You are on page 1of 37

Page | 1

BAB I
CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

I. IDENTITAS PASIEN
Nama penderita : Tn. D No. Rekam Medis : 657757
Jenis Kelamin : Laki-laki Tanggal Pemeriksaan : 3/4/2014
Tanggal Lahir : 19 Februari 1989
Alamat : Parinding
Nama RS : RS Labuang Baji

II. SUBJEKTIF
Anamnesis
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama: Demam
Anamnesis terpimpin:
Demam dialami sejak 3 hari yang lalu, demam terus-menerus. Sakit
kepala (+), batuk (-), mual (-), nyeri ulu hati (+), nyeri seluruh badan
(+).
BAB : warna hitam
BAK : lancar
Muncul bintik-bintik merah di tangan kanan
Riwayat perdarahan hidung (-)
Riwayat perdarahan gusi (-)
Riwayat BAB hitam (-)
Riwayat kontak dengan penderita demam berdarah atau dengan gejala
yang sama disekitar rumah (-).
Page | 2


III. OBJEKTIF
Tanda Vital dan Antropometri
TD : 130/90mmHg BB : 58kg
Nadi : 84x/menit TB : 164cm
Pernafasan : 24x/menit IMT : 21.6kg/m
2

Suhu : 38.9 C
Status Generalis
Keadaan Umum : sakit sedang/ gizi baik/ composmentis
Pemeriksaan Fisik :
Kepala
Ekspresi : Biasa
Simetris muka : Simetris kiri dan kanan
Deformitas : Tidak ada
Rambut : Hitam, lurus, sukar dicabut
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Gerakan : dalam batas normal
Tekanan bola mata : tidak diperiksa
Kelopak mata : edema palpebral (-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterus (-/-)
Kornea : jernih
Pupil :bulat, isokor 2,5mm/2,5mm
Telinga
Tophi : (-)
Pendengaran : dalam batas normal
Page | 3

Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Mulut
Bibir : pucat (-), kering (+)
Gigi geligi : caries (-)
Gusi : perdarahan gusi (-)
Tonsil : T
1
T
1,
hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
Lidah : kotor (-), tremor (-),
hiperemis (-)
Leher
Kelenjar getah bening :tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok :tidak ada pembesaran
DVS : R-2 cm H
2
O
Pembuluh darah :dalam batas normal
Kaku kuduk :(-)
Tumor :(-)
Thoraks
-Inspeksi
Bentuk : Normal, simetris kiri dan kanan
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Buah dada : dalam batas normal
Sela iga : dalam batas normal
Lain-lain : (-)
Page | 4

Paru
Palpasi : Fremitus raba : simetris kiri dan kanan.
Nyeri tekan : tidak ada
Perkusi : Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru-hepar : ICS VI dekstra anterior
Batas paru belakang kanan :Vertebra Th. X dekstra
Batas paru belakang kiri :Vertebra Th.XI sinistra
Auskultasi :
Bunyi pernapasan :Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh :

Wh : - | -
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal
Auskultasi: Bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Nyeri tekan (-) MT (-)
Hepar / Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Page | 5

Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
Punggung
Palpasi : NT (-), MT (-)
Nyeri ketok : (-)
Auskultasi : BP: Vesikuler, Rh -/- , Wh -/-
Gerakan : dalam batas normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, uji touniqet (+) di tangan kiri.
Edema : -/-

IV. LABORATORIUM
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah Rutin :
HGB
WBC
Hematokrit
PLT


13,6 g/dl
4,0 x10
3
/uL
40,6 %
78000/uL


12,0-16,0 g/dl
4.0-10.0 x10
3 /
uL
37,0-48,0 %
150x10
3
-400x10
3
uL
Kimia darah
SGOT
SGPT

34
42

<38 U/L
<41 U/l
NS 1 + _

V. ASSESMENT
DHF Grade II
Page | 6


VI. PLANNING
Diet biasa
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol 3x 500mg
Ranitidine 1amp/12jam/iv
Minum 2-3 liter air/ hari

