Perang Dunia II, bagaimana memenangi perang, dan apa makna kemenangan itu sekarang. Ruang film dan simulasi Keunggulan National World War II Museum di New Orleans adalah koleksi audiovisualnya. Di setiap lantai museum yang terdiri atas tiga lantai terdapat beberapa bilik, seperti bioskop mini yang bisa menampung 5-10 orang. Bilik ini memutar film dokumenter dan rekaman suara para veteran Perang Dunia II. Di dalam bilik audiovisual, pengunjung mendapat lebih banyak penjelasan mengenai Perang Dunia II. Museum ini menyimpan ribuan koleksi yang ditata apik, seperti foto, poster, senjata, seragam, dan berbagai macam benda peninggalan Perang Dunia II dari palagan Eropa hingga palagan Pasifik. Di gedung Boeing Pavillion tersimpan beragam jenis pesawat Perang Dunia II, antara lain P- 51 Mustang dan pengebom B-17 Flying Fortress. Pesawat-pesawat tersebut digantung dengan kabel yang diikat di langit-langit museum. Di lantai dasar tersimpan tank, truk, jip, dan meriam yang pernah digunakan tentara AS. Di Boeing Pavillion, pengunjung bisa mencoba wahana kapal selam USS Tang. Wahana ini mengajak pengunjung melakukan simulasi sebagai awak USS Tang. Sementara di gedung bioskop yang disebut Solomon Theatre, pengunjung dapat menikmati film 4D (empat dimensi) berjudul Beyond All Boundaries. Film berdurasi 45 menit itu bertutur tentang Perang Dunia II. Aktor Tom Hanks menjadi narator dalam pengantar film tersebut. Satu jam tak cukup untuk menikmati seluruh koleksi museum. Yang pasti, siapa pun yang mengunjungi National World War II Museum di New Orleans telah menapak tilas Perang Dunia II.
Mengungkap Pencuri Lewat Jejak Sapi
Warga Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sejak Desember tahun lalu dirundung resah. Pasalnya, sudah berkali-kali hewan ternak warga, terutama sapi, hilang dicuri komplotan pencuri. Tidak tanggung-tanggung, sapi-sapi itu digiring para pencuri di depan mata pemiliknya yang tidak mampu berbuat apa-apa. Terakhir, Kamis (6/3), terjadi aksi serupa di rumah Amaq Kabul. Sekomplotan pencuri mendatangi rumah Kabul di Dusun Hijrah, Desa Usar Mapin, saat waktu merangkak menuju dini hari. Awalnya Kabul mendengar keributan terjadi di dalam kandang sapinya. Kabul dan seorang tetangganya bermaksud keluar rumah. Namun, belum lagi sampai halaman, ia sudah dihadang kawanan pencuri. Bahkan, salah seorang dari pencuri sempat meletuskan senjata api. Melihat situasi yang tidak menguntungkan dirinya, Kabul dan tentangganya kembali masuk ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Situasi itu dimanfaatkan para pencuri untuk menggiring empat sapi di tengah malam buta tanpa perlawanan. Kabul menyaksikan sendiri bagaimana sapi-sapinya digiring para pencuri dengan lenggang kangkung. Suara letusan senapan itu rupanya menarik perhatian warga desa yang sedang menggelar siskamling. Saya kebetulan standby. Kami langsung koordinasi dengan kapolsek serta danramil, tutur Camat Alas Barat Iwan Sofyan, seperti dikutip LKBN Antara, Jumat (7/3). Warga bersama aparat kemudian melacak asal muasal suara letusan. Tak beberapa lama mereka sampai di rumah Amaq Kabul, yang kemudian mengaku diancam pencuri dan kehilangan beberapa sapi. Warga dan aparat setempat tak kehabisan akal. Mereka secara bersama-sama melacak jejak tapak kaki sapi, yang kemudian melintasi sisi sungai kebun warga. Jejak kaki sapi itu kemudian membawa mereka ke pesisir pantai. Tepatnya pantai itu bernama Gili Kalong. Di pesisir pantai itu, di sebatang pohon kelapa, warga dan aparat menemukan dua sapi sedang terikat. Tak jauh dari situ, warga juga menemukan sepasang sandal. Adapun dua sapi lainnya sedang digiring dua orang yang diduga pencuri menuju sebuah kapal yang sandar tak jauh dari bibir pantai. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan aksinya, dua pencuri itu melepaskan dua sapi. Namun, ketika warga memburunya, dua pencuri berhasil kabur dengan kapal menuju ke tengah laut. Ketika kami mengejar, pencuri kabur, tutur Iwan. Tak berapa lama kemudian warga menangkap S, seorang warga Dusun Hijrah Baru, Desa Usar Mapin, yang dicurigai bekerja sama dengan komplotan pencuri yang berhasil kabur itu. Polisi berharap dari S, jejak para pencuri sapi milik warga segera terungkap. Terhadap kecurigaan keterlibatan orang dalam, kami sudah intensifkan penyelidikan, kata Kapolres Sumbawa AKBP Karsiman. (CAN)
Suara Negatif Diri Oleh: KRISTI POERWANDARI
Kasus tewasnya empat orang di Pekalongan dan Cirebon yang diduga kuat merupakan kasus bunuh diri memunculkan tanda tanya besar: Mengapa? Mengapa sampai empat orang dalam satu keluarga bunuh diri pada saat relatif bersamaan? Bagaimana mencegahnya? Maris, Berman, dan Silverman menulis buku Comprehensive Textbook of Suicidology (2000) yang menyadarkan saya betapa persoalan bunuh diri merupakan persoalan kompleks. Mungkin ada persoalan biologis, sakit fisik, penyalahgunaan obat, kegagalan ekonomi, jender dan seksualitas, masalah psikiatris dan psikologis, hingga ke relasi sosial. Mereka mengulas bahwa karakteristik yang terbangun dalam keluarga dapat menguatkan kecenderungan bunuh diri. Sastrawan Ernest Hemingway, yang bunuh diri, misalnya, dikelilingi oleh anggota keluarga yang bunuh diri juga, meski waktunya tidak bersamaan. Ernest Hemingway punya ayah yang bunuh diri, saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan yang bunuh diri, dan cucu (Margaux Hemingway: aktris dan model) yang juga bunuh diri. Peristiwa hidup menekan Dalam psikologi dan psikiatri dikenal negative life events atau stressful life events yang dapat memunculkan perasaan tertekan yang sangat besar pada individu atau keluarga. Yang harusnya menimbulkan kegembiraan pun dapat menjadi sumber stres, misalnya perkawinan (bagaimana saya harus berhadapan dengan calon mertua? Bagaimana mencari uang untuk pesta?), kehamilan (belum siap, tidak ada dukungan pasangan, memikirkan biaya melahirkan), bahkan libur panjang (satu bulan libur harus melakukan apa? terbayang kebosanan yang akan dirasakan). Sulit dipercaya, tetapi nyata, kadang keberhasilan personal yang sangat luar biasa dapat menjadi sumber stres yang besar pula. Entah mengapa, mungkin itu sangat mengagetkan bagi si individu atau ia pada dasarnya orang yang memiliki gambaran diri sangat rendah sehingga khawatir keberhasilannya akan menjadi sumber penolakan dari orang-orang lain yang iri? Atau ia cemas yang dicapainya itu merupakan suatu penilaian yang keliru, yang malah pada akhirnya akan mempermalukan dia? Penerima Hadiah Nobel Fisika, Percy Bridgeman, menembak dirinya sendiri beberapa tahun setelah ia menerima penghargaan amat bergengsi itu, mungkin terkait persoalan kerja berpadu dengan frustrasinya akibat penyakit. Apabila dilihat dari peristiwa negatif, ada banyak yang dapat memunculkan tekanan, mulai dari kematian pasangan, perceraian, persoalan dengan tetangga atau besan, hingga pindah ke tempat tinggal baru. Persoalan terkait keuangan atau pekerjaan masuk di dalamnya, misalnya dipecat, pensiun, penyesuaian bisnis, perubahan kondisi keuangan, pindah garis atau tanggung jawab kerja, terlibat utang, hingga kesulitan dengan atasan atau majikan. Pada kasus Pekalongan-Cirebon, terus-menerus disebut soal persoalan keuangan dalam bisnis yang digeluti keluarga. Bagaimanapun, kita akan bertanya lagi: bukankah banyak sekali orang yang harus menghadapi peristiwa negatif dalam hidupnya, tetapi tidak mencoba bunuh diri? Suara diri buruk Dari sisi yang murni psikologi, mungkin kita dapat belajar dari Firestone, seorang psikolog klinis, yang menulis buku Suicide and the Inner Voice (1997) berdasarkan praktik klinisnya dengan kasus-kasus bunuh diri dan melukai diri serta klien-klien yang mencoba bunuh diri, tetapi gagal. Ia terenyak, karena banyak kliennya bercerita mengenai suara buruk dalam diri, yang awalnya bicara mengenai diri yang jelek, bodoh, tidak berguna, hingga ke suara untuk apa melanjutkan hidup? atau lebih baik mati saja, hingga ke suara-suara yang sangat destruktif dalam diri yang menyuruh individu untuk mengakhiri hidup saja, lengkap dengan cara-cara yang dapat diambil untuk mengakhiri hidup. Misalnya masalah akan selesai kalau kamu mati. Gampang, kok, kamu minum obat saja, kan, tidak sakit. Tentu kadang kita punya suara diri buruk, misalnya ketika gagal ujian lalu dengan kesal memarahi diri sendiri dasar bodoh. Atau dalam situasi yang dirasa tanpa harapan, tidak jarang kita berharap Ya, Tuhan, aku lelah. Seandainya saja aku boleh pulang sekarang. Suara diri buruk dan keinginan untuk pulang itu berbeda dan tampaknya masih manusiawi. Bukan suara diri buruk yang terus-menerus meneror diri, bukan pula suatu keinginan bunuh diri, apalagi dengan perencanaan saksama. Firestone terenyak, karena ia ingat di masa kecil ia pun pernah punya suara-suara diri buruk itu dan dikenangnya, bahwa itu banyak berkembang akibat pola asuh dan pola relasi dalam keluarga. Ia menemukan hal yang sama dari para pasiennya. Penilaian negatif, makian, ketidakpercayaan, dan penghukuman dapat menjadi sajian sehari-hari dalam keluarga, mungkin didengar anak dari perlakuan orangtuanya terhadap satu sama lain, atau didengar anak mengenai dirinya sendiri. Bayangkan apabila anak setiap hari mendengar makian bodoh, goblok, tidak berguna, tidak bisa dipercaya, menyusahkan orangtua, tidak bisa jadi contoh untuk adik-adik, hanya menghabiskan uang, lebih baik kamu tidak usah lahir saja, lebih baik kamu mati. Yang masuk dalam memorinya ketika menghadapi persoalan adalah cara-cara penyelesaian masalah secara negatif, yakni memaki dan menilai diri negatif karena ia tidak mengenal contoh yang positif. Bunuh diri merupakan persoalan sangat kompleks. Bagaimanapun, pada akhirnya, meski mungkin ada banyak faktor lain, suasana emosi dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana individu dan anak akan berkembang, memahami persoalan, dan menangani masalahnya. Karena itu, penting untuk memilih pasangan hidup dan menjadi orangtua yang dapat memberikan kenyamanan dan dukungan terhadap berkembangnya suara yang positif pada diri, anak, dan seluruh keluarga.
