You are on page 1of 40

Kecapekan

Senin, 07 Juli 2014



Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta. Tahun 2014
adalah tahun pemilihan yang paling brutalbrutal dalam wujud kata-katasepanjang
sejarah kita sejak 1945. Dalam proses yang sengit ini, hampir tiap saat kita mendengarkan
"fakta" yang dikatakan untuk diputarbalikkan, bantahan-bantahan yang tak berniat mencari
apa yang benar, dan cepat atau lambat, meruyaknya saling tidak percayabahkan kebencian.
Bersama itu: hilangnya percakapan yang serius.
Percakapan yang serius mengandung keinginan untuk saling mendengarkan, meskipun tak
harus untuk saling setuju. Percakapan yang serius tak berarti percakapan tanpa humor;
bahkan humor bisa penting di situ. Dalam percakapan yang serius ada asumsi bahwa kata-
kata punya sebuah kekuatan, dalam bunyi dan makna, dalam pikiran dan perasaankekuatan
yang kadang-kadang disebut "maksud". "Maksud" dalam bahasa Indonesia bisa berarti
"makna", bisa juga berarti "intensi". Tapi ketika dusta begitu sering diucapkan, maksud pun
hanyutdan kadang-kadang tenggelamdalam arus bunyi yang desak-mendesak yang
dalam gramatika disebut (untuk memakai ucapan Hamlet yang kesal) "kata, kata, kata".
Mark Twain pernah mengatakan, perbedaan antara dusta dan kucing ialah bahwa kucing
hanya punya sembilan nyawa. Dusta, dengan kata lain, jauh lebih sulit mati. Ia hanya bisa
dihentikan oleh lawannya yang sering disebut sebagai "kebenaran". Tapi kebenaran, apa pun
definisinya, tampaknya kini sudah kecapekan sebelum berhasil mengejar dan menghajar
kebohongan.
Pelan-pelan, sebuah masyarakat yang kecapekan oleh dusta, sebuah masyarakat yang tak bisa
lagi bercakap-cakap secara serius, akhirnya mirip sebuah koleksi suara berisik yang
sebenarnya tak berkata apa-apa. Kita seakan-akan bagian lakon televisi yang disajikan
Samuel Beckett: tidak ada lagi dialog. Bahasa sudah habis. Dalam Quad, kita akan melihat
para aktor bergerak di pentas dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata hanya ditulis
Beckett sebagai arahan pementasan. Deleuze membahas lakon tanpa-kata itu dengan
judul l'puis, "yang kehabisan tenaga". Tak ada lagi tenaga untuk saling menyapa.
Setidaknya oleh Beckett bahasa ditunjukkan sebagai bagian dari keadaan yang lebih runyam
ketimbang sekadar lelah.
Tapi kita tahu, kita tak mungkin hidup tanpa bahasa. Kita mustahil kembali ke sebuah masa
pra-linguistik, sebelum bahasa dipergunakan, sebab masa itu tak pernah ada. Realitas yang
kita kenal tidak saja disebut dengan bahasa, tapi bahkan dikonstruksikan bahasaapa pun
bentuknya. Dalam keadaan "kehabisan tenaga" verbal, kita tahu ada bahasa bunyi, ada bahasa
imaji, ada bahasa isyarat. Seorang "bisu" yang dibuang ke sebuah pulau hukuman selama
bertahun-tahun, seperti ditunjukkan catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu, justru orang yang mengutarakan banyak hal.
"Bisu" di situ berarti penampikan: menampik bahasa kekuasaan yang membekukan pikiran
dan tafsir, menolak bahasa yang memenjarakan hidup dan percakapan ke dalam label dan
identifikasi ("Gestapu", "Golongan A"), atau melawan bahasa yang memutarbalikkan
pengalaman ("Tefaat", akronim dari "tempat pemanfaatan", sesungguhnya adalah tempat
penyekapan). "Bisu" dalam hal ini mirip dengan yang disebut Deleuze sebagai
"gagap", bgaiement, satu ekspresi yang menyanggah "imperialisme" bahasa yang
membekukan gerak dan arus makna.
Dengan kata lain, ada sebuah alternatif ketika percakapan kehabisan tenaga verbal. Tapi saya
tak tahu apa jadinya jika masyarakat yang kecapekan oleh dusta kemudian kehabisan asumsi
bahwa saling percaya adalah satu hal yang mungkin. Ketika fitnah diproduksi dan disebarkan
bertubi-tubitak jarang oleh mereka yang seharusnya dipercaya, yakni tokoh agamaketika
orang saling menyidik apakah tetangganya "Kristen", "zionis", "teroris", "Islam
fundamentalis", "neo-lib", atau "komunis", ketika itulah dunia kehidupan lumpuh. Polisi
menggantikan Politik: pengawasan menggantikan ikhtiar bersama.
Dalam keadaan itu, yang tersirat dari Quadapa pun maksud Beckett dengan lakon yang
ditulisnyamengingatkan situasi itu: di atas pentas, empat sosok berkerudung bergerak di
bidang bersegi empat, tak punya nama, asal-usul, dan percakapan. Masing-masing hanya
tampak beda dari warna jalabiahnya dan bunyi perkusi yang mengantarnya masuk. Mereka
semua menyembunyikan identitas, karena mereka tak mau diawasi dan diberi label. Atau
sebaliknya, mereka semua telah jadi serupa: penghuni-penghuni yang dicurigai, penghuni-
penghuni yang saling mencurigai.
Kita mungkin akan hidup sebagai sebuah masyarakat yang macam itu: kecapekan fitnah dan
dusta.


