You are on page 1of 16

1

DERMATITIS SEBOROIK


I. PENDAHULUAN
Dermatitis seboroik merupakan peradangan kronik pada permukaan
kulit yang sulit untuk didefinisikan secara tepat, namun memiliki morfologi
yang distinktif. Dimana lesi umumnya berwarna merah, berbentuk tidak
teratur, berbatas tegas dan ditutupi dengan semacam sisik yang berminyak.
Dermatitis seboroik sering diasosiasikan dengan rasa gatal pada permukaan
kulit yang terkena. Dermatitis seboroik sering terjadi di area kulit berambut
dan daerah kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea (kelenjar
minyak, lemak) seperti kulit kepala, wajah, tubuh bagian atas dan area
lipatan tubuh (ketiak,selangkangan). Dandruff atau ketombe (deskuamasi
yang dapat dilihat dari permukaan kulit kepala) merupakan prekursor dari
dermatitis seboroik dan dapat secara perlahan berkembang menjadi
kemerahan, menyebabkan iritasi dan membentuk persisikan.
1,2
Berdasarkan demografi usia pasien, terdapat dua jenis dermatitis
seboroik, yakni dermatitis seboroik dewasa dan dermatitis seboroik infantil,
Dermatitis seboroik dewasa lebih sering menyerang laki-laki, terutama yang
memiliki kulit kepala mudah berketombe. Area yang lebih sering terkena
adalah bagian tengah wajah, kulit kepala, telinga dan bulu mata. Namun
dapat juga muncul pada daerah aksila, lipatan paha atau disekitar payudara.
Sementara itu, dermatitis seboroik infantil, sering menyerang bayi berusia
kurang dari enam bulan dengan gambaran klinis erupsi yang kemerahan dan
berbatas tegas pada daerah muka, dada, leher, ekstremitas, terutama bagian
fleksor, disertai dengan persisikan pada kulit kepala. Namun, hingga saat ini
tidak ada asosiasi yang menunjukkan bahwa bayi dengan dermatitis
seboroik infantil akan berkembang menjadi dermatitis seboroik dewasa saat
pasien beranjak dewasa.
3,4
Walaupun hingga kini patogenesis dari dermatitis seboroik belum
begitu dimengerti, beberapa teori mengacu pada kolonisasi oleh spesies
2

jamur dari genus Malassezia (contohnya Pityrosporum). Berbagai variasi
pengobatan dapat ditemukan, termasuk eradikasi dari fungi, mengurangi dan
mengobati inflamasi, serta menurunkan produksi sebum.
2,4

II. EPIDEMIOLOGI
Hingga saat ini, perkiraan dari prevalensi dermatitis seboroik masih
terbatas dikarenakan oleh tidak adanya kriteria diagnostik yang valid serta
skala atau skor untuk melakukan grading dari keparahan derajat dermatitis
seboroik. Namun, penyakit ini merupakan salah satu penyakit kulit yang
paling umum ditemukan, dan menyerang kurang lebih 11.6% populasi
secara umum dan 70% bayi pada tiga bulan pertama kehidupan. Pada orang
dewasa, insidens tertinggi adalah pada dekade ketiga hingga keempat
kehidupan. Tampak pula adanya predileksi etnis, dimana hanya sedikit kasus
yang ditemukan pada ras afrika amerika. Di amerika serikat, dermatitis
seboroik menyerang 3-5% dewasa muda, meskipun lebih sering dalam
bentuk dandruff atau ketombe.
1,2
Dermatitis seboroik juga lebih sering tampak pada pasien dengan
Parkinson,atau yang mengkonsumsi haloperidol atau chlorpromazine.
Dermatitis seboroik juga merupakan salah satu penyakit yang paling sering
menyerang pasien imunodefisiensi, khususnya pasien dengan human
immunodeficiency Virus (HIV). Dari 155 pasien yang berada pada stadium
dua infeksi, 36% memiliki dermatitis seboroik.
1,2

