Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta. Tahun 2014 adalah tahun pemilihan yang paling brutalbrutal dalam wujud kata-katasepanjang sejarah kita sejak 1945. Dalam proses yang sengit ini, hampir tiap saat kita mendengarkan "fakta" yang dikatakan untuk diputarbalikkan, bantahan-bantahan yang tak berniat mencari apa yang benar, dan cepat atau lambat, meruyaknya saling tidak percayabahkan kebencian. Bersama itu: hilangnya percakapan yang serius. Percakapan yang serius mengandung keinginan untuk saling mendengarkan, meskipun tak harus untuk saling setuju. Percakapan yang serius tak berarti percakapan tanpa humor; bahkan humor bisa penting di situ. Dalam percakapan yang serius ada asumsi bahwa kata- kata punya sebuah kekuatan, dalam bunyi dan makna, dalam pikiran dan perasaankekuatan yang kadang-kadang disebut "maksud". "Maksud" dalam bahasa Indonesia bisa berarti "makna", bisa juga berarti "intensi". Tapi ketika dusta begitu sering diucapkan, maksud pun hanyutdan kadang-kadang tenggelamdalam arus bunyi yang desak-mendesak yang dalam gramatika disebut (untuk memakai ucapan Hamlet yang kesal) "kata, kata, kata". Mark Twain pernah mengatakan, perbedaan antara dusta dan kucing ialah bahwa kucing hanya punya sembilan nyawa. Dusta, dengan kata lain, jauh lebih sulit mati. Ia hanya bisa dihentikan oleh lawannya yang sering disebut sebagai "kebenaran". Tapi kebenaran, apa pun definisinya, tampaknya kini sudah kecapekan sebelum berhasil mengejar dan menghajar kebohongan. Pelan-pelan, sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta, sebuah masyarakat yang tak bisa lagi bercakap-cakap secara serius, akhirnya mirip sebuah koleksi suara berisik yang sebenarnya tak berkata apa-apa. Kita seakan-akan bagian lakon televisi yang disajikan Samuel Beckett: tidak ada lagi dialog. Bahasa sudah habis. Dalam Quad, kita akan melihat para aktor bergerak di pentas dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata hanya ditulis Beckett sebagai arahan pementasan. Deleuze membahas lakon tanpa-kata itu dengan judul l'puis, "yang kehabisan tenaga". Tak ada lagi tenaga untuk saling menyapa. Setidaknya oleh Beckett bahasa ditunjukkan sebagai bagian dari keadaan yang lebih runyam ketimbang sekadar lelah. Tapi kita tahu, kita tak mungkin hidup tanpa bahasa. Kita mustahil kembali ke sebuah masa pra-linguistik, sebelum bahasa dipergunakan, sebab masa itu tak pernah ada. Realitas yang kita kenal tidak saja disebut dengan bahasa, tapi bahkan dikonstruksikan bahasaapa pun bentuknya. Dalam keadaan "kehabisan tenaga" verbal, kita tahu ada bahasa bunyi, ada bahasa imaji, ada bahasa isyarat. Seorang "bisu" yang dibuang ke sebuah pulau hukuman selama bertahun-tahun, seperti ditunjukkan catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, justru orang yang mengutarakan banyak hal. "Bisu" di situ berarti penampikan: menampik bahasa kekuasaan yang membekukan pikiran dan tafsir, menolak bahasa yang memenjarakan hidup dan percakapan ke dalam label dan identifikasi ("Gestapu", "Golongan A"), atau melawan bahasa yang memutarbalikkan pengalaman ("Tefaat", akronim dari "tempat pemanfaatan", sesungguhnya adalah tempat penyekapan). "Bisu" dalam hal ini mirip dengan yang disebut Deleuze sebagai "gagap", bgaiement, satu ekspresi yang menyanggah "imperialisme" bahasa yang membekukan gerak dan arus makna. Dengan kata lain, ada sebuah alternatif ketika percakapan kehabisan tenaga verbal. Tapi saya tak tahu apa jadinya jika masyarakat yang kecapekan oleh dusta kemudian kehabisan asumsi bahwa saling percaya adalah satu hal yang mungkin. Ketika fitnah diproduksi dan disebarkan bertubi-tubitak jarang oleh mereka yang seharusnya dipercaya, yakni tokoh agamaketika orang saling menyidik apakah tetangganya "Kristen", "zionis", "teroris", "Islam fundamentalis", "neo-lib", atau "komunis", ketika itulah dunia kehidupan lumpuh. Polisi menggantikan Politik: pengawasan menggantikan ikhtiar bersama. Dalam keadaan itu, yang tersirat dari Quadapa pun maksud Beckett dengan lakon yang ditulisnyamengingatkan situasi itu: di atas pentas, empat sosok berkerudung bergerak di bidang bersegi empat, tak punya nama, asal-usul, dan percakapan. Masing-masing hanya tampak beda dari warna jalabiahnya dan bunyi perkusi yang mengantarnya masuk. Mereka semua menyembunyikan identitas, karena mereka tak mau diawasi dan diberi label. Atau sebaliknya, mereka semua telah jadi serupa: penghuni-penghuni yang dicurigai, penghuni- penghuni yang saling mencurigai. Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang macam itu: kecapekan fitnah dan dusta.
Goenawan Mohamad
Surat untuk PS
Minggu, 06 Juli 2014
Mas PS yang saya hormati, saya kirim surat ini dengan niat baik, seperti juga ketika saya menerima surat Anda. Saya dengar Anda rajin berkirim surat belakangan ini. Silaturahmi itu mulia, apalagi di bulan puasa yang berkah. Semoga keberkahan menyertai pemilu 9 Juli nanti. Terus terang, belakangan ini saya galau. Barangkali karena banyak begadang. Mungkin juga terbawa suasana kampanye pemilu. Seumur hidup belum pernah saya mengalami kampanye seburuk sekarang. Fitnah, kabar bohong, dan isu SARA berseliweran begitu bebas. Baru pertama kali juga saya mengalami ada orang Istana yang ketahuan menyebarkan tabloid propaganda, yang Anda tentu tahu isinya lebih banyak imajinasi penulisnya. Saya prihatin Istana tidak menindak stafnya itu, malah ada kesan membela satu calon. Saya juga miris. Badan pengawas pemilu, panitia pengawas, komisi ini atau komite itu, juga polisi, seakan tak berdaya menghadapi derasnya pelanggaran kampanye. Jangan-jangan semua lembaga pengawas ini takut kepada satu hal: kalau ada calon presiden kena diskualifikasi, Indonesia akan tercatat sebagai negara dunia pertama yang calon presidennya gugur sebelum bertanding. Saya tak percaya sekalian lembaga itu takut kepada salah satu calon presiden. Dalam surat yang saya terima, Anda menyebut diri Anda pemimpin yang akan membawa Indonesia menjadi negeri maju, sejahtera, bermartabat di mata dunia. Saya setuju. Untuk mencapai tujuan itu, dukungan rakyat perlu digalang dengan bermartabat, dengan langkah terpuji. Siapa pun yang menang, menyatukan rakyat yang terbelah bukan persoalan mudah, kalau kita sepakat tak memaksakan penyatuan itu dengan tangan besi. Persatuan sejati mahal harganya. Tapi saya pun paham, kata sejati itu berlebihan. Di dunia, apalagi dunia politik, mencari yang sejati itu mungkin sama sulitnya dengan mencari jarum di samudra luas (lagi-lagi saya kelewatan, mencari pesawat MH 370 yang begitu besar saja sulit, apalagi jarum yang begitu kecil). Semua kandidat berusaha meraih kemenangan dengan segala cara. Saya berharap Anda setuju bahwa cara itu mestilah yang dibenarkan demokrasi, bukan yang membuat orang luar menilai demokrasi kita begitu primitifnya. Demokrasi kita merupakan satu-satunya kebanggaan di antara negara sekawasan. Di banyak bidang lain, kita tertinggal. Tapi dengan persiapan pemilu yang begini keruh, saya khawatir kita tidak hanya akan mundur, tapi barangkali juga akan kehilangan demokrasi yang kita banggakan ini. Sebagai wartawan, saya merindukan pemimpin yang menjamin kebebasan pers seperti janji konstitusi. Ini bukan soal menyenangkan "insan-insan pers", melainkan merupakan ukuran saya atas penghormatan calon presiden terhadap konstitusinya. Kami tidak meminta pemimpin untuk mengatur kebebasan itu. Kami hanya ingin memastikan pemimpin menaati konstitusi tersebut. Pemimpin yang baik adalah yang memastikan pers bekerja leluasa memenuhi hak publik akan informasi yang bebas dari pengaruh penguasa dan siapa pun. Jangan khawatir, kebebasan itu tak akan kami gunakan untuk menyiarkan berita bohong, seperti televisi yang seenaknya menayangkan kabar angin bahwa ada calon presiden yang keluarganya komunis. Sayang, Anda tak mendiskusikan kebebasan pers dalam surat Anda. Tapi, Mas PS, Anda juga tak membahas jadwal pemilu yang bertabrakan dengan Piala Dunia sepak bola ini. Payah. Sudah capek pikiran, saya masih harus begadang menunggui jago saya berlaga di Brasil. Jadi, Mas Putu Setia, terima kasih sudah membaca surat ini. Sekalian saya ingatkan, pekan depan giliran Anda menulis kolom "Cari Angin" ini. Semoga Internet di kampung Anda di Tabanan tak ngadat lagi. Saya ingin menikmati jago saya berlaga. Kalau tak sekarang, kapan lagi.
Bawaslu, 'Pemburu Kampanye Hitam'?
Senin, 07 Juli 2014 Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Peneliti Tamu di William and Mary Law School, Virginia
Di tengah maraknya kampanye hitam terhadap kedua calon presiden, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lelap tertidur. Padahal lembaga itu adalah "pemburu hantu" (ghost buster) segala bentuk pelanggaran Pemilu. Termasuk menyingkirkan "hantu-hantu pelaku kampanye hitam".
Pembiaran kampanye hitam hanya membuka pintu bagi keributan, sebagaimana terjadi di sebuah televisi swasta. Sebelum terulang atau lebih besar, "panasnya pemilihan presiden" harus diredam dengan menghentikan huru-hara kampanye hitam.