Goenawan Mohamad







Surat untuk PS

Minggu, 06 Juli 2014

Mas PS yang saya hormati, saya kirim surat ini dengan niat baik, seperti juga ketika saya
menerima surat Anda. Saya dengar Anda rajin berkirim surat belakangan ini. Silaturahmi itu
mulia, apalagi di bulan puasa yang berkah. Semoga keberkahan menyertai pemilu 9 Juli
nanti.
Terus terang, belakangan ini saya galau. Barangkali karena banyak begadang. Mungkin juga
terbawa suasana kampanye pemilu.
Seumur hidup belum pernah saya mengalami kampanye seburuk sekarang. Fitnah, kabar
bohong, dan isu SARA berseliweran begitu bebas. Baru pertama kali juga saya mengalami
ada orang Istana yang ketahuan menyebarkan tabloid propaganda, yang Anda tentu tahu
isinya lebih banyak imajinasi penulisnya. Saya prihatin Istana tidak menindak stafnya itu,
malah ada kesan membela satu calon.
Saya juga miris. Badan pengawas pemilu, panitia pengawas, komisi ini atau komite itu, juga
polisi, seakan tak berdaya menghadapi derasnya pelanggaran kampanye. Jangan-jangan
semua lembaga pengawas ini takut kepada satu hal: kalau ada calon presiden kena
diskualifikasi, Indonesia akan tercatat sebagai negara dunia pertama yang calon presidennya
gugur sebelum bertanding. Saya tak percaya sekalian lembaga itu takut kepada salah satu
calon presiden.
Dalam surat yang saya terima, Anda menyebut diri Anda pemimpin yang akan membawa
Indonesia menjadi negeri maju, sejahtera, bermartabat di mata dunia. Saya setuju. Untuk
mencapai tujuan itu, dukungan rakyat perlu digalang dengan bermartabat, dengan langkah
terpuji. Siapa pun yang menang, menyatukan rakyat yang terbelah bukan persoalan mudah,
kalau kita sepakat tak memaksakan penyatuan itu dengan tangan besi. Persatuan sejati mahal
harganya.
Tapi saya pun paham, kata sejati itu berlebihan. Di dunia, apalagi dunia politik, mencari yang
sejati itu mungkin sama sulitnya dengan mencari jarum di samudra luas (lagi-lagi saya
kelewatan, mencari pesawat MH 370 yang begitu besar saja sulit, apalagi jarum yang begitu
kecil). Semua kandidat berusaha meraih kemenangan dengan segala cara. Saya berharap
Anda setuju bahwa cara itu mestilah yang dibenarkan demokrasi, bukan yang membuat orang
luar menilai demokrasi kita begitu primitifnya.
Demokrasi kita merupakan satu-satunya kebanggaan di antara negara sekawasan. Di banyak
bidang lain, kita tertinggal. Tapi dengan persiapan pemilu yang begini keruh, saya khawatir
kita tidak hanya akan mundur, tapi barangkali juga akan kehilangan demokrasi yang kita
banggakan ini.
Sebagai wartawan, saya merindukan pemimpin yang menjamin kebebasan pers seperti janji
konstitusi. Ini bukan soal menyenangkan "insan-insan pers", melainkan merupakan ukuran
saya atas penghormatan calon presiden terhadap konstitusinya.
Kami tidak meminta pemimpin untuk mengatur kebebasan itu. Kami hanya ingin memastikan
pemimpin menaati konstitusi tersebut. Pemimpin yang baik adalah yang memastikan pers
bekerja leluasa memenuhi hak publik akan informasi yang bebas dari pengaruh penguasa dan
siapa pun. Jangan khawatir, kebebasan itu tak akan kami gunakan untuk menyiarkan berita
bohong, seperti televisi yang seenaknya menayangkan kabar angin bahwa ada calon presiden
yang keluarganya komunis.
Sayang, Anda tak mendiskusikan kebebasan pers dalam surat Anda. Tapi, Mas PS, Anda juga
tak membahas jadwal pemilu yang bertabrakan dengan Piala Dunia sepak bola ini. Payah.
Sudah capek pikiran, saya masih harus begadang menunggui jago saya berlaga di Brasil.
Jadi, Mas Putu Setia, terima kasih sudah membaca surat ini. Sekalian saya ingatkan, pekan
depan giliran Anda menulis kolom "Cari Angin" ini. Semoga Internet di kampung Anda di
Tabanan tak ngadat lagi. Saya ingin menikmati jago saya berlaga. Kalau tak sekarang, kapan
lagi.













Bawaslu, 'Pemburu Kampanye Hitam'?

Senin, 07 Juli 2014
Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Peneliti Tamu di
William and Mary Law School, Virginia


Di tengah maraknya kampanye hitam terhadap kedua calon presiden, Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) lelap tertidur. Padahal lembaga itu adalah "pemburu hantu" (ghost buster)
segala bentuk pelanggaran Pemilu. Termasuk menyingkirkan "hantu-hantu pelaku kampanye
hitam".

Pembiaran kampanye hitam hanya membuka pintu bagi keributan, sebagaimana terjadi di
sebuah televisi swasta. Sebelum terulang atau lebih besar, "panasnya pemilihan presiden"
harus diredam dengan menghentikan huru-hara kampanye hitam.