Peraturan FIFA Menghapus Pesan Terselubung Pemain di Balik Kaus Tim
Pemain sepak bola kini tidak bisa lagi sembarangan dalam merayakan keberhasilannya mencetak gol. FIFA mengeluarkan peraturan baru berupa hukuman larangan bermain bagi pemain yang menunjukkan slogan di balik kaus timnya. Peraturan ini berlaku mulai 1 Juni mendatang. Jadi, bisa dipastikan pada Piala Dunia Brasil 2014, tidak akan ada lagi pemain yang berselebrasi dengan menyampaikan pesan terselubung di balik kaus timnya. Selama ini, FIFA sudah punya rambu-rambu soal slogan yang ditunjukkan pemain, terutama yang terkait isu politik dan agama. Akan tetapi, rambu-rambu tersebut tidak secara konsisten dijalankan, bergantung pada kebijakan setiap federasi. Di Turki, rambu-rambu ini dijalankan dengan baik oleh federasinya. Contoh kasus, selebrasi yang dilakukan Didier Drogba dan Emmanuel Eboue. Kedua pemain ini menunjukkan pesan simpati atas meninggalnya Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela setelah Galatasaray memenangi pertandingan melawan SB Elazigspor, awal Desember tahun lalu. Drogba melepas kaus timnya dan terlihat tulisan di kaus dalamnya Thank You Madiba. Aksi Drogba ditiru Eboue, dengan kaus yang bertuliskan Rest in Peace Nelson Mandela. Setelah kejadian tersebut, kedua pemain asal Pantai Gading ini langsung dipanggil komisi disiplin sepak bola Turki (PFDK) karena dinyatakan melanggar aturan. Di Inggris, selebrasi pemain dengan memperlihatkan slogan di balik kaus tim masih ditoleransi. Gaya selebrasi Mario Balotelli saat masih memperkuat klub Manchester City bahkan menjadi hiburan unik. Tulisan Why always me? bahkan melekat sebagai ikon sosok Balotelli. Banyak alasan Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Balotelli menyebut, banyak alasan, mengapa dia membuat slogan itu. Salah satu di antaranya adalah curahan hatinya karena dia merasa tertekan oleh sang pelatih Roberto Mancini yang dinilai terlalu mendikte dan mencampuri kehidupan pribadinya. Selain itu, Mario juga mengaku sudah gerah pada sorotan media. Ia mencontohkan tentang susahnya ia keluar rumah. Setiap kali keluar rumah dan ada orang yang melihatnya, selalu saja orang yang melapor ke media. Jadi ini juga untuk semua orang yang selalu berbicara buruk tentang saya. Mereka tidak tahu saya. Saya hanya bertanya, Mengapa selalu saya?, Aksi selebrasi menunjukkan slogan di Liga Inggris sudah lama berlangsung. Aksi ini cara yang efektif untuk menyampaikan pesan karena pemain yang mencetak gol akan disorot kamera. Mantan pemain Liverpool, Robbie Fowler, termasuk salah satu pelopor. Dia bahkan menyampaikan pesan politik yang mendukung aksi pemogokan buruh pelabuhan di Liverpool. Di Spanyol, pemain yang berselebrasi dengan menunjukkan slogan di balik kaus tim diganjar kartu kuning dan denda 3.000 euro atau sekitar Rp 35 juta. David Villa adalah contoh pemain yang pernah menerima hukuman itu. Saat itu Villa mencetak gol di laga terakhirnya bersama Barcelona. Pemain yang hijrah ke klub Atletico Madrid itu memperlihatkan pesan Imposible sin Vosotras (tak mungkin tanpa kalian) dengan hiasan wajah istri dan kedua anak perempuan mereka. Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke mengatakan, selama ini rambu-rambunya sudah ada, tetapi pemain masih berani melakukannya. Mulai sekarang tidak boleh ada slogan atau gambar apa pun di baju dalam, termasuk yang punya maksud baik. Ini akan berlaku mulai 1 Juni dan diberlakukan pada Piala Dunia, kata Valcke. Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepak bola Inggris Alex Horne mendukung keputusan FIFA. Idenya adalah untuk memastikan konsistensi. Aturan paling simpel dari pertandingan ini adalah memulai dari dasar bahwa slogan-slogan dilarang, kata Alex Horne. (BBC/GUARDIAN/OTW)
Mimpi Afrika Masih Jauh
JOHANNESBURG, KAMIS Di atas kertas, gelar juara masih menjadi mimpi bagi lima wakil benua Afrika di Piala Dunia 2014. Pelatih tim nasional Brasil Luiz Felipe Scolari menilai, tim dari Afrika bisa membuat kejutan, tetapi bukan untuk juara. Ini diperkuat oleh hasil laga uji coba pekan lalu yang tidak meyakinkan. Scolari, yang pernah melatih sejumlah klub di Arab, mengenal gaya dan level permainan tim- tim Asia. Ia juga mengikuti perkembangan tim-tim Afrika yang banyak diperkuat oleh para pemain yang membela klub-klub di Eropa. Tim dari Asia dan Afrika semakin kuat, tetapi belum cukup untuk menjadikan mereka juara dunia. Kejutan yang menggemparkan, ya, tetapi akan sangat sulit bagi mereka untuk juara karena kekuatan tradisional sepak bola selalu memiliki lebih banyak pilihan, ujar Scolari dalam FIFA Weekly edisi Februari 2014. Mereka bisa menengok ke sejarah panjang tradisi dan bermain lebih ketat lagi. Ada beberapa tim dengan pengalaman yang lebih baik dan para pemain yang lebih kuat, itu akan meningkatkan peluang sukses, lanjut pelatih yang membawa Brasil menjuarai Piala Dunia 2002. Ada satu atau dua tim yang tidak diunggulkan dari Eropa atau Amerika Selatan yang memiliki peluang, tetapi saya pikir tidak ada tim dari Afrika atau Asia yang mampu menjuarai Piala Dunia kali ini, kata Scolari. Lima wakil dari Afrika yang akan ke Brasil adalah Aljazair, Ghana, Pantai Gading, Kamerun, dan Nigeria. Dari laga uji coba, pekan lalu, hanya Aljazair yang menang 2-0 atas Slowakia. Pantai Gading menunjukkan diri sebagai tim tangguh dengan menyamakan kedudukan setelah tertinggal 0-2 dari Belgia yang menjadi kekuatan baru di Eropa. Pantai Gading diselamatkan oleh gol Didier Drogba dan Max Gradel. Hasil imbang di Brussels ini menyuntikkan motivasi bagi anak-anak asuh pelatih Sabri Lamouchi ini. Drogba dan kawan-kawan sempat disebut tim tua dan lambat oleh mantan pelatih Pantai Gading Philippe Troussier. Nigeria imbang 0-0 dengan Meksiko. Sementara Ghana yang mencapai babak perempat final di Piala Dunia 2010, kalah 0-1 dari Montenegro. Ghana menguasai pertandingan, tetapi lengah di awal laga dan diganjar hukuman penalti. Ghana akan bertemu dengan Portugal, Jerman, dan Amerika Serikat di Grup G Piala Dunia 2014. Ketika saya melihat grup, saya menyadari ini akan sangat berat, tetapi saya berkata kepada diri saya, Ini akan membuat kami bekerja lebih keras, ujar sayap serang Ghana, Christian Atsu, kepada FIFA.com. Penampilan terburuk wakil Afrika dalam uji coba pekan lalu diraih Kamerun. Anak-anak asuh pelatih Volker Finke ini dihajar oleh Portugal 5-1 di Leiria. Kamerun, yang masih mengandalkan Samuel Etoo, tidak berkutik melawan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan. Mereka akan menghadapi Brasil, Meksiko, dan Kroasia di Grup A. Kamerun tim Afrika yang sangat teknis. Kami sering mengharapkan sesuatu dari mereka, tetapi ternyata berbeda sama sekali atau tidak berharap sama sekali, tetapi mereka mengejutkan kami, ujar Scolari. Kamerun akan menjalani uji coba terakhir melawan Jerman pada 1 Juni di Moenchengladbach. Sebelum melawan Jerman, skuad Kamerun akan menjalani pemusatan latihan terakhir di Austria, 20- 31 Mei. Selama pemusatan latihan 11 hari itu, mereka dijadwalkan menjalani uji coba melawan Macedonia pada 26 Mei dan Paraguay tiga hari kemudian. Finke, yang melatih klub Freiburg, tidak memiliki gelandang kreatif. Namun, ia memiliki petarung, seperti Alex Song, Jean II Makoun, dan Allan Nyom, yang akan mengawal lini tengah Kamerun. (Reuters/AFP/AP/ The Telegraph/ANG)