VII. RENCANA PEMERIKSAAN
Darah rutin per hari
Awasi tanda-tanda vital
Foto thorax PA/LLD

VIII. PROGNOSIS
- Ad Functionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam
- Ad Vitam : Dubia ad bonam
IX. FOLLOW UP
Tanggal/jam
dan tanda tanda
vital
Perjalanan penyakit

Instruksi dokter

04/04/2014
(perawatan hari
1)
TD : 110/70
N : 80x/i
P : 20x/i
S : pasien mengeluhkan perut
mules, mual(-), muntah(-), sakit
kepala (+), panas 4 hari, BAB
berwarna hitam, BAK (+)
O : SS/GC/CM
Anemis(-),sianosis (-), ikterus (-)
Banyak minum
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol 3x500mg
Ranitidine
1amp/12jam/iv

Page | 7

S : 37,8 C BP: vesikuler
BT: Rh-/-, wheezing -/-
Cor: S1/ S2 murni reguler
Abdomen: Peristaltik (+) kesan
normal.
Ekstremitas: Edema -/- , nyeri
sendi (+), petekie (+)
RL (+)
Lab : trombosit 68000

A : Demam Berdarah Dengue
derajat II

DR / hari
05/04/2014
(perawatan hari
2)
TD : 110/80
N : 80x/i
P : 20x/i
S : 37,2 C
S :mual(-), muntah(-), sakit
kepala (+), demam (+), BAB
berwarna hitam, BAK: lancar.

O : SS/GC/CM
Anemis(-),sianosis (-), ikterus (-)
BP: vesikuler
BT: Rh-/-, wheezing -/-
Cor: S1/ S2 murni reguler
Abdomen: Peristaltik (+) kesan
normal.
Ekstremitas: Edema -/- , nyeri
sendi (+), petekie (+)
Lab : trombosit 54000
A : Demam Berdarah Dengue
derajat II
Banyak minum
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol 3x500mg
Ranitidine
1amp/12jam/iv

Lab : DR kontrol / hari
Page | 8

06/04/2014
(perawatan hari
3)
TD : 120/80
N : 80x/i
P : 20x/i
S : 36,7 C
S :mual(-), muntah(-), sakit
kepala (-), demam (-), BAB
biasa,kuning , BAK: lancar.

O : SS/GC/CM
Anemis(-),sianosis (-), ikterus (-)
BP: vesikuler
BT: Rh-/-, wheezing -/-
Cor: S1/ S2 murni reguler
Abdomen: Peristaltik (+) kesan
normal.
Ekstremitas: Edema -/- , nyeri
sendi (-), petekie (+)
Lab : 67000

A : Demam Berdarah Dengue
derajat II
Banyak minum
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol 3x500mg
Ranitidine
1amp/12jam/iv

DR/ hari
07/04/2014
(perawatan hari
4)
TD : 120/80
N : 80x/i
P : 20x/i
S : 36,5 C
S :mual(-), muntah(-), sakit
kepala (-), demam (-), BAB
biasa,kuning , BAK: lancar.

O : SS/GC/CM
Anemis(-),sianosis (-), ikterus (-)
BP: vesikuler
BT: Rh-/-, wheezing -/-
Cor: S1/ S2 murni reguler
Abdomen: Peristaltik (+) kesan
normal.
Banyak minum
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol 3x500mg
Ranitidine
1amp/12jam/iv
Page | 9

Ekstremitas: Edema -/- , nyeri
sendi (-), petekie (+)

A : Demam Berdarah Dengue
derajat II
08/04/2014
(perawatan hari
5)
TD : 120/80
N : 80x/i
P : 20x/i
S : 36,5 C
S :mual(-), muntah(-), sakit
kepala (-), demam (-), BAB
biasa,kuning , BAK: lancar.