III. ETIOLOGI
Etiologi dari dermatitis seboroik cenderung tergantung dari tiga
faktor, yakni sekresi kelenjar sebasea, metabolisme mikroflora dan
kerentanan dari masing-masing individu. Beberapa faktor dianggap telah
berkontribusi dengan perkembangan dari dermatitis seboroik. Meskipun
banyak teori telah dikemukakan mengenai penyebab dari dermatitis
seboroik, penyebab langsungnya masih tidak diketahui secara pasti.
4 ,5


3

Faktor Resiko Dermatitis Seboroik
Faktor Resiko Gambaran
1. Hormon dan lemak Dermatitis seboroik sering
terjadi di area kulit berambut
dan daerah kulit yang banyak
mengandung kelenjar sebasea
(kelenjar minyak, lemak) seperti
kulit kepala, wajah, tubuh
bagian atas dan area lipatan
tubuh (ketiak,selangkangan)

Paling sering terjadi pada remaja
dan anak muda (ketika kelenjar
sebasea lebih aktif) dan pada
umur lebih dari 50 tahun
2. Kondisi komorbiditas Penyakit parkinson
Kelumpuhan trunkal
Gangguan suasana hati
Down syndrome
HIV/AIDS
Kanker
Kelumpuhan nervus kranialis
3. Faktor imunologik Kurangnya sel T helper
Titer antibodi yang rendah
4. Gaya hidup Kurang gizi
Kurang menjaga kebersihan

Tabel 1. Faktor risiko terjadinya dermatitis seboroik (dikutip dari
kepustakaan 5)

1. Mikroflora Kulit
Unna dan Saboroud yang pertama kali mendeskripsikan penyakit
ini, mengungkapkan bahwa adanya keterlibatan mikroba dalam etiologi
dari dermatitis seboroik. Hipotesis ini masih belum didukung, meskipun
bakteri dan jamur dapat diisolasi dari lesi kulit. Malassezia furfur yang
bersifat lipofilik juga secara umum dapat diisolasi dari lesi dermatitis
seboroik, baik jenis infantil atau dewasa. Hal ini ditunjang oleh
pembesaran kelenjar sebasea pada periode neonatus hingga usia
pubertas. Namun belum ada hubungan yang signifikan dari jumlah jamur
yang diperoleh dengan derajat keparahan dari dermatitis seboroik.
4,6
4

Pada bayi, Candida albicans Dapat ditemukan pada lesi kulit.
Bakteri aerobik seperti Staphylococcus aureus juga ditemukan pada 20%
pasien dengan dermatitis seboroik, sedangkan Propionibacterium acnes
sangat sedikit ditemukan pada pasien dermatitis seboroik.
4
2. Sekresi Kelenjar Sebasea
Dermatitis seboroik bukan merupakan penyakit dari kelenjar
sebasea namun dermatitis seboroik umumnya terjadi pada daerah kulit
yang mengandung banyak kelenjar sebasea aktif dan sering
diasosiasikan dengan produksi berlebih dari sebum. Namun, pasien
dengan dermatitis seboroik dapat juga memiliki produksi sebum yang
normal atau sebaliknya, banyak orang dengan produksi sebum yang
berlebih tidak menderita dermatitis seboroik.
4,6
3. Kerentanan Tiap Individu
Perkembangan dari dermatitis seboroik diamati pada pasien dengan
imunodefisiensi, misalnya pada pasien HIV AIDS. Sehingga hal ini
diasosiasikan dengan pertumbuhan Malassezia yang mungkin tidak
terkontrol pada pasien-pasien ini.
2,4,6

IV. PATOGENESIS
Seperti yang telah dikemukakan diatas, penyebab dari dermatitis
seboroik belum diketahui secara pasti. Faktor predisposisinya adalah
kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya
diturunkan, namun caranya masih belum dapat dipastikan. Banyak
percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan
infeksi oleh bakteri atau Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal
kulit manusia. Pertumbuhan P. Ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan
reaksi inflamasi baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam
epidermis, maupun karena sel jamur itu sendiri melalui aktivasi sel limfosit
T dan sel langerhans. Status seboroik sering berasosiasi dengan
meningginya suseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi tidak terbukti
bahwa mikroorganisme inilah yang menyebabkan dermatitis seboroik.
2,7
5