Berdasarkan Pasal 73 ayat (3) huruf b angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, salah satu tugas Bawaslu adalah mengawasi bentuk dan materi kampanye, hingga dana kampanye. Temuan Bawaslu terhadap pelanggaran kampanye dapat ditindaklanjuti lembaga lain yang berwenang, misalnya kepolisian. Namun kepolisian hanya dapat bergerak jika Bawaslu menyatakan telah terjadi pelanggaran pidana berupa kampanye hitam.
Sayangnya, Bawaslu seakan membiarkan pelaku kampanye hitam dan siapa yang memberi pendanaan. Pembiaraan itu mengakibatkan meledaknya kampanye hitam di pelbagai media. Terutama media Internet.
Seandainya Bawaslu punya niat baik membenahi kualitas pemilu, membuat jera pelaku kampanye hitam adalah kewajiban. Setidaknya tindakan Bawaslu akan mengakhiri berita "busuk" tak mendidik dan membuat publik lebih memperbincangkan kualitas track record berupa pengalaman dan visi dan misi capres. Lalu rumitkah bagi Bawaslu menelusuri jejak- jejak hantu kampanye hitam?
Kampanye hitam pada pemilihan presiden (pilpres) adalah fakta sejarah yang terus berulang. Itu sebabnya, Daniel Hays Lowenstein meyakini langkah-langkah licik tidak akan hilang dalam proses kampanye (2012; hlm. 540). Dalam pemilihan presiden Amerika, misalnya, hantu kampanye hitam bergentayangan sejak perebutan kursi Gedung Putih antara John Adams dan Thomas Jefferson.
Tingkat keterpilihan (elektabilitas) Adams dianggap tidak sepadan dengan Jefferson yang menjadi "idaman publik". Agar elektabilitas pesaing menurun, Jefferson dicitrakan sebagai "perampok" dana bantuan para janda dan anak yatim-piatu. Lebih mengerikan, Jefferson disebut memiliki banyak anak dari budak-budak kulit hitamnya. Dua isu itu merupakan hal sensitif bagi kulit putih yang memiliki hak pilih satu-satunya ketika itu.
Nasib serupa dialami capres Joko Widodo, yang dituduh berdarah Cina turunan Singapura dan beragama Kristen. Lebih jauh, penyebaran transkrip percakapan palsu Jaksa Agung tentang upaya penundaan kasus korupsi bus Transjakarta adalah kampanye terskema rapi. Menggunakan isu agama dan korupsi tentu akan membuat para pemilih mayoritas "ketakutan". Kampanye hitam itu jelas bertujuan meruntuhkan elektabilitas Joko Widodo yang terlalu tinggi.
Jika permasalahan itu disigi, Bawaslu tentu dengan mudah menemukan "pemain inti" kampanye hitam. Setidaknya tiga langkah penting dapat dilakukan. Pertama, Bawaslu dapat menelusuri pelaku dengan menggunakan tenaga ahli di bidang cyber crime karena kampanye hitam paling marak berada di ruang cyber (Internet). Tenaga ahli Bawaslu dapat menelusuri internet protocol (IP) address pelaku yang akan membongkar "dalang kampanye hitam".
Kedua, Bawaslu dapat meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Transaksi keuangan tim capres dapat ditelusuri untuk menemukan pelaku kampanye hitam dan penyandang dananya. Ketiga, Bawaslu dapat mempersempit ruang penyidikan dengan "membaca" pihak mana yang paling diuntungkan dari maraknya kampanye hitam. Dalam kasus Jefferson, pelaku dapat dipastikan adalah kubu Adams karena elektabilitas Jefferson menurun selama berlangsungnya kampanye hitam. Dalam konteks "pertarungan" antara Prabowo dan Joko Widodo, Bawaslu dapat membaca dengan melihat elektabilitas capres mana yang menurun tajam setelah kampanye hitam terjadi.
Saya yakin penelusuran pelaku kampanye hitam adalah perihal mudah bagi Bawaslu. Apalagi anggota Bawaslu adalah figur yang dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang yang berkaitan dengan pengawasan (Pasal 85 UU Penyelenggara Pemilu). Lalu apa yang membuat Bawaslu tidak mampu menjadi pemburu hantu pelanggaran penyelenggaraan pemilu? Dugaan bahwa anggota Bawaslu terlibat pembiaran kampanye hitam karena mendukung salah satu kandidat tentu saja agak berlebihan. Namun, dalam banyak proses penyelenggaraan pemilu, Bawaslu seperti "duri dalam daging" dalam melindungi demokrasi pemilu.
Semestinya kinerja Bawaslu yang lamban dievaluasi. Publik dapat melaporkan lambannya kinerja Bawaslu sebagai tindakan yang menjatuhkan etika penyelenggara Pemilu, khususnya dalam bidang pengawasan. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dapat mengeluarkan pernyataan terbuka untuk siap menerima laporan dari masyarakat dan tim kampanye salah satu capres terkait dengan kampanye hitam. Hal itu penting agar DKPP dapat "membangunkan" Bawaslu untuk menjalankan tugasnya menjadi "pemburu kampanye hitam". Sebelum anak negeri terbelah lebih dalam, Bawaslu mesti segera berburu pelaku kampanye hitam. Rakyat Pemimpin Rakyat
Senin, 07 Juli 2014 Candra Malik, pemilih
Politik konon menghalalkan segala cara. Toh tidak ada dalil hukum langit yang diterapkan untuk mengadili perebutan kekuasaan di bumi. Wajar jika politikus tidak takut dosa politik. Menabrak nalar dan rasa, mereka mainkan isu suku, agama, ras, dan aliran. Bayangkan, bagaimana bisa calon presiden dicap keturunan Cina, beragama Kristen, Freemasonry, Illuminati, sekaligus Zionis, antek Amerika, Syiah, merangkap Komunis? Pasti ia hebat betul, tak jatuh meski diserang dari berbagai penjuru.
Komplet benar stempel yang dibubuhkan kepadanya. Salut kepada kinerja tim sukses yang tidak kenal lelah, baik itu tim sukses yang sadar tugasnya menyukseskan klien maupun tim sukses yang secara sadar bekerja untuk menyukseskan diri sendiri. Salut juga kepada tim sukses kategori terbaru, yaitu tim sukses yang beranggotakan susupan dari tim lawan yang bertugas menjalankan misi kontraproduktif. Berkat tim sukses tipe terbaru inilah, sesekali muncul manuver kejutan.
Kampanye hitam, putih, negatif, positif, atau apa pun itu, tetaplah bermaksud mempengaruhi rakyat pemilih. Tim sukses menyadari betul adanya tiga kategori rakyat pemilih. Pertama, rakyat yang mengalami sejarah dan menolak lupa. Kedua, rakyat yang mengalami sejarah tapi mengabaikannya. Ketiga, rakyat yang tidak mengalami sejarah dan terputus dari akses informasi rekam jejak. Kuantitas rakyat kategori dua dan tiga ini besar, tapi kualitas pengetahuan dan kesadaran politiknya kecil.
Kesadaran berbangsa dan bernegara merosot ke titik kulminasi terendah manakala kesadaran berpolitik dan berkuasa dominan. Menjadi sangat mengkhawatirkan ketika informasi yang dipasok oleh tim sukses dan diterima oleh rakyat pemilih ternyata beracun. Bermuatan fitnah, adu domba, syak wasangka, dan ranjau: diinjak, meledak. Ya, ranjau-ranjau kampanye ditanam di mana-mana dan makin dekat 9 Juli 2014 makin tidak terlacak sebarannya. Ranjau kampanye mengancam keluarga kita.
Keluarga dalam definisi bagaimana pun--perkawanan dan persahabatan juga memenuhi makna itu--berada pada keadaan tidak nyaman ketika bicara jurang politik. Tak sedikit yang mengeluh keharmonisannya dengan kerabat menjadi berantakan sejak beda pendapat dan pilihan. Ada yang mendadak arif bijak ketika berpolitik, sampai-sampai orang dekatnya tak mengenal lagi. Politik menyediakan topeng beraneka watak dan terus-menerus memproduksi topeng baru.
Tidak ada kawan abadi dalam politik. Berseberangan pun bukan berarti tak bisa menyeberang. Jembatan sudah disiapkan jika sewaktu-waktu realitas politik menghendaki pindah haluan. Segalanya halal dalam politik, dan ini bukan cuma konon. Setelah pemilihan legislatif, rakyat cuma bisa bengong melihat partai pilihannya berkoalisi dengan partai lain yang berlawanan arah dan arus politik. Elite politik bisa secepat itu melupakan akar rumput.
Maka, ketika ada seseorang yang bukan elite politik bisa menghimpun akar rumput dalam jumlah besar, tanpa pengibaran bendera partai politik mana pun, ini menunjukkan angin perubahan tidak sedang ingin mengibaskan bendera partai politik, tidak pula ingin mengibarkan calon presiden belaka.
Ahok dan Benyamin S
Senin, 07 Juli 2014 JJ Rizal, Sejarawan,
Sungguh ironis, di Jakarta dalam periode yang panjang, para pejabatnya sering melupakan peran penting seniman. Bahkan dalam suasana ulang tahun Jakarta ke-487 lalu, ketika menguat penghormatan kepada keistimewaan seni budaya Betawi-Jakarta serta tokoh-tokoh yang mendedikasikan hidupnya untuk itu, justru hal yang memilukan terjadi. Benyamin S., sebagai seniman ikon nomor wahid dan manisfestasi tradisi budaya Betawi-Jakarta, mengalami penghinaan luar biasa dalam acara YKS produksi Trans TV. Anehnya, tidak terdengar suara protes dari pemerintah Jakarta.
Mungkin Pemerintah Kota Jakarta masih belum mengubah wajahnya dari masa kompeni yang, disebut sejarawan Leonard Blusse, berwajah konsumtif. Sebab, pejabatnya lebih memperhatikan pedagang daripada seniman yang telah membuat sajak, lagu, lukisan, dan cerita yang membuat Batavia sohor di dunia dengan sebutan Koningin het van Oosten atau Ratu di Timur.
Setelah kemerdekaan, Asrul Sani termasuk yang jengkel melihat wajah abai pemerintah terhadap seniman. Saking jengkelnya, ia menulis "Surat Terbuka bagi Wali Kota Baru" di majalah Siasat, 3 Januari 1954. Ia menyatakan pemerintah Jakarta mempunyai "wajah pejabat". Asrul protes karena banyak seniman bekerja keras menampilkan Jakarta sebagai sumber ilham dan tempat tinggal, tapi Pemerintah Kota saat itu kurang menghargai seniman serta mendorong kehidupan kebudayaan.