Apresiasi ApresiasiTeladan Kepemimpinan Ratu Shima Teladan Kepemimpinan Ratu Shima Oleh: Indira Permanasari & Lusiana Indriasari
Pencarian sosok pemimpin ideal berlayar sampai ke Kerajaan Kalingga pada abad ketujuh. Di atas panggung Gedung Kesenian Jakarta, Ratu Shima, penguasa Kalingga itu, melintas zaman berbicara tentang kepemimpinan. Lewat produksi Shima: Kembalinya Sang Legenda pada 1-2 Maret 2014, sutradara Putut Budi Sentosa yang berlatar belakang penari memilih bentuk drama tari sebagai media berkirim pesan tentang harapan sosok pemimpin ideal. Waktunya memang tepat, menjelang pemilihan umum. Khotbah menguasai panggung sejak pancaran lampu panggung menyiram Debra Yatim dan Arie Bekti, pemeran guru (narator) yang dikelilingi belasan murid kecilnya. Serupa guru, Debra mengkhotbahi muridnya tentang kebinekaan dan wujud pemimpin idaman. Kedua guru itu lalu mengisahkan Ratu Shima (Amaranila Lalita Drijono) yang tegas, adil, dan bijaksana. Adalah Shima dari Kalingga, putri seorang maharsi. Shima dipinang Putra Mahkota Kerajaan Kalingga. Bermula menjadi selir, dia lalu menjadi permaisuri. Setelah raja mangkat, Shima dinobatkan menjadi ratu. Di bawah kepemimpinan Shima, Kalingga mengalami masa keemasan. Suatu ketika, ketegasan dan keadilan Shima mendapat ujian. Saat pernikahan putrinya dengan Putra Mahkota dari Kerajaan Sunda Galuh, Shima menerima laporan bahwa Putra Mahkota menyingkirkan barang milik warga di pinggir jalan. Tak pandang bulu, Putra Mahkota dihukum dengan dipotong jari kakinya. Pelanggaran itu membayangi Putra Mahkota hingga ujung cerita. Ketika Shima turun kuasa, Putra Mahkota batal mewarisi seluruh kerajaan dan terpaksa berbagi wilayah Kalingga. Adegan demi adegan drama itu mengalir, berselingan dengan ragam tarian yang dominan berlanggam Jawa. Harapan pada tahun politik Kami ingin menyampaikan suara melalui karya agar kita mencari pemimpin yang baik. Ternyata ada suri teladan dari masa lalu, ujar Putut. Shima dan Kalingga seakan lawan dari Indonesia yang sulit menerima pemimpin perempuan, lemah penegakan hukum, dan marak politikus yang berkoalisi demi kekuasaan (dikontraskan dengan adegan penolakan Shima terhadap lamaran Raja Sriwijaya yang ingin menikah untuk memperluas kerajaannya). Demi menghadirkan Shima, Putut dibantu arkeolog Edy Sedyawati dan Inda C Noerhadi. Kami kaji berbagai sumber, seperti literatur dan candi-candi di Jawa Tengah untuk diaplikasikan ke dalam drama, tata busana, perhiasan, musik, dan koreografi, tapi tetap menampilkan kekinian, kata Putut. Arkeolog Edi Sedyawati (yang juga tampil sebagai penari Langen Beksan) mengatakan, sosok Shima aslinya bersumber dari berita China yang menyebutkan adanya Ratu Hsi-Mo yang memerintah kerajaan Ho-Ling. Berita China menyebutkan, Ratu Hsi-Mo yang dinobatkan tahun 674 M itu pemerintahannya amat baik, keras, dan adil. Barang-barang yang terjatuh di jalan pun tidak ada yang berani menyentuhnya. Kaki putranya sendiri dipotong karena tidak sengaja menyentuh harta orang yang terjatuh di jalan. Hanya saja, tidak ada tinggalan fisik sisa masa Shima. Datanya pun terbatas. Sulit menggali tentang Shima dari Kalingga. Sumber sejarah yang tidak terlalu banyak itulah yang lalu dikembangkan, kata Putut. Perluasan cerita antara lain pada adegan Shima menolak dilamar Raja Sriwijaya. Tidak ada kisah lamaran itu dalam berita China. Hanya saja, masa Kerajaan Sriwijaya berdekatan dengan Kalingga. Boleh jadi, keterbatasan data membuat kisah seakan meloncat-loncat seperti mosaik datar yang kehilangan potongan-potongannya. Bangunan drama pun runtuh. Terkadang muncul pula rasa ganjil dalam mengemas dan mengontekskan pesan. Ketika Shima hendak dinobatkan, misalnya, Shima meminta rakyat dikumpulkan. Di depan rakyat, dia berkata Layakkah aku menjadi ratu bagi kalian? Apakah rakyatku siap mendukungku menjalankan pemerintahan di Kalingga? Apakah rakyatku semua siap menjunjung hukum? pertanyaan itu terasa asing dalam latar kerajaan yang kekuasaannya bersifat absolut cenderung tanpa dialog, bukan demokratis. Kesalahan ucap dialog di sana-sini serupa kerikil menggigiti telapak kaki. Ada pula celaka yang berbalik menghibur seperti tragedi lepasnya konde cepol Raja Sriwijaya (Ithuk). Pemain Raja Sriwijaya itu membalik kecelakaan menjadi gelitik. Keluwesan dan keindahan sublimnya sejarah ke unsur panggung justru tampil dalam kostum kain batik garapan Lucky Wijayanti, produk perhiasan Manjusha, dan musik olahan Joko Porong dengan tingkahan suara bening sinden Sruti. Lucky mengambil tekstur batuan dan motif hias candi, lalu mengaduknya ke dalam lembaran kain. Hasilnya, batik seri Kalingga yang unik. Begitu juga Manjusha yang khusus mengeluarkan rangkaian perhiasan bersepuh emas yang terinspirasi masa klasik Jawa. Bagi Joko Winarko atau akrab disapa Joko Porong, sumber sejarah yang sedikit justru membuka luas interpretasi seniman. Sepinya bunyi-bunyian pada zaman kuno menjadi salah satu nuansa garapan Joko Porong dalam pentas Shima. Dalam beberapa adegan, ia hanya memainkan sitar (semacam kecapi) dengan suara perkusi dan penembang. Di pengujung drama tari itu, Shima masa silam berhubungan dengan kekinian lewat sebentang layar tipis dengan kelebatan potongan gambar bergerak iruk-pikuk kota. Di balik terawang layar, Shima berkata: Pesanku kepada bangsa ini, siapa pun anak cucuku yang jadi pemimpin di negeri ini, jangan lupa kepada Sang Pencipta. Jangan pernah lupa kepada janjimu saat dinobatkan jadi pemimpin, bahwa rakyatmu adalah rajamu. Lengkap sudah Shima berkhotbah.