Malassezia furfur yang bersifat lipofilik juga secara umum dapat
diisolasi dari lesi dermatitis seboroik, baik jenis infantil atau dewasa. Hal ini
ditunjang oleh pembesaran kelenjar sebasea pada periode neonatus hingga
usia pubertas. Namun belum ada hubungan yang signifikan dari jumlah
jamur yang diperoleh dengan derajat keparahan dari dermatitis seboroik.
Sebab, kulit yang tidak terinfeksi juga dapat membawa banyak organisme
yang sama dengan yang ditemukan pada dermatitis seboroik. Bahkan pada
permukaan kepala, yeast yang ditemukan pada pasien hanya dua kali lebih
banyak dari orang normal. Namun, tidak diragukan bahwa jumlah jamur
berkurang secara signifikan pada pemberian antimikotik kepada pasien
dermatitis seboroik. Hanya saja mekanismenya hingga kini masih belum
jelas.
2,6


Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula
sebasea. Glandula tersebut aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian
menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat stimulasi hormon androgen
dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada bulan-bulan
awal, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan insidensnya
mencapai puncak pada umur 18-40 tahun. Kadang pada usia tua, lebih sering
terjadi pada pria dibanding wanita.
4,7
Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor
timbulnya dermatitis seboroik, tetapi tidak ada hubungan langsung secara
kuantitatif antara keaktifan kelenjar tersebut dengan suseptibilitas untuk
memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh
proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis, hal ini dapat
menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat memperbaikinya. Pada
orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis
seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress, emosional, infeksi
atau defisiensi imun.
4,7
Beberapa teori telah dikemukakan bahwa komposisi dari kadar lemak
pada permukaan kulit merupakan faktor yang relevan. Pada pasien dengan
dermatitis seboroik, trigliserida dan kolestrol meningkat namun asam lemak
6

bebas secara signifikan menurun dibandingkan dengan orang normal. Asam
lemak bebas sendiri diketahui memiliki efek antimikrobial, asam lemak
bebas pada permukaan kulit diproduksi oleh flora normal kulit yakni
Propionibacterium acnes yang diketahui menurun secara drastic pada lesi
dermatitis seboroik.

Inflamasi yang terlihat pada dermatitis seboroik juga
diduga bersifat iritan, non-immunogenik, yang secara alamiah dihasilkan
oleh metabolism toksik, enzim lipase, dan oksigen reaktif dari Malassezia
furfur.
6

V. DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis
Dermatitis seboroik umumnya memilki predileksi di daerah kulit
kepala, alis, bulu mata, bibir, telinga, daerah sternal, lipatan payudara,
umbilicus, selangkangan dan lipatan paha, Gambaran klinis yang khas
adalah skuama dengan dasar yang eritematosa. Skuama biasanya
berwarna kekuningan, lengket dan berminyak, dan disertai dengan rasa
gatal yang berat. Dandruff atau ketombe (Pityriasis sicca) merupakan
jenis ringan dari dermatitis seboroik.
4,8
Pada area kulit kepala, lesi biasanya berwarna kuning kemerahan.
Pada kasus yang berat, hampir seluruh daerah kepala dipenuhi oleh
krusta berwarna kekuningan yang berminyak dan berbau tidak sedap.
Sedangkan pada bayi atau infant, skuama berwarna kuning atau coklat
tampak pada seluruh permukaan kepala dengan akumulasi aderent epitel
debris yang disebut cradle cap.
7,8







7










Gambar 1a. Dermatitis seboroik infantil. 1b. Dermatitis seboroik pada belakang
telinga. 1c. Dermatitis seboroik pada wajah (Dikutip dari kepustakaan 1)

Pada daerah telinga, dermatitis seboroik sulit dibedakan dengan
otitis eksterna. Tampak adanya skuama di daerah kanalis aurikularis,
rasa gatal, kemerahan, fissura dan pembengkakan. Sedangkan pada
aksila, erupsi akan mulai pada bagian apeks secara bilateral lalu
menyebar ke kulit sekitarnya. Gambarannya akan tampak mirip dengan
dermatitis iritan karena penggunaan deodorant. Selain itu lesi beragam
mulai dari eritema yang bersisik hingga bercak petaloid dengan
gambaran fissura.