O : SS/GC/CM
Anemis(-),sianosis (-), ikterus (-)
BP: vesikuler
BT: Rh-/-, wheezing -/-
Cor: S1/ S2 murni reguler
Abdomen: Peristaltik (+) kesan
normal.
Ekstremitas: Edema -/- , nyeri
sendi (-), petekie (+)
Lab : 90000
A : Demam Berdarah Dengue
derajat II
IVFD RL 30 tpm
Paracetamol 3x500mg
Ranitidine
1amp/12jam/iv

Lab: DR kontrol

Rencana rawat jalan





Page | 10

BAB II
PEMBAHASAN
X. RESUME
Seorang laki-laki 24 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan febris,
dialami sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, febris terus-menerus.
Pasien telah diberi obat penurun febris namun febris tidak turun. Nyeri kepala
(+) sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk (-), mual (-), nyeri ulu hati
(+), nyeri seluruh badan (+).
BAB: warna hitam, BAK: lancar, warna kuning, kesan cukup. Muncul
bintik-bintik merah ditangan kanan. Tidak ada penyakit DBD di lingkungan
sekitar tempat tinggal.
Dari hasil pemeriksaan fisis pasien sakit sedang, gizi baik, compos
mentis. Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 84 x/menit, pernapasan 24 x/mnt,
suhu 37,9
o
C (axilla). Rumple-leede test (+).
Pada pemeriksaan penunjang diperoleh hasil laboratotium WBC :
4.0x10
3
/uL, Hb : 13.6 g/dL, PLT : 78x10
3
/UI, SGOT : 34 U/L, SGPT : 42
U/L, NS 1 positif.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, maka pasien didiagnosis DHF Grade II.

XI. DISKUSI
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama pasien adalah demam yang
dialami sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, demam terus-
menerus disertai menggigil. Dari pemeriksaan fisis didapatkan rumple leede
positif dan ada BAB warna hitam. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan
penurunan PLT menjadi 78x10
3
/Ul. Dari pemeriksaan laboratorium juga
didapatkan tes NS 1 anti-dengue positif.
Page | 11

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium
pasien didiagnosa DHF grade II .
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan
tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji tourniquet + (positif);
derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain, derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu
nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi
(sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin,
kulit lembab dan pasien tampak gelisah; serta derajat IV yang ditandai dengan
syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
Pasien ini memenuhi 4 kriteria diagnosis DBD yang ditetapkan
oleh WHO 1997, antara lain :
1. Demam yang berlangsung 2-7 hari dan sifatnya bifasik (tinggi pada hari
pertama dan membaik pada hari-hari selanjutnya). Paien ini mengalami
demam selama 2 hari . selanjutnya pasien tidak demam lagi (demam bersifat
bifasik).
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan. Pada pasien ini dilakukan uji
Rumple leede positif, dan terdapat tanda-tanda perdarahan spontan yaitu
gusi berdarah saat sikat gigi, juga terdapat petechie pada kedua paha dan
betis.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000). Pada paseien ini memiliki
trombosit 62.000. Keadaan trombositopenia pada pasien ini disebabkan oleh
penghancuran trombosit oleh system retikuloendotelial karena terjadi
agregasi trombosit.
4. Terdapat tanda-tanda kebocoran plasma. Pada pasien ini tidak terdapat tanda
klinis kebocoran plasma seperti asites dan efusi pleura. Namun, tanda
kebocoran plasma dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Pemilaian
Page | 12

kebocoran plasma juga dapat ditandai dengan adanya leukopenia progresif
disertai penurunan jumlah platelet yang cepat.
Menurut WHO 2009, berdasar riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD ditegakkan
dengam melihat fase penyakit (febris,kritis,atau penyembuhan), menentukan
adanya warning signs, hidrasi dan status hemodinamik pasien, serta apakah
pasien memerlukan rawat inap.
Pasien ini sedang berada pada hari ke-4 dan tekanan darah saat
masuk 130/90mmHg. Pasien juga memiliki warning signs berupa nyeri
kepala, nyeri seluruh badan, dan penurunan trombosit. Pasien memerlukan
rawat inap atas dasar adanya warning signs.
Setelah diagnosis ditegakkan maka selanjutnya adalah
menentukan tatalaksana yang sesuai dengan pasien. Menurut WHO 2009,
pasien masuk dalam kelompok- B dengan warning signs. Tatalaksana untuk
keadaan ini harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya fase kritis.
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.Asupan cairan
pasien harus tetap dijaga terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien
tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Selain pemberian cairan, pada pasien juga diberikan terapi
simtomatik yakni paracetamol 3x500 mg bila demam, dan ranitidine ampul
untuk nyeri ulu hatinya.
Pasien ini sudah bisa dipulangkan pada hari ke enam perawatan
karena sudah bebas demam selama 6 hari, terdapat perbaikan status klinis
Page | 13