Berdasarkan Pasal 73 ayat (3) huruf b angka 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, salah satu tugas Bawaslu adalah mengawasi bentuk
dan materi kampanye, hingga dana kampanye. Temuan Bawaslu terhadap pelanggaran
kampanye dapat ditindaklanjuti lembaga lain yang berwenang, misalnya kepolisian. Namun
kepolisian hanya dapat bergerak jika Bawaslu menyatakan telah terjadi pelanggaran pidana
berupa kampanye hitam.

Sayangnya, Bawaslu seakan membiarkan pelaku kampanye hitam dan siapa yang memberi
pendanaan. Pembiaraan itu mengakibatkan meledaknya kampanye hitam di pelbagai media.
Terutama media Internet.

Seandainya Bawaslu punya niat baik membenahi kualitas pemilu, membuat jera pelaku
kampanye hitam adalah kewajiban. Setidaknya tindakan Bawaslu akan mengakhiri berita
"busuk" tak mendidik dan membuat publik lebih memperbincangkan kualitas track record
berupa pengalaman dan visi dan misi capres. Lalu rumitkah bagi Bawaslu menelusuri jejak-
jejak hantu kampanye hitam?

Kampanye hitam pada pemilihan presiden (pilpres) adalah fakta sejarah yang terus berulang.
Itu sebabnya, Daniel Hays Lowenstein meyakini langkah-langkah licik tidak akan hilang
dalam proses kampanye (2012; hlm. 540). Dalam pemilihan presiden Amerika, misalnya,
hantu kampanye hitam bergentayangan sejak perebutan kursi Gedung Putih antara John
Adams dan Thomas Jefferson.

Tingkat keterpilihan (elektabilitas) Adams dianggap tidak sepadan dengan Jefferson yang
menjadi "idaman publik". Agar elektabilitas pesaing menurun, Jefferson dicitrakan sebagai
"perampok" dana bantuan para janda dan anak yatim-piatu. Lebih mengerikan, Jefferson
disebut memiliki banyak anak dari budak-budak kulit hitamnya. Dua isu itu merupakan hal
sensitif bagi kulit putih yang memiliki hak pilih satu-satunya ketika itu.

Nasib serupa dialami capres Joko Widodo, yang dituduh berdarah Cina turunan Singapura
dan beragama Kristen. Lebih jauh, penyebaran transkrip percakapan palsu Jaksa Agung
tentang upaya penundaan kasus korupsi bus Transjakarta adalah kampanye terskema rapi.
Menggunakan isu agama dan korupsi tentu akan membuat para pemilih mayoritas
"ketakutan". Kampanye hitam itu jelas bertujuan meruntuhkan elektabilitas Joko Widodo
yang terlalu tinggi.

Jika permasalahan itu disigi, Bawaslu tentu dengan mudah menemukan "pemain inti"
kampanye hitam. Setidaknya tiga langkah penting dapat dilakukan. Pertama, Bawaslu dapat
menelusuri pelaku dengan menggunakan tenaga ahli di bidang cyber crime karena kampanye
hitam paling marak berada di ruang cyber (Internet). Tenaga ahli Bawaslu dapat menelusuri
internet protocol (IP) address pelaku yang akan membongkar "dalang kampanye hitam".

Kedua, Bawaslu dapat meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). Transaksi keuangan tim capres dapat ditelusuri untuk menemukan pelaku
kampanye hitam dan penyandang dananya. Ketiga, Bawaslu dapat mempersempit ruang
penyidikan dengan "membaca" pihak mana yang paling diuntungkan dari maraknya
kampanye hitam. Dalam kasus Jefferson, pelaku dapat dipastikan adalah kubu Adams karena
elektabilitas Jefferson menurun selama berlangsungnya kampanye hitam. Dalam konteks
"pertarungan" antara Prabowo dan Joko Widodo, Bawaslu dapat membaca dengan melihat
elektabilitas capres mana yang menurun tajam setelah kampanye hitam terjadi.

Saya yakin penelusuran pelaku kampanye hitam adalah perihal mudah bagi Bawaslu. Apalagi
anggota Bawaslu adalah figur yang dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang
yang berkaitan dengan pengawasan (Pasal 85 UU Penyelenggara Pemilu). Lalu apa yang
membuat Bawaslu tidak mampu menjadi pemburu hantu pelanggaran penyelenggaraan
pemilu? Dugaan bahwa anggota Bawaslu terlibat pembiaran kampanye hitam karena
mendukung salah satu kandidat tentu saja agak berlebihan. Namun, dalam banyak proses
penyelenggaraan pemilu, Bawaslu seperti "duri dalam daging" dalam melindungi demokrasi
pemilu.