Asrul kecewa, ketika pada 28 April 1949 Chairil Anwar melepaskan nyawa dan diantar ke pekuburan di Karet, pemimpin Jakarta Sastromuljono tidak memberikan perhatian. Padahal rombongan pengantar jenazah penyair terkemuka yang banyak meninggalkan nyanyian tentang Kota Jakarta itu lewat di depan rumahnya. Kekecewaan yang sama sebelumnya disampaikan Rosihan Anwar. Ia menyesalkan ketidaktahuan pemimpin Jakarta tentang posisi penting Chairil.
Perlu satu dasawarsa lebih Jakarta memiliki pemimpin sesuai dengan harapan Asrul dan Rosihan itu. Pada 1966, Ali Sadikin diangkat. Meskipun ia mengaku tak tahu banyak kesenian serta kenal seniman, tetapi baginya seniman penting untuk membangun kota yang beradab. Karena itulah, sejak 1968, ia memfasilitasi seniman dengan mendirikan Taman Ismail Marzuki (TIM), Akademi Jakarta (AJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Sinematek, dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Ia pun dikenang sebagai gubernur yang bergaul erat dengan seniman, juga mendengarkan saran- saran mereka dalam pembangunan Jakarta. Kisah itu dapat dibaca dalam biografinya, Bang Ali demi Jakarta dan Empu Ali Sadikin 80 Tahun.
Buku yang terakhir itu terbit sebagai bagian dari acara penganugerahan gelar "Empu Peradaban Kota" kepada Bang Ali oleh IKJ pada 25 Januari 2006. Ajip Rosidi menyatakan gelar itu diberikan agar pemimpin Jakarta ingat pentingnya kesenian dalam membantu menjauhkan Jakarta dari wajah kota yang tak beradab. Sebab, kesenian meningkatkan kepekaan, mendorong pemikiran kritis, berkontribusi merumuskan acuan-acuan kehidupan yang baik dan membaik.
Ada yang berlanjut ada yang berubah, Jakarta muncul dengan aneka wajah. Tetapi, soal perhatian terhadap seniman, Jakarta tampak masih enggan melepas wajah kota konsumtif yang dikatakan Blusse, wajah kota pejabat yang disebut Asrul, dan wajah kota tak beradab yang dinyatakan Ajip. *
Pemimpin
Senin, 07 Juli 2014 Anton Kurnia, esais, Editor-in-Chief Penerbit Serambi, Jakarta.
"Presiden adalah pejabat tinggi yang dipilih untuk melaksanakan suatu fungsi. Dia bukan raja, juga bukan dewa. Dia pun bukan dukun sakti yang tahu segalanya. Dia adalah pelayan rakyat. Cara hidup ideal seorang presiden adalah hidup seperti sebagian besar rakyat yang harus dilayaninya," kata Jose Mujica, Presiden Uruguay, saat ditanya soal jabatan presiden dan gaya hidupnya yang terkenal sederhana.
Terkait dengan soal pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 9 Juli ini, saya teringat lagi kutipan menarik itu. Saya juga jadi teringat pada obrolan iseng saya lewat fasilitas chat di Facebook beberapa hari lalu dengan seorang kenalan yang sudah lama tak berjumpa.
Sore itu menjelang waktu berbuka puasa. Kenalan saya itu seorang perempuan Malaysia bernama Dina Zaman, yang di negerinya dikenal sebagai kolumnis dan penulis buku kontroversial I Am Muslim. Dia tiba-tiba menyapa.
Dia mengeluhkan situasi di Malaysia saat ini. Lalu saya bertanya, apakah mereka membutuhkan kebebasan lebih banyak? Sebab, di sini kebebasan justru membuat orang jadi gila. Dia bilang tidak. Yang mereka butuhkan adalah leadership, katanya. Kepemimpinan. Kalau begitu sama, saya bilang. Kami di sini sedang menghadapi pemilihan presiden dan kami butuh pemimpin yang hebat.
Namun, di situlah masalahnya. Tidak semua penguasa punya jiwa kepemimpinan. Lebih buruk lagi, tidak semua pemegang kekuasaan layak disebut pemimpin. Banyak petinggi yang berjiwa "majikan" atau "pejabat" yang bersikap bossy. Mereka memperlakukan anak buah dan orang banyak sebagai orang yang lebih rendah derajatnya (subordinate) sehingga pantas diperintah atau dijadikan obyek kekuasaan.
Apakah beda substansial antara pejabat dan pemimpin?
Menurut para pakar manajemen, seorang pejabat (bos) menciptakan rasa takut dalam diri anak buahnya, sedangkan pemimpin membangun kepercayaan. Pejabat mengandalkan kekuasaan, pemimpin mengandalkan kerja sama. Pejabat menyalahkan anak buahnya, pemimpin menyelesaikan masalah dan memperbaiki kesalahan. Pejabat hanya pandai berbicara, sedangkan pemimpin cakap dalam bertindak.
Dalam kecamuk pemilihan presiden RI kali ini, kita merindukan hadirnya seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa ini lepas dari segenap persoalan, bukan seorang pejabat yang sekadar berambisi menjadi penguasa. Kita membutuhkan orang yang mau mendengarkan, berempati, memiliki manajemen perencanaan yang baik, mau berdiri di depan untuk mengeksekusi rencana itu, dan mengawal pelaksanaannya hingga tuntas.
Bagi orang semacam itu, seperti halnya Presiden Jose Mujica di Uruguay, formalitas tak penting lagi. Maka dia tak sungkan pergi ke kantornya dengan kemeja kasual, bersandal, dan mengendarai sendiri mobil VW tuanya. Sebab, baginya seorang presiden adalah pelayan rakyat banyak yang harus bekerja untuk bangsanya, bukan pejabat sok kuasa yang boleh bertingkah bagai raja.
Kita butuh pemimpin yang manusiawi. Rakyat sudah muak dengan segenap kekisruhan politik dan kleptokrasi. Rakyat ingin perubahan. Tentu bukan sosok presiden sempurna yang kita harapkan, melainkan pemimpin yang memiliki mata hati sehingga mampu melihat persoalan dengan jernih dan bisa mengajak bangsa ini bekerja dengan antusias mewujudkan cita-cita bersama. Sebab, seperti selarik puisi Rendra, "Perjuangan adalah pelaksanaan kata- kata."
Seniman Berpolitik
Senin, 07 Juli 2014 Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip
"1.000 kali seniman tak berpolitik, 1.000 kali pula politik mencampuri seni dan seniman." - Amir Pasaribu, komposer
Kutipan dari komposer musik legendaris Indonesia itu saya temukan dari kliping koran pada 1957. Kutipan itu berumur 57 tahun jika diukur dari masa saat Glen Fredly, Bimbim Slank, dkk "mengorganisasi" musikus untuk menjadi relawan politik Indonesia dalam pemilu Indonesia ke-12.
Amir sadar bahwa frasa "seniman berpolitik" adalah posisi. Seniman yang disebutnya sebagai paal di tengah kehidupan bangsa dan masyarakatnya bukanlah spectateur atau penonton, melainkan pemikir, peserta, yakni peserta yang bergiat menyelamatkan bangsanya dari kerugian besar.
Peristiwa panggung musik politik 5 Juli 2014 di Gelora Bung Karno Jakarta adalah kembalinya spirit Amir Pasaribu dalam bermusik yang tak alergi terhadap keterlibatan politik. Politik bukanlah iblis yang mesti dihindari, melainkan dirawat dan dibersihkan bersama dalam kepemimpinan rakyat.
Amir Pasaribu, C. Simandjuntak, Sarbini, W.R. Supratman adalah leluhur musik yang diproduksi revolusi. Karakter mereka dibentuk dan ditempa di alam politik yang keras dalam pencarian notasi budaya. Mereka adalah musikus dan sekaligus aktivis.
Musikus semacam Amir tahu betul bahwa politik tak merusak dunia musik yang ditekuninya, melainkan saling mengisi dalam konteks kebangsaan yang luas. Politik tidak berada di pihak yang mengeksploitasi.
Kebudayaan yang tak kalis dari politik itu bisa kita baca dari bagaimana kebijakan politik bersikap pada musik, film, teater, sastra, buku, tari, seni rupa, yang kemudian dihimpun dalam satu frasa baru: "ekonomi kreatif". Dan frasa ini adalah frasa politik karena berkaitan dengan visi kebudayaan dan politik anggaran yang menyertainya. Makin sedikit anggaran yang disediakan, makin mudah menilai keberpihakan politik terhadap kemaslahatan kebudayaan.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, ada tiga bentuk keterlibatan seniman. Pemilu 1955 melahirkan keterlibatan seniman dalam satu struktur barisan organisasi/sanggar. Seniman berpolitik dalam organisasi seperti Lekra, Lesbumi, dan LKN.
Ketika rezim Sukarno tumbang, keterlibatan seniman dalam politik berubah. Seniman dilarang berpolitik praktis bersamaan dengan penyusutan partai. Keterlibatan seniman dalam politik pun semata bersifat panggilan dan penghibur tanpa ada tawar-menawar kepentingan selain bayaran. Seniman sebagai boneka politik tanpa daya tawar itu berlangsung puluhan tahun.
Dalam pemilu ke-12 ini muncul keterlibatan lain yang berbeda dengan dua model keterlibatan sebelumnya, yakni keterlibatan yang cair dan tanpa bayaran. Keterlibatan yang bersifat sukarela ini bersifat ad hoc, tanpa ada iming-iming uang, kecuali panggilan jiwa untuk menjadi peserta dan bukan penonton politik.
Dalam sejarah pemilu, jumlah keterlibatan relawan seni, terutama dimotori musikus yang memiliki lapisan pengikut yang luas, adalah terbesar dan tiada tanding. Mereka tak diikat oleh organisasi yang bersifat partisan, melainkan jaringan teknologi komunikasi. Walau bukan pendukung partai politik tertentu, mereka hadir menyuarakan apa yang disebut Amir Pasaribu sebagai cara, "memikirkan nasib kemadjuan bangsanja dalam pemikiran semua segi hidupnja."
