You are on page 1of 61

Ketegangan Meluas di Teluk

Oleh: Musthafa Abd Rahman




Panorama konstelasi politik di Timur Tengah pekan ini diramaikan keputusan Arab Saudi,
Uni Emirat Arab, dan Bahrain, yang Rabu (5/3) lalu menarik duta besar masing-masing dari
Qatar. Mesir juga ikut menarik duta besarnya dari Qatar pada hari Kamis (6/3).
Harian Kuwait, Al Qabas, edisi Jumat (7/3) mengungkapkan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab
(UEA), dan Bahrain kini bahkan sedang mempelajari kemungkinan melarang maskapai
penerbangan Qatar terbang di atas wilayah tiga negara tersebut. Tiga negara di kawasan
Teluk Persia tersebut juga memutuskan tak akan mengundang Qatar dalam semua forum
dialog, seminar, atau konferensi yang digelar di wilayah mereka.
Keputusan itu untuk pertama kali terjadi, tak hanya sejak dibentuknya Dewan Kerja Sama
Teluk (GCC)tempat mereka semua tergabung tahun 1981. Ini juga peristiwa pertama sejak
berdirinya sistem negara monarki keluarga di Semenanjung Arab pada abad ke-19 dan abad
ke-20. GCC beranggotakan enam negara Arab Teluk, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Qatar, UEA,
Bahrain, dan Kesultanan Oman.
Keputusan tersebut menandai awal retaknya GCC, yang selama ini dikenal sebagai organisasi
regional paling solid. Keretakan GCC itu muncul sebagai akibat pergeseran luar biasa
konstelasi politik di Timur Tengah setelah meletusnya revolusi rakyat di sejumlah negara
Arab pada tahun 2011, seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
Revolusi rakyat itu kemudian disusul kemenangan partai-partai politik berbasis ideologi
Ikhwanul Muslimin (IM) dalam pemilu di Tunisia, Mesir, dan Libya yang mengejutkan dunia
Arab saat itu.
Segera muncul poros Sunni pro dan kontra IM. Poros Sunni kontra IM memandang poros
Sunni pro IM sebagai ancaman terhadap sistem politiknya.
Tiga poros besar
Kini ada tiga poros politik besar di Timur Tengah sesudah gelombang revolusi rakyat yang
juga disebut Musim Semi Arab itu.
Pertama adalah poros negara-negara Sunni pro IM, yang terdiri dari Qatar, Turki,
pemerintahan Hamas di Jalur Gaza, Tunisia, Libya, dan Maroko. Kedua, poros Sunni kontra
IM, yang terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, UEA, Bahrain, Aljazair, Otoritas Palestina di
Ramallah, dan pemerintahan sementara Mesir sesudah penggulingan Presiden Muhammad
Mursi pada 3 Juli 2013. Ketiga, poros Syiah yang terdiri dari Iran, pemerintahan Perdana
Menteri (PM) Nouri al-Maliki di Irak, rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah, dan
Hezbollah di Lebanon selatan.
Pertarungan antara poros Sunni pro IM dan kontra IM tidak kalah sengit dibandingkan
pertarungan antara poros Sunni dan Syiah. Keputusan Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir
menarik dubesnya dari Qatar merupakan bagian dari pertarungan sengit antara poros Sunni
pro dan kontra IM tersebut.
Barometer pertarungan di antara dua poros Sunni tersebut kini berada di GCC mengingat
kekuatan pengaruh finansial Arab Saudi, UEA, dan Qatar. Qatar dengan kekuatan finansial
dan jaringan stasiun televisi Al Jazeera cukup menggetarkan kekuatan poros Sunni kontra
IM. Apalagi Qatar juga menampung tokoh-tokoh IM yang lari dari Mesir.
Bahkan, tokoh IM yang berdomisili di Doha, Qatar, seperti Sheikh Yusuf Qardhawi, sering
mengkritik Arab Saudi dan UEA melalui khotbah Jumat atau Al Jazeera. Itu sebabnya poros
kontra IM kini memandang perlu menundukkan Qatar untuk melemahkan poros pro IM di
wilayah lain.
Merusak kebersamaan
Pertarungan sengit itu kini praktis telah mengempaskan nilai-nilai yang tertanam kuat di
tubuh GCC selama ini. GCC selama ini dikenal memiliki tradisi kuat terikat dengan perasaan
senasib dan seperjuangan dalam menghadapi tantangan internal maupun eksternal.
Kekuatan kebersamaan itu muncul lantaran negara-negara GCC disatukan sistem politik
sama, yakni sistem monarki keluarga, serta sistem lingkungan sosial, budaya, dan pandangan
keagamaan yang sama, yaitu lingkungan konservatif.
Anggota GCC juga sama-sama ketiban rezeki melimpah, yaitu kandungan minyak dan gas,
yang jauh melampaui kebutuhan jumlah penduduknya yang relatif sedikit.
Ancaman terhadap salah satu anggota GCC segera dianggap sebagai ancaman terhadap
seluruh GCC. Hal itu dibuktikan ketika negara-negara Arab kaya itu membentuk GCC pada
tahun 1981 untuk menghadapi kemungkinan ekspor revolusi Iran. GCC kemudian bersatu
mendukung Irak dalam Perang Irak-Iran pada 1980-1988.
Ketika Irak menduduki Kuwait pada tahun 1990, semua anggota GCC kompak mengirim
pasukan ke Arab Saudi untuk mengusir Irak dari Kuwait.
Upaya pelemahan
Di luar Qatar, poros Sunni kontra IM juga terus berupaya menghabisi, atau minimal
melemahkan jaringan pro IM. Keputusan pengadilan Mesir pada Selasa (4/3) untuk melarang
aktivitas Hamas di Mesir dan menyita semua aset Hamas di negara itu juga bagian dari aksi
melemahkan poros pro IM.
Di Turki, pemerintahan PM Recep Tayyip Erdogan yang berideologi IM kini juga mulai
goyah setelah konflik dengan bekas mitra seperjuangannya, Fethullah Gulen. Kini muncul
asumsi kuat ada kekuatan poros Sunni anti IM di balik upaya Gulen merongrong kekuasaan
PM Erdogan saat ini.
Di Tunisia, pemimpin partai Islamis Ennahda, Rashid Ghannouchi, cukup cepat membaca
gejala gerakan aksi melemahkan jaringan IM itu. Ghannouchi segera membangun kompromi
dengan kubu sekuler di Tunisia dalam penyusunan konstitusi baru untuk mencegah kekuatan
kontra IM dan kontra revolusi menggusur Ennahda dari kekuasaan.
Di Libya, upaya poros Sunni kontra IM hingga saat ini gagal menggusur kekuatan poros
Sunni pro IM. Kasus aksi dua milisi bersenjata kuat asal Zintan, Libya barat, yakni milisi Al
Qaaqaa dan Al Sawaaq, pada 18 Februari lalu memberikan ultimatum kepada Kongres
Nasional Umum (GNC) agar segera membubarkan diri, merupakan bagian dari pertarungan
poros pro dan kontra IM di Libya.
Dua milisi yang mengancam tersebut punya hubungan politik kuat dengan Aliansi Kekuatan
Nasional (NFA) pimpinan Mahmud Jibril yang berideologi liberal. Komandan milisi Al
Qaaqa, Usman Mlegta, adalah saudara politisi NFA, Abdelmajid Mlegta. Adapun GNC kini
dikuasai oleh kelompok pro IM.
Namun, upaya milisi Al Qaaqa dan Al Sawaaq itu gagal karena diancam balik oleh milisi
kuat bersenjata di Misrata, yang loyalis IM, jika ada aksi membubarkan GNC.
Itulah perubahan terkini yang terjadi di dunia Arab. Kemenangan partai-partai politik
berbasis ideologi IM dalam pemilu sesudah revolusi Arab tahun 2011 memicu munculnya
persaingan dan pertarungan baru di Timur Tengah dan dunia Arab secara keseluruhan.
IM Makin Terjepit
Arab Saudi Tetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai Organisasi Teroris

KAIRO, KOMPAS Peta konstelasi politik di Timur Tengah bisa berubah lagi secara
signifikan setelah Arab Saudi, Jumat (7/3), menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai
organisasi teroris.
Selain Ikhwanul Muslimin (IM), Arab Saudi juga menetapkan sejumlah organisasi radikal
sebagai organisasi teroris, seperti ISIL (Negara Islam di Irak dan Suriah), Front Al Nusra di
Suriah, faksi Syiah Houthi di Yaman, jaringan Tanzim Al Qaeda di berbagai belahan bumi,
dan Hezbollah di Arab Saudi.
Jaringan IM tercatat berada di sekitar 80 negara yang tersebar di seluruh dunia. Partai politik
yang berbasis ideologi IM atau sealiran dengan ideologi IM kini berkuasa di Turki, Jalur
Gaza, Maroko, serta bagian dari kekuasaan di Tunisia, Libya, Kuwait, dan Yaman.
Simpatisan IM juga cukup kuat di Qatar, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Demikian dilaporkan wartawan Kompas, Musthafa
Abd Rahman, dari Kairo, Mesir.
Sejauh ini belum ada reaksi dari negara-negara tersebut. Hanya Pemerintah Mesir yang
langsung menyatakan mendukung keputusan Arab Saudi itu. Pemerintah Mesir telah
menetapkan IM sebagai organisasi teroris pada November 2013.
Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi, seperti dilansir berbagai media Arab, menegaskan,
warga Arab Saudi dilarang keras berafiliasi, mendukung, menyatakan solidaritas, dan
menggelar berbagai bentuk pertemuan di bawah naungan organisasi-organisasi tersebut.
Larangan itu berlaku juga bagi semua organisasi yang memiliki filosofi pemikiran, perkataan,
dan perbuatan yang serupa dengan organisasi-organisasi itu.
Larangan tersebut berlaku pula bagi semua organisasi yang telah dinyatakan sebagai
organisasi teroris dalam daftar Dewan Keamanan PBB dan lembaga internasional lainnya.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi, Mayor Jenderal Mansour al-Turki,
kepada harian Asharq al-Awsat, mengatakan, keputusan itu merupakan langkah awal tahapan
aksi membasmi akar terorisme dalam konteks strategi Pemerintah Arab Saudi memerangi
teroris di berbagai belahan dunia.
Mengevaluasi khotbah
Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi juga mulai mengevaluasi isi khotbah para khatib
shalat Jumat di seantero negeri itu yang sering bernuansa radikal.
Kementerian itu juga memberikan ultimatum kepada semua warganya yang sedang ikut
berperang di luar negeri agar segera kembali ke Arab Saudi selambat-lambatnya 15 hari ke
depan.
IM selama ini dikenal tidak hadir secara fisik dalam bentuk partai atau organisasi sosial di
Arab Saudi. Namun, disebutkan, IM cukup memiliki pengaruh di Arab Saudi melalui
lembaga-lembaga dakwah, media, pendidikan, dan perdagangan.
Sementara itu, IM di Mesir menyampaikan keterkejutannya atas keputusan Arab Saudi
menetapkan IM sebagai organisasi teroris. Dalam keterangan persnya, IM mengatakan,
keputusan itu bertentangan dengan sejarah hubungan IM dan Arab Saudi sejak masa pendiri
negara itu, Raja Abdul Aziz bin Saud.
Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa pendiri IM, Hassan al-Banna, pernah melakukan
pertemuan persahabatan dengan pendiri negara Arab Saudi, Raja Abdul Aziz bin Saud, pada
musim haji tahun 1936. Sejak itu, hubungan IM dan Arab Saudi terjalin baik, terutama pada
1960-an dan 1970-an.













Obituari
Selamat Jalan Muridan S Widjojo


JAKARTA, KOMPAS Jenazah peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Muridan S Widjojo, yang meninggal Jumat (7/3) dimakamkan di Cibinong, Bogor,
Jawa Barat, Sabtu pagi. Muridan mewariskan kegigihan seorang akademisi dan semangat
seorang aktivis untuk menciptakan perdamaian di Tanah Papua.
Jenazah Muridan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Pondok Rajeg, Cibinong.
Istrinya, Suma Riella Rusdiarti, ditemani tiga anaknyaChris Deikme (19), Galih Muridan
(16), dan Naiya Muridan (7)serta peneliti dari sejumlah lembaga, aktivis hak asasi
manusia, dan para mahasiswa asal Papua, memberikan penghormatan terakhir.
Muridan meninggal dunia dalam usia 47 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok setelah
12 hari dirawat. Sejak 2010, peraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah Pra Kolonial dari
Universitas Leiden, Belanda, itu bergulat melawan kanker.
Hati antropolog yang dilahirkan di Surabaya pada 4 April 1967 itu bertaut dengan Papua
sejak menjalani tugasnya sebagai peneliti LIPI di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Perannya
sebagai juru damai dimulai pada 1993, saat memediasi perdamaian perang tujuh konfederasi
suku di Wamena, Hitigima, Kurima, Pasema, dan Welesi.
Pahlawan kemanusiaan
Penghormatannya kepada harkat dan martabat orang Papua tertuang dalam bukunya. Pada
tahun 2010, Muridan menjadi editor laporan LIPI, Papua Road Map, Negotiating the Past,
Improving the Presence, and Securing the Future.
Demi menjalankan gagasan Papua Road Map, Muridan bersama sejumlah tokoh agama dan
aktivis HAM mendirikan Jaringan Damai Papua (JDP) pada 2010. Meski sakit, hingga 2013
Muridan berkeliling Papua, mengampanyekan dialog Jakarta-Papua sebagai solusi konflik.
Pada Rabu (5/3), Muridan mendiskusikan kekhawatirannya akan proyek Merauke Integrated
Food and Energy Estate di Papua dengan istrinya, Riella.
Masyarakat adat (kini) tercerabut dari sumber relasi sosial dan sumber kehidupan ekonomi
yang lebih baik. Saya takut, kata Muridan.
Dua peraih penghargaan hak asasi manusia Yap Thiam Hien, Pastor John Djonga Pr dan
Yosepha Alomang, menyebut keberpihakan Muridan kepada orang Papua sepatutnya menjadi
contoh bagi orang Papua. Ia adalah pahlawan kemanusiaan, kata Pastor Djonga.
(ROW/JOS)
Pemilihan Umum
Mau Berpartisipasi, tetapi Rumit


Jauh dari kampung halaman tak hanya menghadapi budaya dan tantangan yang berbeda.
Namun, menjelang peristiwa politik 2014, semua warga memiliki harapan dan tak abai
menggunakan hak pilih.
Sekitar 100 warga negara Indonesia di perantauan, di Auckland, Selandia Baru, berkumpul di
Auckland Normal Intermediate School, Mount Eden, Auckland, Sabtu (8/3) pukul 11.00.
Jadwalnya pukul 11.00- 15.00, tetapi budaya jam karet tak hilang di negeri orang, apalagi
acara dikemas tak formal. Warga bisa sekaligus melepas kangen dengan membeli masakan
dan kudapan khas Indonesia yang disediakan beberapa warga.
Tentu saja, sosialisasi pemilu dan perkenalan dengan Jose Tavares, Duta Besar RI untuk
Selandia Baru, yang mulai bertugas sebulan ini menjadi acara utama. Semua warga pun
saksama mendengarkan cara mereka memberikan hak pilih.
Di Selandia Baru, hanya ada dua metode yang diterapkan. Memberikan suara di TPS Luar
Negeri di Wellington, Minggu (6/4), atau pemungutan suara melalui pos. Cara kedua ini,
pemilih mengirimkan surat suara melalui pos atau memasukkan surat suara yang dicoblos ke
dropbox. Fasilitas dropbox ini hanya dinikmati warga Indonesia di Auckland dan Wellington.
Menurut Ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri Wellington Ridwan, dari 3.700 pemilih untuk
pemilu legislatif, 2.400 orang di antaranya berada di Auckland. Di Tanah Air, pemilih
sebanyak ini harus dibagi dalam lima TPS.
Kendati surat suara dikirim melalui pos dalam rentang waktu tertentu, penghitungan suara
baru dilakukan pada 9 April, bersamaan dengan penyelenggaraan pemilu di Tanah Air.
Tak ada jawaban
Pertanyaan demi pertanyaan pun disampaikan warga. Salah seorang mahasiswa asal Jakarta
yang baru memulai studi di University of Auckland, Syafira (35), menanyakan
kemungkinannya menggunakan hak pilih. Apalagi, pada awal semester ganjil 2014,
setidaknya puluhan mahasiswa asal Indonesia memulai masa studi di wilayah ini.
Ridwan mempersilakan warga yang baru pindah mencatatkan datanya pada daftar pemilih
khusus. Namun, dia menambahkan, surat suara tambahan yang disiapkan KPU hanya 2
persen dari jumlah pada daftar pemilih tetap (DPT). Karena itu, warga dalam daftar pemilih
khusus bisa menggunakan hak pilih sepanjang jumlah surat suara cadangan memadai.
Tak hanya berada dalam ketidakpastian hak pilih, mekanisme mencabut hak suara di TPS
asal pun tak berjalan. Saat Kompas mencoba menjalankan kewajiban warga negara ini pada
18 Februari lalu, Panitia Pemungutan Suara (PPS) Babakan Pasar Kota Bogor, Jawa Barat,
tak mampu merespons. Anggota PPS Babakan Pasar, Agus, mengatakan, formulir A-5 yang
menunjukkan pemilih pindah belum dikirimkan KPU. PPS pun tak mampu memberikan
sekadar surat keterangan permintaan pencabutan hak pilih.
Keesokannya, Kompas bertemu Sekretaris PPS Babakan Pasar, Saefulloh. Jawabannya tak
berbeda. Kami belum tahu seperti apa format surat pemindahan hak pilih. Apalagi formulir
A-5 belum ada, ujarnya.
Padahal, pada 20 Februari lalu, KPU mengirimkan keterangan pers yang menegaskan adanya
kemudahan untuk pindah memilih. Warga yang pindah karena dinas luar, tugas belajar,
pindah domisili, sakit, bencana, atau persoalan hukum mengakibatkan seseorang ditahan bisa
menggunakan formulir A-5. Kalaupun formulir A-5 belum dikirimkan KPU, kata anggota
KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, PPS bisa merujuk pada Peraturan KPU Nomor 9 Tahun
2013 tentang Penyusunan Daftar Pemilih untuk Pemilu DPR, DPRD, dan DPD.
Aturan dan kenyataan memang lain. Sampai saat ini, puluhan warga tak pasti dapat
menggunakan hak politiknya di Pemilu Legislatif 2014. Kalau demikian rumit urusan
administrasi ini, jangan lagi bicara menaikkan partisipasi publik dalam Pemilu 2014. (Nina
Susilo dari Aucland, Selandia Baru)