Arsip Aku di Kedalaman Krisis Oleh: Afrizal Malna
Kalimat ini letaknya agak ke kiri, di antara lipatan udara bergaram, botol kecap, dan daftar menu dengan serakan pasir laut tertempel pada cover-nya. Lalat memenuhi meja makan, seperti titik-titik hitam bersayap. Beberapa kalimat agak berantakan, ketika aku mencoba menatap Ni Komang Ayu. Hewan kecil itu kadang bermain di antara rambut Ni Komang yang terurai panjang, seperti mengukur jarak antara kesunyian dan pikiran-pikirannya. Tiga orang dari kota yang berlibur di pulau ini, Nusa Penida (namanya sering disebut sunfish), tampak seperti makhluk bodoh. Mereka sibuk dengan mobilephone masing-masing. Ni Komang akan menemani mereka menyelam di beberapa titik di pulau ini, di Circle Bay, Mangrove. Ia tampak gelisah, seperti menemani gumpalan daging yang masing-masing sibuk memainkan tombol-tombol cahaya itu. Aku melompat dari kalimat seperti di atas. Hampir menjatuhkan botol saus di atas meja makan. Tiba-tiba angin dari laut bertiup kencang, menerbangkan cerpen ini. Aku mengejarnya. Angin berbalik ke arah pantai. Telapak kakiku tertusuk-tusuk bangkai karang laut, terhampar putih sepanjang Pantai Ped. Aku berhasil menangkap cerpen itu, agak ke kiri, antara seekor anjing putih yang sedang bermain dengan ombak, dan bentangan rumput laut yang ditanam penduduk di sepanjang pantai. Aku kembali ke meja makan yang penuh lalat itu. Aku duduk agak ke kiri antara banana juice dan pertanyaan: siapa yang telah menuliskan pikiran Ni Komang tadi dalam cerpen ini? Aku merasa tidak pernah menuliskannya. Bahkan Ni Komang tidak mengenalku. Tetapi siapa aku? Aku tidak ingin hadir sebagai misteri dalam cerpen ini. Tokoh-tokoh yang kutulis dalam cerpen ini tidak tahu kehadiranku. Bagaimana caranya mengenalkan diriku kepadanya, karena aku dan Ni Komang sama-sama tidak nyata. Kami berdua sama-sama seorang fiksi. Kaki Ni Komang mulai bergoyang-goyang, seperti bisa merasakan mengalirnya kalimat di atas ke dalam sel-sel darahnya. Kalimat yang seakan bisa merenovasi sel-sel darahnya. Ia seperti menatapku, tatapan dari seorang laut yang ombaknya tidak pernah terlihat. Cuaca begitu cerah setelah hujan semalaman. Ni Komang masih harus menjemput seorang tamu lagi dari Sanur yang ketinggalan speedboat ke pulau ini. Di Toyapakeh, salah satu dermaga untuk speedboat, ia berdiri memandangi hamparan laut. Horison yang dibatasi sebuah pulau kecil, Ceningan, di depannya. Membentang seperti garis berkontur dengan bayangan Gunung Agung di belakangnya. Gelombang kabut selalu memperbarui kehadiran gunung itu. Kabut dan laut adalah cermin bergelombang yang memantulkan ilusi tentang cahaya. Itu yang sering dipikirkannya setiap memandangi gradasi dari laut maupun kabut. Speedboat melaju seperti sebuah titik sedang membelah cermin yang tidak pernah memantulkan kedalamannya sendiri. Perahu bermesin itu terus menyayat buncah-buncah air laut yang berhamburan pada dinding-dindingnya. Teknologi yang rapuh itu sedang meluncur di permukaan laut, membuat titik hitam itu tampak seperti sebuah kesombongan yang rapuh. Selamat datang di Nusa, katanya kepada tamu yang dijemputnya. Maaf, saya terlambat, kata tamu itu. Seorang lelaki berusia sekitar 38 tahun. Cisco, tamu itu memperkenalkan namanya. Aku menduga nama lengkapnya Franscisco, dari Perancis. Ia terkesan cukup tahu bagaimana berhadapan dengan orang Indonesia yang latarnya berbeda-beda. Kita masih punya waktu untuk minum. Speedboat untuk menyelam baru datang jam 12 siang ini, ujar Ni Komang. Tamu itu menganggukkan kepala. Membawa tasnya menuju kendaraan yang akan mengantar mereka ke kafe, di pinggir Pantai Ped. Speedboat akan menjemput mereka di pinggir pantai itu menuju ke titik penyelaman yang akan mereka tuju. Biasanya para penyelam menuju ke titik-titik di mana ikan seperti pari manta yang bentuknya mirip pesawat UFO, atau ikan mola-mola sering ditemukan. Nita, instruktur untuk menyelam, sudah menunggu di kafe. Ni Komang bekerja sebagai asistennya, mengurus hal-hal yang lebih teknis. Tubuh Nita khas seorang penyelam. Tatapannya hampir selalu mengirim pesan bahwa ia selalu siap memberi perhatian. Tetapi aku merasa tatapan itu kadang mirip kandang macan. Dari kandang itu seekor macan tiba-tiba bisa melompat dan menerkammu. Aku duduk agak ke kiri antara fins (sepatu bersirip untuk nyelam), dan snorkel untuk bernapas saat menyelam yang dibawa Nita. Kenapa kita harus menyelam? Nita mulai menyampaikan beberapa syarat penyelaman yang harus disepakati bersama empat penyelam dari kota yang harus mereka temani. Speedboat mulai melaju dalam ayunan gelombang laut. Belahan-belahan warna biru kelam, biru kehijauan, putih dari pantulan cahaya menciptakan tema-tema yang selalu bergantian pada belahan-belahan gelombangnya. Dinding-dinding batu yang bercelah, putih oleh buih ombak yang menghantam dinding pulau. Seluruh penyelam sudah mengenakan wet suit, pakaian selam untuk menjaga suhu tubuh dari dinginnya kedalaman laut. Dinding-dinding kesunyian mulai melayang bersama arus lembut di bawah permukaan laut. Jam untuk menyelam yang melingkar di tangan Ni Komang menunjukkan kedalaman 5 meter, terus turun hingga 8 meter. Jari-jari tangan dari 6 penyelam tampak menari-menari, menyampaikan bahasa isyarat dalam penyelaman. Nyawa mereka mulai bergantung pada snorkel, yang menghubungkan antara napas mereka dan tabung scuba yang menyimpan persediaan oksigen. Tubuh-tubuh yang telah bertambah dengan mesin. Aktivitas gas dalam tubuh mulai berubah antara tekanan, volume, dan suhu laut. Oksigen, karbon dioksida, dan gas-gas lainnya mulai diserap lebih banyak oleh para penyelam untuk bernapas. Lalu lintas gas yang akan mengubah kesadaran mereka ke batas yang lain: antara keindahan, kelimbungan, dan manipulasi cahaya dalam laut. Ni Komang mendengar suara detak jantungnya sendiri, merayap, seperti gema yang memanjati dinding-dinding air. Apakah volume itu, apakah ukuran itu, apakah daya berat itu? Pikirannya sering bergerak di sekitar pertanyaan ini setiap menyelam. Mereka terus menyelam melampaui waktu 20 menit lebih. Tiba-tiba salah seorang penyelam, yang sering memisahkan diri dari penyelam lainnya, menendang tanaman karang di dasar laut dengan kakinya. Beberapa tanaman patah dan hancur. Penyelam itu kesal karena sudah 20 menit menyelam, belum juga menemukan ikan pari manta atau mola-mola. Semua penyelam terkejut dengan tindakannya. Nita mengejar penyelam itu, menyeretnya naik ke permukaan. Di permukaan laut, macan dari kandang tatapan mata Nita melompat dan menerkam penyelam itu. Hei orang kota! bentaknya. Elu pikir elu emang siapa?! Karena kesal, Nita menggunakan gaya bahasa Jakarta ke penyelam itu. Apa elu bisa nyiptain tanaman karang laut! Elu tau enggak, buat tumbuh 7 cm saja, tiap tanaman karang laut perlu waktu 1 taon. Kadang enggak cukup. Yang elu lakuin tadi, itu telah ngancurin waktu berpuluh-puluh taon hanya dalam beberapa detik kehidupan di dasar laut. Nita menyuruh penyelam itu naik ke speedboat. Bangsat! Malam hari, para penyelam menginap di hotel mirip asrama calon pastor, di Toyapakeh. Cisco menginap di rumah penduduk. Milik pamannya Ni Komang, I Gede Wicaksana. Pamannya banyak bercerita tentang masa kanaknya. Tentang ibunya yang bekerja membesarkan keluarga sebagai petani rumput laut. Merantau dari Klumpung, desa kelahirannya, ke Ped. Setiap malam, saat air laut surut, ia turun ke pantai memanen rumput laut. Menggigil dari dingin laut yang bersarang dalam tubuhnya. Hari makin malam. Aku menyelusup masuk ke kamar suci di bale dangin. Sebelah kiri antara pura keluarga dengan kebun kelapa dan kandang babi. Kamar suci, dalam tradisi Hindu-Bali, biasanya disediakan untuk orang tua menjelang kematian membawanya ke alam Mahabutha, alam yang non-material lagi sifatnya. Cerpen yang kutulis ini, seperti mendapatkan ruang kegelapannya dalam kamar kematian di bale dangin ini. Kegelapan untuk