Sedangkan untuk lesi pada daerah selangkangan dan
lipatan paha, lesi akan tampak mirip dengan tinea cruris atau
candidiasis.
8
Pada pemeriksaan fisis kulit, dapat dibedakan gambaran klinis dari
lesi primer dan sekunder dermatitis seboroik. Pada lesi primer akan
tampak sebagai berikut:
9
1. Bercak merah kekuningan, dengan batas yang tegas
2. Lesi yang awalnya berbentuk papul folikular merah kecoklatan yang
berkmbang menjadi plak (jarang)
3. Bercak eritem yang akan berkembang menjadi skuama
Sedangkan untuk lesi sekunder, biasanya persisikan lebih longgar,
berwarna kekuningan dan tampak berminyak.
9
Gambar 1 a Gambar 1b
Gambar 1c
8

B. Pemeriksaan Penunjang
Lesi pada dermatitis seboroik memiliki gambaran yang beragam dan
sering menyerupai penyakit kulit lain seperti dermatitis atopi, pityriasis
rosea, psoriasis vulgaris, lichen simplex, tinea dan pityriasis versicolor.
Oleh sebab itu, maka dapat dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang
untuk menyingkirkan kecurigaan lain. Diantaranya adalah:
4,9
1. Pemeriksaan dengan lampu Woods, dimana dermatitis seboroik
memiliki hasil negatif.
2. Pemeriksaan KOH. Dermatitis seboroik akan memberikan hasil
negatif
3. Biopsi kulit. Dermatitis seboroik dapat menstimulasi beberapa
dermatitis. Sehingga biopsi dapat menunjukkan gambaran yang
menyerupai beberapa jenis dermatitis lain, sehingga biopsi bukan
merupakan prosedur yang definitif.


Gambar 2. Hasil pemeriksaan histopatologik pada dermatitis seboroik
(dikutip dari kepustakaan 10)

Pada gambaran histologik terdapat spongiosis yang mungkin akut,
subakut atau kronis tergantung pada lesi yang dibiopsi. Pada lesi yang
kronik menunjukkan psoriasiform progresif hiperplasia pada
epidermis dengan spongiosis yang sedikit.
10

9

VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Psoriasis
Pada psoriasis, persisikan pada daerah skalp cukup sering, dimana lesi
pada wajah juga cenderung mirip dengan dermatitis seboroik. Namun,
plak cenderung lebih tebal dengan sisik yang berwarna putih perak, lebih
tebal dan tidak terlalu gatal. Biasanya psoriasis menyerang daerah kuku,
ekstensor, palmar, dan permukaan plantar. Fenomena tetesan lilin, auspitz
dan kobner juga akan ditemukan.
11



2. Dermatitis Atopi
Pada bayi, lesi lebih sering ditemukan pada daerah wajah dan skuama
pada daerah kepala juga umum ditemukan. Pada dermatitis atopi akan ada
riwayat atopi pada pasien dan keluarga.
11

Gambar 3. Psoriasis Vulgaris (dikutip dari kepustakaan 12)
Gambar 4. Dermatitis atopi (dikutip dari kepustakaan 12)
10

3. Tinea Kapitis
Infeksi, terutama yang dihubungkan dengan Trychophyton tonsurans
dapat memperlihatkan gambaran bersisik pada kulit kepala. Biasanya
tinea kapitis ditemukan pada anak-anak di Negara berkembang, dan
menular melalui kontak dengan penderita. Penegakan diagnosis dilakukan
lewat pemeriksaan mikroskopik.
11



4. Dermatitis Kontak
Eritema dan persisikan dapat tampak dan dapat menjadi komplikasi
dari dermatitis seboroik dikarenakan reaksi dari agen topikal yang
digunakan dalam pengobatan (terutama di bagian lubang telinga dan
daerah intertrigenosa).
11

Gambar 5. Tinea kapitis (dikutip dari kepustakaan 12)
Gambar 6. Dermatitis kontak iritan (dikutip dari kepustakaan 12)
11