Gunung Sinabung
Warga Pun Makin Paham


Sebanyak 17.513 jiwa dari 16 desa di luar zona bahaya telah pulang dari pengungsian setelah
aktivitas Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mereda. Pun demikian,
warga masih diliputi kekhawatiran lantaran Gunung Sinabung dapat erupsi kapan saja.
Kekhawatiran itu beralasan lantaran hingga kini status Gunung Sinabung masih Awas, level
tertinggi dalam status kegunungapian. Guguran awan panas terjadi puluhan kali dalam sehari
dengan jarak luncur hingga 500 meter dan tremor terus-menerus. Hanya saja, aktivitasnya
tidak setinggi pada Januari lalu saat luncuran awan panas mencapai 4,5 kilometer.
Dua malam ini belum bisa tidur tenang, suara gemuruh Sinabung terdengar terus sampai
pagi, kata Isna (32), warga Desa Sukandebi, Kecamatan Naman Teran, sekitar 5,5 kilometer
dari puncak Sinabung, Rabu (5/3).
Isna sudah tiga pekan kembali ke rumah setelah hampir tiga bulan mengungsi. Setiap pagi dia
melongok ke arah puncak Gunung Sinabung yang terlihat jelas dari halaman rumahnya. Itu
sekadar memastikan bahwa kondisi gunung setinggi 2.460 meter dari permukaan laut itu
baik-baik saja.
Namun, kekhawatiran Isna itu sedikit terobati dengan semakin banyak petunjuk jalur
evakuasi. Apalagi saat di pengungsian dia pernah mendapat materi sosialisasi mitigasi
bencana, termasuk upaya praktis mengevakuasi diri saat Gunung Sinabung erupsi.
Apabila nanti Gunung Sinabung erupsi lagi, kata Isna, semua warga harus segera berkumpul
di titik-titik kumpul yang sudah diberi tanda. Kebetulan salah satu titik kumpul itu hanya
berjarak 100 meter dari rumah Isna, yakni masjid di tepi jalan. Setelah berkumpul, mereka
akan dijemput kendaraan evakuasi untuk diungsikan ke tempat yang lebih aman.
Pemahaman ini juga diingat secara baik oleh Tapi Karo (72), warga Desa Naman Teran,
Kecamatan Naman Teran. Saat ditanya mengenai langkah-langkah evakuasi, dia segera
menunjukkan tas berisi dua baju, dua celana, dan dua sarung. Dia juga mengambil tas berisi
peralatan mandi.
Kalau Sinabung meletus lagi, saya tinggal bawa ini ke pengungsian. Semua sudah saya
siapkan mulai sekarang, kata Tapi mantap.
Di sepanjang jalan sejak Desa Ndokum Siroga, Kecamatan Simpang Empat, hingga Kuta
Rayat, terpasang paling tidak 80 rambu-rambu petunjuk jalur evakuasi. Rambu-rambu
tersebut juga menunjukkan jarak titik dengan puncak Gunung Sinabung agar warga
mengetahui zona bahaya, yakni lingkar 5 kilometer dari puncak Gunung Sinabung. Jalur
evakuasi itu menuju Simpang Empat yang berjarak 8,2 kilometer dari puncak. Jalur lainnya
menuju Berastagi, 20 kilometer dari puncak Gunung Sinabung.
Komunikasi
Saat erupsi, warga dapat menyelamatkan diri mengikuti jalur evakuasi tersebut menggunakan
kendaraan pribadi atau berkumpul di titik kumpul menunggu penjemputan. Komunikasi
evakuasi disiarkan melalui Radio Sora Sinabung FM yang disiarkan dari Posko Media Center
di Kabanjahe. Itu diperkuat dengan komunikasi antarkepala desa yang mereka lakukan via
handy talkie.
Di Gunung Kelud (di Kabupaten Kediri, Jawa Timur), komunikasi warga dilakukan dengan
kentungan. Ide itu mau disampaikan kepada masyarakat dan aparat (di Sinabung), kata
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo
Purwo Nugroho.
Warga di lereng Gunung Sinabung mudah memahami langkah-langkah evakuasi dan cepat
sadar terhadap ancaman erupsi Gunung Sinabung meskipun sudah seribuan tahun Gunung
Sinabung tidak erupsi. Hal ini karena dalam enam bulan terakhir Gunung Sinabung erupsi
secara maraton sehingga warga mengalami sendiri proses evakuasi dan penyelamatan diri.
Dari pengalaman itu, warga diajarkan untuk lebih siaga dan mawas diri.
Menurut Sutopo, pemahaman warga di lereng Sinabung cukup matang. Hal ini misalnya
terlihat dari kasus tewasnya 17 korban akibat awan panas di Desa Suka Meriah pada awal
Februari lalu. Korban adalah orang luar Suka Meriah.
Sutopo mengakui bahwa kesiapsiagaan dari lembaga formal dan pemerintah lokal masih
minim. Ini lantaran mereka tidak memiliki referensi sejarah mengenai letusan. Bahkan,
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karo pun baru efektif bekerja sejak awal pekan ini.
Kami masih menyusun program kerja dan anggaran, kata Sekretaris BPBD Karo Jhonson
Tarigan.
Sekitar 1.200 tahun lalu Gunung Sinabung meletus. Luncuran awan panas sampai ke Desa
Berastepu, sekitar 3,5 kilometer dari puncak gunung. Setelah itu dia tidur panjang sampai
akhir tahun 2010.
Masyarakat di lereng Gunung Sinabung terus belajar membangun harmoni dengan alam.
Sinabung dapat meletus setiap saat dan tak ada yang tahu kapan dia tidur panjang lagi. Cara
efektif untuk menghindari bahaya letusan Gunung Sinabung adalah dengan menjauhinya.
Yang dikeluarkan Sinabung itu pasti ada manfaatnya bagi kita. Kesuburan tanah dan
hilangnya hama tanaman, misalnya. Biarkan dia batuk-batuk dulu, kata Salmin Sembiring
(38), warga Desa Sukandebi.
Konsep menjauh dari gunung itu telah disepakati pemerintah dalam bentuk rencana relokasi
desa-desa yang berada di radius 3 kilometer dari puncak gunung. Sayangnya, rencana yang
tercetus enam bulan lalu tersebut belum terealisasi dengan alasan pemerintah belum
menemukan cukup lahan. Warga pun terpaksa bertahan di pengungsian.
(Mohammad Hilmi Faiq)





















PAUS FRANSISKUS
Waktu Khusus untuk Indonesia


Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, berjanji akan menyediakan waktu khusus
untuk Indonesia. Meski tak menyebut waktu secara pasti, Paus Fransiskus menyampaikan hal
itu secara jelas kepada perwakilan Indonesia yang hadir di audiensi umum Paus di Vatikan,
12 Februari.
Saya akan menyediakan waktu khusus untuk Indonesia, tutur Paus Fransiskus kepada
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar di akhir perbincangan
singkat seusai audiensi tersebut.
Pernyataan itu merupakan puncak kunjungan Sapta dan rombongan, termasuk Kompas, ke
Vatikan, selain tentu saja kesempatan berjumpa langsung dengan Paus Fransiskus.
Bertemu dan berjabat tangan langsung dengan Paus Fransiskus di Vatikan jelas bukan hal
mudah. Bahkan, permintaan yang diajukan para kepala negara dari seluruh dunia pun
biasanya membutuhkan waktu lama baru bisa terpenuhi. Namun, hal itu tak menyurutkan
keinginan Sapta menemui Paus. Apalagi, saat itu bersamaan dengan rencana pameran wisata
Indonesia di Museum Etnologi Vatikan. Menggelar kegiatan di Vatikan tanpa berjumpa
dengan Paus rasanya tidak lengkap, kata Sapta.
Menjelang keberangkatan ke Roma, 10 Februari 2014, Sapta mengontak Duta Besar
Indonesia di Vatikan, Budiarman Bahar. Ia mendapat informasi bahwa setiap Rabu, Paus
Fransiskus menggelar audiensi umum di Lapangan Basilika Santo Petrus, Vatikan. Dalam
kesempatan itu, tamu-tamu dari sejumlah negara bersalaman dengan Paus.
Sapta pun memutuskan memilih momentum tersebut. KBRI bertindak cepat dengan
mengirim surat permohonan resmi ke bagian Protokol Vatikan dan langsung disetujui.
Hari Rabu, 12 Februari, sekitar pukul 09.00 waktu Roma, Sapta dan Budiarman serta
rombongan sudah berada di area VIP di Lapangan Basilika Santo Petrus. Area VIP tersebut
dipenuhi 1.000 tamu, sekitar 600 orang berada di area VIP sisi kanan altar dan 400 orang di
sebelah kiri. Mereka berasal dari sejumlah negara di Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika.
Sementara di Lapangan Basilika berjubel ribuan orang yang ingin mengikuti acara audiensi.
Rombongan Indonesia ditempatkan pada urutan pertama di barisan terdepan area VIP sebelah
kiri altar. Hanya yang berada di barisan terdepan ini yang bisa bersalaman dengan Paus. Ini
sebuah kehormatan bagi Indonesia, kata Budiarman.
Seusai audiensi, Paus Fransiskus langsung mendekati puluhan orang sakit dan cacat, lalu
memeluk, mencium, dan memberkati mereka. Setelah itu, dia menuju area VIP dan mulai
menyalami para tamu.
Sapta menjadi orang pertama yang disalami Paus. Sapta memanfaatkan kesempatan itu untuk
menyampaikan rencana pameran wisata di Museum Etnologi Vatikan. Ia juga menyerahkan
cendera mata miniatur Candi Borobudur kepada Paus.
Pada akhir obrolan sekitar dua menit itulah, Sapta pun menanyakan, kapan Paus berkunjung
ke Indonesia. Paus Fransiskus pun menjawab akan menyediakan waktu khusus bagi
Indonesia. (Jannes Eudes Wawa)


















Ekstremisme di Afrika
Kekerasan di Luar Batas Seakan Tak
Berkesudahan

Ekstremisme cenderung diikuti dengan kekerasan. Aksi pembunuhan, pembantaian massal,
dan tindak kejahatan lainnya yang amat melukai kemanusiaan bisa terjadi. Hal itu terbukti di
Afrika.
Hingga Maret ini, aksi main hakim sendiri yang dilakukan kelompok-kelompok militan
radikal, seperti Boko Haram, Al Shebab, Seleka, dan Anti Balaka, kian marak di Afrika.
Sejak awal tahun hingga Sabtu (8/3), kekerasan meningkat tajam di Nigeria, Afrika Tengah
(Afteng), dan Somalia. Boko Haram, berbasis di Nigeria, dikategorikan sebagai sayap Al
Qaeda paling tidak berperikemanusiaan oleh Amerika Serikat, seperti halnya Al Shebab di
Somalia, karena aksinya sangat brutal dan tanpa ampun.
Awal Maret, Boko Haram menebar teror dan membantai warga sipil tak berdosa. Lebih dari
30 orang tewas di Desa Mafa, Negara Bagian Borno, di Nigeria timur laut. Dalam tiga hari,
1-3 Maret, sedikitnya 116 orang dieksekusi.
Dengan senjata tajam, senapan, dan bom, Boko Haram menyerang membabi buta kelompok
lain yang berbeda paham dengan mereka. Namun, yang paling memilukan, anak-anak yang
sedang bermain juga mereka jadikan target, seperti terjadi di Bama, akhir Februari.
Anti Barat
Boko Haram secara harfiah berarti pendidikan Barat dilarang. Semua tempat, baik rumah
ibadah, kantor, permukiman, maupun sekolah, yang kedapatan menyimpan atau memasang
simbol-simbol Barat, termasuk soal keyakinan yang dibawa dari Barat, adalah musuh yang
harus dilenyapkan.
Kelompok garis keras ini mulai berulah di wilayah Borno pada 2009, terutama setelah
Presiden Nigeria Goodluck Jonathan yang berasal dari bagian selatan mulai berkuasa. Dia
menggantikan Umaru YarAdua, tokoh yang berasal dari utara.
Di Nigeria, kata utara dan selatan tidak saja menunjuk arah dari mana mereka berasal,
tetapi juga bermakna konfrontasi di antara dua kelompok masyarakat utama di negara itu,
warga Muslim di utara dan warga Kristen di selatan.
Boko Haram kini menjadi salah satu sekte garis keras paling berbahaya di Afrika, terutama di
wilayah Afrika Barat. Sejak 2013, AS menetapkan Boko Haram sebagai sayap Al Qaeda
paling berbahaya saat ini.
Hingga Rabu (5/3), Nigeria telah menutup lima sekolah tinggi di Borno menyusul serangan
Boko Haram terhadap sekolah-sekolah itu. Selain merusak dan membakar sekolah, mereka
juga membunuh puluhan siswa yang menurut kelompok ini telah dididik dengan kurikulum
Barat.
Menurut pemerintahan Presiden Jonathan, sudah lebih dari 200 sekolah ditutup dan siswanya
diliburkan untuk menghindari serangan itu. Hal yang menarik, aparat keamanan tidak
berdaya menghadapi kelompok ini. Ketidakkompakan di kabinet merupakan salah satu
penyebabnya.
Pembersihan etnis
Seolah berada pada satu komando yang sama, kekerasan juga dilakukan kelompok milisi
Seleka dan Anti Balaka di Afteng. Berita terbaru tentang Afteng adalah adanya semacam
upaya pembersihan etnis oleh kubu mayoritas terhadap kelompok minoritas.
Amnesty International sampai menegaskan, terjadi pembersihan etnis terhadap sekelompok
masyarakat akibat sentimen agama di Afteng. Kelompok hak asasi manusia itu melaporkan,
200 orang yang berasal dari sebuah suku telah dibunuh oleh milisi dari suku lain yang dikenal
dengan sebutan Anti Balaka.
Hanya dalam satu bulan, Januari-Februari, hampir 1.000 orang tewas dan lebih dari satu juta
orang mengungsi di Afteng. Peristiwa itu dipicu aksi kudeta pada Maret 2013 yang dilakukan
pemberontak garis keras Seleka, yang menggulingkan Presiden Francois Bozize.
Seleka berasal dari etnis minoritas dan menggulingkan Bozize dari etnis mayoritas dengan
kekuatan senjata. Pemimpin Seleka, Michel Djotodia, mengangkat diri menjadi presiden.
Kebencian terhadap minoritas pun menguat dengan pembentukan milisi tandingan Anti
Balaka atau kelompok anti parang.
Kekerasan dibalas kekerasan, senjata dilawan senjata, nyawa dibalas nyawa. Apa pun bentuk
dan alasannya, para pemimpin kelompok ekstrem ini ingin membangun perdamaian dengan
cara mereka sendiri. Seperti pepatah Latin, si vis pacem, para bellum, ingin damai,
bersiaplah untuk perang.
Sifat dari semua kelompok itu hampir sama, yakni sadis, brutal, dan tidak pandang bulu.
Tidak saja menembak, mereka juga melukai dengan senjata tajam, siapa pun lawannya.
Ketegasan pemimpin
Meskipun kekuatan militer Perancis dan Uni Afrika telah hadir di negara-negara itu,
penyerangan terhadap warga sipil terus meluas. Membangun lagi kepercayaan dan lembaga
sosial dan pemerintah akan makan banyak waktu, uang, dan kerja keras yang penuh
tantangan.
Gugatan yang muncul, di manakah peran negara, yang seharusnya memiliki kekuatan untuk
menekan agar kekerasan tak terulang? Para pengamat sampai pada satu keyakinan, faktor
kepemimpinan yang tak tegas merupakan salah satu pemicu utama kekerasan itu muncul.
Menguatnya ekstremisme agama juga terjadi karena para pemimpin spiritual tidak banyak
berperan menyejukkan pengikutnya. Doktrin-doktrin yang menganggap pihak lain sebagai
musuh telah ikut memanaskan situasi.
Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Kemanusiaan Valerie Amos mengatakan, dibutuhkan
dukungan internasional yang luas dalam menghadapi ekstremisme ini. Jika tidak, kekerasan
akan berulang. (Pascal S Bin Saju)
