ISIS di Irak: Genealogi dan Prospek
Senin, 07 Juli 2014 Muhammad Ja'far, Pengamat Politik Timur Tengah
Kelompok bersenjata Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) yang terus berusaha menggerogoti stabilitas Irak itu menyimpan obsesi untuk mengakuisisi seluruh wilayah Irak.
Penetrasi kelompok ini sangat cepat: mulanya Tikrit dan Mosul, kemudian beberapa daerah lain sudah diambil alih. Meski sedikit terlambat, pemerintah Irak yang tengah disibukkan oleh seribu satu persoalan itu mulai melakukan langkah taktis guna menghadang ekspansi ISIS sedapatnya. Ketika pasukan Amerika Serikat ditarik pada 2011, suprastruktur dan infrastruktur militer Irak masih lemah, belum banyak berbenah di bidang tersebut. Faksi-faksi tradisional bersenjata, seperti Moqtada Shadr, juga masih belum bersinergi secara optimal, baik secara politis maupun militer. Kondisi ini jelas menguntungkan ISIS yang agresif dan akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan mimpi menaklukkan Irak.
Dalam keadaan seperti ini, wajarlah jika bantuan dari luar negeri menjadi opsi pertama yang terpikirkan oleh Perdana Menteri Irak Nouri Maliki. Mengingat terbatasnya kapabilitas pertahanan militer Irak, di samping Iran dan Libanon sebagai mitra strategisnya, bantuan terbatas dari AS menjadi pertimbangan Maliki. Opsi ini dinilai strategis untuk mengantisipasi potensi munculnya new terrorism (kebangkitan terorisme baru setelah Bin Ladin) yang menjadi motor gerakan ISIS.
Melihat arkeologi gerakannya, sulit mengkategorikan ISIS sebagai entitas tunggal yang berdiri sendiri. Kegagalan kelompok ini dalam menjatuhkan pemerintahan Bashar Al Assad di Suriah, dengan membonceng pada bendera "revolusi" dalam tiga tahun terakhir, membuat ruang geraknya semakin sempit. Lantas, ditambah dengan semakin tajamnya friksi di dalam, ISIS mengalami disorientasi gerakan.
Dalam kondisi demikian, mau tak mau, Irak menjadi alternatif yang dipercepat. Jika dalam cetak biru awal gerakan ISIS Irak merupakan sasaran selanjutnya setelah sukses di Suriah, kini justru Irak yang menjadi alternatif pertama setelah gagalnya Damaskus. Gerakan ISIS di Irak saat ini harus dibaca secara integral dengan visi dan misi gerakannya di Suriah sebelumnya. Secara genealogis, ISIS lahir dari rahim Al Kaidah cabang Irak (AQI) dengan pelakon utama Abu Musab Al Zarqawi. Zarqawi dan Usamah bin Ladin, dengan Amerika Serikat sebagai musuh bersama, awalnya memiliki visi yang sama. Tapi, dalam perkembangannya, keduanya menjadi rival, Zarqawi bahkan menerapkan prinsip teror ke dalam tubuh muslimin sendiri, ototerorisme, sebagai ekspresi ketidaktoleranan terhadap perbedaan.
Zarqawi mengincar varian Islam yang berbeda dengan Islam-nya sebagai sasaran. Targetnya bukan hanya Islam Syiah Irak, tapi juga muslimin Sunni dan Kurdi, jika mereka memang menghalangi jalan gerakannya. Jadi, visi teologi dan ideologi gerakan ini dinilai tunamazhab, karena perjuangan ISIS tidak merepresentasikan kepentingan politik mazhab apa pun di Irak. Kegaduhan yang ditimbulkannya murni bermotif teror dan berlatar ekstremisme. Karena itu, penting bagi Maliki untuk menguatkan sinergi politiknya dengan kelompok Sunni dan Kurdi, untuk mengantisipasi kemungkinan manipulasi sentimen mazhab oleh ISIS.
Tahun 2006, Zarqawi tewas, dan AQI bermetamorfosis menjadi ISIS dengan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai figur utama yang menakhodai gerakan sporadis di Irak saat ini. Dengan ISIS-nya, Al Baghdadi berusaha semakin mematenkan desain ototerorisme, dengan menjadikan Irak sebagai titik berangkat ISIS, sebagaimana Afganistan menjadi garis start Al Kaidah ala Bin Ladin. Dalam imajinasi gerakan Al Baghdadi, dari Irak inilah kekhalifahan Islam akan dijalarkan ke seluruh tanah Timur Tengah.
Sebesar apa kemungkinan imajinasi Al Baghdadi ini terwujud?
Yang jelas, Irak yang berada tepat di jantung geopolitik Timur Tengah bukanlah Afganistan, dan inilah rintangan pertama yang dihadapinya. Wacana yang membicarakan terorisme juga sudah mengalami pergeseran makna secara politis. Kompleksitas dampak ototerorisme di Irak secara regional dan global akan mengundang keterlibatan banyak negara untuk mendelegitimasi proyek ini-terutama dari internal negara muslim, baik Syiah maupun Sunni. Destabilisasi Irak yang terus dilakukan ISIS akan ditentang keras oleh kalangan luas yang lintas mazhab. Apalagi sokongan dana dan infrastruktur militer pada ISIS Irak tidak akan semasif di Suriah. Beberapa negara sudah kapok dengan fenomena "tsunami balik" para ekstremis yang diberangkatkan ke Suriah.
Fenomena Al Kaidah di Afganistan sudah cukup menjadi pelajaran mahal pada masa lalu, dan kini pemerintah Amerika Serikat sudah menetapkan garis tegas atas persoalan ini. Sinergi Gedung Putih-Baghdad untuk menumpas ISIS akan membuktikan komitmen ini. Belum lagi jika Iran dan Lebanon, dua mitra Irak, mengulurkan bantuan. ISIS tidak hanya akan kesulitan memperluas kawasan akuisisinya, tapi juga semakin tersudut ruang geraknya.
Merujuk pada kiprahnya selama di Suriah, ISIS sebenarnya kelompok yang cukup rapuh dalam beberapa sisinya: ikatan ideologisnya lemah, soliditas internalnya rentan pecah, dan visi gerakannya cenderung jangka pendek. Dengan performa seperti ini, sulit bagi ISIS untuk sukses menjalankan proyek ototerorismenya, apalagi mendirikan negara Islamnya. Gerakan ini hanyalah sisa dari ekstremisme politik dan agama yang semakin sulit menemukan dan mempertahankan eksistensinya.
Presiden
Rabu, 09 Juli 2014 Bandung Mawardi, ESAIS
Sebutan presiden sudah berlaku dalam partai politik dan hukum sejak awal abad ke-20. Para tokoh pergerakan politik kebangsaan dan jurnalis akrab dengan istilah presiden-biasa diucapkan dan dituliskan tanpa "beban pengertian" bakal menjadi julukan mentereng bagi tokoh besar bernama Sukarno. Sutan Mohammad Zain, dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1952), mengartikan presiden sebagai "ketua, kepala jang tertinggi, ketua pengadilan, kepala republik jang tertinggi."
Ingat, 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah memuat istilah presiden, pengesahan sebutan dalam sistem politik di Indonesia. Sukarno mengenang: "Satu hal jang disajangkan ialah, bahwa kami tidak mempunjai perkataan asli untuk menjebut presiden. Presiden adalah perkataan Inggris. Oleh karena orang menganggap bahwa perkataan ini tjotjok, maka kami terpaksa meng-Indonesia-kannja. Huruf 't'-nja dihilangkan" (Adams, 1966). Sukarno mendapat predikat presiden meski gamang dalam urusan bahasa.
Di Indonesia, pengisahan orang menjadi presiden jarang dramatis. Sukarno mengisahkan diri sesaat setelah resmi menjadi presiden: "Di djalanan, ia bertemu dengan tukang sate. Lalu, Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pendjadja jang kaki-ajam dan tidak berbaju itu, mengeluarkan perintah pelaksanaannja jang pertama, 'Sate ajam lima puluh tusuk.' Aku djongkok di sana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara." Kita tak mendapati pesta berlebihan atau peristiwa akbar. Selebrasi menjadi presiden adalah adegan makan sate di pinggir jalan.
Pengisahan Sukarno menjadi presiden memang berlatar situasi tak keruan. Sukarno tak mungkin membuat panggung megah, mengundang ribuan orang, berpesta makanan karena gejolak perang belum usai. Puluhan tahun sejak peristiwa makan sate di pinggir jalan, Soeharto muncul sebagai presiden menggantikan Sukarno. Dalam Sidang MPRS pada 27 Maret 1968, upacara berlangsung selama 45 menit, yang mengesahkan Soeharto menjadi presiden. Soeharto berkata, "Prinsip jang selalu kami pegang teguh dalam melaksanakan tugas MPRS kepada kami adalah menegakkan hukum, menegakkan konstitusi, dan menegakkan demokrasi" Janji Soeharto memang manis dan muluk-muluk. O.G. Roeder (1969) memberi deskripsi saat Soeharto meninggalkan ruang sidang: "hampir tengah malam, tanpa keangkuhan seorang pemenang jang djaja. Ia tidak lagi seorang djenderal jang selalu tersenjum, tetapi seorang presiden dengan tanggung djawab jang berat."
Sekarang, 9 Juli 2014, jutaan orang memilih presiden baru. Mereka berhak berimajinasi tentang peristiwa saat tokoh pujaannya berhasil diresmikan menjadi presiden. Kita menduga bakal ada selebrasi dramatis. Predikat agung tentu diartikan melalui pengumpulan massa, doa bersama, upacara, pidato, berfoto, dan makan. Ikhtiar untuk berpredikat presiden memerlukan keringat, kata, uang, tempat, siasat, doa, serta iklan. Selebrasi menjadi presiden adalah representasi mentalitas dan identitas tokoh.
Kita menginginkan selebrasi beradab tanpa menghamburkan uang. Kita menolak dramatisasi picisan jika bertujuan untuk pengultusan tokoh. Peristiwa sekejap di bilik suara tak perlu dibalas pesta berlebihan saat tokoh di kertas suara diresmikan menjadi presiden.
Papua, Pendidikan, dan Jokowi
Rabu, 09 Juli 2014 Amiruddin Ar-Rahaab, Juru Bicara dan Asisten Ahli Kepala UP4B
Papua adalah wilayah Indonesia yang pertama kali menerima sinar matahari setiap pagi. Namun manusia-manusia Papua yang terbangun oleh fajar pagi itu kerap terlupakan. Walhasil, hal-hal yang serba kurang mudah kita jumpai di Papua.