Semestinya kinerja Bawaslu yang lamban dievaluasi. Publik dapat melaporkan lambannya
kinerja Bawaslu sebagai tindakan yang menjatuhkan etika penyelenggara Pemilu, khususnya
dalam bidang pengawasan. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dapat
mengeluarkan pernyataan terbuka untuk siap menerima laporan dari masyarakat dan tim
kampanye salah satu capres terkait dengan kampanye hitam. Hal itu penting agar DKPP dapat
"membangunkan" Bawaslu untuk menjalankan tugasnya menjadi "pemburu kampanye
hitam". Sebelum anak negeri terbelah lebih dalam, Bawaslu mesti segera berburu pelaku
kampanye hitam.
Rakyat Pemimpin Rakyat

Senin, 07 Juli 2014
Candra Malik, pemilih


Politik konon menghalalkan segala cara. Toh tidak ada dalil hukum langit yang diterapkan
untuk mengadili perebutan kekuasaan di bumi. Wajar jika politikus tidak takut dosa politik.
Menabrak nalar dan rasa, mereka mainkan isu suku, agama, ras, dan aliran. Bayangkan,
bagaimana bisa calon presiden dicap keturunan Cina, beragama Kristen, Freemasonry,
Illuminati, sekaligus Zionis, antek Amerika, Syiah, merangkap Komunis? Pasti ia hebat betul,
tak jatuh meski diserang dari berbagai penjuru.

Komplet benar stempel yang dibubuhkan kepadanya. Salut kepada kinerja tim sukses yang
tidak kenal lelah, baik itu tim sukses yang sadar tugasnya menyukseskan klien maupun tim
sukses yang secara sadar bekerja untuk menyukseskan diri sendiri. Salut juga kepada tim
sukses kategori terbaru, yaitu tim sukses yang beranggotakan susupan dari tim lawan yang
bertugas menjalankan misi kontraproduktif. Berkat tim sukses tipe terbaru inilah, sesekali
muncul manuver kejutan.

Kampanye hitam, putih, negatif, positif, atau apa pun itu, tetaplah bermaksud mempengaruhi
rakyat pemilih. Tim sukses menyadari betul adanya tiga kategori rakyat pemilih. Pertama,
rakyat yang mengalami sejarah dan menolak lupa. Kedua, rakyat yang mengalami sejarah
tapi mengabaikannya. Ketiga, rakyat yang tidak mengalami sejarah dan terputus dari akses
informasi rekam jejak. Kuantitas rakyat kategori dua dan tiga ini besar, tapi kualitas
pengetahuan dan kesadaran politiknya kecil.

Kesadaran berbangsa dan bernegara merosot ke titik kulminasi terendah manakala kesadaran
berpolitik dan berkuasa dominan. Menjadi sangat mengkhawatirkan ketika informasi yang
dipasok oleh tim sukses dan diterima oleh rakyat pemilih ternyata beracun. Bermuatan fitnah,
adu domba, syak wasangka, dan ranjau: diinjak, meledak. Ya, ranjau-ranjau kampanye
ditanam di mana-mana dan makin dekat 9 Juli 2014 makin tidak terlacak sebarannya. Ranjau
kampanye mengancam keluarga kita.

Keluarga dalam definisi bagaimana pun--perkawanan dan persahabatan juga memenuhi
makna itu--berada pada keadaan tidak nyaman ketika bicara jurang politik. Tak sedikit yang
mengeluh keharmonisannya dengan kerabat menjadi berantakan sejak beda pendapat dan
pilihan. Ada yang mendadak arif bijak ketika berpolitik, sampai-sampai orang dekatnya tak
mengenal lagi. Politik menyediakan topeng beraneka watak dan terus-menerus memproduksi
topeng baru.

Tidak ada kawan abadi dalam politik. Berseberangan pun bukan berarti tak bisa
menyeberang. Jembatan sudah disiapkan jika sewaktu-waktu realitas politik menghendaki
pindah haluan. Segalanya halal dalam politik, dan ini bukan cuma konon. Setelah pemilihan
legislatif, rakyat cuma bisa bengong melihat partai pilihannya berkoalisi dengan partai lain
yang berlawanan arah dan arus politik. Elite politik bisa secepat itu melupakan akar rumput.

Maka, ketika ada seseorang yang bukan elite politik bisa menghimpun akar rumput dalam
jumlah besar, tanpa pengibaran bendera partai politik mana pun, ini menunjukkan angin
perubahan tidak sedang ingin mengibaskan bendera partai politik, tidak pula ingin
mengibarkan calon presiden belaka.

















Ahok dan Benyamin S

Senin, 07 Juli 2014
JJ Rizal, Sejarawan,


Sungguh ironis, di Jakarta dalam periode yang panjang, para pejabatnya sering melupakan
peran penting seniman. Bahkan dalam suasana ulang tahun Jakarta ke-487 lalu, ketika
menguat penghormatan kepada keistimewaan seni budaya Betawi-Jakarta serta tokoh-tokoh
yang mendedikasikan hidupnya untuk itu, justru hal yang memilukan terjadi. Benyamin S.,
sebagai seniman ikon nomor wahid dan manisfestasi tradisi budaya Betawi-Jakarta,
mengalami penghinaan luar biasa dalam acara YKS produksi Trans TV. Anehnya, tidak
terdengar suara protes dari pemerintah Jakarta.

Mungkin Pemerintah Kota Jakarta masih belum mengubah wajahnya dari masa kompeni
yang, disebut sejarawan Leonard Blusse, berwajah konsumtif. Sebab, pejabatnya lebih
memperhatikan pedagang daripada seniman yang telah membuat sajak, lagu, lukisan, dan
cerita yang membuat Batavia sohor di dunia dengan sebutan Koningin het van Oosten atau
Ratu di Timur.