sisi lain
Racun dan Obat Teknologi


Teknologi itu seperti racun, sekaligus obat, dalam serangkaian kasus kriminal di DKI Jakarta
belakangan ini. Keberadaannya menopang aksi pelaku, tetapi juga membantu polisi
mengungkap perkara. Kedua pihak seperti berkejaran.
Kamis (6/3) pukul 06.00, IA (26), tersangka pembunuh Desi Ekasari (19), tak menduga bakal
disergap polisi, empat hari sesudah pembunuhan yang ia lakukan di Jalan Pantai Indah Barat,
Penjaringan, Jakarta Utara. Padahal, segenap petunjuk sekuat tenaga ia hapus di lokasi
kejadian, antara lain dengan melucuti identitas, dompet, dan telepon milik korban.
IA menjerat calon korbannya melalui media sosial. Dia berusaha menyita perhatian Desi
dengan mengaku lulusan Akademi Kepolisian. Selain itu, IA juga bercakap di situs jejaring
layaknya orang kaya yang tengah mencari gadis idaman.
Dalam kasus lain, Pn (34), tersangka pembunuh Mustain (45), barangkali merasakan hal yang
sama dengan IA, yang nyaman dalam pelarian. Telah 10 hari dia berpindah tempat untuk
menghindari kejaran polisi. Pn bahkan telah sampai di Lampung, sekitar 250 kilometer dari
lokasi kejadian di Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, lalu terbang ke Gresik,
Jawa Timur. Namun, polisi mengendus geraknya.
Seperti IA, gerak Pn terlacak berkat perangkat teknologi informasi, selain informasi yang
digali dari keterangan saksi, sidik jari, dan peta kasus yang dirangkai dari mosaik peristiwa
sebelumnya. Bekerja sama dengan operator telepon seluler dan perangkat khusus,
penelusuran jejak pelaku lebih mudah.
Pengungkapan sejumlah kasus pembunuhan di Jakarta Utara setahun terakhir tak luput dari
peran teknologi informasi. Beberapa tersangka bahkan ditangkap dalam hitungan jam sejak
peristiwa terjadi.
Percakapan terakhir, pesan singkat, bahkan kicauan dan status di media sosial, juga menjadi
jalur bagi polisi untuk mengejar pelaku. Bagi sejumlah penyidik, perangkat teknologi itu
sering kali meninggalkan jejak petunjuk yang bisa dirangkai untuk menggenapi puzzle.
Apalagi di kalangan penegak hukum ada pemeo tak ada kejahatan yang sempurna.
Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah. Seperti kisah trio pencuri mobil,
Kar (37), Nar (38), dan Rus (28), yang ditangkap Polsek Metro Penjaringan Oktober 2013.
Ketiganya telah merancang pencurian dengan sangat matang. Rus dan Kar menyurvei lokasi
dan calon korban. Ketiganya sukses membuka pintu mobil, mematikan alarm, dan melarikan
mobil dari Penjaringan, Jakarta Utara, ke Pondok Kopi, Jakarta Timur. Dalam perjalanan,
mereka juga berusaha mendeteksi dan mematikan perangkat global positioning system (GPS)
di dalam mobil.
Akan tetapi, trio pencuri itu tak menduga perangkat GPS secara periodik mengirim koordinat
lokasi mobil ke telepon seluler pemiliknya. Petugas pun dengan mudah mengamati
pergerakan mobil. Polisi akhirnya menangkap ketiganya saat akan bertransaksi dengan
penadah di Pondok Kopi.
Kasus terakhir, pembunuhan Ade Sara Angelina (19), juga tak luput dari peran teknologi
dalam pengungkapannya. Dua tersangka, AI (19) dan AR (18), ditelusuri dari sejumlah
jejaknya, antara lain sidik jari di tubuh korban yang kemudian dicocokkan dengan data
elektronik pada kartu tanda penduduk.
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, polisi dan penjahat berlomba menjadi
pemenang. Muka ganda teknologi terlihat jelas, racun sekaligus obat! (Mukhamad
Kurniawan)














Kehidupan
Seni Berbagi dalam Kesederhanaan
Oleh: Putu Fajar Arcana & Gregorius Magnus Finneso

Lengger dan takir merupakan bahasa kebersamaan dalam kesederhanaan. Ia lahir dari rahim
alam pedesaan sebagai wujud rasa syukur, sikap toleran, dan kepasrahan para petani. Mereka
berkesenian untuk merayakan kemurahan semesta.
Gang sempit menuju Petilasan Panggihsari, Desa Somakaton, Somagede, Banyumas, Jawa
Tengah, licin dan berbatu. Desa kecil ini berjarak 35 kilometer di selatan Purwokerto. Mbah
Dariah (86), cikal bakal penari lengger lanang, sedang berdandan di bilik kecil milik Mbok
Sanem (60-an). Sebagaimana umumnya rumah-rumah di desa itu, bilik Mbok Sanem
berdinding gedek dan berlantai tanah. Halamannya tampak becek. Bahkan, lumpur terbawa
sampai ke ruang tamunya yang kecil dan seadanya.
Tak berapa lama, dua penari lengger, Astuti (46) dan Sariyah (40), turun dari sepeda motor.
Keduanya sudah menggunakan kostum tari. Tampak anggun di antara alam pedesaan yang
perawan. Astuti dan Sariyah saling menuntun untuk melewati jalanan licin dan berbatu
sebelum sampai di rumah Mbok Sanem.
Hari Rabu Wage, bulan Sura menurut penanggalan Jawa, tepatnya Rabu, 19 Februari 2014.
Pada hari itu, warga Desa Somakaton selalu menggelar ritual takiran. Selain berdoa di
Petilasan Panggihsari, dipimpin sesepuh desa setempat, Jaya Martana alias Mbah Sajum (68),
warga juga mempersembahkan nasi di wadah pincuk daun pisang dengan lauk sepotong telur
dadar, tempe, mi goreng, kerupuk gendar, teri, dan pecak ikan. Warga menyebut suguhan ini
sebagai nasi takir. Bentuk pincuknya menyerupai wujud sebuah sampan.
Syukur-syukur pada hari itu juga digelar tari lengger. Selain menampilkan Mbah Dariah,
Astuti, dan Sariyah, pergelaran tari yang disaksikan aparat desa itu juga menampilkan penari
lengger lanang muda bernama Agus Agnes Widodo (26).
Agus bisa dibilang penerus penari lengger lanang yang selama ini nyaris putus generasi.
Setelah Mbah Dariah, yang bernama asli Sadam, berusia lebih dari 80 tahun, warga setempat
seolah putus asa menunggu penggantinya. Kini, Agus, yang pernah memerankan Dariah
muda dalam sebuah film dokumentasi tentang maestro tari, telah menjelma menjadi lengger
lanang muda. Ia mulai dikenal di kawasan Banyumas, Cilacap, dan sekitarnya.
Spirit lengger
Kira-kira pukul 11.00, gamelan mulai ditabuh. Warga mulai berdatangan. Para wartawan,
yang mengikuti Workshop Karya Tulis dan Fotografi bersama Sampoerna Kretek dari
Jakarta, juga sudah siap di lokasi.
Di halaman samping petilasan, warga membangun panggung kecil dan tenda. Penggerak
lengger Banyumas, Yusmanto, mengatakan, Petilasan Panggihsari besar maknanya bagi
warga Somakaton dan penari lengger. Panembahan Panggihsari dianggap sebagai cikal bakal
leluhur Desa Somakaton. Di sini juga para penari lengger melakukan ritual untuk memohon
indhang, spirit yang merasuki lengger, kata Yusmanto.
Mbah Dariah, warga asli Somakaton, menurut cerita, juga melakukan berbagai ritual di
Petilasan Panggihsari sebelum menjadi penari lengger yang kemudian dikenal luas pada era
1950-an sampai 1960-an.
Mbah Dariah berdiri. Meski tubuhnya sudah renta, ia minta pengrawit memainkan tembang
pangkur, tembang yang terbilang klasik. Dulu pangkur sekarang gadung, katanya dalam
bahasa Banyumas. Maksudnya, dulu, setiap naik panggung, tembang pangkur wajib
dinyanyikan. Namun, pada era sekarang, penari lebih suka menembangkan Kembang
Gadung.
Dalam kerentaan usianya, Mbah Dariah berkelebat, merentangkan tangan, meliuk, dan
menggoyangkan pinggulnya. Penonton terkesima. Barangkali karena peristiwa ini jarang
terjadi di desa mereka: seorang penari lengger legendaris menari di situs, tempat indhang
lengger biasa diraih.
Mandan suwi langka lenggeran. Gemiyen si ujare Somakaton nggene lengger kondang, ya
kaya Mbah Dariah sing jare ratune lengger, kata Sukem (50), warga Somakaton. Maksud
Sukem, cukup lama tidak ada pentas lengger di desanya. Padahal, dahulu Somakaton adalah
tempat para lengger terkenal seperti Mbah Dariah.
Siang menjadi lebih meriah karena peran Astuti, Sariyah, dan Agus yang menari bersama-
sama di panggung. Tak disangka, di antara kepadatan penonton, para ibu menyodorkan
tenong (wadah dari bambu). Sebelum tenong dibuka, para ibu juga sudah menyiapkan budin,
makanan dari singkong. Ada pula mendoan, kacang rebus, dan rambutan hasil panen kebun
petani.
Puluhan tenong itu berisi nasi takir. Sebelum makan bersama, Mbah Sajum bercerita bahwa
tradisi takiran merupakan ritual yang selalu dilakukan saat perayaan panen sebagai wujud
ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Takiran, kata Sajum, menjadi cerminan
kebersamaan dan toleransi antarwarga yang berbeda agama di desa itu.
Karena sepadan di hadapan Sang Khalik, manusia mesti mawas diri. Itu diwujudkan dalam
bentuk saling berbagi nasi takir yang dimaknai sebagai nata pikir atau menata pikiran, dari
yang belum baik menjadi baik dan kalau sudah baik menjadi lebih baik lagi, ujar Mbah
Sajum.
Kebersamaan
Yusmanto mengatakan, lengger dan takir ibarat dua artefak kebudayaan yang berpijak pada
kebudayaan agraris. Dalam kebudayaan agraris, perasaan kebersamaan senantiasa dibungkus
dengan ritual-ritual sebagai ekspresi rasa syukur atas kemurahan alam.
Takir itu dimasak oleh para ibu di setiap rumah, lalu dibawa ke tempat ritual. Seusai
persembahan, mereka selalu makan bersama meski menunya sangat sederhana, ujarnya.
Sejarawan dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sugeng Priyadi, melihat
pertunjukan lengger sebagai cerminan etika kesepadanan manusia Banyumas yang bersifat
universal dan dibangun atas dasar humanitarian. Sikap egaliter itu menjauhkan setiap
individu dari sikap feodalistis yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai
kiblat hubungan sosial, kata Sugeng.
Estetika yang ada dalam lengger dan takiran mengandung nilai etika universal yang
dibutuhkan dalam tata laku hidup dewasa ini. Seni telah menjadi medium bagi manusia untuk
berbagi kebersamaan dalam kesederhanaan. Sekelebat gerak lengger dan setakir nasi telah
menjelma menjadi kebahagiaan kecil di sela-sela sulitnya hidup di pedesaan. Mari belajar
dari petani.













Penari
Tak Renta Dimakan Usia

Secara fisik Mbah Dariah (86) boleh ringkih. Tetapi, maestro tari lengger lanang asal Desa
Somakaton, Kecamatan Somagede, Banyumas, Jawa Tengah, ini masih tegar di atas
panggung. Ia masih menunjukkan kebesaran lengger klasik pada pentas hari Rabu (19/2) di
halaman samping Petilasan Panggihsari, Somakaton. Di petilasan ini, ia memperoleh
indhang, spirit yang membuatnya menempuh jalan hidup sebagai penari lengger.
Mbah Dariah memperoleh gelar Maestro Seniman Tradisional dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tahun 2011. Sebagai lelaki, Mbah Dariah memiliki nama kecil Sadam. Ia
diperkirakan lahir tahun 1928 dari ibu bernama Samini dan ayah Kartameja. Mereka hidup
sebagai petani kecil di Somakaton. Karena ayahnya meninggal, Sadam kemudian hidup
bersama kakeknya, Wiryareja.
Pada suatu hari seorang pengelana bernama Kaki Danabau datang ke rumah mereka.
Danabau mengatakan, Sadam dirasuki indhang lengger dan pada suatu masa akan menjadi
orang terkenal. Karena mengaku gelisah, Sadam kemudian pergi meninggalkan rumah. Ia
bertapa di satu makam tua, yang kemudian diketahui sebagai tempat memohon indhang
lengger.
Kaya ana sing nuntun nyong mlaku maring Gandatapa, kata Mbah Dariah. Maksudnya,
perjalanannya seperti ada yang menuntun sehingga sampai di Gandatapa. Setelah kembali
dari pertapaan, Sadam kemudian berganti nama menjadi Dariah pada usia 16 tahun. Tak ada
guru, semua bisa sendiri, tutur Mbah Dariah.
Pada zamannya, Dariah dikenal sebagai lengger cantik yang terlaris di kawasan Banyumas.
Ia bahkan tak jarang diperebutkan para lelaki. Dariah bisa pentas dalam dua hari sekali. Upah
menari lengger itu kemudian ia belikan tanah, membangun rumah, dan membeli sawah.
Semua demi keluarga besarnya.
Zaman boleh beringsut membawa dangdut. Mbah Dariah tetap dengan prinsipnya memainkan
lengger klasik. Sekarang sudah tidak kuat, kaki saya sering pegel, kata Dariah di atas
panggung. Ia kemudian memilih duduk setelah menarikan Pangkur. Tariannya memang
tidak eksotis dan segesit dulu. Usianya sudah 86 tahun. Toh begitu, Dariah ingin mati dan
dikenang sebagai penari lengger. (CAN/GRE)


Lengger Dangdut dan Geol Pinggul yang
Menggoda
Oleh: Putu Fajar Arcana & Gregorius Magnus Finesso