Pak Jokowi, pada hari pertama kampanye Anda untuk menjadi Presiden, Anda telah menginjak tanah Papua. Melalui media, saya simak pernyataan Anda, bahwa Anda datang bukan sekadar mencari dukungan suara, tapi juga karena memandang tanah fajar menyingsing ini memiliki arti penting bagi Indonesia. Anda betul Pak Jokowi. "Indonesia tanpa Papua, bukanlah Indonesia." Kira-kira begitulah garis politik Sukarno.
Karena itu, izinkanlah saya mengemukakan beberapa catatan agar hal itu tidak berhenti hanya sebagai slogan. Sehubungan dengan begitu banyak kekurangan yang ada di Papua, wajah Indonesia menjadi bopeng di tengah pergaulan internasional. Seakan republik ini tidak sedikit pun membawa kegembiraan bagi rakyat Bumi Cenderawasih. Meski saya tahu sudah begitu banyak yang diberikan dan dikerjakan pemerintah untuk Papua, ternyata itu belum cukup. Rasa tidak puas selalu saja kerap membubung, dan rasa percaya mudah runtuh dari lembah dan gunung serta pantai Papua.
Intinya adalah lemahnya komitmen. Komitmen atas apa yang dituliskan dan yang diucapkan selalu rendah. Simaklah UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua dengan akal-budi jika Anda ada waktu. Betapa luhur kandungan UU Otsus Papua itu. Namun, di alam nyata, tak seberapa yang bisa direalisasi. Kalaupun ada yang terealisasi, itu pun tidak mudah, harus bersitegang dulu. "Bara habis, nasi tak tanak," itulah tamsil kerja negara di Papua saat ini.
Pak Jokowi, hakikat UU Otsus Papua adalah percepatan dalam segala bidang. Sebab, ketertinggalan Papua perlu dipacu agar bisa mengimbangi provinsi lain. Percepatan itu hanya mungkin bisa dilaksanakan dengan jalan memberi pengecualian dan pendampingan bagi Papua. Tanpa itu, tak mungkin.
Karena itu, simaklah sekelumit pengalaman saya ini. Awal Juni 2014, saya sampai di Kampung Gesa, Distrik Binuki, Memberamo Raya. Di kala terik matahari memanggang kepala, saya mampir ke SD dan SMP yang ada di situ. Kelas kosong, meja belajar berantakan, dan bangunannya rusak. Sang guru yang mendampingi saya menunjukkan wajah muram karena dia diberi beban mencerdaskan anak bangsa dalam kondisi seperti itu. "Tak ada yang peduli kami di pedalaman ini."
Di SMP Binuki, realitas yang sama juga hadir. Bagian tengah papan tulisnya terkoyak, terlepas dari gantungan. Kursi patah dengan meja compang-camping tak beraturan. Kelas itu seperti telah berbilang bulan tak mengenal sapu. Kepala sekolah mengeluhkan kurangnya guru yang telaten, buku yang tidak pernah datang, serta fasilitas yang serba kurang. Guru itu menceritakan bahwa anak-anak akhirnya lebih senang bermain atau ikut ke kebun karena suasana sekolah tidak menyenangkan.
Pak Jokowi, tahukah Anda, UU telah mewajibkan 30 persen uang otonomi khusus disalurkan untuk pendidikan di Papua. Artinya, ada Rp 1 triliun anggaran per tahun untuk memperbaiki sarana dan mutu pendidikan di Papua. Aturan itu sudah berjalan 10 tahun. Anggaran dari Kemdikbud yang bernilai ratusan miliar juga tercurah ke Papua setiap tahun. Namun, apa lacur, sekolah hancur dengan mutu mundur yang kita jumpai.
Untuk memperbaiki kenyataan dan kenyamanan hidup rakyat di Papua, tidak ada jalan selain memperbaiki mutu pendidikan di sekolah dasar dan menengah. Seturut dengan gagasan itu, mumpung masih ada waktu, jika Anda memenangi pacuan capres ini, tunaikanlah utang Anda yang telah terucap itu untuk memberikan perhatian khusus bagi Papua.
Pertama, ambillah inisiatif segera untuk melakukan operasi khusus pendidikan untuk mengatasi kekurangan guru yang sudah kronis ini dengan memobilisasi segala sumber daya. Perbaikilah ruang-ruang kelas SD dan SMP di pedalaman Papua yang telah membusuk itu agar anak-anak merasa nyaman belajar. Langkah ini harus ditujukan untuk menyalakan obor pendidikan dasar 12 tahun.
Kedua, sejalan dengan langkah pertama, rekrutlah ribuan guru dari anak-anak Papua sendiri yang telah lulus SMA dan sekolah sederajat. Siapkan mereka sebaik mungkin. Tidak perlu berijazah S1 guru itu, yang penting bisa mengajar setelah dilatih selama 2 tahun. Serta jadikan mereka PNS dengan tunjangan khusus.
Ketiga, rancang langkah panjang yang elegan dengan memperbaiki universitas negeri yang sudah ada. Tingkatkan anggaran, fasilitas, dan sarananya. Jadikan universitas di Papua ini center of excellence di bidang ekowisata, lingkungan, kehutanan, serta pertanian skala besar, karena itulah masa depan Papua. Industri pertambangan ekstraktif bukanlah masa depan Papua.
Juga dirikanlah satu universitas yang hebat di wilayah pegunungan tengah Papua. Wamena cocok untuk itu. Wamena adalah centrum dari anggota suku-suku di pegunungan tengah Papua itu. Ilmu humaniora, seperti antropologi, sosiologi, dan arkeologi bisa memiliki laboratorium alam terbaik di dunia di area tersebut.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat dalam pembukaan UUD 1945. Jika sekolah bobrok dan anak-anak mogok bersekolah, tidakkah Pemerintah telah berkhianat kepada hak konstitusional bocah-bocah cerdas Papua itu?
Jadi, dari catatan kecil ini, yang paling penting adalah perencanaan dan rancangan yang bagus dalam hal pendidikan di Papua. Intinya, ada pengecualian dan pemihakan melalui pendampingan serta pengawasan dengan implementasi secara terus menerus. Hanya dengan itulah sumber daya manusia terlemah di Papua bisa diperbaiki. Ucapan adalah utang, maka tunaikanlah dengan perbuatan jika menduduki singgasana Istana itu.
Demokrasi Otentik
Selasa, 08 Juli 2014 Benni Setiawan, Dosen di UNY, Peneliti IndoStrategi.
Demokrasi otentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang menggerakkan politik agar lebih memiliki makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagamaan, dan solidaritas antarwarga. Demokrasi otentik mengarah pada pemaknaan kehidupan berbasis kemanusiaan dan ini hanya mampu diemban oleh mereka yang mempunyai visi kemanusiaan.
Dalam demokrasi ini, kepemimpinan layaknya air yang menghadirkan manfaat bagi rakyat. Kepemimpinan hadir dan omni present menjawab permasalahan rakyat akan memantik harapan dan memupus segala antipati terhadap pemerintahan.
Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada masyarakat dengan semangat pamong (pelayan). Ia bukan pemimpin berwatak penguasa. Melalui program kerja prorakyat, ia memberikan pelayanan yang menyenangkan untuk rakyatnya. Program kerja tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat. Dengan demikian, langkah kerja seorang pemimpin tertata dan benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan (pencitraan).
Ia memimpin dengan etika yang akan mendorong kesadaran baru aparatur yang humanis, yaitu aparatur sipil negara yang bertindak atas nama kemanusiaan, mendorong meritokrasi (penghargaan atas prestasi), dan akuntabilitas pelayanan publik. Ia melakukan inovasi dan terobosan-terobosan dalam membangun sebuah peradaban. Melalui inovasi, keterbukaan, kerendahan hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.
Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sekolah yang paling nyata adalah kehidupan itu sendiri, yang dapat diperoleh dengan merefleksikan pengalaman. Pembelajaran sejati adalah proses memimpin setidaknya dalam lima tahun masa kepemimpinannya.
Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan bangkit menatap masa depan cerah.
Keberhasilan ini tak terlepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia senantiasa menyapa warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa menggurui berbekal pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi pemimpin masyarakat. Pemimpin yang melayani dengan kesederhanaan dan cinta.
Medium pembebasan politik ala Hannah Arendt pun mewujud melalui gerak tanggap calon presiden dalam membangun sistem berkeadaban. Perwujudan sistem berkeadaban pun muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi warna yang semakin menghiasi keadaban publik. Kearifan lokal bukan hanya menjadi bumbu penyedap, tapi juga menjadi roh dalam setiap gerak dan langkah.
Dengan demikian, pemilihan presiden merupakan medium mencari, memilah, dan memilih calon pemimpin nasional yang mengerti kehendak rakyat. Kehendak rakyat bukanlah kehendak tuan. Kehendak rakyat ialah impian dan cita-cita besar bangsa sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pada akhirnya, mari menggunakan waktu yang tak lama untuk merenungkan dan memantapkan pilihan kepada salah satu capres untuk memimpin Indonesia dengan demokrasi otentik. Demokrasi sebagai bangunan politik berperikemanusiaan dan berkeadaban.
Mari Berbicara Ketulusan Politik
Selasa, 08 Juli 2014 Geger Riyanto, Esais (@gegerriy)
Judulnya "Sebuah Meteor dari Kampung". Kalau Anda pelanggan majalah Tempo, Anda mengetahuinya. Jokowi, foto artikel itu memperlihatkan, berdiri di hadapan pendukungnya yang menghampar dari satu ujung Monas ke ujung Monas lainnya. Satu sosok dengan perawakan ceking khasnya. Ribuan warga terbentang seperti pasir, memperhatikan saksama setiap geriknya dengan antusias.
Kalau pembaca budiman pendukung capres bersangkutan, boleh jadi ada kepuasan yang tak terjelaskan, bahkan sekadar menatap gambar tersebut. Demikian pula saat mencerap foto serupa yang diambil pada kesempatan lain-"Konser Salam Dua Jari" di Gelora Bung Karno. Sang calon mengacungkan salam dua jari, isyarat khasnya. Sekujur latar belakangnya, dari lapangan hingga tribun atas, adalah para pendukungnya.