Setelah kemerdekaan, Asrul Sani termasuk yang jengkel melihat wajah abai pemerintah
terhadap seniman. Saking jengkelnya, ia menulis "Surat Terbuka bagi Wali Kota Baru" di
majalah Siasat, 3 Januari 1954. Ia menyatakan pemerintah Jakarta mempunyai "wajah
pejabat". Asrul protes karena banyak seniman bekerja keras menampilkan Jakarta sebagai
sumber ilham dan tempat tinggal, tapi Pemerintah Kota saat itu kurang menghargai seniman
serta mendorong kehidupan kebudayaan.

Asrul kecewa, ketika pada 28 April 1949 Chairil Anwar melepaskan nyawa dan diantar ke
pekuburan di Karet, pemimpin Jakarta Sastromuljono tidak memberikan perhatian. Padahal
rombongan pengantar jenazah penyair terkemuka yang banyak meninggalkan nyanyian
tentang Kota Jakarta itu lewat di depan rumahnya. Kekecewaan yang sama sebelumnya
disampaikan Rosihan Anwar. Ia menyesalkan ketidaktahuan pemimpin Jakarta tentang posisi
penting Chairil.

Perlu satu dasawarsa lebih Jakarta memiliki pemimpin sesuai dengan harapan Asrul dan
Rosihan itu. Pada 1966, Ali Sadikin diangkat. Meskipun ia mengaku tak tahu banyak
kesenian serta kenal seniman, tetapi baginya seniman penting untuk membangun kota yang
beradab. Karena itulah, sejak 1968, ia memfasilitasi seniman dengan mendirikan Taman
Ismail Marzuki (TIM), Akademi Jakarta (AJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Institut
Kesenian Jakarta (IKJ), Sinematek, dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Ia pun
dikenang sebagai gubernur yang bergaul erat dengan seniman, juga mendengarkan saran-
saran mereka dalam pembangunan Jakarta. Kisah itu dapat dibaca dalam biografinya, Bang
Ali demi Jakarta dan Empu Ali Sadikin 80 Tahun.

Buku yang terakhir itu terbit sebagai bagian dari acara penganugerahan gelar "Empu
Peradaban Kota" kepada Bang Ali oleh IKJ pada 25 Januari 2006. Ajip Rosidi menyatakan
gelar itu diberikan agar pemimpin Jakarta ingat pentingnya kesenian dalam membantu
menjauhkan Jakarta dari wajah kota yang tak beradab. Sebab, kesenian meningkatkan
kepekaan, mendorong pemikiran kritis, berkontribusi merumuskan acuan-acuan kehidupan
yang baik dan membaik.

Ada yang berlanjut ada yang berubah, Jakarta muncul dengan aneka wajah. Tetapi, soal
perhatian terhadap seniman, Jakarta tampak masih enggan melepas wajah kota konsumtif
yang dikatakan Blusse, wajah kota pejabat yang disebut Asrul, dan wajah kota tak beradab
yang dinyatakan Ajip. *


















Pemimpin

Senin, 07 Juli 2014
Anton Kurnia, esais, Editor-in-Chief Penerbit Serambi, Jakarta.


"Presiden adalah pejabat tinggi yang dipilih untuk melaksanakan suatu fungsi. Dia bukan
raja, juga bukan dewa. Dia pun bukan dukun sakti yang tahu segalanya. Dia adalah pelayan
rakyat. Cara hidup ideal seorang presiden adalah hidup seperti sebagian besar rakyat yang
harus dilayaninya," kata Jose Mujica, Presiden Uruguay, saat ditanya soal jabatan presiden
dan gaya hidupnya yang terkenal sederhana.

Terkait dengan soal pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 9 Juli ini, saya teringat
lagi kutipan menarik itu. Saya juga jadi teringat pada obrolan iseng saya lewat fasilitas chat di
Facebook beberapa hari lalu dengan seorang kenalan yang sudah lama tak berjumpa.

Sore itu menjelang waktu berbuka puasa. Kenalan saya itu seorang perempuan Malaysia
bernama Dina Zaman, yang di negerinya dikenal sebagai kolumnis dan penulis buku
kontroversial I Am Muslim. Dia tiba-tiba menyapa.

Dia mengeluhkan situasi di Malaysia saat ini. Lalu saya bertanya, apakah mereka
membutuhkan kebebasan lebih banyak? Sebab, di sini kebebasan justru membuat orang jadi
gila. Dia bilang tidak. Yang mereka butuhkan adalah leadership, katanya. Kepemimpinan.
Kalau begitu sama, saya bilang. Kami di sini sedang menghadapi pemilihan presiden dan
kami butuh pemimpin yang hebat.

Namun, di situlah masalahnya. Tidak semua penguasa punya jiwa kepemimpinan. Lebih
buruk lagi, tidak semua pemegang kekuasaan layak disebut pemimpin. Banyak petinggi yang
berjiwa "majikan" atau "pejabat" yang bersikap bossy. Mereka memperlakukan anak buah
dan orang banyak sebagai orang yang lebih rendah derajatnya (subordinate) sehingga pantas
diperintah atau dijadikan obyek kekuasaan.

Apakah beda substansial antara pejabat dan pemimpin?

Menurut para pakar manajemen, seorang pejabat (bos) menciptakan rasa takut dalam diri
anak buahnya, sedangkan pemimpin membangun kepercayaan. Pejabat mengandalkan
kekuasaan, pemimpin mengandalkan kerja sama. Pejabat menyalahkan anak buahnya,
pemimpin menyelesaikan masalah dan memperbaiki kesalahan. Pejabat hanya pandai
berbicara, sedangkan pemimpin cakap dalam bertindak.