Lengger bukan artefak tradisi yang mati. Seni masyarakat banyumasan ini mencoba lentur
menghadapi gemuruh perubahan. Para penari lengger berkreasi menciptakan genre baru yang
disebut lengger dangdut, bahkan ada lengger calengsai (calung lengger barongsai).
Agus Agnes Widodo (26), yang membangun kelompok Organ Lengger Meranggi Laras,
rela menempuh jarak 50 kilometer dari Purwokerto menuju Kecamatan Maos, Cilacap, Jawa
Tengah, Sabtu (22/2). Malam itu ia ditanggap seorang warga untuk menggelar lengger yang
telah dipadukan dengan musik dangdut. Kelompok Agus memang kemudian jadi lebih
ramping. Ia cuma butuh seorang pemain organ dan seorang pemukul kendang. Jadilah
pentas lengger dangdut, yang menonjolkan goyangan alias geol pinggul yang menggoda para
penonton.
Ketika malam makin larut, pentas lengger dangdut semakin panas. Selain geol pinggul, arena
juga penuh suitan nakal penonton di tengah-tengah dentuman irama dangdut. Agus mesti
cukup mahir membawakan lagu-lagu dangdut yang lagi hits, seperti Goyang Oplosan,
Kucing Garong, Kereta Malam, dan Iwak Peyek. Lagu-lagu inilah yang belakangan
menjadi medium goyang massal di berbagai acara hiburan televisi.
Mau apa lagi, ini sudah tuntutan pasar. Kalau mau tetap eksis, ya, terpaksa ngikutin, ujar
penari lengger yang dianggap sebagai penerus tradisi lengger lanang Mbah Dariah (86). Agus
memang terpaksa berkompromi dengan pasar. Belakangan lengger klasik tidak begitu
diminati lantaran dianggap membosankan dan ongkosnya mahal.
Seorang penanggap harus membayar setidaknya Rp 5 juta untuk mendatangkan penari
lengger seperti Astuti (46) bersama kelompoknya, Kencana Laras. Ongkos itu sebenarnya
harus dibagi Astuti bersama puluhan pengrawit dan menyewa perangkat tata suara (sound
system). Kalau satu grup lengger dengan calung dan sound system bisa jumlahnya 20
orang, kata Astuti. Sementara kelompok Organ Lengger Meranggi Laras, milik Agus, cukup
dibayar dengan Rp 3 juta.
Sebagai penari lengger, Astuti sebenarnya tidak fanatik mengusung langgam klasik. Sebelum
ditasbihkan sebagai penari lengger, Astuti menjalani berbagai ritual, seperti berpuasa, mandi
malam, tidur beralas daun, serta makan singkong mentah. Itu saya lakukan bisa berminggu-
minggu, kata dia di sela-sela pentas lengger di Desa Somakaton, Somagede, Banyumas,
pekan lalu.
Semua ritual dan pantangan itu memang kemudian menjadikannya sebagai lengger paling
terkenal di kawasan Karisidenan Banyumas. Astuti bahkan pernah melawat ke Inggris,
Jerman, dan Belgia. Semua itu kini seakan luluh digerus arus selera zaman. Ia harus
berkompromi untuk menanggung hidup dan kebalikannya, menghidupi lengger sebagai
artefak tradisi.
Pembaruan
Kompromi itu, misalnya, dilakukan Astuti, Jumat (28/2), di Desa Mipiran, Kecamatan
Padamara, Purbalingga. Ia tampil menjadi pentas pendamping dari acara utama pementasan
wayang Ki Wahid dari Purwokerto. Sebelum acara utama berupa ruwatan pernikahan
penanggap, Sahrudin (34), Astuti harus menari menghibur para tamu undangan. Jangan
berharap tarian Astuti menuruti pakem lengger klasik, ia diwajibkan bisa meng-geol
pinggul sambil membawakan lagu-lagu dangdut dan campursari. Tak ada tembang-tembang
klasik lengger seperti Eling-eling, Ricik-ricik, Gunung Sari, Sekar Gadung, atau
Renggong Manis. Lagu-lagu yang diperdengarkan tak jauh dari Goyang Oplosan,
Kereta Malam, dan Kucing Garong, yang dianggap lebih bisa memancing joget bersama.
Bukan hal mudah bagi Astuti yang terbiasa menembang lengger lalu membawakan cengkok
dangdut dan campursari. Pada beberapa lagu, perempuan yang kini memiliki warung kecil di
rumahnya itu masih terkesan kental memainkan laras slendro.
Sementara bagi dalang Ki Wahid, lengger hanya dijadikan sebagai pelengkap dan pemanis
pertunjukan wayangnya. Seni rakyat ini cuma ditampilkan saat adegan wayang memasuki
limbukan dan gara-gara. Selain masuk dalam wayang, lengger juga jadi pemanis untuk seni
begalan dan ebeg (kuda kepang), kata Wahid.
Sebagai penanggap, Sahrudin mengatakan, para pengundang kini tidak terlalu berminat
menanggap lengger. Lengger cenderung membosankan, kata dia. Menurut dia, lengger
yang dioplos dengan musik dangdut, wayang, atau campursari lebih mampu menarik minat
penonton. Kalau cuma lengger, pas bintangnya istirahat, penonton bisa pulang, ujar
Sahrudin.
Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, menganggap seni lengger sekarang ini dalam posisi
bertahan. Dulu lengger menjadi perangkat kebudayaan di setiap desa di Banyumas. Sebuah
pedukuhan akan merasa lengkap kalau memiliki kelompok lengger, apalagi kelompok itu
kemudian terkenal. Kini lengger benar-benar harus bersaing dengan dunia showbiz dan juga
keamanan, kata penulis trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, yang berkisah tentang penari
ronggeng alias lengger itu.
Akan tetapi, kata Tohari, Saya kira memang harus ada pembaruan supaya lengger bisa
bertahan, kata dia. Lengger lahir di zaman agraris, tetapi kini di zaman industri banyak hal
di dalamnya yang harus disesuaikan. Sudah banyak anak muda yang tidak mengerti
ungkapan-ungkapan dalam tembang klasik lengger. Mengapa para pengrawit tidak
menciptakan tembang-tembang baru yang lebih sesuai dengan konteks zaman, ujar Tohari.
Di Banyumas kini terdapat berbagai pembaruan untuk lengger. Selain lengger dangdut,
lengger wayang, dan calengsai, ada pula lengger gambyong dan lengger gibyak. Lengger
gibyak ini disesuaikan dengan tempat pentasnya di pesantren, kata Tohari.
Bagi pegiat lengger seperti Yusmanto, berbagai perubahan yang menimpa seni lengger di
kawasan Banyumas justru menunjukkan kelenturan kebudayaan yang lahir dari para petani
itu. Ini menjadi penemuan makna terhadap akar budaya lengger banyumas, seperti gerakan
tariannya yang dinamis, lengger telah terbukti mampu beradaptasi dan bertransformasi, kata
dia.
Cara bertahan paling jitu dari gerusan arus zaman, menari mengikuti ke mana arus itu
bergerak. Lengger telah membuktikan dirinya sebagai artefak masa lalu yang lentur dan
terbuka terhadap berbagai perubahan. Ikut hanyut bersama dangdut bukan berarti
menghamba selera massa, melainkan bersiasat menemukan senyawa, yang akan melahirkan
zat baru bernama: lengdut, lengger dangdut. Dan, itu kini populer di kawasan Banyumas dan
sekitarnya.









Memahami Perang di New Orleans
Oleh: Wisnu Aji Dewabrata

New Orleans di Negara Bagian Louisiana, Amerika Serikat, tidak hanya memiliki musik jazz
dan karnaval Mardi Gras. Kota yang dibelah Sungai Mississippi itu juga menyimpan harta
karun lain: museum.
Museum yang paling terkenal adalah museum tentang Perang Dunia II, National World War
II Museum, yang lokasinya di 945 Magazine Street, tepat di jantung kota, tempat deretan
hotel berbintang.
National World War II Museum terdiri atas tiga gedung dan sedang dikembangkan menjadi
empat gedung. Dua gedung sebagai ruang pameran koleksi, satu gedung sebagai tempat
perbaikan koleksi, dan satu lagi berfungsi sebagai bioskop, restoran, dan toko suvenir.
Dari luar, kompleks gedung tersebut tidak seperti museum, tetapi malah seperti ruang mobil
karena bagian depannya adalah dinding kaca. Pejalan kaki bisa melihat sebagian koleksi
museum yang dipajang di balik kaca, seperti tank, pesawat, dan kapal.
Museum tersebut merupakan gagasan mantan Presiden AS Dwight D Eisenhower yang juga
panglima tertinggi sekutu di Eropa saat Perang Dunia II. Eisenhower memimpin invasi
sekutu ke Pantai Normandia, Perancis, 6 Juni 1944. Peristiwa bersejarah itu, disebut D-Day,
menjadi awal kekalahan Jerman.
Eisenhower yang ingin mengenang perjuangan bangsa AS di Perang Dunia II melontarkan
gagasan kepada sejarawan dan penulis buku Stephen Ambrose. Ia meminta museum itu
dibangun di New Orleans.
Mengapa? Karena New Orleans adalah tempat produksi ribuan kapal perang saat Perang
Dunia II. Kapal buatan New Orleans yang paling terkenal adalah kapal pendarat dengan pintu
di anjungan yang bisa dibuka. Menurut Eisenhower, kapal-kapal buatan New Orleans berjasa
besar memenangkan perang.
Stephen Ambrose, penulis sejumlah buku antara lain Citizen Soldiers, D-Day, dan Band of
Brothers (telah difilmkan sebagai miniseri HBO), menjadi direktur museum. Menurut
Stephen Ambrose, tujuan mendirikan museum adalah memberi pemahaman kepada generasi
muda mengapa terjadi Perang Dunia II, bagaimana memenangi perang, dan apa makna
kemenangan itu sekarang.
Ruang film dan simulasi
Keunggulan National World War II Museum di New Orleans adalah koleksi audiovisualnya.
Di setiap lantai museum yang terdiri atas tiga lantai terdapat beberapa bilik, seperti bioskop
mini yang bisa menampung 5-10 orang. Bilik ini memutar film dokumenter dan rekaman
suara para veteran Perang Dunia II. Di dalam bilik audiovisual, pengunjung mendapat lebih
banyak penjelasan mengenai Perang Dunia II.
Museum ini menyimpan ribuan koleksi yang ditata apik, seperti foto, poster, senjata,
seragam, dan berbagai macam benda peninggalan Perang Dunia II dari palagan Eropa hingga
palagan Pasifik.
Di gedung Boeing Pavillion tersimpan beragam jenis pesawat Perang Dunia II, antara lain P-
51 Mustang dan pengebom B-17 Flying Fortress. Pesawat-pesawat tersebut digantung dengan
kabel yang diikat di langit-langit museum. Di lantai dasar tersimpan tank, truk, jip, dan
meriam yang pernah digunakan tentara AS. Di Boeing Pavillion, pengunjung bisa mencoba
wahana kapal selam USS Tang. Wahana ini mengajak pengunjung melakukan simulasi
sebagai awak USS Tang.
Sementara di gedung bioskop yang disebut Solomon Theatre, pengunjung dapat menikmati
film 4D (empat dimensi) berjudul Beyond All Boundaries. Film berdurasi 45 menit itu
bertutur tentang Perang Dunia II. Aktor Tom Hanks menjadi narator dalam pengantar film
tersebut.
Satu jam tak cukup untuk menikmati seluruh koleksi museum. Yang pasti, siapa pun yang
mengunjungi National World War II Museum di New Orleans telah menapak tilas Perang
Dunia II.







Mengungkap Pencuri Lewat Jejak Sapi


Warga Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sejak Desember
tahun lalu dirundung resah. Pasalnya, sudah berkali-kali hewan ternak warga, terutama sapi,
hilang dicuri komplotan pencuri. Tidak tanggung-tanggung, sapi-sapi itu digiring para
pencuri di depan mata pemiliknya yang tidak mampu berbuat apa-apa.
Terakhir, Kamis (6/3), terjadi aksi serupa di rumah Amaq Kabul. Sekomplotan pencuri
mendatangi rumah Kabul di Dusun Hijrah, Desa Usar Mapin, saat waktu merangkak menuju
dini hari. Awalnya Kabul mendengar keributan terjadi di dalam kandang sapinya. Kabul dan
seorang tetangganya bermaksud keluar rumah. Namun, belum lagi sampai halaman, ia sudah
dihadang kawanan pencuri. Bahkan, salah seorang dari pencuri sempat meletuskan senjata
api.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan dirinya, Kabul dan tentangganya kembali masuk
ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Situasi itu dimanfaatkan para pencuri untuk
menggiring empat sapi di tengah malam buta tanpa perlawanan. Kabul menyaksikan sendiri
bagaimana sapi-sapinya digiring para pencuri dengan lenggang kangkung.
Suara letusan senapan itu rupanya menarik perhatian warga desa yang sedang menggelar
siskamling. Saya kebetulan standby. Kami langsung koordinasi dengan kapolsek serta
danramil, tutur Camat Alas Barat Iwan Sofyan, seperti dikutip LKBN Antara, Jumat (7/3).
Warga bersama aparat kemudian melacak asal muasal suara letusan. Tak beberapa lama
mereka sampai di rumah Amaq Kabul, yang kemudian mengaku diancam pencuri dan
kehilangan beberapa sapi.
Warga dan aparat setempat tak kehabisan akal. Mereka secara bersama-sama melacak jejak
tapak kaki sapi, yang kemudian melintasi sisi sungai kebun warga. Jejak kaki sapi itu
kemudian membawa mereka ke pesisir pantai. Tepatnya pantai itu bernama Gili Kalong. Di
pesisir pantai itu, di sebatang pohon kelapa, warga dan aparat menemukan dua sapi sedang
terikat. Tak jauh dari situ, warga juga menemukan sepasang sandal.
Adapun dua sapi lainnya sedang digiring dua orang yang diduga pencuri menuju sebuah
kapal yang sandar tak jauh dari bibir pantai. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan
aksinya, dua pencuri itu melepaskan dua sapi. Namun, ketika warga memburunya, dua
pencuri berhasil kabur dengan kapal menuju ke tengah laut. Ketika kami mengejar, pencuri
kabur, tutur Iwan.
Tak berapa lama kemudian warga menangkap S, seorang warga Dusun Hijrah Baru, Desa
Usar Mapin, yang dicurigai bekerja sama dengan komplotan pencuri yang berhasil kabur itu.
Polisi berharap dari S, jejak para pencuri sapi milik warga segera terungkap. Terhadap
kecurigaan keterlibatan orang dalam, kami sudah intensifkan penyelidikan, kata Kapolres
Sumbawa AKBP Karsiman. (CAN)