VII. PENGOBATAN
Kebersihan merupakan salah satu metode yang sederhana namun
efektif dalam mengobati dermatitis seboroik. Membersihkan diri dan
menggunakan sampo secara rutin dapat mengontrol dermatitis seboroik yang
ringan.
9
Agen topikal umumnya digunakan pada hampir sebagian besar kasus
dermatitis seboroik.
11

1. Agen antifungal topikal
Agen antifungal topikal merupakan agen terdepan dari terapi
dermatitis seboroik. Studi yang dilakukan mencatat kegunaan dari
ketokonazol, bifonazol, dan ciclopiroxolamine yang dapat ditemukan
dalam bentuk krim, gel, sabun dan sampo. Ketokonazol, bifonazol dan
ciclopiroxolamine merupakan anti jamur topikal spektrum luas.
Digunakan dua sampai tiga kali perminggu.
11,13

Pada studi kepada 1162 orang dengan dermatitis seboroik, pada 56%
pasien, dalam 4 minggu tampak proses penyembuhan dermatitis seboroik
berlangsung cukup cepat. Pada salah satu studi juga, 312 pasien dengan
lesi pada kulit kepala diberikan sampo ketokonazol 2%. Hasilnya mampu
menunjukkan turunnya angka kejadian relaps pada 69% pasien.
11

2. Kortikosteroid topikal
Steroid secara dramatis mampu membantu pengobatan dari
dermatitis seboroik. Kortikosteroid mampu memberkan terapi yang
murah, efektif dan aman jika diresepkan secara hati-hati. Seboroik pada
wajah harus diterapi dengan kortikosteroid potensi rendah, sebab dapat
menyebabkan iritasi, atrofi dan telangektasis.
9
Untuk penyakit yang resisten, presipitat sulfur 0.5% hingga 1%
dapat diberikan pada steroid untuk meningkatkan efektifitasnya.
Ketokonazol 1 hingga 2.5% yang dicampur juga sangat efektif dan lebih
diterima secara komestik.
9
12

Bisa dibilang kortikosteroid sangat berguna pada jangka pendek
sebab mampu mengontrol eritema dan rasa gatal.
11

3. Preparat selenium sulfida
Biasanya pada terapi untuk kasus ini, selenium sulfide dapat dibuat
dalam bentuk sampo sebab lebih tersedia dan efektif. Dengan preparat
ini, diharapkan dapat mengembalikan pertumbuhan dari Ptyrosporum
ovale. Rasa gatal dan sensasi terbakar biasa ditemukan pada sampo
selenium sulfida dibandingkan dengan yang berisi ketokonazol.
11

4. Lithium topikal
Lithium topikal cukup efektif untuk diberikan kepada pasien
dengan lesi diluar kulit kepala. Mekanisme kerjanya sendiri masih belum
diketahui. Pada sebuah studi dengan menggunakan placebo, terdapat
penurunan signifikan dari eritema, persisikan, dan luas lesi pada pasien
yang menggunakan litium topikal.
11

5. Keratolitik
Larutan keratolitik murni dapat menghilangkan sisik pada
dermatitis seboroik. Contoh larutan keratolitik yaitu seperti salep
whitfield (3% asam salisilat dan 6% asam benzoate). Penyakit ini
memiliki sisik yang lebih longgar sehingga sangat merespon dengan
pengobatan keratolitik.
9

6. Fototerapi
Fototerapi dengan ultraviolet B terkadang dipertimbangkan
menjadi pilihan untuk dermatitis seboroik yang ekstensif, namun belum
diuji secara acak. Rasa terbakar dan gatal dapat timbul, serta memiliki
efek karsinogenik.
4,11


13

Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik hanya diberikan pada penyakit yang luas dan
refrakter setelah semua jenis terapi tidak berhasil. Agen antifungal azole
dapat digunakan dengan dosis yang kecil. Misalnya fluconazol
200mg/hari, dosis yang disarankan 100-400 mg/hari. Flukonazol
merupakan suatu fluorinated bis-triazol dengan khasiat farmakologis
baru. Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi
adanya makanan ataupun keasaman lambung. Itrakonazol berfungsi
hampir sama dengan ketokonazol tetapi pada itrakonazol aktivitas anti
jamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih
kecil dibandingkan ketokonazole. Dosis 200 mg/2 kali sehari untuk 1
minggu.
9,13