Dalam kecamuk pemilihan presiden RI kali ini, kita merindukan hadirnya seorang pemimpin
yang mampu membawa bangsa ini lepas dari segenap persoalan, bukan seorang pejabat yang
sekadar berambisi menjadi penguasa. Kita membutuhkan orang yang mau mendengarkan,
berempati, memiliki manajemen perencanaan yang baik, mau berdiri di depan untuk
mengeksekusi rencana itu, dan mengawal pelaksanaannya hingga tuntas.

Bagi orang semacam itu, seperti halnya Presiden Jose Mujica di Uruguay, formalitas tak
penting lagi. Maka dia tak sungkan pergi ke kantornya dengan kemeja kasual, bersandal, dan
mengendarai sendiri mobil VW tuanya. Sebab, baginya seorang presiden adalah pelayan
rakyat banyak yang harus bekerja untuk bangsanya, bukan pejabat sok kuasa yang boleh
bertingkah bagai raja.

Kita butuh pemimpin yang manusiawi. Rakyat sudah muak dengan segenap kekisruhan
politik dan kleptokrasi. Rakyat ingin perubahan. Tentu bukan sosok presiden sempurna yang
kita harapkan, melainkan pemimpin yang memiliki mata hati sehingga mampu melihat
persoalan dengan jernih dan bisa mengajak bangsa ini bekerja dengan antusias mewujudkan
cita-cita bersama. Sebab, seperti selarik puisi Rendra, "Perjuangan adalah pelaksanaan kata-
kata."













Seniman Berpolitik

Senin, 07 Juli 2014
Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip


"1.000 kali seniman tak berpolitik, 1.000 kali pula politik mencampuri seni dan seniman." -
Amir Pasaribu, komposer

Kutipan dari komposer musik legendaris Indonesia itu saya temukan dari kliping koran pada
1957. Kutipan itu berumur 57 tahun jika diukur dari masa saat Glen Fredly, Bimbim Slank,
dkk "mengorganisasi" musikus untuk menjadi relawan politik Indonesia dalam pemilu
Indonesia ke-12.

Amir sadar bahwa frasa "seniman berpolitik" adalah posisi. Seniman yang disebutnya sebagai
paal di tengah kehidupan bangsa dan masyarakatnya bukanlah spectateur atau penonton,
melainkan pemikir, peserta, yakni peserta yang bergiat menyelamatkan bangsanya dari
kerugian besar.

Peristiwa panggung musik politik 5 Juli 2014 di Gelora Bung Karno Jakarta adalah
kembalinya spirit Amir Pasaribu dalam bermusik yang tak alergi terhadap keterlibatan
politik. Politik bukanlah iblis yang mesti dihindari, melainkan dirawat dan dibersihkan
bersama dalam kepemimpinan rakyat.

Amir Pasaribu, C. Simandjuntak, Sarbini, W.R. Supratman adalah leluhur musik yang
diproduksi revolusi. Karakter mereka dibentuk dan ditempa di alam politik yang keras dalam
pencarian notasi budaya. Mereka adalah musikus dan sekaligus aktivis.

Musikus semacam Amir tahu betul bahwa politik tak merusak dunia musik yang ditekuninya,
melainkan saling mengisi dalam konteks kebangsaan yang luas. Politik tidak berada di pihak
yang mengeksploitasi.

Kebudayaan yang tak kalis dari politik itu bisa kita baca dari bagaimana kebijakan politik
bersikap pada musik, film, teater, sastra, buku, tari, seni rupa, yang kemudian dihimpun
dalam satu frasa baru: "ekonomi kreatif". Dan frasa ini adalah frasa politik karena berkaitan
dengan visi kebudayaan dan politik anggaran yang menyertainya. Makin sedikit anggaran
yang disediakan, makin mudah menilai keberpihakan politik terhadap kemaslahatan
kebudayaan.

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, ada tiga bentuk keterlibatan seniman. Pemilu 1955
melahirkan keterlibatan seniman dalam satu struktur barisan organisasi/sanggar. Seniman
berpolitik dalam organisasi seperti Lekra, Lesbumi, dan LKN.

Ketika rezim Sukarno tumbang, keterlibatan seniman dalam politik berubah. Seniman
dilarang berpolitik praktis bersamaan dengan penyusutan partai. Keterlibatan seniman dalam
politik pun semata bersifat panggilan dan penghibur tanpa ada tawar-menawar kepentingan
selain bayaran. Seniman sebagai boneka politik tanpa daya tawar itu berlangsung puluhan
tahun.

Dalam pemilu ke-12 ini muncul keterlibatan lain yang berbeda dengan dua model
keterlibatan sebelumnya, yakni keterlibatan yang cair dan tanpa bayaran. Keterlibatan yang
bersifat sukarela ini bersifat ad hoc, tanpa ada iming-iming uang, kecuali panggilan jiwa
untuk menjadi peserta dan bukan penonton politik.

Dalam sejarah pemilu, jumlah keterlibatan relawan seni, terutama dimotori musikus yang
memiliki lapisan pengikut yang luas, adalah terbesar dan tiada tanding. Mereka tak diikat
oleh organisasi yang bersifat partisan, melainkan jaringan teknologi komunikasi. Walau
bukan pendukung partai politik tertentu, mereka hadir menyuarakan apa yang disebut Amir
Pasaribu sebagai cara, "memikirkan nasib kemadjuan bangsanja dalam pemikiran semua segi
hidupnja."