Sebuah momen eksepsional? Pendek saja, tidak. Pada kampanye PDIP untuk pemilu demokratis pertama 1999, jalan-jalan protokol merekah merah. Megawati tak pernah berorasi lebih dari 10 menit, seorang wartawan Time menulis. Tapi ribuan pendukung yang memerahkan kampanyenya gegap gempita cukup dengan kehadiran bungkamnya. Kemudian pada 2004, situasi sama berulang. Ke mana pun SBY pergi berkampanye, orang-orang dengan sendiri menyerbunya. Popularitasnya sendiri nyaris tak masuk akal, memberikannya perolehan suara di atas 60 persen dalam pemilihan. Sebuah standar kemenangan telak pemilu demokratis yang sulit disaingi.
Namun kini mari kita bayangkan, apakah di mata para calon pejabat ini massa pendukung merupakan insan manusia ataukah semata kerumunan pendatang suara? Apakah pembaca budiman, di mata mereka, berharga sebagai individu ataukah semata butiran remeh di antara puluhan juta suara yang diperlukan guna memperoleh kekuasaan eksekutif tertinggi? Jawabannya mudah. Bila seseorang memilih yang pertama, ia dipastikan naif.
Hanya, rasionalitas politik, yang memandang penduduk tak lebih dari komoditas politik, pada hari-hari yang aneh ini berjalan beriringan dengan hasrat para warga ini sendiri. Sukarno, suri tauladan siapa pun yang bercita-cita menjadi figur populis, Anda ingat, gemar menekankan jumlah penduduk sebagai kekuatan nasional. Dan siapa di antara ribuan audiens pidatonya yang merasa dieksploitasi mendengar diri mereka diperlakukan sebagai obyek, alih-alih subyek? Sebagai amunisi politik alih-alih subyek dengan hak-hak lengkapnya selaku warga negara?
Para pemilih, pada momen-momen ini, bukan lagi tak masalah menjadi sekadar seorang penonton di antara lautan manusia yang remeh, tak berarti. Kita, pada kenyataannya, mendambakannya--mendambakan untuk menjadi bukan siapa-siapa dan sekadar partikel kecil dalam satu gerak masif untuk tujuan yang kabur menunaikan kepentingan siapa. Atau, kalaupun ada kepentingan yang jelas-jelas ditegakkan, bukankah ia milik sang figur dan rombongan elite yang mengikatnya dengan kontrak tak terhindarkan?
Bukannya semua ini bermasalah. Tapi, bila demikian tulus dan tidak egoisnya alasan kita memilih, hal pertama yang patut disadari adalah kita tak benar-benar punya hak untuk mengeluh nanti. Pikirkan baik-baik ungkapan klise Kennedy yang masih dianggap inspiratif hari ini, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah kau berikan kepada negara." Kita, noktah kecil kemenangan kekuatan-kekuatan besar yang bisa dibuang kapan pun, tak boleh menuntut timbal balik. Sungguh sebuah kebijaksanaan politik!
Pemilihan umum presiden 2014 telah usai. Kita juga telah melewati hari-hari yang "panas" oleh fitnah dan kampanye hitam. Tanggal 9 Juli 2014 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, termasuk Jokowi. Dia menorehkan tinta emas dalam jagad perpolitikan di Indonesia.
Jokowi adalah representasi wong cilik. Sejak memegang kursi wali kota, dia telah menunjukkan kepedulian besar kepada masyarakat bawah, terutama dalam hal pendidikan. Warga yang tidak mampu secara ekonomi tetap dapat mengenyam bangku sekolah. Kecerdasan dan kepedulian Jokowi itu mengingatkan kita pada sosok Mangkunegara VII. Dia adalah tokoh lokal Solo yang juga menggetarkan dunia internasional dan berjaringan dengan filsuf luar negeri.
Dia priyagung berotak brilian lantaran mengakar semangat belajar yang kuat dalam tubuhnya. Ia berusaha keras memahami kebudayaan Jawa dan Barat yang bertolak belakang. Berkat mengeyam pendidikan di Belanda, meski tidak kelar, dia memadukan budaya luhur nenek moyang dengan konsep pendidikan Barat yang kritis.
Agar para kawula dari segala kelas sosial melek huruf, pada 1927, didirikanlah Solosche van Deventer School (sekolah Van Deventer). Di dalam gedung yang kini digunakan untuk kegiatan belajar SMPN 3 dan SMPN 10 tersebut, pelajaran Barat yang kudu dimamah sang murid antara lain bahasa Belanda, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu kesehatan, dan ilmu gizi. Biar tidak tercerabut dari akar budaya Jawa dan pemikiran para siswa tidak jomplang, mereka diajari membatik dan njoged (menari).
Dalam kurun itu, ide Mangkunegara VII yang berhasil membikin pemerintah Belanda tercengang ialah berdirinya HIS Siswo, yang berlokasi di Jalan Ngarsopuro (sekarang SMPN 5) dan sekolah Siswo Rini, yang bertempat di bagian timur Pura Mangkunegaran. Sekolah ini khusus untuk menempa kaum hawa. Sungguh sebuah gagasan yang melampaui zaman, karena Mangkunegara VII, yang notabene hidup dalam lingkungan feodal, malah berani mendobrak unsur feodalisme yang menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tidak berhak mengenyam gurihnya pendidikan. Perempuan dikeluarkan dari belenggu tradisi budaya Jawa yang memposisikan mereka macak, manak, dan masak saja. Materi yang diajarkan adalah bahasa Melayu, bahasa Jawa, pengetahuan memasak, cara merawat buah hati, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Salah besar kalau menganggap penduduk desa yang rumahnya jauh dari Pura Mangkunegaran tidak diberi kesempatan mencecap pelajaran sekolah. Gusti, bermodalkan setumpuk uang dari hasil bisnis perkebunan, juga memberikan akses pendidikan kepada mereka. Mangkunegara VII menyambut virus kemadjoean dengan memberantas buta sastra di seluruh area praja. Priyayi Mangkunegaran diwajibkan mendidik masyarakat supaya bisa masuk ke dunia kemodernan.
Sebagai orang Solo, mestinya Jokowi tidak lupa akan peran Mangkunegara VII dalam mencerdaskan penduduk. Sebisa mungkin ia meniru semangat Mangkunegara VII. Kemenangan Jokowi-JK dalam pemilu presiden 2014 adalah kemenangan rakyat, kemenangan mereka yang butuh pendidikan. Barangkali, dalam gegap gempita perayaan kemenangan Jokowi-JK ini, kita harus tetap ingatkan dan tagih janji beliau memajukan dunia pendidikan masyarakat Indonesia. *
Membandingkan Ibunda Jokowi dan Prabowo
Kamis, 10 Juli 2014 Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI
Kepribadian Joko Widodo yang sederhana dan pekerja keras itu tidak terlepas dari sentuhan sang ibunda, Sujiatmi. Buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi, yang ditulis Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti, bercerita tentang seorang ibu yang menanamkan pendidikan budi pekerti, kesederhanaan hidup, kerendahan hati, hingga akhirnya membentuk karakter Jokowi seperti sekarang ini. Pesan kepada anaknya, "Nek mlakumu lurus, lempeng, uripmu mesti penak" (Kalau jalanmu lurus, lempang, maka hidupmu pasti enak". Sangat sederhana cara ia mengajar anak-anaknya. "Untuk apa punya mobil sepuluh? Apa iya kalau mau pergi sepuluh- sepuluhnya dipakai".
Apresiasi terhadap cara Sujiatmi membesarkan Jokowi, salah satunya, disampaikan Nina Akbar Tanjung. "Ibu Sujiatmi itu wanita yang sukses karena berhasil membesarkan anak- anak, beliau tetap mengajarkan filsafat luhur ojo dumeh (jangan mentang-mentang)," kata Nina. Selain memuji pendidikan karakter yang dilakukan, Nina menyinggung sosok Sujiatmi. "Beliau sangat luar biasa, beliau juga berdagang, selain itu juga jadi ibu rumah tangga. Jadi, dulu waktu Jokowi sedang sakit, ibunya juga rela mengantarkan anaknya ke sekolah dengan sepeda motor dan saat menjemput dicandai temannya bahwa Jokowi dijemput oleh saudaranya," Nina bercerita. Dalam kesempatan itu, Nina juga menjelaskan mengenai bagaimana ibunda Sujiatmi selalu berpesan bahwa jika ingin kaya berkecimpunglah dalam bisnis, bukan dalam politik. Menurut penulis Amerika Serikat, Emily Post, karakteristik perempuan hebat ditandai dengan sifat "ketulusan, kesederhanaan, simpati, dan ketenangan". Semuanya itu dimiliki Sujiatmi, ibunda Jokowi. Kegiatan rutin Haijah Sujiatmi ini adalah Sabtu senam, hari-hari lain mengikuti pengajian di kampung dan di beberapa tempat lain, sedangkan setiap Senin ia berpuasa sambil istirahat di rumah.
Dalam buku ini juga disinggung tentang pertemuan Joko Widodo dengan calon istrinya, Iriana. Semuanya berjalan sederhana. Iriana adalah teman sekolah Iit, adik perempuan Jokowi. Cinta mereka adalah cinta orang biasa. Ini tentu berbeda dengan kisah Prabowo, seorang perwira militer, putra begawan ekonomi Indonesia yang menikah dengan Titik Soeharto, putri Presiden Indonesia.
Ibu juga memiliki peran sentral dalam kehidupan Prabowo. Dora Sigar yang berasal dari Minahasa dan beragama Protestan mengawali kisah cintanya dengan Sumitro Djojohadikusumo di Eropa. Pada 1945, ketika Sumitro menderita tumor usus, Dora yang belajar ilmu keperawatan di Utrecht mengayuh sepeda ke rumah sakit di Rotterdam untuk merawat Sumitro. Pada 1946, Sumitro pulang ke Indonesia, Dora menyusul kemudian dan mereka menikah pada 1947 dengan mempertahankan agama masing-masing. Keluarga mereka pun sangat heterogen. Putri pertama Bianti beragama Katholik dan bersuamikan Sudrajat Djiwandono yang pernah menjadi Gubernur BI. Putri keduanya, Maryani, bersuamikan orang Prancis yang merupakan keturunan Yahudi. Putra ketiganya, Prabowo, menikah dengan Titik Soeharto. Yang bungsu, Hashim, beragama Protestan dan menikahi perempuan yang beragama sama. Pada Ramadan, Dora sering bangun untuk menemani Sumitro makan sahur.