(keadaan umum baik, nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil, tidak
ada gangguan pernafasan), jumlah trombosit sejak hari kelima perawatan terus
meningkat.
Pada pasien yang didiagnosa DHF, pemeriksaan darah rutin khususnya
trombosit dan hematokrit harus dipantau ketat, setidaknya per hari. Karena
peningkatan hematokrit >20% dari kadar hematokrit awal menjadi indikasi
adanya kebocoran plasma.





















Page | 14

DEMAM BERDARAH DENGUE

I. PENDAHULUAN
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (Dengue
Haemorrhagic Fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam disertai dengan sakit kepala,
nyeri pada retro-orbital, nyeri otot dan/atau nyeri sendi, ruam dan manifestasi
perdarahan yang disertai leukopenia, dan trombositopenia. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokosentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan
dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.
II. ETIOLOGI
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio
flavivisidae dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2,
DEN 3, DEN 4.
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun
1975 di beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan
dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN 3 merupakan serotipe
yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat.
Page | 15


Gambar 1. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue

III. PATOGENESIS
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi
virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat
juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang
berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di
dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama
hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas
46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Page | 16

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam
sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing
dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi
kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya
tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan
timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit
menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak digunakan
pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi
yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent
enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada gambar 2.3. yang dirumuskan
oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
Page | 17

dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48
jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus
dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis
dan laboratoris.
Page | 18


Gambar 2. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah (gambar 3.). Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan.
Page | 19


Gambar 3. Patofisiologi perdarahan pada DBD
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak,
tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.


Page | 20

IV. PERJALANAN DAN MANIFESTASI KLINIS DEMAM
BERDARAH
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik,
atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah
dengue atau sindrom syok dengue (SSD).

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2 7 hari, yang
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah
tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan tidak adekuat.
















1. Fase Febris
Pasien biasanya demam tinggi tiba-tiba. Fase demam akut ini
berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah,
eritema kulit, sakit seluruh badan, mialgia, arthralgia, sakit mata retro-orbital,
fotofobia dan sakit kepala. Beberapa pasien mungkin mengeluh sakit
Page | 21

tenggorokan. Pasien juga biasanya mengeluh tidak nafsu makan, mual dan
muntah.
Di fase awal demam, bisa jadi sulit untuk membedakan klinis DBD
dari penyakit demam non-dengue.Tes tourniquet positif dalam fase ini
menunjukkan peningkatan probabilitas dengue. Namun, gambaran klinis
tidak memprediksi tingkat keparahan penyakit. Oleh karena itu sangat
penting untuk memantau tanda-tanda peringatan dan parameter klinis lain
untuk mengenali perkembangan ke fase kritis.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae dan perdarahan
membrane mukosa (misalnya dari hidung dan gusi) dapat ditemukan.
Perdarahan masif per vaginam (pada wanita usia subur) dan perdarahan
gastrointestinal dapat terjadi selama fase ini meskipun hal ini tidak umum
ditemukan. Pembesaran hepar bisa saja terjadi setelah beberapa hari demam.
Awal kelainan pada hitung darah lengkap adalah penurunan progresif
jumlah sel darah putih, yang harus diwaspadai oleh dokter untuk probabilitas
tinggi dengue.