ISIS di Irak: Genealogi dan Prospek

Senin, 07 Juli 2014
Muhammad Ja'far, Pengamat Politik Timur Tengah


Kelompok bersenjata Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) yang terus berusaha
menggerogoti stabilitas Irak itu menyimpan obsesi untuk mengakuisisi seluruh wilayah Irak.

Penetrasi kelompok ini sangat cepat: mulanya Tikrit dan Mosul, kemudian beberapa daerah
lain sudah diambil alih. Meski sedikit terlambat, pemerintah Irak yang tengah disibukkan
oleh seribu satu persoalan itu mulai melakukan langkah taktis guna menghadang ekspansi
ISIS sedapatnya. Ketika pasukan Amerika Serikat ditarik pada 2011, suprastruktur dan
infrastruktur militer Irak masih lemah, belum banyak berbenah di bidang tersebut. Faksi-faksi
tradisional bersenjata, seperti Moqtada Shadr, juga masih belum bersinergi secara optimal,
baik secara politis maupun militer. Kondisi ini jelas menguntungkan ISIS yang agresif dan
akan menempuh cara apa pun untuk mewujudkan mimpi menaklukkan Irak.

Dalam keadaan seperti ini, wajarlah jika bantuan dari luar negeri menjadi opsi pertama yang
terpikirkan oleh Perdana Menteri Irak Nouri Maliki. Mengingat terbatasnya kapabilitas
pertahanan militer Irak, di samping Iran dan Libanon sebagai mitra strategisnya, bantuan
terbatas dari AS menjadi pertimbangan Maliki. Opsi ini dinilai strategis untuk mengantisipasi
potensi munculnya new terrorism (kebangkitan terorisme baru setelah Bin Ladin) yang
menjadi motor gerakan ISIS.

Melihat arkeologi gerakannya, sulit mengkategorikan ISIS sebagai entitas tunggal yang
berdiri sendiri. Kegagalan kelompok ini dalam menjatuhkan pemerintahan Bashar Al Assad
di Suriah, dengan membonceng pada bendera "revolusi" dalam tiga tahun terakhir, membuat
ruang geraknya semakin sempit. Lantas, ditambah dengan semakin tajamnya friksi di dalam,
ISIS mengalami disorientasi gerakan.

Dalam kondisi demikian, mau tak mau, Irak menjadi alternatif yang dipercepat. Jika dalam
cetak biru awal gerakan ISIS Irak merupakan sasaran selanjutnya setelah sukses di Suriah,
kini justru Irak yang menjadi alternatif pertama setelah gagalnya Damaskus. Gerakan ISIS di
Irak saat ini harus dibaca secara integral dengan visi dan misi gerakannya di Suriah
sebelumnya.
Secara genealogis, ISIS lahir dari rahim Al Kaidah cabang Irak (AQI) dengan pelakon utama
Abu Musab Al Zarqawi. Zarqawi dan Usamah bin Ladin, dengan Amerika Serikat sebagai
musuh bersama, awalnya memiliki visi yang sama. Tapi, dalam perkembangannya, keduanya
menjadi rival, Zarqawi bahkan menerapkan prinsip teror ke dalam tubuh muslimin sendiri,
ototerorisme, sebagai ekspresi ketidaktoleranan terhadap perbedaan.

Zarqawi mengincar varian Islam yang berbeda dengan Islam-nya sebagai sasaran. Targetnya
bukan hanya Islam Syiah Irak, tapi juga muslimin Sunni dan Kurdi, jika mereka memang
menghalangi jalan gerakannya. Jadi, visi teologi dan ideologi gerakan ini dinilai tunamazhab,
karena perjuangan ISIS tidak merepresentasikan kepentingan politik mazhab apa pun di Irak.
Kegaduhan yang ditimbulkannya murni bermotif teror dan berlatar ekstremisme. Karena itu,
penting bagi Maliki untuk menguatkan sinergi politiknya dengan kelompok Sunni dan Kurdi,
untuk mengantisipasi kemungkinan manipulasi sentimen mazhab oleh ISIS.

Tahun 2006, Zarqawi tewas, dan AQI bermetamorfosis menjadi ISIS dengan Abu Bakar Al
Baghdadi sebagai figur utama yang menakhodai gerakan sporadis di Irak saat ini. Dengan
ISIS-nya, Al Baghdadi berusaha semakin mematenkan desain ototerorisme, dengan
menjadikan Irak sebagai titik berangkat ISIS, sebagaimana Afganistan menjadi garis start Al
Kaidah ala Bin Ladin. Dalam imajinasi gerakan Al Baghdadi, dari Irak inilah kekhalifahan
Islam akan dijalarkan ke seluruh tanah Timur Tengah.

Sebesar apa kemungkinan imajinasi Al Baghdadi ini terwujud?