merenovasi cahaya. Jam 8 pagi Gunung Agung berdiri sangat biru. Kami kembali menyelam, kali ini di titik yang lebih mendebarkan: Ceningan Wall, para penyelam menyebutnya. Pulau Ceningan hanya beberapa ratus meter di depan Nusa Penida, berdiri seperti taring batu yang menjulang dari dasar laut. Kami menyelam sudah lebih 20 meter. Cahaya matahari merayap kian tipis. Kami mulai menggunakan senter, sementara dasar laut masih belum tampak. Ada seorang yang menyelam sampai 60 meter, dan dasarnya tetap masih belum terlihat. Maha kegelapan terbentang di bawah sana. Adakah proses pembentukan mikro biologi lain di bawah sana? Adakah semesta lain di dasar kegelapan laut? Dunia visual dalam laut menghasilkan efek suara, seperti datang dari tulang belakang kepalaku. Suara itu menggali timbunan memoriku. Pantulan cahaya di antara lendir-lendir yang melapisi tubuh berbagai jenis ikan, berbagai warna yang menghiasi Ceningan Wall, seperti saling merajut dan melebarkan kembali vibrasi suara-suara itu. Pada momen ini, aku seperti mendengar lagi tembang doa-doa Hindu-Bali. Mengolah gas-gas non-material dalam jiwaku. Aku ingin menyebutnya sebagai gas-gas spiritual dan estetik. Nyanyian itu membuat lingkaran gema yang menutup batas akhir dari kemampuanku menjangkau sesuatu. Lalu sesajen-sesajen dipersembahkan, seperti sebuah konservasi teologis untuk keliaran manusia dalam menembus hal-hal yang tidak bisa dijangkaunya. Ada jarak sangat tipis, sekitar 2 meter, antara mataku dan laut. Jarak itu dipisahkan kaca google untuk melindungi mataku dari iritasi air laut. Jarak itulah yang membuat kehidupan di dalam laut menjadi fiksi baru tentang ukuran dan cahaya. Semua yang kulihat dari balik kaca google itu membesar dua kali lipat dan lebih dekat setengah kali lipat. Perubahan gelembung gas dalam paru-paru dan otakku semakin membesar. Aku merasa kian melayang, mabuk. Ceningan Wall tiba-tiba berubah seperti monitor raksasa, menayangkan kehidupan kota. Tembang-tembang Hindu-Bali juga berubah kian riuh, bercampur berbagai bahasa asing dan mata uang asing. Monitor raksasa itu tiba-tiba runtuh ke dasar kegelapan mahabutha. Lalu semuanya kembali hening. Keheningan yang seakan bisa kugenggam. Aku mulai melepas regulator dan selang snorkelku untuk bernapas, melepas tabung scuba dari punggungku. Kulihat tabung itu melayang, melepaskan gelembung-gelembung udara, terus turun ke dalam kegelapan mahabutha. Dan aku? Aku sudah bukan aku lagi tanpa mesin bernapas itu. Esok pagi, Ni Komang masuk ke kamar suci di bale dangin. Membersihkannya. Ia menemukan buku kumpulan cerpen August Strindberg dalam kamar itu, Cerita dari Stockholm, terjemahan Stefan Danerek. Ia heran, siapa yang telah meninggalkan buku ini di kamar suci? Nusa Penida tidak memiliki toko buku untuk mendapatkan Strindberg. Ia mencoba membaca bagian awal buku ini: Cerpen tentang seseorang yang tidak memiliki aku. Karena, sejak kecil ia dibesarkan ibunya untuk tidak memiliki keinginan. Cerita yang ditulis Strindberg hampir 200 tahun yang lalu. Ni Komang kemudian menutup buku itu. Ia seperti merasakan ada napas dan bau seseorang yang membaca dalam kamar suci itu. Cerita Cinta Natassa Oleh: Indira Permanasari
Kisah, mempertemukan manusia dari lorong waktu yang berbeda. Lewat cerita, Andi Natassa (21) bertemu Ken Dedes, perempuan pujaan dalam kitab Pararaton. Ia juga bertemu veteran yang memerdekakan negeri. Sosok muda Andi Natassa langsung tertangkap mata begitu langkah memasuki Kafe Sinou yang dibangun dari bekas gudang dengan percikan nuansa antik di sana-sini. Natassa hadir berbalut busana hijau menyala, kontras dengan kulitnya yang putih dan segala yang ada di ruangan itu. Wajah eloknya yang berbingkai rambut panjang bergelombang masih berhadapan dengan sepiring pasta yang baru setengah habis dilahap. Tak sulit membayangkan Andi Natassa mewujud Ken Dedes, perempuan yang jadi rebutan dalam kisah Ken Arok. Awal Januari lalu, Natassa sungguh-sungguh menghadirkan perempuan cantik dalam kitab Pararaton itu bersama Teater Sendiri lewat lakon Ken Dedes garapan A Nawir Hamzah di Taman Ismail Marzuki. Kata sutradara, saya yang harus bisa merasakan dan mengimajinasikan karakter Ken Dedes itu, ujar Natassa berkilas balik soal pengalamannya berteater setelah pasta di piringnya ludes. Dalam imaji Natassa, Ken Dedes yang bersinar menggoda itu perempuan istimewa, seperti bunga desa pujaan banyak orang. Bahkan, Ken Dedes menjadi pilihan dewa-dewa untuk melahirkan raja-raja. Sebetulnya, karakter Ken Dedes berbeda dengan pribadiku. Ken Dedes begitu anggun, tertata, dan kemayu. Sementara aku orangnya ceplas-ceplos, ujar Natassa yang mantan anggota klub rugbi itu. Namun, Natassa menikmati proses belajar mengenali Ken Dedes. Bahkan, dia merasa sempat kebablasan terbawa karakter Ken Dedes sehingga teman-teman dekatnya merasa diri Natassa berubah, mendadak kalem. Kata Mama, sewaktu aku main teater, aku bau melati. Hii... serem banget he-he-he, ujar Natassa yang cinta teater dan ingin lagi bermain teater dengan cerita berlatar tradisi Indonesia. Kenalkan budaya Tak perlu Tunggul Ametung dan Ken Arok bertarung demi membuktikan kecantikan dan keistimewaannya. Natassa membuktikannya di ajang pemilihan Puteri Indonesia tahun 2011 dengan pulang membawa tiga gelar sekaligus, yakni sebagai runner-up dua Puteri Indonesia (Puteri Indonesia Pariwisata), Puteri Berbakat, dan Puteri Favorit. Lewat ajang pemilihan putri itu, Natassa mengenalkan secuil budaya dari Sulawesi. Pada saat unjuk bakat, Natassa membawakan tarian Toraja Magellu dan memboyong gelar Puteri Berbakat. Aku suka banget tarian tradisional. Di kampus aku juga mengajar tarian Betawi, jaipong, dan ngaronjeng. Senang rasanya berbagi ilmu. Ketika dikirim mengikuti Miss Asia Pacific World 2012, Natassa dengan semangat bercerita tentang Indonesia. Kebaya payet karya Intan Avantie yang dikenakannya menjadi pembuka percakapan. Peserta lain rupanya penasaran dengan kebaya cantik itu. Setelah itu, aku buka Google di laptop dan mulai tunjukan peta dan foto-foto Yogya, Danau Toba, city light di Jakarta, dan tujuan wisata di Sulawesi Selatan. Mereka terkagum-kagum dan komentar, wow keren banget negaramu! Aku dalam hati berkata, Yes, I got you, he-he- he, ujar Natassa yang mendapat julukan Minji alias perempuan ceria, energik, dan manis selama di Korea. Alhasil, Miss India yang akan menikah baru-baru ini mengontak Natassa untuk rekomendasi tempat bulan madu. Nasionalisme Hati Natassa miris ketika menonton sebuah acara di televisi pada suatu pagi. Di layar, pembawa acara mengadakan kuis kecil dengan peserta anak-anak SD kelas akhir. Kata Natassa, ketika pembawa acara bertanya tentang sebuah kelompok artis, semua anak mengacung dan menjawab benar. Namun, saat pembaca acara bertanya siapa wakil presiden pertama di Indonesia. Tak ada yang tahu. Mereka tidak tahu pendiri bangsanya sendiri. Aku pernah baca ungkapan kalau mau bikin bangsa hancur, buat mereka lupa sama sejarahnya sendiri, ujar Natassa yang tertarik dengan sosok Bung Hatta. Natassa pun resah dengan nasib veteran-veteran yang memperjuangkan kemerdekaan lalu terabaikan. Apalagi, ketika mendengar veteran dan keluarganya hidup atau jual medali demi makanan. Natassa bercita-cita membuat malam amal bagi para veteran dan hasilnya digunakan untuk aktivitas dan usaha kecil para veteran. Mereka sudah lansia, kalau tidak punya kegiatan bakal sakit-sakitan, ujarnya. Rupanya Natassa kerap mendengar kisah-kisah perjuangan dari kedua kakeknya yang veteran. Kakek selalu cerita, dulu orang-orang ditembaki di depan mata. Kakekku sampai pernah bersembunyi di atas pohon, sementara di bawahnya tentara Belanda mondar-mandir. Dia terpaksa menahan gigitan perih semut supaya tidak tertangkap Belanda. Kakek juga cerita, badannya sering diolesi oli supaya mudah lepas kalau tertangkap, ujar Natassa penuh semangat. Itu cerita cinta tanah air Natassa.