Pada 1958, meletus pemberontakan PRRI yang menyebabkan Sumitro sekeluarga harus berkelana di luar negeri selama belasan tahun. Demi keamanan, mereka hidup berpindah- pindah dari Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, London, dan Bangkok. Prabowo sendiri menamatkan sekolah menengah di London (Hidup di "perantauan" juga kemudian hari dialami Prabowo ketika ia meninggalkan Indonesia pada 1998 dan tinggal di Yordania beberapa tahun). Sumitro beruntung memiliki Dora Sigar sebagai istri yang setia, tidak pernah mengeluh. Ia tidak pernah menyalahkan Sumitro karena mereka harus meninggalkan Tanah Air. Dora menghabiskan waktunya untuk mengurusi anak-anak.
Joko Widodo dan Prabowo Subianto berasal dari kelas yang berbeda. Joko berasal dari kalangan orang biasa yang sudah terbiasa dengan kerja keras, sementara Prabowo dari keluarga pergerakan kemerdekaan yang sudah terbiasa berjuang, termasuk mengungsi ke luar negeri. Kemenangan Jokowi dari Prabowo adalah kemenangan wong cilik dalam berhadapan dengan priayi. Namun patut dicatat bahwa keduanya dilahirkan dan dididik karakternya oleh dua perempuan yang luar biasa, yakni Sujiatmi dan Dora Sigar. *
Parikesit
Kamis, 10 Juli 2014 Purnawan Andra, peminat kajian sosial budaya
Pemimpin negeri ini perlu belajar dari Parikesit, raja belia Kerajaan Astina selepas perang Bharatayudha. Alkisah, pada suatu hari, ia pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat di pertapaan Bagawan Samiti yang sedang duduk bertapa membisu. Ketika Sang Raja bertanya ke mana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular lalu mengalungkannya di leher Bagawan.
Sang Srenggi, putra Bagawan, naik pitam saat pulang ke rumah dan mendapati bangkai ular melilit leher ayahnya. Ia mengucap kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan itu diucapkan. Bagawan Samiti, sebagai tanda pengabdian kepada pemimpinnya, mengutus muridnya untuk memberi tahu Sang Raja. Namun, Parikesit merasa malu untuk meminta maaf demi mengakhiri kutukan tersebut. Dia memilih untuk berlindung di sebuah puncak menara dengan pengawasan ketat. Tak ada seorang pun bisa masuk menemuinya tanpa lolos dari penjagaan prajurit. Namun, takdir berkata lain. Naga Taksaka, ular sakti pembunuh itu, mengubah diri menjadi ulat dalam buah apel yang dihidangkan kepada raja. Parikesit pun mati digigit Taksaka, yang telah kembali berubah wujud menjadi seekor ular raksasa.
Kisah Parikesit dalam wiracarita Mahabharata episode Adiparwa itu menjadi analogi yang tepat bagi para pemimpin dan politikus yang selama ini sibuk dengan retorika dan pencitraan politis yang tidak implementatif. Pengalaman membuktikan selama ini negara laksana Kerajaan Astina yang penuh menara gading tapi berjarak dengan rakyatnya. Para pemimpin membangun gedung kantor tinggi berpenjaga ketat dan sibuk menyamankan diri dengan fasilitas luks di dalam ruangannya.
Parikesit menjadi simbol pemimpin yang abai akan kondisi riil sosial masyarakatnya. Ketika datang bahaya akibat kesombongannya, ia justru berlindung di menara gading yang indah, namun tak mampu menjawab persoalan. Padahal, persoalan bukan hanya untuk dianalisis, tapi juga membutuhkan solusi yang aplikatif. Dalam konteks kompleksitas permasalahan bangsa kita, pemimpin baru nantinya harus bisa mengambil peran tersebut.
Dengan logika tersebut, kehidupan berbangsa dan bernegara semestinya dimaknai sebagai bangunan regulasi politik yang menegakkan fondasi hukum dan ekonomi dengan tetap memperkuat ikatan-ikatan sosial antarwarga dan mengembangkan logika kreatif dalam rangka mengokohkan peradaban. Caranya adalah dengan menjamin edukasi moral, tanggung jawab sosial, demokrasi, pendidikan, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara moril dan material. Pemimpin baru harusnya tidak seperti Parikesit: bersembunyi di menara gading menghindari persoalan yang ada, tapi mati saat menyantap makanan yang dihidangkan kepadanya. Sungguh ironis, bukan? *
Si Lemah yang Perkasa
Kamis, 10 Juli 2014 J. Sumardianta,Guru
"Kebenaran yang tidak diorganisasi akan dipecundangi kejahatan terorganisasi."
Anekdot Daud-Goliat merupakan risalah menggugah perihal arogansi yang ditaklukkan kerendahan hati. Kesombongan dikalahkan kesederhanaan. Omong kosong dimentahkan kerja nyata. Siasat dibabat oleh kerja keras, ikhlas, dan tuntas. Partisipasi mempecundangi mobilisasi. Kesadaran merubuhkan intimidasi.
Hari-hari ini, bangsa Indonesia sedang mengalami euforia sekaligus galau menyongsong datangnya Daud dari Solo. Joko Widodo, berpasangan dengan Jusuf Kalla, memenangi pemilu presiden (pilpres) 2014 versi hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel. Pasangan Prabowo-Hatta yang dikalahkan dengan skor tipis belum mau melempar handuk.
Pemilihan presiden kali ini memang pertarungan Daud menumbangkan Goliat. Setidaknya ini terlihat dari dukungan partai koalisi yang menyokong calon presiden masing-masing. Jokowi mewakili aspirasi rakyat jelata. Orang tuanya berasal dari Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah. Sebelum menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, Jokowi seorang pengusaha mebel. Tampilan sehari-harinya kurang ndayani (meyakinkan). Jangankan menjadi presiden RI, menjadi Wali Kota Solo saja bagi kerabat dekatnya sudah pencapaian mengejutkan.
Indonesia sedang memasuki babak baru sejarah kepemimpinan. Babak pertama, Sukarno berasal dari kultur aristokrat Jawa. Babak kedua, Soeharto mewakili junta militer. Babak ketiga, Jokowi merepresentasikan wong ndeso. Jokowi merupakan antitesis dari kepemimpinan gagrak lama yang bertumpu pada kekuatan priayi dan tentara yang cenderung disembah dan dilayani. Jokowi datang untuk melayani. Dia tipe servant leadership. Pemimpin pelayan ini bersenjatakan kejujuran, ugahari, dan ketulusan.
Jokowi mempraktekkan gagasan kelimpahan (abundance living). Rival-rivalnya berkukuh dengan gagasan-gagasan kelangkaan (scarcity). Jokowi memperlakukan orang lain sebagai mitra pelengkap (complement). Para kompetitor memperlakukan Jokowi sebagai orang yang akan menggantikan mereka (substitusi).
Pemilihan presiden 2014 sungguh menjalankan fungsi sirkulasi elite dan pendidikan politik. Jokowi menawarkan kesegaran baru. Wong climen lan prasaja (orang kebanyakan) bisa menjadi presiden. Inilah hikmah kemenangan rakyat jelata. Anak-anak dari latar belakang keluarga biasa (bukan anak pejabat) boleh membangun mimpi yang tidak bertepi. Asalkan punya otentisitas dan tahan menghadapi gempuran, mereka bisa menjadi presiden.
Siasat tidak terpuji dilakukan buat melaknat Jokowi. Air bah sejarah baru ini tak mungkin dibendung dengan sehelai jerami. Terlebih lagi bila jerami hasil kerajinan anyam lembaga survei abal-abal yang diekspos terus stasiun televisi penyebar kebencian dan kebohongan milik politikus.
Polisi, Dewan Pers, dan Obor Rakyat
Sabtu, 12 Juli 2014 Abdullah Alamudi, Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo; Anggota Dewan Pers (20072010).
Polisi tampaknya ragu mengenai tindakan tepat yang akan mereka ambil terhadap kedua pemimpin Obor Rakyat. Polisi saat ini telah terdesak oleh tuduhan masyarakat bahwa mereka mengulur-ulur waktu karena kedekatan pemimpin tabloid itu dengan Istana.
Keraguan itu tampak dari silang pernyataan pimpinan Polri kepada masyarakat. Di depan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, dan puluhan pemimpin redaksi media, Jumat, 4 Juli, Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan, "Polisi akan menindak tegas pimpinan Obor Rakyat, (Setyardi Budiono dan Darmawan Supriyossa-pen.) dengan pasal-pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Pers."
Tapi, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan, menurut Kabareskrim, Setyardi dan Darmawan hanya akan dikenai Pasal 18 (ayat 3) juncto Pasal 9 (ayat 2) UU Pers. Pasal itu memuat ancaman pidana denda maksimal Rp 100 juta.
Menyusul tekanan masyarakat dan pers, dalam waktu kurang dari sepekan, Polri mengatakan bahwa polisi bisa mengenakan pasal-pasal pidana umum terhadap Setyardi dan Darmawan. Tapi, mereka belum menemukan ahli hukum pidana yang bisa menjelaskan kesalahan kedua tersangka dalam kaitannya dengan UU Pers.
Pernyataan itu makin membingungkan, karena Dewan Pers, dengan semangat memorandum of understanding-nya dengan Polri, sudah beberapa kali menegaskan kepada polisi, walaupun Obor Rakyat berbentuk tabloid, media ini bukan karya jurnalistik, bukan media pers seperti yang diklaim Darmawan. Pendapat Dewan Pers sedikitnya didasarkan pada dua pertimbangan: segi yuridis formal dan esensi etika dari isi tulisan-tulisan di Obor Rakyat.
Dari segi yuridis formal, Obor Rakyat tidak memenuhi persyaratan Pasal 9 (ayat 2) dan Pasal 12 UU Pers. Pasal 9 (ayat 2) menegaskan: "Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia." Pasal 12 berbunyi, "Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan."
Penjelasan pasal ini menegaskan, "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Jadi, penjelasan Pasal 12 UU Pers itu sendiri sudah membuka jalan bagi polisi untuk mengusut para pemimpin Obor Rakyat berdasarkan KUHP.