2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase demam ke fase penyembuhan, pasien dengan
tanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan mengalami perbaikan tanpa
melalui fase kritis. Pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler dapat
bermanifestasi dengan tanda-tanda peringatan, sebagian besar sebagai akibat
dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda peringatan menandai awal dari fase kritis. Keadaan
pasienmenjadi lebih buruk pada waktu penurunan suhu badan sampai yang
normal, saat suhu turun menjadi 37,5-38 C atau kurang dan tetap berda
pada fase ini, biasanya pada hari 3-8 sakit. Leukopenia progresif yang diikuti
oleh penurunan cepat jumlah trombosit biasanya mendahului kebocoran
plasma. Peningkatan hematokrit menjadi salah satu tanda tambahan awal.
Page | 22

Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya
berlangsung 24-48 jam. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Peningkatan
hematokrit mendahului perubahan tekanan darah dan denyut nadi.
Tingkat hemokonsentrasi mencerminkan tingkat keparahan kebocoran
plasma.Namun hal ini dapat dikurangi dengan pemberian cairan intravena.
Oleh karena itu, pemeriksaan pengukuran hematokrit sesering mungkin
penting karena sebagai tanda perlunya kemungkinan penyesuaian terapi
cairan intravena. Selain kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti
mudah memar sering terjadi.
Jika syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang melalui
kebocoran, seringkali didahului oleh tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh bisa
subnormal ketika syok terjadi. Dengan syok mendalam dan/atau
berkepanjangan, hipoperfusi mengakibatkan asidosis metabolik dan
gangguan organ progresif. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan hebat yang
menyebabkan hematokrit menurun. Beberapa pasien maju ke fase kritis yaitu
mengalami kebocoran plasma dan syok sebelum penurunan suhu badan
sampai yg normal. Pada pasien ini mengalami peningkatan hematokrit dan
timbulnya trombositopenia atau tanda-tanda peringatan, menunjukkan
terjadinya kebocoran plasma. Pasien dengue dengan tanda peringatan
biasanya akan membaik dengan rehidrasi intravena. Beberapa pasien
memburuk menjadi dengue berat.

Tanda Peringatan Dengue
Tanda-tanda peringatan biasanya mendahului manifestasi syok dan muncul
menjelang akhir fase demam, biasanya antara hari 3-7 sakit. Muntah dan
nyeri perut hebat adalah indikasi awal kebocoran plasma dan menjadi
semakin memburuk karena kondisi pasien berkembang menjadi syok. Pasien
menjadi semakin lesu tapi biasanya tetap waspada secara mental. Gejala ini
dapat menetap sampai ke tahap syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi
Page | 23

postural terjadi selama keadaan shock. Perdarahan mukosa spontan
merupakan manifestasi penting. Pembesaran hepar sering dijumpai. Namun
akumulasi cairan klinis hanya dapat dideteksi jika kehilangan plasma secara
signifikan atau setelah pengobatan dengan cairan intravena. Peningkatan
platelet secara cepat dan progresif menjadi 100.000/mm
3
dan kenaikan
hematokrit melebihi batas normal menjadi tanda awal kebocoran plasma. Hal
ini biasanya didahului dengan leukopenia ( 5000 sel/mm
3
).

3. Fase Penyembuhan
Setelah pasien berada pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi bertahap
cairan kompartemen ekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal
mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa
pasien memiliki eritematosa konfluen atau petekie dengan daerah kecil kulit
normal, digambarkan sebagai "pulau putih di laut merah". Beberapa mungkin
mengalami generalized pruritus. Bradikardi dan perubahan EKG sering
terjadi pada fase ini. Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena
efek dilusi penyerapan cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai naik
segera setelah penurunan suhu badan sampai yang normal tetapi pemulihan
jumlah trombosit biasanya lambat dibandingkan dengan jumlah sel darah
putih. Gangguan pernapasan dari efusi pleura masif dan ascites, edema paru
atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase
pemulihan jika diberikan cairan intravena yang berlebihan.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan
tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif);
derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain, derajat III yangditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu
nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi
(sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin,
Page | 24

kulit lembab dan pasien tampak gelisah; serta derajat IV yang ditandai
dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).
Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya
demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan
terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis
(PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat
dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi
molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku
emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga
laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 12 minggu), serta
biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang
dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik
virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction
(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan
lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga
relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan
timbulnya hasil positif palsu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan
adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi
Page | 25

primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus
kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama
pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi
dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan USG.