Kampung Halaman Kangen Ayam Tolak Pinggang
Sebagai gadis Makassar yang merantau di Jakarta, kapan terakhir Natassa menengok kampung halaman? Baru saja sampai tadi malam di Jakarta dari Makassar, he-he-he, ujarnya. Setidaknya, tiga kali setahun Natassa mudik. Natassa lahir di Makassar dan tinggal di kota itu sampai kelas 3 SD. Kemudian dia hijrah ke Jakarta. Namun, sebagian besar keluarganya berada di timur Indonesia itu. Banyak hal membuat Natassa kangen dengan kampung halamannya. Tapi satu-satunya yang tidak ada di Jakarta, tuh, ayam tolak pinggang he-he-he, katanya. Yang disebut ayam tolak pinggang itu sesungguhnya ayam kampung bakar berbumbu yang dibuat di atas tungku kayu. Sayap ayam dilipat serupa sedang bertolak pinggang. Kalau saudaraku tahu aku pulang, mereka pasti berkunjung membawa ayam itu. Mereka tahu aku suka banget. Berat badan bisa tambah 3 kilo. Satu lagi yang bikin kangen, panasnya Makassar yang nyesss... banget sampai ke tulang. Perempuan keturunan Bugis-Makassar itu mengaku tetap ada ciri khas Makassar yang kasatmata melekat padanya. Konon, orang Makassar suka sekali memakai lipstik merah, aku juga begitu. Kalau bertemu sesama orang Makassar, mereka suka bilang, Ih... kamu orang Makassar banget, sih, suka pakai lipstik merah he-he-he. Apalagi gaya bicaraku ceplas- ceplos, ujarnya. Masih ada satu lagi, Natassa paling suka menghadiri undangan pernikahan memakai pakai busana berbahan sutra Makassar. Kebanyakan baju-bajuku bahannya sutera Makassar. Cinta deh pokoknya, ujarnya ceria. (INE)
Natassa Nama: Andi Tenri Gusti Harnum Utari Natassa Lahir: Makassar, 11 Agustus 1992 Pendidikan: - SMA Bakti Mulya - Swiss German University, Indonesia, Jurusan International Business (sedang berlangsung) Pencapaian: - Duta Pariwisata Sulawesi Selatan - 15 besar dalam Miss Asia-Pacific World di Korea (2012) - Runner-up Puteri Indonesia (2011) - Puteri Berbakat dalam ajang Puteri Indonesia (2011) - Puteri Favorit dalam ajang pemilihan Puteri Indonesia (2011) - Duta Badan Penanggulangan Narkotika Indonesia (2011)
Parodi ParodiHope
Di suatu malam, menjelang tengah malam, saya menyaksikan tayangan film di layar televisi. Sebuah kalimat yang diucapkan seorang perempuan, langsung menempel di kepala. Begini ucapannya itu, If you dont have hope what is the point of living? Berharap Hope. Kata itu merupakan nasihat yang telah disuarakan ke gendang telinga saya oleh mereka yang berada di dalam rumah, di lingkungan pergaulan dan mereka yang tiap hari minggu berada di mimbar rumah ibadah. Kata yang katanya mengandung makna luar biasa itu, telah disuarakan saat saya masih duduk dengan kesal hati di sekolah menengah pertama dan atas, sampai sekarang ketika sudah berusia setengah abad lebih satu tahun. Dan yang menyuarakan nasihat itu, tak pernah makin surut, tetapi semakin lama semakin banyak. Dan dengan datangnya sosial media serta kemudahan fasilitas yang disajikan di dalam gadget, maka nasihat itu pun makin hadir setiap saat tanpa diharapkan. Kapan saja, di mana saja, dan tanpa bersuara. Maka kata itu kemudian menempel dan menjadi sebuah jalan keluar kalau sedang kesal dan galau setengah mati. Menjadi salah satu solusi ketika hidup berjalan tak seperti yang saya kehendaki. Tetapi belakangan ini, saya mulai mempertanyakan diri sendiri, bagaimana saya bisa berpuluh tahun memercayai kata itu sebagai pegangan hidup ketika saya galau, dan menjadikannya semacam alat penyemangat ketika sama sekali tak bersemangat. Belakangan saya mulai bertanya, apakah sesungguhnya saya tahu pasti arti dan makna kata itu? Maka di suatu pagi, saya mulai mencarinya di dalam kamus. Dan begini dijelaskan. Hope sebagai kata benda adalah a feeling of expectation and desire for a certain thing to happen, a feeling of trust. Sebagai kata kerja, ia berarti want something to happen. Dijelaskan pula bahwa persamaan kata hope adalah expectation, wish. Minggu lalu saya bercerita kalau beberapa bulan terakhir hidup saya sungguh mengesalkan, saya ingin lari dari kenyataan. Sejujurnya, semua berawal dari kekecewaan saya memercayai kata yang satu ini. Sejujurnya sebelum saya melihat kamus untuk mengetahui makna kata itu, saya sudah menyadari bahwa sebuah harapan itu tak ada yang pasti. Ia hanya bermakna sebagai sebuah keinginan agar sesuatu yang diinginkan terjadi. Dan yang membuat saya merasa aneh, bagaimana berpuluh tahun lamanya, saya bisa memberikan kepercayaan pada sebuah kata yang mengandung ketidakpastian? Menerima Ketika saya berharap, saya melibatkan the feeling of trust itu. Tetapi saya lupa. Saya boleh- boleh saja melibatkan kepercayaan saya ketika berharap akan sesuatu, tetapi yang akan menjamin harapan saya tercapai, adalah pihak lain, dan bukan saya. Hal inilah yang saya lupakan dan menjadi sumber utama kekecewaan. Saya berharap kalau bisa hari ini jangan hujan, jangan macet, dollar jangan naik, indeks jangan turun, kalau bisa ibu saya tidak meninggal di usia tak mencapai setengah abad. Saya berharap bisa memenangkan proyek ini dan proyek itu. Dan sejuta lagi harapan lainnya. Mungkin, karena harapan itu mengandung ketidakpastian, maka ada beberapa manusia yang memberi dana di bawah meja saat sedang bersaing memenangkan sebuah proyek, agar harapan mereka bisa tercapai seperti yang diinginkan. Tindakan itu menunjukkan kalau mereka berharap dan tahu pasti keberhasilan sebuah harapan itu bukan ada di tangan mereka. Padahal, menyogok itu sama dengan berharap. Bisa jadi menggembirakan, bisa jadi mengecewakan. Di luar semua nasihat mulia yang sudah saya dengar sejak masih muda dulu, ada suara lain yang juga mengajarkan saya ketika hidup berjalan seperti ayunan. Dan suara ini juga sama telah berdengung sejak lama di gendang telinga saya. Dan saya yakin, Anda juga pernah dinasihati seperti ini. Hidup itu dijalani saja, jangan terlalu berharap. Hidup itu akan lebih mudah kalau diterima dengan lapang dada. Teman saya bilang begini. Ngarepin itu bikin tambah kesel. Enggak ngarep itu memudahkan hidup dan meringankan beban perjalanan. Ia kemudian menambahkan penjelasannya. Dengan tidak berharap, kamu tak akan merasa kalah atau merasa menang, tetapi kamu akan tenang dan senang. Berharap itu sebuah tindakan membebani diri. Tidak berharap itu melahirkan kelegaan, katanya. Maka sekarang saya mengerti, kalau saya ini ingin lari dari kenyataan karena saya terlalu banyak berharap. Harapan itu selalu ada dua. Bisa jadi pasti, bisa jadi tidak pasti. Apa pun alasan di baliknya. Dan, saya merasa sungguh bodoh, telah memilih mendengarkan nasihat mereka yang menyarankan berharap dengan hanya menggaungkan bagian pastinya ke gendang telinga saya, dan menyembunyikan bagian tidak pastinya, karena mereka tahu pasti bahwa itu akan mengecewakan. Seharusnya sejak lama, saya memilih untuk mendengarkan nasihat seperti teman saya itu untuk tidak berharap, tetapi menerima keadaan. Mungkin, hidup saya akan jauh lebih tenteram dan membahagiakan. Mungkin loh.