Suara Negatif Diri
Oleh: KRISTI POERWANDARI


Kasus tewasnya empat orang di Pekalongan dan Cirebon yang diduga kuat merupakan kasus
bunuh diri memunculkan tanda tanya besar: Mengapa? Mengapa sampai empat orang dalam
satu keluarga bunuh diri pada saat relatif bersamaan? Bagaimana mencegahnya?
Maris, Berman, dan Silverman menulis buku Comprehensive Textbook of Suicidology (2000)
yang menyadarkan saya betapa persoalan bunuh diri merupakan persoalan kompleks.
Mungkin ada persoalan biologis, sakit fisik, penyalahgunaan obat, kegagalan ekonomi, jender
dan seksualitas, masalah psikiatris dan psikologis, hingga ke relasi sosial.
Mereka mengulas bahwa karakteristik yang terbangun dalam keluarga dapat menguatkan
kecenderungan bunuh diri. Sastrawan Ernest Hemingway, yang bunuh diri, misalnya,
dikelilingi oleh anggota keluarga yang bunuh diri juga, meski waktunya tidak bersamaan.
Ernest Hemingway punya ayah yang bunuh diri, saudara kandung laki-laki dan saudara
kandung perempuan yang bunuh diri, dan cucu (Margaux Hemingway: aktris dan model)
yang juga bunuh diri.
Peristiwa hidup menekan
Dalam psikologi dan psikiatri dikenal negative life events atau stressful life events yang dapat
memunculkan perasaan tertekan yang sangat besar pada individu atau keluarga. Yang
harusnya menimbulkan kegembiraan pun dapat menjadi sumber stres, misalnya perkawinan
(bagaimana saya harus berhadapan dengan calon mertua? Bagaimana mencari uang untuk
pesta?), kehamilan (belum siap, tidak ada dukungan pasangan, memikirkan biaya
melahirkan), bahkan libur panjang (satu bulan libur harus melakukan apa? terbayang
kebosanan yang akan dirasakan).
Sulit dipercaya, tetapi nyata, kadang keberhasilan personal yang sangat luar biasa dapat
menjadi sumber stres yang besar pula. Entah mengapa, mungkin itu sangat mengagetkan bagi
si individu atau ia pada dasarnya orang yang memiliki gambaran diri sangat rendah sehingga
khawatir keberhasilannya akan menjadi sumber penolakan dari orang-orang lain yang iri?
Atau ia cemas yang dicapainya itu merupakan suatu penilaian yang keliru, yang malah pada
akhirnya akan mempermalukan dia? Penerima Hadiah Nobel Fisika, Percy Bridgeman,
menembak dirinya sendiri beberapa tahun setelah ia menerima penghargaan amat bergengsi
itu, mungkin terkait persoalan kerja berpadu dengan frustrasinya akibat penyakit.
Apabila dilihat dari peristiwa negatif, ada banyak yang dapat memunculkan tekanan, mulai
dari kematian pasangan, perceraian, persoalan dengan tetangga atau besan, hingga pindah ke
tempat tinggal baru. Persoalan terkait keuangan atau pekerjaan masuk di dalamnya, misalnya
dipecat, pensiun, penyesuaian bisnis, perubahan kondisi keuangan, pindah garis atau
tanggung jawab kerja, terlibat utang, hingga kesulitan dengan atasan atau majikan. Pada
kasus Pekalongan-Cirebon, terus-menerus disebut soal persoalan keuangan dalam bisnis
yang digeluti keluarga.
Bagaimanapun, kita akan bertanya lagi: bukankah banyak sekali orang yang harus
menghadapi peristiwa negatif dalam hidupnya, tetapi tidak mencoba bunuh diri?
Suara diri buruk
Dari sisi yang murni psikologi, mungkin kita dapat belajar dari Firestone, seorang psikolog
klinis, yang menulis buku Suicide and the Inner Voice (1997) berdasarkan praktik klinisnya
dengan kasus-kasus bunuh diri dan melukai diri serta klien-klien yang mencoba bunuh diri,
tetapi gagal.
Ia terenyak, karena banyak kliennya bercerita mengenai suara buruk dalam diri, yang
awalnya bicara mengenai diri yang jelek, bodoh, tidak berguna, hingga ke suara untuk
apa melanjutkan hidup? atau lebih baik mati saja, hingga ke suara-suara yang sangat
destruktif dalam diri yang menyuruh individu untuk mengakhiri hidup saja, lengkap dengan
cara-cara yang dapat diambil untuk mengakhiri hidup. Misalnya masalah akan selesai kalau
kamu mati. Gampang, kok, kamu minum obat saja, kan, tidak sakit.
Tentu kadang kita punya suara diri buruk, misalnya ketika gagal ujian lalu dengan kesal
memarahi diri sendiri dasar bodoh. Atau dalam situasi yang dirasa tanpa harapan, tidak
jarang kita berharap Ya, Tuhan, aku lelah. Seandainya saja aku boleh pulang sekarang.
Suara diri buruk dan keinginan untuk pulang itu berbeda dan tampaknya masih manusiawi.
Bukan suara diri buruk yang terus-menerus meneror diri, bukan pula suatu keinginan bunuh
diri, apalagi dengan perencanaan saksama.
Firestone terenyak, karena ia ingat di masa kecil ia pun pernah punya suara-suara diri buruk
itu dan dikenangnya, bahwa itu banyak berkembang akibat pola asuh dan pola relasi dalam
keluarga. Ia menemukan hal yang sama dari para pasiennya. Penilaian negatif, makian,
ketidakpercayaan, dan penghukuman dapat menjadi sajian sehari-hari dalam keluarga,
mungkin didengar anak dari perlakuan orangtuanya terhadap satu sama lain, atau didengar
anak mengenai dirinya sendiri.
Bayangkan apabila anak setiap hari mendengar makian bodoh, goblok, tidak berguna, tidak
bisa dipercaya, menyusahkan orangtua, tidak bisa jadi contoh untuk adik-adik, hanya
menghabiskan uang, lebih baik kamu tidak usah lahir saja, lebih baik kamu mati. Yang
masuk dalam memorinya ketika menghadapi persoalan adalah cara-cara penyelesaian
masalah secara negatif, yakni memaki dan menilai diri negatif karena ia tidak mengenal
contoh yang positif.
Bunuh diri merupakan persoalan sangat kompleks. Bagaimanapun, pada akhirnya, meski
mungkin ada banyak faktor lain, suasana emosi dalam keluarga akan sangat menentukan
bagaimana individu dan anak akan berkembang, memahami persoalan, dan menangani
masalahnya. Karena itu, penting untuk memilih pasangan hidup dan menjadi orangtua yang
dapat memberikan kenyamanan dan dukungan terhadap berkembangnya suara yang positif
pada diri, anak, dan seluruh keluarga.






















Peraturan FIFA
Menghapus Pesan Terselubung Pemain di
Balik Kaus Tim

Pemain sepak bola kini tidak bisa lagi sembarangan dalam merayakan keberhasilannya
mencetak gol. FIFA mengeluarkan peraturan baru berupa hukuman larangan bermain bagi
pemain yang menunjukkan slogan di balik kaus timnya.
Peraturan ini berlaku mulai 1 Juni mendatang. Jadi, bisa dipastikan pada Piala Dunia Brasil
2014, tidak akan ada lagi pemain yang berselebrasi dengan menyampaikan pesan terselubung
di balik kaus timnya.
Selama ini, FIFA sudah punya rambu-rambu soal slogan yang ditunjukkan pemain, terutama
yang terkait isu politik dan agama. Akan tetapi, rambu-rambu tersebut tidak secara konsisten
dijalankan, bergantung pada kebijakan setiap federasi.
Di Turki, rambu-rambu ini dijalankan dengan baik oleh federasinya. Contoh kasus, selebrasi
yang dilakukan Didier Drogba dan Emmanuel Eboue. Kedua pemain ini menunjukkan pesan
simpati atas meninggalnya Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela setelah Galatasaray
memenangi pertandingan melawan SB Elazigspor, awal Desember tahun lalu.
Drogba melepas kaus timnya dan terlihat tulisan di kaus dalamnya Thank You Madiba.
Aksi Drogba ditiru Eboue, dengan kaus yang bertuliskan Rest in Peace Nelson Mandela.
Setelah kejadian tersebut, kedua pemain asal Pantai Gading ini langsung dipanggil komisi
disiplin sepak bola Turki (PFDK) karena dinyatakan melanggar aturan.
Di Inggris, selebrasi pemain dengan memperlihatkan slogan di balik kaus tim masih
ditoleransi. Gaya selebrasi Mario Balotelli saat masih memperkuat klub Manchester City
bahkan menjadi hiburan unik. Tulisan Why always me? bahkan melekat sebagai ikon
sosok Balotelli.
Banyak alasan
Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Balotelli menyebut, banyak alasan, mengapa dia
membuat slogan itu. Salah satu di antaranya adalah curahan hatinya karena dia merasa
tertekan oleh sang pelatih Roberto Mancini yang dinilai terlalu mendikte dan mencampuri
kehidupan pribadinya.
Selain itu, Mario juga mengaku sudah gerah pada sorotan media. Ia mencontohkan tentang
susahnya ia keluar rumah. Setiap kali keluar rumah dan ada orang yang melihatnya, selalu
saja orang yang melapor ke media.
Jadi ini juga untuk semua orang yang selalu berbicara buruk tentang saya. Mereka tidak tahu
saya. Saya hanya bertanya, Mengapa selalu saya?,
Aksi selebrasi menunjukkan slogan di Liga Inggris sudah lama berlangsung. Aksi ini cara
yang efektif untuk menyampaikan pesan karena pemain yang mencetak gol akan disorot
kamera.
Mantan pemain Liverpool, Robbie Fowler, termasuk salah satu pelopor. Dia bahkan
menyampaikan pesan politik yang mendukung aksi pemogokan buruh pelabuhan di
Liverpool.
Di Spanyol, pemain yang berselebrasi dengan menunjukkan slogan di balik kaus tim diganjar
kartu kuning dan denda 3.000 euro atau sekitar Rp 35 juta. David Villa adalah contoh pemain
yang pernah menerima hukuman itu. Saat itu Villa mencetak gol di laga terakhirnya bersama
Barcelona. Pemain yang hijrah ke klub Atletico Madrid itu memperlihatkan pesan Imposible
sin Vosotras (tak mungkin tanpa kalian) dengan hiasan wajah istri dan kedua anak perempuan
mereka.
Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke mengatakan, selama ini rambu-rambunya sudah ada,
tetapi pemain masih berani melakukannya.
Mulai sekarang tidak boleh ada slogan atau gambar apa pun di baju dalam, termasuk yang
punya maksud baik. Ini akan berlaku mulai 1 Juni dan diberlakukan pada Piala Dunia, kata
Valcke.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sepak bola Inggris Alex Horne mendukung keputusan FIFA.
Idenya adalah untuk memastikan konsistensi. Aturan paling simpel dari pertandingan ini
adalah memulai dari dasar bahwa slogan-slogan dilarang, kata Alex Horne.
(BBC/GUARDIAN/OTW)




Mimpi Afrika Masih Jauh


JOHANNESBURG, KAMIS Di atas kertas, gelar juara masih menjadi mimpi bagi
lima wakil benua Afrika di Piala Dunia 2014. Pelatih tim nasional Brasil Luiz Felipe
Scolari menilai, tim dari Afrika bisa membuat kejutan, tetapi bukan untuk juara. Ini
diperkuat oleh hasil laga uji coba pekan lalu yang tidak meyakinkan.
Scolari, yang pernah melatih sejumlah klub di Arab, mengenal gaya dan level permainan tim-
tim Asia. Ia juga mengikuti perkembangan tim-tim Afrika yang banyak diperkuat oleh para
pemain yang membela klub-klub di Eropa. Tim dari Asia dan Afrika semakin kuat, tetapi
belum cukup untuk menjadikan mereka juara dunia.
Kejutan yang menggemparkan, ya, tetapi akan sangat sulit bagi mereka untuk juara karena
kekuatan tradisional sepak bola selalu memiliki lebih banyak pilihan, ujar Scolari dalam
FIFA Weekly edisi Februari 2014.
Mereka bisa menengok ke sejarah panjang tradisi dan bermain lebih ketat lagi. Ada
beberapa tim dengan pengalaman yang lebih baik dan para pemain yang lebih kuat, itu akan
meningkatkan peluang sukses, lanjut pelatih yang membawa Brasil menjuarai Piala Dunia
2002.
Ada satu atau dua tim yang tidak diunggulkan dari Eropa atau Amerika Selatan yang
memiliki peluang, tetapi saya pikir tidak ada tim dari Afrika atau Asia yang mampu
menjuarai Piala Dunia kali ini, kata Scolari.
Lima wakil dari Afrika yang akan ke Brasil adalah Aljazair, Ghana, Pantai Gading, Kamerun,
dan Nigeria. Dari laga uji coba, pekan lalu, hanya Aljazair yang menang 2-0 atas Slowakia.
Pantai Gading menunjukkan diri sebagai tim tangguh dengan menyamakan kedudukan
setelah tertinggal 0-2 dari Belgia yang menjadi kekuatan baru di Eropa.
Pantai Gading diselamatkan oleh gol Didier Drogba dan Max Gradel. Hasil imbang di
Brussels ini menyuntikkan motivasi bagi anak-anak asuh pelatih Sabri Lamouchi ini. Drogba
dan kawan-kawan sempat disebut tim tua dan lambat oleh mantan pelatih Pantai Gading
Philippe Troussier.
Nigeria imbang 0-0 dengan Meksiko. Sementara Ghana yang mencapai babak perempat final
di Piala Dunia 2010, kalah 0-1 dari Montenegro. Ghana menguasai pertandingan, tetapi
lengah di awal laga dan diganjar hukuman penalti. Ghana akan bertemu dengan Portugal,
Jerman, dan Amerika Serikat di Grup G Piala Dunia 2014.
Ketika saya melihat grup, saya menyadari ini akan sangat berat, tetapi saya berkata kepada
diri saya, Ini akan membuat kami bekerja lebih keras, ujar sayap serang Ghana, Christian
Atsu, kepada FIFA.com.
Penampilan terburuk wakil Afrika dalam uji coba pekan lalu diraih Kamerun. Anak-anak
asuh pelatih Volker Finke ini dihajar oleh Portugal 5-1 di Leiria. Kamerun, yang masih
mengandalkan Samuel Etoo, tidak berkutik melawan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan.
Mereka akan menghadapi Brasil, Meksiko, dan Kroasia di Grup A.
Kamerun tim Afrika yang sangat teknis. Kami sering mengharapkan sesuatu dari mereka,
tetapi ternyata berbeda sama sekali atau tidak berharap sama sekali, tetapi mereka
mengejutkan kami, ujar Scolari.
Kamerun akan menjalani uji coba terakhir melawan Jerman pada 1 Juni di
Moenchengladbach. Sebelum melawan Jerman, skuad Kamerun akan menjalani pemusatan
latihan terakhir di Austria, 20- 31 Mei. Selama pemusatan latihan 11 hari itu, mereka
dijadwalkan menjalani uji coba melawan Macedonia pada 26 Mei dan Paraguay tiga hari
kemudian.
Finke, yang melatih klub Freiburg, tidak memiliki gelandang kreatif. Namun, ia memiliki
petarung, seperti Alex Song, Jean II Makoun, dan Allan Nyom, yang akan mengawal lini
tengah Kamerun. (Reuters/AFP/AP/ The Telegraph/ANG)












Apresiasi
ApresiasiTeladan Kepemimpinan Ratu
Shima
Teladan Kepemimpinan Ratu Shima
Oleh: Indira Permanasari & Lusiana Indriasari

Pencarian sosok pemimpin ideal berlayar sampai ke Kerajaan Kalingga pada abad ketujuh.
Di atas panggung Gedung Kesenian Jakarta, Ratu Shima, penguasa Kalingga itu, melintas
zaman berbicara tentang kepemimpinan.
Lewat produksi Shima: Kembalinya Sang Legenda pada 1-2 Maret 2014, sutradara Putut
Budi Sentosa yang berlatar belakang penari memilih bentuk drama tari sebagai media
berkirim pesan tentang harapan sosok pemimpin ideal. Waktunya memang tepat, menjelang
pemilihan umum.
Khotbah menguasai panggung sejak pancaran lampu panggung menyiram Debra Yatim dan
Arie Bekti, pemeran guru (narator) yang dikelilingi belasan murid kecilnya. Serupa guru,
Debra mengkhotbahi muridnya tentang kebinekaan dan wujud pemimpin idaman. Kedua
guru itu lalu mengisahkan Ratu Shima (Amaranila Lalita Drijono) yang tegas, adil, dan
bijaksana.
Adalah Shima dari Kalingga, putri seorang maharsi. Shima dipinang Putra Mahkota Kerajaan
Kalingga. Bermula menjadi selir, dia lalu menjadi permaisuri. Setelah raja mangkat, Shima
dinobatkan menjadi ratu.
Di bawah kepemimpinan Shima, Kalingga mengalami masa keemasan. Suatu ketika,
ketegasan dan keadilan Shima mendapat ujian. Saat pernikahan putrinya dengan Putra
Mahkota dari Kerajaan Sunda Galuh, Shima menerima laporan bahwa Putra Mahkota
menyingkirkan barang milik warga di pinggir jalan.
Tak pandang bulu, Putra Mahkota dihukum dengan dipotong jari kakinya. Pelanggaran itu
membayangi Putra Mahkota hingga ujung cerita. Ketika Shima turun kuasa, Putra Mahkota
batal mewarisi seluruh kerajaan dan terpaksa berbagi wilayah Kalingga.
Adegan demi adegan drama itu mengalir, berselingan dengan ragam tarian yang dominan
berlanggam Jawa.
Harapan pada tahun politik
Kami ingin menyampaikan suara melalui karya agar kita mencari pemimpin yang baik.
Ternyata ada suri teladan dari masa lalu, ujar Putut. Shima dan Kalingga seakan lawan dari
Indonesia yang sulit menerima pemimpin perempuan, lemah penegakan hukum, dan marak
politikus yang berkoalisi demi kekuasaan (dikontraskan dengan adegan penolakan Shima
terhadap lamaran Raja Sriwijaya yang ingin menikah untuk memperluas kerajaannya).
Demi menghadirkan Shima, Putut dibantu arkeolog Edy Sedyawati dan Inda C Noerhadi.
Kami kaji berbagai sumber, seperti literatur dan candi-candi di Jawa Tengah untuk
diaplikasikan ke dalam drama, tata busana, perhiasan, musik, dan koreografi, tapi tetap
menampilkan kekinian, kata Putut.
Arkeolog Edi Sedyawati (yang juga tampil sebagai penari Langen Beksan) mengatakan,
sosok Shima aslinya bersumber dari berita China yang menyebutkan adanya Ratu Hsi-Mo
yang memerintah kerajaan Ho-Ling. Berita China menyebutkan, Ratu Hsi-Mo yang
dinobatkan tahun 674 M itu pemerintahannya amat baik, keras, dan adil. Barang-barang yang
terjatuh di jalan pun tidak ada yang berani menyentuhnya. Kaki putranya sendiri dipotong
karena tidak sengaja menyentuh harta orang yang terjatuh di jalan.
Hanya saja, tidak ada tinggalan fisik sisa masa Shima. Datanya pun terbatas. Sulit menggali
tentang Shima dari Kalingga. Sumber sejarah yang tidak terlalu banyak itulah yang lalu
dikembangkan, kata Putut. Perluasan cerita antara lain pada adegan Shima menolak dilamar
Raja Sriwijaya. Tidak ada kisah lamaran itu dalam berita China. Hanya saja, masa Kerajaan
Sriwijaya berdekatan dengan Kalingga.
Boleh jadi, keterbatasan data membuat kisah seakan meloncat-loncat seperti mosaik datar
yang kehilangan potongan-potongannya. Bangunan drama pun runtuh.
Terkadang muncul pula rasa ganjil dalam mengemas dan mengontekskan pesan. Ketika
Shima hendak dinobatkan, misalnya, Shima meminta rakyat dikumpulkan. Di depan rakyat,
dia berkata Layakkah aku menjadi ratu bagi kalian? Apakah rakyatku siap mendukungku
menjalankan pemerintahan di Kalingga? Apakah rakyatku semua siap menjunjung hukum?
pertanyaan itu terasa asing dalam latar kerajaan yang kekuasaannya bersifat absolut
cenderung tanpa dialog, bukan demokratis.
Kesalahan ucap dialog di sana-sini serupa kerikil menggigiti telapak kaki. Ada pula celaka
yang berbalik menghibur seperti tragedi lepasnya konde cepol Raja Sriwijaya (Ithuk).
Pemain Raja Sriwijaya itu membalik kecelakaan menjadi gelitik.
Keluwesan dan keindahan sublimnya sejarah ke unsur panggung justru tampil dalam kostum
kain batik garapan Lucky Wijayanti, produk perhiasan Manjusha, dan musik olahan Joko
Porong dengan tingkahan suara bening sinden Sruti. Lucky mengambil tekstur batuan dan
motif hias candi, lalu mengaduknya ke dalam lembaran kain. Hasilnya, batik seri Kalingga
yang unik. Begitu juga Manjusha yang khusus mengeluarkan rangkaian perhiasan bersepuh
emas yang terinspirasi masa klasik Jawa.
Bagi Joko Winarko atau akrab disapa Joko Porong, sumber sejarah yang sedikit justru
membuka luas interpretasi seniman. Sepinya bunyi-bunyian pada zaman kuno menjadi salah
satu nuansa garapan Joko Porong dalam pentas Shima. Dalam beberapa adegan, ia hanya
memainkan sitar (semacam kecapi) dengan suara perkusi dan penembang.
Di pengujung drama tari itu, Shima masa silam berhubungan dengan kekinian lewat
sebentang layar tipis dengan kelebatan potongan gambar bergerak iruk-pikuk kota. Di balik
terawang layar, Shima berkata: Pesanku kepada bangsa ini, siapa pun anak cucuku yang jadi
pemimpin di negeri ini, jangan lupa kepada Sang Pencipta. Jangan pernah lupa kepada
janjimu saat dinobatkan jadi pemimpin, bahwa rakyatmu adalah rajamu. Lengkap sudah
Shima berkhotbah.