VIII. KOMPLIKASI
Pada beberapa kondisi yang ekstrim dapat terjadi eritroderma
eksfoliatif yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan elektrolit dan
hipotermia. Sedangkan, pada bayi dapat terjai eritroderma desquamativum
(Leiner disease) yang memberikan gambar pengelupasan kulit yang
universal, anak tampak sakit berat, anemia, diare, dan muntah. Umumnya
bayi rentan terhadap infeksi sekunder.
4

IX. PROGNOSIS
Pada dermatitis seboroik infantil, biasanya penyakit berlangsung
dari minggu ke bulan. Eksaserbasi atau Leiner disease jarang namun dapat
terjadi. Prognosis cukup baik, dimana tidak ada bukti bahwa bayi yang
terkena dermatitis seboroik dapat terkena lagi saat beranjak dewasa.
4

Sedangkan pada dermatitis seboroik dewasa, penyakit akan
bertahan hingga hitungan dekade dengan periode perbaikan pada cuaca
yang hangat dan periode eksarsebasi pada cuaca dingin. Paparan terhadap
sinar matahari dapat memperluas penyebaran lesi. Sebagian kasus yang
14

mempunyai faktor konstitusi penyakit ini agak seukar diesmbuhkan,
meskipun terkontrol.
4,7





























15

DAFTAR PUSTAKA

1. Holden CA, Berth-Jones J: Eczema, lichenefication, prurigo, and
erythroderma. In: Burns T, Breafitnach T , et al Editors. Rooks
Textbook of Dermatology 7
th
ed. Massachusetts: Blackwell Publishing
Inc. 2004;p. 17.10-4.
2. Berk T, Scheinfeld N. Dermatitis Seborrheic. Jefferson Medical
College, Thomas Jefferson University, USA. 2010;p.348-351.
3. Buxton PK. ABC Of dermatology 4
th
edition, BMJ, London, 2003;p.29-
30
4. Plewig G, Jansen T. Seborrheic dermatitis. In: Wollf K, et all Editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7
th
edition. McGraw-
Hill, USA, 2008;p.219-225
5. Elewski EB. Safe and Effective Treatment of Seborrheic Dermatitis.
Cutis, Birmingham, 2009;p.333-337
6. Fritsch PO, Reider N. Seborrheic dermatitis. In: Bolognia JM, Jorizzo
JL, Rapini RP, editors. Dermatology 2
nd
ed, Mosby Elsevier, USA,
2008.
7. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamousa. Dalam: Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5, FKUI,
Jakarta, 2007;p.189-195,200-2
8. James WD. Seborrheic dermatitis. In: James WD. Andrews Disease of
the Skin: Clinical Dermatology 10
th
ed. Saunders Elseviers,
Pennysylvania, 2006:p.191-2
9. Trozak DJ, Tennenhouse DJ, Russell JJ. Seborrheic dermatitis.
Dermatology Skills for Primary Care. Humana Press, New Jersey,
2006,p.67-75
10. Eczema Pathology. Derm Net NZ: [Online]. 2013 [cited 31 January
2014]. Available from: http://www.dermnetnz.org/pathology/eczema-
path.html
16

11. Naldi L, Debora A. Seborrheic Dermatitis. N Engl J Med, 2009;p.387-
96
12. Fitzpatrick TB, Wolff K, Johnson RA: Fitzpatricks Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology, 6th ed, McGraw-Hill, New York,
2009;p.175,188,225,1850
13. Gunawan SG, Setiabudy R, Elysabeth. Obat Jamur, Farmakologi dan
Terapi Edisi Kelima. Jakarta. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2009; Hal: 571-84
14. T.Lakshmipathy Deepika, Krishnan Kannabiran. Review On
Dermatomycosis Pathogenesis And Treatment, 2010; Vol.2, No.7, 726-
731

You might also like