Pancasila Dasar Hidup Berbangsa dan Bernegara Oleh: ST SULARTO
Judul: Lima Gagasan yang Dapat Mengubah Indonesia Penulis: M Sastrapratedja, SJ Sekapur Sirih: Jakob Oetama Penerbit: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, Jakarta Cetakan: 2013u Tebal: xiv + 413 halaman ISBN: 978-602-19830-3-4
Logika sosialisasi Pancasila sebagai salah satu pilar dari empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, di samping UUD 1945, Proklamasi Kemerdekaan, dan Bhinneka Tunggal Ika, digugat secara mendasar oleh buku bunga rampai ini. Argumentasi Pancasila sebagai pilar dimentahkan, juga keterangan MPR RI dalam sidang lanjutan pengujian UU No 3 Tahun 2011 tentang Partai Politik, tanggal 17 Februari 2014. Termasuk juga argumentasi logika kebahasaan yang paradoksal, bahwa Pancasila ideologi negara yang disejajarkan dengan tiga pilar lainnya tetapi ditempatkan lebih tinggi. Sejajar, kok, ditempatkan lebih tinggi! Benarlah Harry Tjan Silalahi, ada kesalahan berpikir bahwa Pancasila salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah fondasi atas ketiga pilar lainnya (Kompas, 12/4/2013). Menyamakan Pancasila sebagai pilar merupakan pikiran sesat. Buku ini memang hanya kumpulan 23 tulisan untuk berbagai keperluan, selain diceramahkan dalam berbagai tempat, waktu, tujuan, dan topik, tetapi mengerucut pada lima gagasan yang terkandung dalam lima sila Pancasila. Kelima sila memperoleh penjelasan yang mendasar, menjawab persoalan-persoalan yang aktual secara mendasar, dan dirujuk pada lima yang digali dari kelima sila. Tantangan filsuf N Driyarkara, SJ bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbuka mendapatkan jawaban dan penjabaran dalam buku ini. Pancasila tidak menyediakan cetak biru, tetapi orientasi (hal 23). Maksudnya, Pancasila tidak memberikan jawaban praktis-pragmatis, tetapi memberikan dasar-dasar atau prinsip-prinsip kebijakan dan keputusan politis. Karena itu, Pancasila adalah ideologi negara (hal 325-327) yang memiliki corak khusus. Dari sisi isi, Pancasila memuat nilai-nilai dasar kemanusiaan yang bertumpu pada pengakuan martabat manusia. Berbeda dengan ideologi lainnya, Pancasila hanya memuat nilai-nilai dasar bukan pada pemikiran lengkap, dan keberhasilannya tergantung dari cara sosialisasi. Atau menurut Ki Hadjar Dewantara, Pancasila khususnya sila Perikemanusiaan, adalah prinsip pemberadaban (guiding principles) (hal 70). Pada era pemerintahan Soeharto, Pancasila dikendalikan dan digunakan demi kepentingan penguatan kekuasaan, masalah kritisnya terletak pada reduksi Pancasila sebagai ajaran atau keutamaan individu. Padahal sebagai prinsip politik, Pancasila merupakan orientasi pembentukan struktur-struktur politik, seperti prinsip demokrasi dan keadilan sebagai prinsip partisipasi (hal 247). Penafsiran tunggal dan pendakuan pembenaran tunggal atas Pancasila demi kepentingan kekuasaan (rezim Orde Baru) yang disosialisasi dalam P4 tidak lebih dari simplifikasi dan reduksi, dengan mudah ditinggalkan oleh rezim berikutnya (rezim Reformasi). Kebiasaan mem-black list apa pun dari rezim sebelumnyaOrde Baru mem-black list Orde Lama, Orde Reformasi mem-black list Orde Baruberdampak pada tercampakkannya Pancasila. Pancasila dilupakan. Pancasila sebagai dasar mendirikan negara RI seperti pertanyaan Ketua BPUPKI Dr Radjiman Wediodiningrat yang dijawab oleh Ir Soekarno adalah Pancasila (hal 223-224). Atau dengan kata lain Indonesia menjadi legitim kalau mendasarkan diri pada Pancasila (hal 168), saat ini di-(kita)- lupakan. Kasarnya tanpa sadar kita mengkhianati para pendiri bapak bangsa negeri ini. Ibu Pertiwi merintih tidak hanya dalam situasi konkret ketika hilangnya solidaritas sosial, ketidakhadiran pemerintahan, dan tercampakkannya hak-hak asasi, tetapi juga ketika kita melupakan Pancasila, meskipun seolah-olah sambil merangkak-rangkak. Rujukan pendidikan karakter Pelupaan sering berupa rintihan karena ketidakmampuan kita melakukan penggugatan di atas. Namun sebenarnya masih ada titik-titik terang, di antaranya keinginan menyampaikannya lewat praksis pendidikan. Pendidikan karakter tidak sekali terjadi karena identitas suatu bangsa bukanlah kata benda, melainkan proses. Amerika Serikat dan Inggris saja terus-menerus mencari model pendidikan karakter yang efektif (hal 215), apalagi Indonesia dirasa mendesak dengan kejadian dehumanisasi yang semakin masif dalam berbagai bentuk nirberperadaban. Menurut Sastrapratedja, karakter dapat dikembangkan dan bukan diturunkan secara genetik. Karakter adalah hasil pendidikan, menjabarkan pendapat Drijarkara bahwa pendidikan pada dasarnya humanisasi (pemanusiawian). Lewat pendidikan karakter nasional dapat dibentuk, meskipun dalam kasus Indonesia tidak begitu mudah. Sejalan dengan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara RIdasar (waton) dari ketiga pilar (cagak) lainnyapembentukan karakter perlu diinspirasi dari nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai itu menjadi tempat bergantung, tanpa mengingkari praksis pendidikan tidak berlangsung dalam suasana kosong, diturunkannya dalam pembentukan manusia Indonesia yang berwatak: mampu menghargai perbedaan, manusiawi dan santun, mencintai tanah airnya, demokratis, adil dan solider (hal 216). Pendidikan karakter sebagai bagian integral praksis pendidikan nasional berlangsung dengan memanfaatkan komponen kognitif, afektif, dan praksikal. Sebagai bunga rampai yang terhimpun dari artikel-artikel berserakan, tidak semua terfokus pada telaah tentang Pancasila dengan risiko tidak mendalam tuntas seperti halnya sebuah buku dalam satu tema. Artikel terakhir, ke-23, misalnya, seharusnya dari filsuf sekaliber Romo Sastrapratedja kita harapkan uraian tentang potensi Indonesia menjadi negara gagal (failed country) lebih mendalam dan komprehensif, termasuk juga penjabaran tentang indikator-indikator yang mengarah pada kegagalan itu (hal 385-393). Kekurangan itu niscaya tidak mengurangi apresiasi Jakob Oetama dalam Sekapur Sirih-nya bahwa buku ini mengubah keyakinan dan pendapatnya bahwa Pancasila sudah selesai dan tinggal dilaksanakan. Niscaya semakin banyak hasil galian dari berbagai pusat studi dan pusat kajian lewat berbagai disiplin ilmu masing-masing, semakin kita diyakinkan agungnya Pancasila sebagai dasar bernegara dan berbangsa, landasan dari tiga pilar lainnya.