Arsip Aku di Kedalaman Krisis
Oleh: Afrizal Malna

Kalimat ini letaknya agak ke kiri, di antara lipatan udara bergaram, botol kecap, dan daftar
menu dengan serakan pasir laut tertempel pada cover-nya. Lalat memenuhi meja makan,
seperti titik-titik hitam bersayap.
Beberapa kalimat agak berantakan, ketika aku mencoba menatap Ni Komang Ayu. Hewan
kecil itu kadang bermain di antara rambut Ni Komang yang terurai panjang, seperti mengukur
jarak antara kesunyian dan pikiran-pikirannya.
Tiga orang dari kota yang berlibur di pulau ini, Nusa Penida (namanya sering disebut
sunfish), tampak seperti makhluk bodoh. Mereka sibuk dengan mobilephone masing-masing.
Ni Komang akan menemani mereka menyelam di beberapa titik di pulau ini, di Circle Bay,
Mangrove. Ia tampak gelisah, seperti menemani gumpalan daging yang masing-masing sibuk
memainkan tombol-tombol cahaya itu.
Aku melompat dari kalimat seperti di atas. Hampir menjatuhkan botol saus di atas meja
makan. Tiba-tiba angin dari laut bertiup kencang, menerbangkan cerpen ini. Aku
mengejarnya. Angin berbalik ke arah pantai. Telapak kakiku tertusuk-tusuk bangkai karang
laut, terhampar putih sepanjang Pantai Ped. Aku berhasil menangkap cerpen itu, agak ke kiri,
antara seekor anjing putih yang sedang bermain dengan ombak, dan bentangan rumput laut
yang ditanam penduduk di sepanjang pantai.
Aku kembali ke meja makan yang penuh lalat itu. Aku duduk agak ke kiri antara banana
juice dan pertanyaan: siapa yang telah menuliskan pikiran Ni Komang tadi dalam cerpen ini?
Aku merasa tidak pernah menuliskannya. Bahkan Ni Komang tidak mengenalku. Tetapi siapa
aku? Aku tidak ingin hadir sebagai misteri dalam cerpen ini. Tokoh-tokoh yang kutulis dalam
cerpen ini tidak tahu kehadiranku. Bagaimana caranya mengenalkan diriku kepadanya,
karena aku dan Ni Komang sama-sama tidak nyata. Kami berdua sama-sama seorang fiksi.
Kaki Ni Komang mulai bergoyang-goyang, seperti bisa merasakan mengalirnya kalimat di
atas ke dalam sel-sel darahnya. Kalimat yang seakan bisa merenovasi sel-sel darahnya. Ia
seperti menatapku, tatapan dari seorang laut yang ombaknya tidak pernah terlihat.
Cuaca begitu cerah setelah hujan semalaman. Ni Komang masih harus menjemput seorang
tamu lagi dari Sanur yang ketinggalan speedboat ke pulau ini. Di Toyapakeh, salah satu
dermaga untuk speedboat, ia berdiri memandangi hamparan laut. Horison yang dibatasi
sebuah pulau kecil, Ceningan, di depannya. Membentang seperti garis berkontur dengan
bayangan Gunung Agung di belakangnya. Gelombang kabut selalu memperbarui kehadiran
gunung itu. Kabut dan laut adalah cermin bergelombang yang memantulkan ilusi tentang
cahaya. Itu yang sering dipikirkannya setiap memandangi gradasi dari laut maupun kabut.
Speedboat melaju seperti sebuah titik sedang membelah cermin yang tidak pernah
memantulkan kedalamannya sendiri. Perahu bermesin itu terus menyayat buncah-buncah air
laut yang berhamburan pada dinding-dindingnya. Teknologi yang rapuh itu sedang meluncur
di permukaan laut, membuat titik hitam itu tampak seperti sebuah kesombongan yang rapuh.
Selamat datang di Nusa, katanya kepada tamu yang dijemputnya.
Maaf, saya terlambat, kata tamu itu. Seorang lelaki berusia sekitar 38 tahun. Cisco, tamu
itu memperkenalkan namanya. Aku menduga nama lengkapnya Franscisco, dari Perancis.
Ia terkesan cukup tahu bagaimana berhadapan dengan orang Indonesia yang latarnya
berbeda-beda.
Kita masih punya waktu untuk minum. Speedboat untuk menyelam baru datang jam 12
siang ini, ujar Ni Komang. Tamu itu menganggukkan kepala. Membawa tasnya menuju
kendaraan yang akan mengantar mereka ke kafe, di pinggir Pantai Ped. Speedboat akan
menjemput mereka di pinggir pantai itu menuju ke titik penyelaman yang akan mereka tuju.
Biasanya para penyelam menuju ke titik-titik di mana ikan seperti pari manta yang bentuknya
mirip pesawat UFO, atau ikan mola-mola sering ditemukan.
Nita, instruktur untuk menyelam, sudah menunggu di kafe. Ni Komang bekerja sebagai
asistennya, mengurus hal-hal yang lebih teknis. Tubuh Nita khas seorang penyelam.
Tatapannya hampir selalu mengirim pesan bahwa ia selalu siap memberi perhatian. Tetapi
aku merasa tatapan itu kadang mirip kandang macan. Dari kandang itu seekor macan tiba-tiba
bisa melompat dan menerkammu. Aku duduk agak ke kiri antara fins (sepatu bersirip untuk
nyelam), dan snorkel untuk bernapas saat menyelam yang dibawa Nita.
Kenapa kita harus menyelam? Nita mulai menyampaikan beberapa syarat penyelaman yang
harus disepakati bersama empat penyelam dari kota yang harus mereka temani.
Speedboat mulai melaju dalam ayunan gelombang laut. Belahan-belahan warna biru kelam,
biru kehijauan, putih dari pantulan cahaya menciptakan tema-tema yang selalu bergantian
pada belahan-belahan gelombangnya. Dinding-dinding batu yang bercelah, putih oleh buih
ombak yang menghantam dinding pulau. Seluruh penyelam sudah mengenakan wet suit,
pakaian selam untuk menjaga suhu tubuh dari dinginnya kedalaman laut.
Dinding-dinding kesunyian mulai melayang bersama arus lembut di bawah permukaan laut.
Jam untuk menyelam yang melingkar di tangan Ni Komang menunjukkan kedalaman 5
meter, terus turun hingga 8 meter. Jari-jari tangan dari 6 penyelam tampak menari-menari,
menyampaikan bahasa isyarat dalam penyelaman. Nyawa mereka mulai bergantung pada
snorkel, yang menghubungkan antara napas mereka dan tabung scuba yang menyimpan
persediaan oksigen. Tubuh-tubuh yang telah bertambah dengan mesin.
Aktivitas gas dalam tubuh mulai berubah antara tekanan, volume, dan suhu laut. Oksigen,
karbon dioksida, dan gas-gas lainnya mulai diserap lebih banyak oleh para penyelam untuk
bernapas. Lalu lintas gas yang akan mengubah kesadaran mereka ke batas yang lain: antara
keindahan, kelimbungan, dan manipulasi cahaya dalam laut. Ni Komang mendengar suara
detak jantungnya sendiri, merayap, seperti gema yang memanjati dinding-dinding air.
Apakah volume itu, apakah ukuran itu, apakah daya berat itu? Pikirannya sering bergerak
di sekitar pertanyaan ini setiap menyelam.
Mereka terus menyelam melampaui waktu 20 menit lebih. Tiba-tiba salah seorang penyelam,
yang sering memisahkan diri dari penyelam lainnya, menendang tanaman karang di dasar laut
dengan kakinya. Beberapa tanaman patah dan hancur. Penyelam itu kesal karena sudah 20
menit menyelam, belum juga menemukan ikan pari manta atau mola-mola. Semua penyelam
terkejut dengan tindakannya.
Nita mengejar penyelam itu, menyeretnya naik ke permukaan. Di permukaan laut, macan dari
kandang tatapan mata Nita melompat dan menerkam penyelam itu.
Hei orang kota! bentaknya. Elu pikir elu emang siapa?! Karena kesal, Nita menggunakan
gaya bahasa Jakarta ke penyelam itu. Apa elu bisa nyiptain tanaman karang laut! Elu tau
enggak, buat tumbuh 7 cm saja, tiap tanaman karang laut perlu waktu 1 taon. Kadang enggak
cukup. Yang elu lakuin tadi, itu telah ngancurin waktu berpuluh-puluh taon hanya dalam
beberapa detik kehidupan di dasar laut.
Nita menyuruh penyelam itu naik ke speedboat. Bangsat!
Malam hari, para penyelam menginap di hotel mirip asrama calon pastor, di Toyapakeh.
Cisco menginap di rumah penduduk. Milik pamannya Ni Komang, I Gede Wicaksana.
Pamannya banyak bercerita tentang masa kanaknya. Tentang ibunya yang bekerja
membesarkan keluarga sebagai petani rumput laut. Merantau dari Klumpung, desa
kelahirannya, ke Ped. Setiap malam, saat air laut surut, ia turun ke pantai memanen rumput
laut. Menggigil dari dingin laut yang bersarang dalam tubuhnya.
Hari makin malam. Aku menyelusup masuk ke kamar suci di bale dangin. Sebelah kiri
antara pura keluarga dengan kebun kelapa dan kandang babi. Kamar suci, dalam tradisi
Hindu-Bali, biasanya disediakan untuk orang tua menjelang kematian membawanya ke alam
Mahabutha, alam yang non-material lagi sifatnya. Cerpen yang kutulis ini, seperti
mendapatkan ruang kegelapannya dalam kamar kematian di bale dangin ini. Kegelapan untuk
merenovasi cahaya.
Jam 8 pagi Gunung Agung berdiri sangat biru. Kami kembali menyelam, kali ini di titik yang
lebih mendebarkan: Ceningan Wall, para penyelam menyebutnya. Pulau Ceningan hanya
beberapa ratus meter di depan Nusa Penida, berdiri seperti taring batu yang menjulang dari
dasar laut.
Kami menyelam sudah lebih 20 meter. Cahaya matahari merayap kian tipis. Kami mulai
menggunakan senter, sementara dasar laut masih belum tampak. Ada seorang yang
menyelam sampai 60 meter, dan dasarnya tetap masih belum terlihat. Maha kegelapan
terbentang di bawah sana. Adakah proses pembentukan mikro biologi lain di bawah sana?
Adakah semesta lain di dasar kegelapan laut?
Dunia visual dalam laut menghasilkan efek suara, seperti datang dari tulang belakang
kepalaku. Suara itu menggali timbunan memoriku. Pantulan cahaya di antara lendir-lendir
yang melapisi tubuh berbagai jenis ikan, berbagai warna yang menghiasi Ceningan Wall,
seperti saling merajut dan melebarkan kembali vibrasi suara-suara itu.
Pada momen ini, aku seperti mendengar lagi tembang doa-doa Hindu-Bali. Mengolah gas-gas
non-material dalam jiwaku. Aku ingin menyebutnya sebagai gas-gas spiritual dan estetik.
Nyanyian itu membuat lingkaran gema yang menutup batas akhir dari kemampuanku
menjangkau sesuatu. Lalu sesajen-sesajen dipersembahkan, seperti sebuah konservasi
teologis untuk keliaran manusia dalam menembus hal-hal yang tidak bisa dijangkaunya.
Ada jarak sangat tipis, sekitar 2 meter, antara mataku dan laut. Jarak itu dipisahkan kaca
google untuk melindungi mataku dari iritasi air laut. Jarak itulah yang membuat kehidupan di
dalam laut menjadi fiksi baru tentang ukuran dan cahaya. Semua yang kulihat dari balik kaca
google itu membesar dua kali lipat dan lebih dekat setengah kali lipat.
Perubahan gelembung gas dalam paru-paru dan otakku semakin membesar. Aku merasa kian
melayang, mabuk. Ceningan Wall tiba-tiba berubah seperti monitor raksasa, menayangkan
kehidupan kota. Tembang-tembang Hindu-Bali juga berubah kian riuh, bercampur berbagai
bahasa asing dan mata uang asing. Monitor raksasa itu tiba-tiba runtuh ke dasar kegelapan
mahabutha.
Lalu semuanya kembali hening. Keheningan yang seakan bisa kugenggam. Aku mulai
melepas regulator dan selang snorkelku untuk bernapas, melepas tabung scuba dari
punggungku. Kulihat tabung itu melayang, melepaskan gelembung-gelembung udara, terus
turun ke dalam kegelapan mahabutha. Dan aku?
Aku sudah bukan aku lagi tanpa mesin bernapas itu.
Esok pagi, Ni Komang masuk ke kamar suci di bale dangin. Membersihkannya. Ia
menemukan buku kumpulan cerpen August Strindberg dalam kamar itu, Cerita dari
Stockholm, terjemahan Stefan Danerek. Ia heran, siapa yang telah meninggalkan buku ini di
kamar suci? Nusa Penida tidak memiliki toko buku untuk mendapatkan Strindberg. Ia
mencoba membaca bagian awal buku ini: Cerpen tentang seseorang yang tidak memiliki aku.
Karena, sejak kecil ia dibesarkan ibunya untuk tidak memiliki keinginan. Cerita yang ditulis
Strindberg hampir 200 tahun yang lalu.
Ni Komang kemudian menutup buku itu. Ia seperti merasakan ada napas dan bau seseorang
yang membaca dalam kamar suci itu.
Cerita Cinta Natassa
Oleh: Indira Permanasari