VI. DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif,
petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3)
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.



Page | 26










VII. DIAGNOSA BANDING
1. Demam Dengue
2. Demam thyphoid
3. Malaria
4. Morbili
5. Demam Chikungunya
6. Leptospirosis
7. Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)

VIII. PENGOBATAN
Tidak ada spesifikasi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama
adalah terapi suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan
tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan
pasien harus tetap dijaga terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien
Page | 27

tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

TATALAKSANA DBD PADA DEWASA

Protokol 1 Pasien Tersangka DBD
Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas
atau Istalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya
untuk dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat.
Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih
belum tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit
dantrombosit) mungkin masih dalam batas-batas normal, sehingga sulit
membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini
mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang
meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan observasi/
pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb, Ht,
dan jumlah trombosit.
Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan
a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl
Page | 28

Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit
dalam batas normal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke
poliklinik Rumah Sakit dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan
pasien rnemburuk agar segera kembali ke Puskesmas atau Fasilitas
Kesehatan. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, rnaka
untuk sementara pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan anjuran
minum yang banyak, serta diberikan infus ringer laktat sebanyak 500cc
dalam empat jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan
trombosit. Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut.
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/pl atau
2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit kurang dari 150.000/pl
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal
dengan jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dandalam waktu 24 jam
kemudian diminta kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD
apabila keadaan menjadi memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap
diobservasi dan tetap diberikan infus ringer laktat 500cc dalam waktu empat
jam berikutnya. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan jumlah
trombosit.
Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.
1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/ul
2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah
trombosit normal atau menurun
Page | 29

Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekwensi nadi, dan
pernafasan serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.
Protokol 2 DBD Tanpa perdarahan masif dan syok
Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif,
petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah rumus:
1500 + {20 x (BB dalam kg 20)}
Setelah pemberian caira dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam;
Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit <100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb , Ht
trombo dilakukan tiap 12 jam
Bila Hb, Ht meningkat >20% dan rombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht
>20%.
Pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama. Cairan lain
yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer laktat
atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam
larutan garam atau NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan dengan
perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pada
pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat per infus
sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan kurang
dari 50 kg pemberian cairan infus dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24
jam, sedangkan pasien dengan berat badan lebih dari 79 kg dapat diberikan
cairan infus sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Jumlah cairan infus yang
diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa dengan
Page | 30

kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien
dengan kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada
pasien dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih
pemeriksaan elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur
operasional yang harus dilakukan. Selama fase akut jumlah cairan infus
diberikan pada hari berikutnya setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai
didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun, pasien
dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam)
dan tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit
mulai meningkat lebih dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya
dapat mulai dikurangi. Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien
DBD dewasa tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah
memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12
jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/p 1,
sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan jumlah trombosit berkisar
100.000 - 150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 24
jam. Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan jumlah
urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk
dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital
tersebut harus lebih diperketat. Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin
sangat diperlukan, karena penanganan pasien DSS lebih sulit, dandisertai
dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus
segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau adanya penurunan
kesadaran, akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah urin yang
menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan
tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-
tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik
kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat
dankecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus
Page | 31

segera diberikan. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan
perdarahan masif (perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam)
dengan jumlah trombosit < 100.000/pl, dengan atau tanpa koagulasi
intravaskular disseminata (KID). Pasien DBD dengan trombositopenia tanpa
perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.
Pasien dapat dipulang apabila
1. Keadaan umum /kesadaran danhemodinamik baik, serta tidak demam
2. Pada umumnya Hb, Ht danjumlah trombosit dalam batas normal serta
stabil dalam 24 jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah
trombosit belum mencapai normal (diatas 50.000) pasien sudah dapat
dipulangkan.
Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya
atau trombosit belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke
poiliklinik dalam waktu 1x24 jam atau bila kemudian keadaan umum
kembali memburuk agar segera dibawa ke UGD kembali.
Protokol 3 DBD dengan peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht >20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
ciran sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan
yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun,
tekanan darah stabil, produksi rin meningkat, maka jumlah cairan infus
dikurangi 5ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali
dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus
dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap
membaik maka pemberian cairan dapaat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Page | 32