M Sastrapratedja SJ Ketika Pancasila Mulai Dilupakan
Di antara kolega pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan mahasiswanya, Romo Michael Sastrapratedja (69), memang tidak lagi sehumoris dulu. Dulu selalu keluar humor- humor spontannya yang segar menggelitik, sekarang kegemaran itu jarang muncul. Romo Sastra sekarang tampak serius. Akan tetapi, ada yang tetap, setidak-tidaknya kegemaran tlusab-tlusub-nya yang identik dengan blusukan-nya Jokowi atau siapa pun yang mengklaim diri sudah lebih dulu melakukan. Tlusab-tlusub-nya Romo Sastra menghasilkan ide-ide menerobos. Sebagai Ketua (Rektor) Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Jakarta tahun 1984-88, dia mengintrodusir program kajian budaya. Namun, karena titik berat tugasnya menangani perbaikan manajemen, saat menjadi Rektor Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang tahun 1988-1993, Sastra tidak meninggalkan jejak menerobos yang signifikan. Baru ketika menjadi Rektor Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta (1993-2001) sejumlah institusi menerobos lahir di era kepemimpinannya. Sebagai rektor, dia buka Fakultas Farmasi, yang di kemudian hari menjadi fakultas favorit. Ide kajian budaya dia bawa ke Yogyakarta dan lahirlah Program Kajian Ilmu Religi dan Budaya yang di kemudian hari menjadi strata S-2. Menyusul kemudian Sastra mengintrodusir Program Studi Kajian Bahasa Inggris, yang di kemudian hari juga menarik minat calon mahasiswa. Ketika tidak lagi duduk dalam jabatan struktural perguruan tinggi, Sastra mendirikan Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila. Lembaga ini bertujuan mengembangkan penelitian dan penulisan di bidang Filsafat Barat dan Timur serta bermaksud menghidupkan kembali refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara. Buku bunga rampai ini merupakan salah satu hasilnya. Kita memiliki lima gagasan, yaitu Pancasila, yang dapat mengubah atau memperkuat bangsa dan negara Indonesia menjadi lebih baik. Lima prinsip yang termuat dalam Pancasila dapat mengubah wajah Indonesia dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan, tulis Sastrapratedja dalam pengantar buku. Kehadiran Lima Gagasan menjadi berarti justru ketika Pancasila semakin dilupakan, ditinggalkan, dan tidak lagi punya taji. Pelupaan terhadap Pancasila secara tidak langsung bangsa ini melalaikan warisan menerobos para pendiri republik. Ketika Pancasila tidak lagi mendapat tempat dan menjadi bahan cibiran dalam negeri, menjadi ironis karena bangsa- bangsa di luar dan para pemimpin dunia justru menghargainya sebagai warisan lima gagasan yang bisa mengubah Indonesia. Dalam kondisi dilupakan, kehadiran Lima Gagasan mengentakkan kita tentang masih perlunya terus mengkaji, menelaah, dan mendalami Pancasila yang penerapannya perlu disesuaikan dengan konteks dan perkembangan zaman. Dari tangan Romo Sastrapratedja pastor Jesuit kelahiran Yogyakarta 22 Oktober 1943 dan doktor filsafat politik dari Universitas Gregoriana, Roma (1979)niscaya masih akan lahir buku-buku menerobos yang lain. Seloroh Sastra, Masakan ketenaran Nietzsche dikalahkan Inul Daratista, menyampaikan pesan kita lalai dengan kebesaran diri, sebaliknya cenderung pragmatis- praktis yang dangkal! (STS)
Lihat Kebun Fadly Oleh: Mawar Kusuma
Andi Fadly Arifuddin (39) punya mimpi pada masa kecil, yaitu berkebun. Ia pun mewujudkan mimpi itu di halaman rumahnya. Bertani, berkebun, dan berternak itu seperti musik. Jadi, hal yang menarik banget, kata vokalis band Padi itu. Fadly tidak menanam padi, tetapi menanam sayuran, mulai dari tomat, sawi, selada, hingga beragam jenis cabe, seperti cabe toraja dan cabe jolokia yang terkenal super pedas. Semuanya tumbuh subur di halaman depan, samping, dan belakang rumahnya di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Para ibu rumah tangga di seputaran rumah pun rajin bertandang untuk meminta aneka jenis bibit tanaman. Dengan ramah, Fadly membagi bibit-bibit tanaman unik itu kepada siapa saja yang meminta. Di antara tanaman terdengar suara gemericik air datang dari kolam mungil. Ikan-ikan berkeriapan di dalam air yang terhubung pada pot-pot tanaman raksasa. Dari kolam ikan itu, Fadly baru saja memanen lebih dari 100 ikan yang segera dibagi kepada tetangga. Menjelang larut malam, jika sedang menginap di rumah itu, Fadly betah nongkrong di bangku dari bilah-bilah bambu yang terletak di tengah kebun. Suara gemericik air berpadu dengan petikan gitar. Rekan-rekannya sesama anggota band Padi yang kini sedang membangun proyek musik Musikimia, seperti Rindra, Ari, Stephen Santosa, dan Yoyo, sering kali ikut nimbrung. Ditingkahi suara kodok yang bersahut-sahutan, ide-ide kreatif pun bermunculan, mulai dari merancang pertunjukan hingga melahirkan lagu-lagu baru. Tak tanggung-tanggung, satu mini album Musikimia bertema cinta tanah air telah tercipta dari kebun Fadly. Di sini nyaman. Masih ada suasana kampung. Makin nyaman kita dengan satu tempat makin mudah keluar inspirasi, katanya. Tak hanya ketenangan kala malam, suasana pagi hingga petang pun dilingkupi kedamaian. Matahari yang beranjak naik pada Kamis (6/3) siang sama sekali tak menyisakan jejak terik. Banyak burung-burung yang singgah, kupu-kupu beterbangan, dan ayam kampung berkeliaran. Di antara rerimbunan tanaman, Fadly segera memetik lalu menyantap beberapa helai daun mint. Tanaman mint asli Indonesia ini diperolehnya dari masyarakat adat Badui Dalam. Kabarnya, mint yang rasanya menyegarkan ini cocok dikonsumsi sebagai obat sakit mag. Selesai menyantap mint Badui, Fadly memetik timun mini yang merambat di atas bangku taman. Timun seukuran jari ini pun langsung disantap. Seluruh hasil kebun dijamin aman dan sehat karena tumbuh secara organik tanpa sentuhan bahan kimia. Pupuk diperoleh dari kotoran ikan yang hanya diberi makan dedaunan. Tambahan pupuk juga berasal dari kompos dedaunan dan ayam kampung yang dilepasliarkan. Rumah barak Ketika pertama kali membeli rumah dengan luas tanah sekitar 300 meter persegi pada 2006 itu, ada seekor ayam jago yang keluyuran di kebun. Paman Fadly yang membantu merawat kebun lalu iseng membeli ayam betina. Dari hanya sepasang, ayam kampung itu lantas beranak pinak menjadi 60 ekor hanya dalam dua tahun. Khawatir jika tetangga terganggu oleh ledakan populasinya, ayam-ayam lantas dimasak dan dibagi-bagikan. Kini, hanya tersisa beberapa ekor ayam. Tak hanya di kebun, ayam-ayam itu bebas berkeliaran hingga masuk ke dalam rumah. Meskipun bentuk aslinya belum dirombak, rumah dengan tiga kamar tidur ini sarat dengan kenangan masa silam Fadly. Begitu memasuki ruang santai di bagian paling depan dari rumah, pandangan mata langsung tertumpuk pada rak buku kesayangan Fadly yang dikoleksi sejak masa kuliah. Buku-buku tentang musik, dan sejarah bersanding dengan buku panduan bercocok tanam. Uniknya, Fadly masih menyimpan majalah Trubus milik bapaknya dari tahun 1988. Trubus jadi bacaan sebelum tidur, ujarnya. Tak melulu soal tanaman, poster musisi dunia, seperti Skid Row, Led Zeppelin, Radio Head, dan Beatles, tergantung di dinding rumah. Sebagian besar poster yang dikoleksi dari sejak masa kuliah itu dibiarkan teronggok di sudut ruangan. Keinginan menjadi musisi baru benar-benar terwujud ketika ia kuliah di Jurusan Ekonomi, Universitas Airlangga. Semasa kuliah di Surabaya, ia berjumpa dengan awak Padi. Mereka menjalin kebersamaan selama 16 tahun sebelum kemudian vakum selama beberapa tahun terakhir. Akan ada waktunya kumpul lagi, ujarnya. Jejak personal Fadly makin kentara jika masuk ke kamar tidur yang dulunya dimanfaatkan sebagai studio kecil di pojok depan rumah. Perabot di kamar itu hanyalah sebuah tempat tidur lipat tentara dan sebuah lemari dengan tempelan bertulis nama Fadly. Ini rumah barak, ujar Fadly. Pada sudut kamar, Fadly menyimpan koleksi penutup kepala tradisional dari seluruh Nusantara. Rumah itu sekaligus menjadi tempat penyimpanan alat musik. Rekan-rekan musisi dari daerah juga memanfaatkan rumah dengan tiga kamar tersebut sebagai tempat singgah ketika bertandang ke Jakarta. Fadly jatuh cinta pada rumah di Pondok Cabe karena halamannya yang luas. Sehari-hari ia memang lebih banyak menempati rumah tinggal di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Rumah Lebak Bulus lebih susah bikin suasana kebun. Lahannya terbatas, kata Fadly. Ketertarikannya semakin membuncah karena lokasi rumah kebun tersebut berdekatan dengan perumahan Vila Cinere Mas yang ditempati Rindra, Ari, dan Piyu. Daerahnya masih sejuk dan tinggi. Yang bikin saya jatuh cinta, ini satu-satunya rumah yang masih punya halaman lebar dan tempatnya tidak jauh dari tempat latihan musik, katanya. Menikmati proses Awalnya, kebun di rumah yang dibangun tahun 1972 itu hanya ditumbuhi pohon rambutan. Fadly kemudian bereksperimen membangun ladang pertanian mini dengan konsep vertikultur. Tong-tong setinggi orang dewasa diisi dengan tanah dengan pipa berlubang berisi kompos di bagian tengahnya. Satu tong berukuran 1 x 1 meter bisa ditumbuhi lebih dari 40 tanaman organik. Sambil terus belajar, ia kemudian mengembangkan cara bertanam aquaponik, yaitu menggabungkan aquakultur dan hidroponik. Sistem aquakultur dibangun dengan terlebih dulu membangun kolam ikan berukuran 1 x 11 meter. Air dari kolam yang mengandung pupuk kotoran ikan dialirkan ke pot-pot tanpa media tanah. Kebun itu tidak dibangun seorang diri. Fadly sering kali mengajak istrinya, Deasy Aulia (39), serta keempat anaknya, Bilal (11), Aidan (9), Fathimah (7), dan Hasan (5,5), untuk turut berkebun pada akhir pekan. Ketika ditanya oleh ibunya tentang cita-citanya kelak, Hasan menjawab, Mau kayak Bapak. Mau berkebun! Fadly ingin mengajarkan nilai kearifan lokal dari nenek moyang kepada anak-anaknya. Dari ketekunannya berkebun pula, ia bermimpi membuat instalasi rumah kaca tanaman organik berkapasitas 10.000 tanaman di kampung halamannya. Belajar dari menyemai sampai ambil hasilnya. Saya pengin anak-anak merasakan langsung, melihat langsung proses itu. Seni itu nikmat di prosesnya bukan di hasilnya, ujar Fadly. Jadi, lihat kebun Fadly, penuh dengan mimpi.