Kisah, mempertemukan manusia dari lorong waktu yang berbeda. Lewat cerita, Andi Natassa
(21) bertemu Ken Dedes, perempuan pujaan dalam kitab Pararaton. Ia juga bertemu
veteran yang memerdekakan negeri.
Sosok muda Andi Natassa langsung tertangkap mata begitu langkah memasuki Kafe Sinou
yang dibangun dari bekas gudang dengan percikan nuansa antik di sana-sini. Natassa hadir
berbalut busana hijau menyala, kontras dengan kulitnya yang putih dan segala yang ada di
ruangan itu.
Wajah eloknya yang berbingkai rambut panjang bergelombang masih berhadapan dengan
sepiring pasta yang baru setengah habis dilahap. Tak sulit membayangkan Andi Natassa
mewujud Ken Dedes, perempuan yang jadi rebutan dalam kisah Ken Arok. Awal Januari lalu,
Natassa sungguh-sungguh menghadirkan perempuan cantik dalam kitab Pararaton itu
bersama Teater Sendiri lewat lakon Ken Dedes garapan A Nawir Hamzah di Taman Ismail
Marzuki.
Kata sutradara, saya yang harus bisa merasakan dan mengimajinasikan karakter Ken Dedes
itu, ujar Natassa berkilas balik soal pengalamannya berteater setelah pasta di piringnya
ludes.
Dalam imaji Natassa, Ken Dedes yang bersinar menggoda itu perempuan istimewa, seperti
bunga desa pujaan banyak orang. Bahkan, Ken Dedes menjadi pilihan dewa-dewa untuk
melahirkan raja-raja. Sebetulnya, karakter Ken Dedes berbeda dengan pribadiku. Ken Dedes
begitu anggun, tertata, dan kemayu. Sementara aku orangnya ceplas-ceplos, ujar Natassa
yang mantan anggota klub rugbi itu.
Namun, Natassa menikmati proses belajar mengenali Ken Dedes. Bahkan, dia merasa sempat
kebablasan terbawa karakter Ken Dedes sehingga teman-teman dekatnya merasa diri Natassa
berubah, mendadak kalem. Kata Mama, sewaktu aku main teater, aku bau melati. Hii...
serem banget he-he-he, ujar Natassa yang cinta teater dan ingin lagi bermain teater dengan
cerita berlatar tradisi Indonesia.
Kenalkan budaya
Tak perlu Tunggul Ametung dan Ken Arok bertarung demi membuktikan kecantikan dan
keistimewaannya. Natassa membuktikannya di ajang pemilihan Puteri Indonesia tahun 2011
dengan pulang membawa tiga gelar sekaligus, yakni sebagai runner-up dua Puteri Indonesia
(Puteri Indonesia Pariwisata), Puteri Berbakat, dan Puteri Favorit.
Lewat ajang pemilihan putri itu, Natassa mengenalkan secuil budaya dari Sulawesi. Pada saat
unjuk bakat, Natassa membawakan tarian Toraja Magellu dan memboyong gelar Puteri
Berbakat. Aku suka banget tarian tradisional. Di kampus aku juga mengajar tarian Betawi,
jaipong, dan ngaronjeng. Senang rasanya berbagi ilmu.
Ketika dikirim mengikuti Miss Asia Pacific World 2012, Natassa dengan semangat bercerita
tentang Indonesia. Kebaya payet karya Intan Avantie yang dikenakannya menjadi pembuka
percakapan. Peserta lain rupanya penasaran dengan kebaya cantik itu.
Setelah itu, aku buka Google di laptop dan mulai tunjukan peta dan foto-foto Yogya, Danau
Toba, city light di Jakarta, dan tujuan wisata di Sulawesi Selatan. Mereka terkagum-kagum
dan komentar, wow keren banget negaramu! Aku dalam hati berkata, Yes, I got you, he-he-
he, ujar Natassa yang mendapat julukan Minji alias perempuan ceria, energik, dan manis
selama di Korea. Alhasil, Miss India yang akan menikah baru-baru ini mengontak Natassa
untuk rekomendasi tempat bulan madu.
Nasionalisme
Hati Natassa miris ketika menonton sebuah acara di televisi pada suatu pagi. Di layar,
pembawa acara mengadakan kuis kecil dengan peserta anak-anak SD kelas akhir. Kata
Natassa, ketika pembawa acara bertanya tentang sebuah kelompok artis, semua anak
mengacung dan menjawab benar.
Namun, saat pembaca acara bertanya siapa wakil presiden pertama di Indonesia. Tak ada
yang tahu. Mereka tidak tahu pendiri bangsanya sendiri. Aku pernah baca ungkapan kalau
mau bikin bangsa hancur, buat mereka lupa sama sejarahnya sendiri, ujar Natassa yang
tertarik dengan sosok Bung Hatta.
Natassa pun resah dengan nasib veteran-veteran yang memperjuangkan kemerdekaan lalu
terabaikan. Apalagi, ketika mendengar veteran dan keluarganya hidup atau jual medali demi
makanan.
Natassa bercita-cita membuat malam amal bagi para veteran dan hasilnya digunakan untuk
aktivitas dan usaha kecil para veteran. Mereka sudah lansia, kalau tidak punya kegiatan
bakal sakit-sakitan, ujarnya.
Rupanya Natassa kerap mendengar kisah-kisah perjuangan dari kedua kakeknya yang
veteran. Kakek selalu cerita, dulu orang-orang ditembaki di depan mata. Kakekku sampai
pernah bersembunyi di atas pohon, sementara di bawahnya tentara Belanda mondar-mandir.
Dia terpaksa menahan gigitan perih semut supaya tidak tertangkap Belanda. Kakek juga
cerita, badannya sering diolesi oli supaya mudah lepas kalau tertangkap, ujar Natassa penuh
semangat.
Itu cerita cinta tanah air Natassa.













Kampung Halaman
Kangen Ayam Tolak Pinggang


Sebagai gadis Makassar yang merantau di Jakarta, kapan terakhir Natassa menengok
kampung halaman? Baru saja sampai tadi malam di Jakarta dari Makassar, he-he-he,
ujarnya. Setidaknya, tiga kali setahun Natassa mudik.
Natassa lahir di Makassar dan tinggal di kota itu sampai kelas 3 SD. Kemudian dia hijrah ke
Jakarta. Namun, sebagian besar keluarganya berada di timur Indonesia itu.
Banyak hal membuat Natassa kangen dengan kampung halamannya. Tapi satu-satunya yang
tidak ada di Jakarta, tuh, ayam tolak pinggang he-he-he, katanya. Yang disebut ayam tolak
pinggang itu sesungguhnya ayam kampung bakar berbumbu yang dibuat di atas tungku kayu.
Sayap ayam dilipat serupa sedang bertolak pinggang.
Kalau saudaraku tahu aku pulang, mereka pasti berkunjung membawa ayam itu. Mereka
tahu aku suka banget. Berat badan bisa tambah 3 kilo. Satu lagi yang bikin kangen, panasnya
Makassar yang nyesss... banget sampai ke tulang.
Perempuan keturunan Bugis-Makassar itu mengaku tetap ada ciri khas Makassar yang
kasatmata melekat padanya. Konon, orang Makassar suka sekali memakai lipstik merah, aku
juga begitu. Kalau bertemu sesama orang Makassar, mereka suka bilang, Ih... kamu orang
Makassar banget, sih, suka pakai lipstik merah he-he-he. Apalagi gaya bicaraku ceplas-
ceplos, ujarnya.
Masih ada satu lagi, Natassa paling suka menghadiri undangan pernikahan memakai pakai
busana berbahan sutra Makassar. Kebanyakan baju-bajuku bahannya sutera Makassar. Cinta
deh pokoknya, ujarnya ceria. (INE)

Natassa
Nama: Andi Tenri Gusti Harnum Utari Natassa
Lahir: Makassar, 11 Agustus 1992
Pendidikan:
- SMA Bakti Mulya
- Swiss German University, Indonesia, Jurusan International Business (sedang berlangsung)
Pencapaian:
- Duta Pariwisata Sulawesi Selatan
- 15 besar dalam Miss Asia-Pacific World di Korea (2012)
- Runner-up Puteri Indonesia (2011)
- Puteri Berbakat dalam ajang Puteri Indonesia (2011)
- Puteri Favorit dalam ajang pemilihan Puteri Indonesia (2011)
- Duta Badan Penanggulangan Narkotika Indonesia (2011)






















Parodi
ParodiHope


Di suatu malam, menjelang tengah malam, saya menyaksikan tayangan film di layar televisi.
Sebuah kalimat yang diucapkan seorang perempuan, langsung menempel di kepala. Begini
ucapannya itu, If you dont have hope what is the point of living?
Berharap
Hope. Kata itu merupakan nasihat yang telah disuarakan ke gendang telinga saya oleh mereka
yang berada di dalam rumah, di lingkungan pergaulan dan mereka yang tiap hari minggu
berada di mimbar rumah ibadah.
Kata yang katanya mengandung makna luar biasa itu, telah disuarakan saat saya masih duduk
dengan kesal hati di sekolah menengah pertama dan atas, sampai sekarang ketika sudah
berusia setengah abad lebih satu tahun.
Dan yang menyuarakan nasihat itu, tak pernah makin surut, tetapi semakin lama semakin
banyak. Dan dengan datangnya sosial media serta kemudahan fasilitas yang disajikan di
dalam gadget, maka nasihat itu pun makin hadir setiap saat tanpa diharapkan. Kapan saja, di
mana saja, dan tanpa bersuara.
Maka kata itu kemudian menempel dan menjadi sebuah jalan keluar kalau sedang kesal dan
galau setengah mati. Menjadi salah satu solusi ketika hidup berjalan tak seperti yang saya
kehendaki.
Tetapi belakangan ini, saya mulai mempertanyakan diri sendiri, bagaimana saya bisa
berpuluh tahun memercayai kata itu sebagai pegangan hidup ketika saya galau, dan
menjadikannya semacam alat penyemangat ketika sama sekali tak bersemangat. Belakangan
saya mulai bertanya, apakah sesungguhnya saya tahu pasti arti dan makna kata itu?
Maka di suatu pagi, saya mulai mencarinya di dalam kamus. Dan begini dijelaskan. Hope
sebagai kata benda adalah a feeling of expectation and desire for a certain thing to happen, a
feeling of trust. Sebagai kata kerja, ia berarti want something to happen. Dijelaskan pula
bahwa persamaan kata hope adalah expectation, wish.
Minggu lalu saya bercerita kalau beberapa bulan terakhir hidup saya sungguh mengesalkan,
saya ingin lari dari kenyataan. Sejujurnya, semua berawal dari kekecewaan saya memercayai
kata yang satu ini.
Sejujurnya sebelum saya melihat kamus untuk mengetahui makna kata itu, saya sudah
menyadari bahwa sebuah harapan itu tak ada yang pasti. Ia hanya bermakna sebagai sebuah
keinginan agar sesuatu yang diinginkan terjadi. Dan yang membuat saya merasa aneh,
bagaimana berpuluh tahun lamanya, saya bisa memberikan kepercayaan pada sebuah kata
yang mengandung ketidakpastian?
Menerima
Ketika saya berharap, saya melibatkan the feeling of trust itu. Tetapi saya lupa. Saya boleh-
boleh saja melibatkan kepercayaan saya ketika berharap akan sesuatu, tetapi yang akan
menjamin harapan saya tercapai, adalah pihak lain, dan bukan saya. Hal inilah yang saya
lupakan dan menjadi sumber utama kekecewaan.
Saya berharap kalau bisa hari ini jangan hujan, jangan macet, dollar jangan naik, indeks
jangan turun, kalau bisa ibu saya tidak meninggal di usia tak mencapai setengah abad. Saya
berharap bisa memenangkan proyek ini dan proyek itu. Dan sejuta lagi harapan lainnya.
Mungkin, karena harapan itu mengandung ketidakpastian, maka ada beberapa manusia yang
memberi dana di bawah meja saat sedang bersaing memenangkan sebuah proyek, agar
harapan mereka bisa tercapai seperti yang diinginkan.
Tindakan itu menunjukkan kalau mereka berharap dan tahu pasti keberhasilan sebuah
harapan itu bukan ada di tangan mereka. Padahal, menyogok itu sama dengan berharap. Bisa
jadi menggembirakan, bisa jadi mengecewakan.
Di luar semua nasihat mulia yang sudah saya dengar sejak masih muda dulu, ada suara lain
yang juga mengajarkan saya ketika hidup berjalan seperti ayunan. Dan suara ini juga sama
telah berdengung sejak lama di gendang telinga saya. Dan saya yakin, Anda juga pernah
dinasihati seperti ini.
Hidup itu dijalani saja, jangan terlalu berharap. Hidup itu akan lebih mudah kalau diterima
dengan lapang dada. Teman saya bilang begini. Ngarepin itu bikin tambah kesel. Enggak
ngarep itu memudahkan hidup dan meringankan beban perjalanan.
Ia kemudian menambahkan penjelasannya. Dengan tidak berharap, kamu tak akan merasa
kalah atau merasa menang, tetapi kamu akan tenang dan senang. Berharap itu sebuah
tindakan membebani diri. Tidak berharap itu melahirkan kelegaan, katanya.
Maka sekarang saya mengerti, kalau saya ini ingin lari dari kenyataan karena saya terlalu
banyak berharap. Harapan itu selalu ada dua. Bisa jadi pasti, bisa jadi tidak pasti. Apa pun
alasan di baliknya.
Dan, saya merasa sungguh bodoh, telah memilih mendengarkan nasihat mereka yang
menyarankan berharap dengan hanya menggaungkan bagian pastinya ke gendang telinga
saya, dan menyembunyikan bagian tidak pastinya, karena mereka tahu pasti bahwa itu akan
mengecewakan.
Seharusnya sejak lama, saya memilih untuk mendengarkan nasihat seperti teman saya itu
untuk tidak berharap, tetapi menerima keadaan. Mungkin, hidup saya akan jauh lebih
tenteram dan membahagiakan. Mungkin loh.














Pancasila Dasar Hidup Berbangsa dan
Bernegara
Oleh: ST SULARTO

Judul: Lima Gagasan yang Dapat Mengubah Indonesia
Penulis: M Sastrapratedja, SJ
Sekapur Sirih: Jakob Oetama
Penerbit: Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, Jakarta
Cetakan: 2013u Tebal: xiv + 413 halaman
ISBN: 978-602-19830-3-4