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi menngkat,
tekanan drah menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan
maka jumlah cairan dikurangi menjadi 2 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan
tidak menunjukkan perbaikan maka maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesia
dengan protokol tatalaksana sindrome syok dengue pada dewasa. Bila syok
telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian
cairan awal.
Protokol 4 DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan
perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti inijumlah dan kecepatan pemberian
cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml
setiap 4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok
sedini mungkin. Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus
segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam. Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan defisiensi
faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang), Packed Red Cell
Page | 33

(PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit kurang dari 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam
kemudian, sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase
dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD dengan gejaia-gejala
tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas perlu dirujuk dengan infus.
Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila
tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.
Protokol 5 DBD dengan syok dan perdarahan spontan
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat
penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan
pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita
DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak
tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan
pengobatan SSD yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama
yang sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor
basa. Pilihan lainya adalah NaCl 0,9%. Selaian resustasi cairan, pasien juga
diberi oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
elektrolit natrium, kalium, klorida serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal
ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infus cepat/guyur) dapat
dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi
selama 30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat mungkin
dalam waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum
pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik
100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekwensi
Page | 34

nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat
dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam. Apabila syok sudah
dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat dikurangi menjadi 10
ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan
klinis stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc
setiap 4 jam. Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh
karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga sifat
cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh
darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila
hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30% dianjurkan
untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1
atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol % hendaknya diberikan
transfusi sel darah merah (packed red cells). Apabila pasien SSD sejak awal
pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata syok masih tetap belum
dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid. Bila hematokrit
kurang dari 30 % dianjurkan diberikan juga sel darah merah. Cairan koloid
diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang tidak
mempengaruhi/menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan
mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena
pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh
sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.
Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat
diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat
dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat
diatasi, selain ringer laktat juga dapat diberikan obat-obatan vasopresor
seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrin. Bila dari pemeriksaan
hemostasis disimpulkan ada KID maka heparin. Bila dari pemeriksaan
Page | 35

hemostasis disimpulkan ada KID, maka heparin dan transfusi
kompunendarah diberikan sesuai dengan indikasi seperti tersebut diatas.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam.
Pemeriksaan hemostasis ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam
kemudian sejak dimulainya pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa
KID; pemeriksaan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila masih
terdapatperdarahan. Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD
mengingat kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri
dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila
didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ lainnya, dan antibiotik yang
digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem
pembekuan.
IX. PROGNOSIS
Kematian oleh Demam dengue (DD) hampir tidak ada. Sebaliknya
pada DHF/DSS mortaliasnya cukup tinggi. Menurut penelitian prognosis
dan perjalanan penyakit orang dewasa umumnya lebih ringan daripada
anak-anak.
X. PENCEGAHAN
Untuk memutuskan rantai penularan pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai. Ada 2 cara pemberantasan vektor
1. Menggunakan Insektisida
Biasanya digunakan malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan abate
untuk membunuh jentik. Dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gr Abate
56 1% per 10 ltr air.
2. Tanpa Insektisida
Minimal 1 x minggu
Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
Page | 36

Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol
pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.



























Page | 37

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Herdiman T. Demam Berdarah Dengue. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi V. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,
2006; Hal 2773-2779.
2. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
prevention and control. 2
nd
Edition Geneva, 1997.
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
4. Thomas Suroso, Hadinegoro SR, Wuryadi S dkk (Editor): Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue.
Depkes RI. Jakarta, 2003
5. World Health Organization: Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Revised and expanded
edition. New Delhi, 2011.

You might also like