Edisi pertama (5-11 Mei 2014) Obor Rakyat, yang penulis baca, tidak mencantumkan nama badan hukumnya. Petugas Dewan Pers melacak alamat kantor redaksi yang tertera pada masthead tabloid itu, "Jalan Pisangan Timur Raya IX, Jakarta Timur". Namun, ternyata, "Tidak ada Jalan Pisangan Timur Raya IX," kata dia. "Yang ada adalah Jalan Pisangan Timur 9, dan orang-orang di sana bilang Obor Rakyat tidak berkantor di sana." Nomor telepon dan faksimile yang dicantumkan di masthead itu juga palsu. Edisi pertama itu juga tidak mencantumkan nama dan alamat percetakannya, seperti ditetapkan undang-undang.
Dari segi isi, hampir semua tulisan di Obor Rakyat melanggar kode etik jurnalistik, khususnya pasal-pasal 1, 2, 3, 4, dan 8, yang menyangkut iktikad buruk, profesionalisme, menghakimi, dan fitnah. Saat ini, Obor Rakyat diberitakan sudah terbit sampai edisi ketiga tanpa kejelasan mengenai kemungkinan polisi mengenakan pasal-pasal pidana umum.
Kapolri Sutarman dan Irjen Sompie membantah kelambanan polisi menyelesaikan kasus Obor Rakyat ada kaitannya dengan Istana. Setyardi Budiono adalah anggota staf dari Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Derah, Velix Wanggai.
Berbagai tulisan Obor Rakyat mencemarkan nama baik calon presiden Joko Widodo, menghasut masyarakat, menyebar kebencian, yang termasuk dalam ranah Pasal 310 dan 311 serta Pasal 156 dan 157 KUHP (menghasut, menyebar kebencian). Menurut Indonesia Police Watch, tulisan-tulisan di Obor Rakyat itu juga melanggar Pasal 214 UU Pemilihan Presiden.
Pemilik percetakan Obor Rakyat juga bisa diseret ke pengadilan berdasarkan delik percetakan (drukpresdelict), Pasal 483, 484, dan/atau 485 KUHP. Tak jelas mengapa polisi tidak memasukkan delik percetakan dalam pemeriksaan terhadap Obor Rakyat. Padahal, ketika ada kampanye terhadap penerbitan yang dianggap porno beberapa tahun lalu, polisi sampai mengejar-ngejar pengecer dan agen majalah.
Juru bicara Joko Widodo, Anies Baswedan, mengingatkan polisi bahwa Obor Rakyat telah mencabik-cabik nilai dan simbol-simbol persatuan nasional lewat serangan bersifat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Karena itu, kata dia, polisi tidak boleh berdiam diri. "Berdiam saja," kata dia, "bisa diartikan polisi melakukan pembiaran."
Ada beberapa tulisan yang bersifat memecah-belah pada edisi pertama Obor Rakyat. Misalnya, artikel berjudul "Dari Solo sampai Jakarta, de-Islamisasi ala Jokowi", "Cukong- cukong di belakang Jokowi", "Partai 'salib' di belakang Jokowi." Tabloid setebal 16 halaman itu memuat tulisan penghinaan yang sangat menyakitkan berjudul "Jokowi anak Tionghoa".
Tulisan itu menyebut ibu Jokowi adalah gundik dari Oey Hong Liong, pengusaha yang berganti nama menjadi Nitimiharjo (Ayah Jokowi bernama Notomihardjo). Jokowi sudah membantah semua tuduhan itu, termasuk serangan terhadap pribadinya.
Sampai artikel ini ditulis, belum jelas tindakan tegas macam apa yang akan diambil polisi terhadap Obor Rakyat di tengah pertanyaan besar masyarakat: apa makna MOU Dewan Pers- Polri bila polisi mengabaikan pendapat Dewan Pers?
Subsidi untuk Keluarga Miskin
SABTU, 12 JULI 2014 Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik
Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25 persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013. Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin. Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis (chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi. Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tingggal di daerah terpencil dengan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar, dan mungkin tidak tersentuh berbagai program penanggulangan kemiskinan pemerintah. Karena itu, dibutuhkan terobosan dalam hal penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah mendatang. Berbicara soal terobosan dalam penanggulangan kemiskinan, kontrak politik yang disodorkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-JK tampaknya cukup menarik. Keduanya berjanji bakal meningkatkan anggaran penanggulangan kemiskinan, termasuk memberi subsidi sebesar Rp 1 juta per bulan kepada setiap keluarga pra-sejahtera, bila pertumbuhan ekonomi nasional di atas 7 persen per tahun. Jika mampu direalisasi, hal ini dipastikan bakal menyebabkan penurunan jumlah penduduk miskin dalam jumlah besar. Bisa dibayangkan, bila subsidi diberikan dalam bentuk tunai (cash transfer) dan diasumsikan setiap keluarga pra-sejahtera terdiri atas empat orang, itu artinya bakal ada tambahan pendapatan sebesar Rp 250 ribu per bulan bagi setiap anggota keluarga. Tambahan pendapatan sebesar ini tentu sangat membantu untuk menolong mereka memenuhi kebutuhan dasar agar tidak berkategori miskin. Namun, patut diperhatikan, anggaran yang dibutuhkan untuk mensubsidi setiap keluarga pra- sejahtera sebesar Rp 1 juta per bulan tidaklah sedikit. Besarnya anggaran sangat bergantung pada jumlah keluarga yang bakal menjadi target sasaran penerima subsidi. Sebagai contoh, bila yang dimaksud dengan keluarga pra-sejahtera adalah 40 persen rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah seperti pada penyaluran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, anggaran total yang diperlukan bakal mencapai Rp 10-15 triliun per bulan atau Rp 120-180 triliun per tahun. Dengan kata lain, anggaran penanggulangan kemiskinan harus ditingkatkan minimal tiga kali lipat dari anggaran kemiskinan saat ini yang sekitar Rp 100 triliun per tahun. Penyaluran subsidi juga harus tepat sasaran. Jangan sampai subsidi justru menyasar kelompok mampu dan mengabaikan kelompok yang seharusnya menerima. Dalam soal ini, akurasi data penerima subsidi sangat penting. Karena itu, penyaluran subsidi sebaiknya menggunakan basis data yang sama dan terintegrasi dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah ada, seperti Beras untuk Rakyat Miskin, Program Keluarga Harapan, dan Jamkesmas.
Belajar dari Piala Dunia
Sabtu, 12 Juli 2014 Endang Suryadinata, Penggemar Bola dan Sejarah
Menurut filsuf eksistensialis Prancis, Albert Camus, sepak bola mengajarkan soal moral dan tanggung jawab. Ini nyata dari 32 tim nasional yang berjuang di Piala Dunia Brasil. Mereka menang dan menghindari kekalahan, tapi tetap dengan mematuhi aturan main. Mereka patuh terhadap apa pun keputusan wasit. Untuk itu, kita bisa belajar banyak dari Piala Dunia untuk menyikapi hasil pemilihan presiden 9 Juli 2014.
Tentu saja, setiap tim ingin menang di Brasil. Malah, guna meraih kemenangan, kadang sepak bola dikaitkan dengan perang. Luiz Felipe Scolari, pelatih timnas Brasil, meyakini bahwa sepak bola ibarat perang, sehingga timnas Brasil bisa mengalahkan Kolumbia 2-1 dalam perempat final sebelum kalah telak 1-7 oleh Jerman dalam semifinal, Rabu dinihari lalu.
Yang patut dipuji adalah sikap yang ditunjukkan oleh tim yang menang. Lihat para pemain Jerman selepas laga semifinal itu. Mereka memeluk Scolari, sebagian yang lain mencoba menghibur pemain tuan rumah yang hancur hatinya. Para pemain Jerman sungguh memiliki spirit yang pernah dimiliki Jenderal Erwin Rommel. Meski Rommel berada di pihak Nazi, dialah satu-satunya jenderal Jerman yang ketika Perang Dunia II mendapatkan penghormatan dari lawannya (sekutu). Jenderal yang terkenal dengan Korps Afrika-nya itu dikenal tidak pernah menembak atau membunuh musuh yang tidak bersenjata. Sikap kesatrianya benar-benar dijaga, karena agaknya dia tahu etika perang dari ayahnya yang pendeta. Akhirnya, ketika semua jenderal Nazi dibantai para sekutu, Rommel justru tercatat sebagai satu-satunya jenderal yang mendapatkan penghormatan dari para lawannya.
Kebesaran Jenderal Rommel mengingatkan kita akan pepatah "menang tanpa ngasorake", menang tanpa merendahkan pihak yang kalah. Jadi jangan arogan bila menang. Lalu, bagaimana kekalahan harus dihayati? Bukan hanya kemenangan yang membuat pertandingan menjadi semarak. Kita melihat di babak penyisihan, hasil seri hanya membuat kita seperti dilanda kekecewaan. Meskipun begitu, jika ada tim yang kalah, khususnya di babak 16 besar, perempat final, semifinal, dan tentu saja final, pertandingan jadi ramai.
Mengenai kekalahan ini, kita boleh belajar dari rakyat Kolumbia, Swiss, atau Aljazair. Meski tak bisa melaju lebih jauh karena kalah, toh mereka tetap mendapatkan respek dari para pendukungnya. Rakyat ketiga negara seolah mengingatkan kita untuk menghargai usaha dan kerja keras timnas mereka. Kita memang mesti belajar bahwa manusia harus bekerja keras untuk mencapai kepenuhannya, kendati upaya itu berakhir tragis dalam kekalahan. Sydney Newton Bremer, motivator ulung dunia, menuliskan: "kemuliaan manusia kita bukan terletak pada kemenangan saja, tapi terlebih pada upaya bagaimana kita bisa bangkit setelah kekalahan."
Dalam pilpres 9 Juli 2014, hanya akan ada satu calon presiden yang berhak atas kursi RI-1. Mohon pihak yang menang dan para pendukungnya bisa tetap rendah hati dan tidak dirasuki arogansi untuk mempermalukan lawan. Demikian juga, pihak yang kalah tidak tergoda untuk mencari alasan sehingga membuat kerusuhan selepas pencoblosan.
Kita memang harus belajar bagaimana menyikapi kemenangan dan kekalahan secara bijak. Jika sikap positif dalam menghadapi kemenangan atau kekalahan ditumbuhkan sejak dini, kita berharap pilpres berlangsung dengan damai. *