Logika sosialisasi Pancasila sebagai salah satu pilar dari empat pilar kehidupan berbangsa
dan bernegara, di samping UUD 1945, Proklamasi Kemerdekaan, dan Bhinneka Tunggal Ika,
digugat secara mendasar oleh buku bunga rampai ini. Argumentasi Pancasila sebagai pilar
dimentahkan, juga keterangan MPR RI dalam sidang lanjutan pengujian UU No 3 Tahun
2011 tentang Partai Politik, tanggal 17 Februari 2014.
Termasuk juga argumentasi logika kebahasaan yang paradoksal, bahwa Pancasila ideologi
negara yang disejajarkan dengan tiga pilar lainnya tetapi ditempatkan lebih tinggi. Sejajar,
kok, ditempatkan lebih tinggi! Benarlah Harry Tjan Silalahi, ada kesalahan berpikir bahwa
Pancasila salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah fondasi atas ketiga pilar
lainnya (Kompas, 12/4/2013). Menyamakan Pancasila sebagai pilar merupakan pikiran sesat.
Buku ini memang hanya kumpulan 23 tulisan untuk berbagai keperluan, selain
diceramahkan dalam berbagai tempat, waktu, tujuan, dan topik, tetapi mengerucut pada lima
gagasan yang terkandung dalam lima sila Pancasila. Kelima sila memperoleh penjelasan yang
mendasar, menjawab persoalan-persoalan yang aktual secara mendasar, dan dirujuk pada
lima yang digali dari kelima sila. Tantangan filsuf N Driyarkara, SJ bahwa Pancasila adalah
ideologi yang terbuka mendapatkan jawaban dan penjabaran dalam buku ini. Pancasila tidak
menyediakan cetak biru, tetapi orientasi (hal 23).
Maksudnya, Pancasila tidak memberikan jawaban praktis-pragmatis, tetapi memberikan
dasar-dasar atau prinsip-prinsip kebijakan dan keputusan politis. Karena itu, Pancasila adalah
ideologi negara (hal 325-327) yang memiliki corak khusus. Dari sisi isi, Pancasila memuat
nilai-nilai dasar kemanusiaan yang bertumpu pada pengakuan martabat manusia. Berbeda
dengan ideologi lainnya, Pancasila hanya memuat nilai-nilai dasar bukan pada pemikiran
lengkap, dan keberhasilannya tergantung dari cara sosialisasi. Atau menurut Ki Hadjar
Dewantara, Pancasila khususnya sila Perikemanusiaan, adalah prinsip pemberadaban
(guiding principles) (hal 70).
Pada era pemerintahan Soeharto, Pancasila dikendalikan dan digunakan demi kepentingan
penguatan kekuasaan, masalah kritisnya terletak pada reduksi Pancasila sebagai ajaran atau
keutamaan individu. Padahal sebagai prinsip politik, Pancasila merupakan orientasi
pembentukan struktur-struktur politik, seperti prinsip demokrasi dan keadilan sebagai prinsip
partisipasi (hal 247). Penafsiran tunggal dan pendakuan pembenaran tunggal atas Pancasila
demi kepentingan kekuasaan (rezim Orde Baru) yang disosialisasi dalam P4 tidak lebih dari
simplifikasi dan reduksi, dengan mudah ditinggalkan oleh rezim berikutnya (rezim
Reformasi).
Kebiasaan mem-black list apa pun dari rezim sebelumnyaOrde Baru mem-black list Orde
Lama, Orde Reformasi mem-black list Orde Baruberdampak pada tercampakkannya
Pancasila. Pancasila dilupakan. Pancasila sebagai dasar mendirikan negara RI seperti
pertanyaan Ketua BPUPKI Dr Radjiman Wediodiningrat yang dijawab oleh Ir Soekarno
adalah Pancasila (hal 223-224). Atau dengan kata lain Indonesia menjadi legitim kalau
mendasarkan diri pada Pancasila (hal 168), saat ini di-(kita)- lupakan.
Kasarnya tanpa sadar kita mengkhianati para pendiri bapak bangsa negeri ini. Ibu Pertiwi
merintih tidak hanya dalam situasi konkret ketika hilangnya solidaritas sosial, ketidakhadiran
pemerintahan, dan tercampakkannya hak-hak asasi, tetapi juga ketika kita melupakan
Pancasila, meskipun seolah-olah sambil merangkak-rangkak.
Rujukan pendidikan karakter
Pelupaan sering berupa rintihan karena ketidakmampuan kita melakukan penggugatan di
atas. Namun sebenarnya masih ada titik-titik terang, di antaranya keinginan
menyampaikannya lewat praksis pendidikan. Pendidikan karakter tidak sekali terjadi karena
identitas suatu bangsa bukanlah kata benda, melainkan proses. Amerika Serikat dan Inggris
saja terus-menerus mencari model pendidikan karakter yang efektif (hal 215), apalagi
Indonesia dirasa mendesak dengan kejadian dehumanisasi yang semakin masif dalam
berbagai bentuk nirberperadaban.
Menurut Sastrapratedja, karakter dapat dikembangkan dan bukan diturunkan secara genetik.
Karakter adalah hasil pendidikan, menjabarkan pendapat Drijarkara bahwa pendidikan pada
dasarnya humanisasi (pemanusiawian). Lewat pendidikan karakter nasional dapat dibentuk,
meskipun dalam kasus Indonesia tidak begitu mudah.
Sejalan dengan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara RIdasar (waton) dari ketiga pilar
(cagak) lainnyapembentukan karakter perlu diinspirasi dari nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai
itu menjadi tempat bergantung, tanpa mengingkari praksis pendidikan tidak berlangsung
dalam suasana kosong, diturunkannya dalam pembentukan manusia Indonesia yang
berwatak: mampu menghargai perbedaan, manusiawi dan santun, mencintai tanah airnya,
demokratis, adil dan solider (hal 216). Pendidikan karakter sebagai bagian integral praksis
pendidikan nasional berlangsung dengan memanfaatkan komponen kognitif, afektif, dan
praksikal.
Sebagai bunga rampai yang terhimpun dari artikel-artikel berserakan, tidak semua terfokus
pada telaah tentang Pancasila dengan risiko tidak mendalam tuntas seperti halnya sebuah
buku dalam satu tema. Artikel terakhir, ke-23, misalnya, seharusnya dari filsuf sekaliber
Romo Sastrapratedja kita harapkan uraian tentang potensi Indonesia menjadi negara gagal
(failed country) lebih mendalam dan komprehensif, termasuk juga penjabaran tentang
indikator-indikator yang mengarah pada kegagalan itu (hal 385-393).
Kekurangan itu niscaya tidak mengurangi apresiasi Jakob Oetama dalam Sekapur Sirih-nya
bahwa buku ini mengubah keyakinan dan pendapatnya bahwa Pancasila sudah selesai dan
tinggal dilaksanakan. Niscaya semakin banyak hasil galian dari berbagai pusat studi dan
pusat kajian lewat berbagai disiplin ilmu masing-masing, semakin kita diyakinkan agungnya
Pancasila sebagai dasar bernegara dan berbangsa, landasan dari tiga pilar lainnya.
















M Sastrapratedja SJ
Ketika Pancasila Mulai Dilupakan


Di antara kolega pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan mahasiswanya, Romo
Michael Sastrapratedja (69), memang tidak lagi sehumoris dulu. Dulu selalu keluar humor-
humor spontannya yang segar menggelitik, sekarang kegemaran itu jarang muncul. Romo
Sastra sekarang tampak serius. Akan tetapi, ada yang tetap, setidak-tidaknya kegemaran
tlusab-tlusub-nya yang identik dengan blusukan-nya Jokowi atau siapa pun yang mengklaim
diri sudah lebih dulu melakukan. Tlusab-tlusub-nya Romo Sastra menghasilkan ide-ide
menerobos.
Sebagai Ketua (Rektor) Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Jakarta tahun 1984-88,
dia mengintrodusir program kajian budaya. Namun, karena titik berat tugasnya menangani
perbaikan manajemen, saat menjadi Rektor Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang
tahun 1988-1993, Sastra tidak meninggalkan jejak menerobos yang signifikan. Baru ketika
menjadi Rektor Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta (1993-2001) sejumlah institusi
menerobos lahir di era kepemimpinannya.
Sebagai rektor, dia buka Fakultas Farmasi, yang di kemudian hari menjadi fakultas favorit.
Ide kajian budaya dia bawa ke Yogyakarta dan lahirlah Program Kajian Ilmu Religi dan
Budaya yang di kemudian hari menjadi strata S-2. Menyusul kemudian Sastra mengintrodusir
Program Studi Kajian Bahasa Inggris, yang di kemudian hari juga menarik minat calon
mahasiswa.
Ketika tidak lagi duduk dalam jabatan struktural perguruan tinggi, Sastra mendirikan Pusat
Kajian Filsafat dan Pancasila. Lembaga ini bertujuan mengembangkan penelitian dan
penulisan di bidang Filsafat Barat dan Timur serta bermaksud menghidupkan kembali
refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara. Buku bunga rampai ini
merupakan salah satu hasilnya. Kita memiliki lima gagasan, yaitu Pancasila, yang dapat
mengubah atau memperkuat bangsa dan negara Indonesia menjadi lebih baik. Lima prinsip
yang termuat dalam Pancasila dapat mengubah wajah Indonesia dalam menghadapi berbagai
persoalan dan tantangan, tulis Sastrapratedja dalam pengantar buku.
Kehadiran Lima Gagasan menjadi berarti justru ketika Pancasila semakin dilupakan,
ditinggalkan, dan tidak lagi punya taji. Pelupaan terhadap Pancasila secara tidak langsung
bangsa ini melalaikan warisan menerobos para pendiri republik. Ketika Pancasila tidak lagi
mendapat tempat dan menjadi bahan cibiran dalam negeri, menjadi ironis karena bangsa-
bangsa di luar dan para pemimpin dunia justru menghargainya sebagai warisan lima gagasan
yang bisa mengubah Indonesia.
Dalam kondisi dilupakan, kehadiran Lima Gagasan mengentakkan kita tentang masih
perlunya terus mengkaji, menelaah, dan mendalami Pancasila yang penerapannya perlu
disesuaikan dengan konteks dan perkembangan zaman. Dari tangan Romo Sastrapratedja
pastor Jesuit kelahiran Yogyakarta 22 Oktober 1943 dan doktor filsafat politik dari
Universitas Gregoriana, Roma (1979)niscaya masih akan lahir buku-buku menerobos yang
lain. Seloroh Sastra, Masakan ketenaran Nietzsche dikalahkan Inul Daratista,
menyampaikan pesan kita lalai dengan kebesaran diri, sebaliknya cenderung pragmatis-
praktis yang dangkal! (STS)


























Lihat Kebun Fadly
Oleh: Mawar Kusuma


Andi Fadly Arifuddin (39) punya mimpi pada masa kecil, yaitu berkebun. Ia pun
mewujudkan mimpi itu di halaman rumahnya. Bertani, berkebun, dan berternak itu seperti
musik. Jadi, hal yang menarik banget, kata vokalis band Padi itu.
Fadly tidak menanam padi, tetapi menanam sayuran, mulai dari tomat, sawi, selada, hingga
beragam jenis cabe, seperti cabe toraja dan cabe jolokia yang terkenal super pedas. Semuanya
tumbuh subur di halaman depan, samping, dan belakang rumahnya di kawasan Pondok Cabe,
Tangerang Selatan. Para ibu rumah tangga di seputaran rumah pun rajin bertandang untuk
meminta aneka jenis bibit tanaman. Dengan ramah, Fadly membagi bibit-bibit tanaman unik
itu kepada siapa saja yang meminta.
Di antara tanaman terdengar suara gemericik air datang dari kolam mungil. Ikan-ikan
berkeriapan di dalam air yang terhubung pada pot-pot tanaman raksasa. Dari kolam ikan itu,
Fadly baru saja memanen lebih dari 100 ikan yang segera dibagi kepada tetangga.
Menjelang larut malam, jika sedang menginap di rumah itu, Fadly betah nongkrong di
bangku dari bilah-bilah bambu yang terletak di tengah kebun. Suara gemericik air berpadu
dengan petikan gitar. Rekan-rekannya sesama anggota band Padi yang kini sedang
membangun proyek musik Musikimia, seperti Rindra, Ari, Stephen Santosa, dan Yoyo,
sering kali ikut nimbrung.
Ditingkahi suara kodok yang bersahut-sahutan, ide-ide kreatif pun bermunculan, mulai dari
merancang pertunjukan hingga melahirkan lagu-lagu baru. Tak tanggung-tanggung, satu mini
album Musikimia bertema cinta tanah air telah tercipta dari kebun Fadly. Di sini nyaman.
Masih ada suasana kampung. Makin nyaman kita dengan satu tempat makin mudah keluar
inspirasi, katanya.
Tak hanya ketenangan kala malam, suasana pagi hingga petang pun dilingkupi kedamaian.
Matahari yang beranjak naik pada Kamis (6/3) siang sama sekali tak menyisakan jejak terik.
Banyak burung-burung yang singgah, kupu-kupu beterbangan, dan ayam kampung
berkeliaran.
Di antara rerimbunan tanaman, Fadly segera memetik lalu menyantap beberapa helai daun
mint. Tanaman mint asli Indonesia ini diperolehnya dari masyarakat adat Badui Dalam.
Kabarnya, mint yang rasanya menyegarkan ini cocok dikonsumsi sebagai obat sakit mag.
Selesai menyantap mint Badui, Fadly memetik timun mini yang merambat di atas bangku
taman. Timun seukuran jari ini pun langsung disantap. Seluruh hasil kebun dijamin aman dan
sehat karena tumbuh secara organik tanpa sentuhan bahan kimia. Pupuk diperoleh dari
kotoran ikan yang hanya diberi makan dedaunan. Tambahan pupuk juga berasal dari kompos
dedaunan dan ayam kampung yang dilepasliarkan.
Rumah barak
Ketika pertama kali membeli rumah dengan luas tanah sekitar 300 meter persegi pada 2006
itu, ada seekor ayam jago yang keluyuran di kebun. Paman Fadly yang membantu merawat
kebun lalu iseng membeli ayam betina. Dari hanya sepasang, ayam kampung itu lantas
beranak pinak menjadi 60 ekor hanya dalam dua tahun. Khawatir jika tetangga terganggu
oleh ledakan populasinya, ayam-ayam lantas dimasak dan dibagi-bagikan.
Kini, hanya tersisa beberapa ekor ayam. Tak hanya di kebun, ayam-ayam itu bebas
berkeliaran hingga masuk ke dalam rumah. Meskipun bentuk aslinya belum dirombak, rumah
dengan tiga kamar tidur ini sarat dengan kenangan masa silam Fadly.
Begitu memasuki ruang santai di bagian paling depan dari rumah, pandangan mata langsung
tertumpuk pada rak buku kesayangan Fadly yang dikoleksi sejak masa kuliah. Buku-buku
tentang musik, dan sejarah bersanding dengan buku panduan bercocok tanam. Uniknya,
Fadly masih menyimpan majalah Trubus milik bapaknya dari tahun 1988. Trubus jadi
bacaan sebelum tidur, ujarnya.
Tak melulu soal tanaman, poster musisi dunia, seperti Skid Row, Led Zeppelin, Radio Head,
dan Beatles, tergantung di dinding rumah. Sebagian besar poster yang dikoleksi dari sejak
masa kuliah itu dibiarkan teronggok di sudut ruangan.
Keinginan menjadi musisi baru benar-benar terwujud ketika ia kuliah di Jurusan Ekonomi,
Universitas Airlangga. Semasa kuliah di Surabaya, ia berjumpa dengan awak Padi. Mereka
menjalin kebersamaan selama 16 tahun sebelum kemudian vakum selama beberapa tahun
terakhir. Akan ada waktunya kumpul lagi, ujarnya.
Jejak personal Fadly makin kentara jika masuk ke kamar tidur yang dulunya dimanfaatkan
sebagai studio kecil di pojok depan rumah. Perabot di kamar itu hanyalah sebuah tempat tidur
lipat tentara dan sebuah lemari dengan tempelan bertulis nama Fadly. Ini rumah barak, ujar
Fadly.
Pada sudut kamar, Fadly menyimpan koleksi penutup kepala tradisional dari seluruh
Nusantara. Rumah itu sekaligus menjadi tempat penyimpanan alat musik. Rekan-rekan
musisi dari daerah juga memanfaatkan rumah dengan tiga kamar tersebut sebagai tempat
singgah ketika bertandang ke Jakarta.
Fadly jatuh cinta pada rumah di Pondok Cabe karena halamannya yang luas. Sehari-hari ia
memang lebih banyak menempati rumah tinggal di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Rumah
Lebak Bulus lebih susah bikin suasana kebun. Lahannya terbatas, kata Fadly.
Ketertarikannya semakin membuncah karena lokasi rumah kebun tersebut berdekatan dengan
perumahan Vila Cinere Mas yang ditempati Rindra, Ari, dan Piyu. Daerahnya masih sejuk
dan tinggi. Yang bikin saya jatuh cinta, ini satu-satunya rumah yang masih punya halaman
lebar dan tempatnya tidak jauh dari tempat latihan musik, katanya.
Menikmati proses
Awalnya, kebun di rumah yang dibangun tahun 1972 itu hanya ditumbuhi pohon rambutan.
Fadly kemudian bereksperimen membangun ladang pertanian mini dengan konsep
vertikultur. Tong-tong setinggi orang dewasa diisi dengan tanah dengan pipa berlubang berisi
kompos di bagian tengahnya. Satu tong berukuran 1 x 1 meter bisa ditumbuhi lebih dari 40
tanaman organik.
Sambil terus belajar, ia kemudian mengembangkan cara bertanam aquaponik, yaitu
menggabungkan aquakultur dan hidroponik. Sistem aquakultur dibangun dengan terlebih
dulu membangun kolam ikan berukuran 1 x 11 meter. Air dari kolam yang mengandung
pupuk kotoran ikan dialirkan ke pot-pot tanpa media tanah.
Kebun itu tidak dibangun seorang diri. Fadly sering kali mengajak istrinya, Deasy Aulia (39),
serta keempat anaknya, Bilal (11), Aidan (9), Fathimah (7), dan Hasan (5,5), untuk turut
berkebun pada akhir pekan. Ketika ditanya oleh ibunya tentang cita-citanya kelak, Hasan
menjawab, Mau kayak Bapak. Mau berkebun!
Fadly ingin mengajarkan nilai kearifan lokal dari nenek moyang kepada anak-anaknya. Dari
ketekunannya berkebun pula, ia bermimpi membuat instalasi rumah kaca tanaman organik
berkapasitas 10.000 tanaman di kampung halamannya.
Belajar dari menyemai sampai ambil hasilnya. Saya pengin anak-anak merasakan langsung,
melihat langsung proses itu. Seni itu nikmat di prosesnya bukan di hasilnya, ujar Fadly.
Jadi, lihat kebun Fadly, penuh dengan mimpi.

You might also like