Yang jelas, Irak yang berada tepat di jantung geopolitik Timur Tengah bukanlah Afganistan,
dan inilah rintangan pertama yang dihadapinya. Wacana yang membicarakan terorisme juga
sudah mengalami pergeseran makna secara politis. Kompleksitas dampak ototerorisme di
Irak secara regional dan global akan mengundang keterlibatan banyak negara untuk
mendelegitimasi proyek ini-terutama dari internal negara muslim, baik Syiah maupun Sunni.
Destabilisasi Irak yang terus dilakukan ISIS akan ditentang keras oleh kalangan luas yang
lintas mazhab. Apalagi sokongan dana dan infrastruktur militer pada ISIS Irak tidak akan
semasif di Suriah. Beberapa negara sudah kapok dengan fenomena "tsunami balik" para
ekstremis yang diberangkatkan ke Suriah.

Fenomena Al Kaidah di Afganistan sudah cukup menjadi pelajaran mahal pada masa lalu,
dan kini pemerintah Amerika Serikat sudah menetapkan garis tegas atas persoalan ini. Sinergi
Gedung Putih-Baghdad untuk menumpas ISIS akan membuktikan komitmen ini. Belum lagi
jika Iran dan Lebanon, dua mitra Irak, mengulurkan bantuan. ISIS tidak hanya akan kesulitan
memperluas kawasan akuisisinya, tapi juga semakin tersudut ruang geraknya.

Merujuk pada kiprahnya selama di Suriah, ISIS sebenarnya kelompok yang cukup rapuh
dalam beberapa sisinya: ikatan ideologisnya lemah, soliditas internalnya rentan pecah, dan
visi gerakannya cenderung jangka pendek. Dengan performa seperti ini, sulit bagi ISIS untuk
sukses menjalankan proyek ototerorismenya, apalagi mendirikan negara Islamnya. Gerakan
ini hanyalah sisa dari ekstremisme politik dan agama yang semakin sulit menemukan dan
mempertahankan eksistensinya.


Presiden

Rabu, 09 Juli 2014
Bandung Mawardi, ESAIS


Sebutan presiden sudah berlaku dalam partai politik dan hukum sejak awal abad ke-20. Para
tokoh pergerakan politik kebangsaan dan jurnalis akrab dengan istilah presiden-biasa
diucapkan dan dituliskan tanpa "beban pengertian" bakal menjadi julukan mentereng bagi
tokoh besar bernama Sukarno. Sutan Mohammad Zain, dalam Kamus Moderen Bahasa
Indonesia (1952), mengartikan presiden sebagai "ketua, kepala jang tertinggi, ketua
pengadilan, kepala republik jang tertinggi."

Ingat, 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah memuat istilah presiden, pengesahan sebutan dalam
sistem politik di Indonesia. Sukarno mengenang: "Satu hal jang disajangkan ialah, bahwa
kami tidak mempunjai perkataan asli untuk menjebut presiden. Presiden adalah perkataan
Inggris. Oleh karena orang menganggap bahwa perkataan ini tjotjok, maka kami terpaksa
meng-Indonesia-kannja. Huruf 't'-nja dihilangkan" (Adams, 1966). Sukarno mendapat
predikat presiden meski gamang dalam urusan bahasa.

Di Indonesia, pengisahan orang menjadi presiden jarang dramatis. Sukarno mengisahkan diri
sesaat setelah resmi menjadi presiden: "Di djalanan, ia bertemu dengan tukang sate. Lalu,
Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pendjadja jang kaki-ajam dan
tidak berbaju itu, mengeluarkan perintah pelaksanaannja jang pertama, 'Sate ajam lima puluh
tusuk.' Aku djongkok di sana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap dan
inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara." Kita tak mendapati pesta
berlebihan atau peristiwa akbar. Selebrasi menjadi presiden adalah adegan makan sate di
pinggir jalan.

Pengisahan Sukarno menjadi presiden memang berlatar situasi tak keruan. Sukarno tak
mungkin membuat panggung megah, mengundang ribuan orang, berpesta makanan karena
gejolak perang belum usai. Puluhan tahun sejak peristiwa makan sate di pinggir jalan,
Soeharto muncul sebagai presiden menggantikan Sukarno. Dalam Sidang MPRS pada 27
Maret 1968, upacara berlangsung selama 45 menit, yang mengesahkan Soeharto menjadi
presiden. Soeharto berkata, "Prinsip jang selalu kami pegang teguh dalam melaksanakan
tugas MPRS kepada kami adalah menegakkan hukum, menegakkan konstitusi, dan
menegakkan demokrasi" Janji Soeharto memang manis dan muluk-muluk. O.G. Roeder
(1969) memberi deskripsi saat Soeharto meninggalkan ruang sidang: "hampir tengah
malam, tanpa keangkuhan seorang pemenang jang djaja. Ia tidak lagi seorang djenderal jang
selalu tersenjum, tetapi seorang presiden dengan tanggung djawab jang berat."

Sekarang, 9 Juli 2014, jutaan orang memilih presiden baru. Mereka berhak berimajinasi
tentang peristiwa saat tokoh pujaannya berhasil diresmikan menjadi presiden. Kita menduga
bakal ada selebrasi dramatis. Predikat agung tentu diartikan melalui pengumpulan massa, doa
bersama, upacara, pidato, berfoto, dan makan. Ikhtiar untuk berpredikat presiden memerlukan
keringat, kata, uang, tempat, siasat, doa, serta iklan. Selebrasi menjadi presiden adalah
representasi mentalitas dan identitas tokoh.

Kita menginginkan selebrasi beradab tanpa menghamburkan uang. Kita menolak dramatisasi
picisan jika bertujuan untuk pengultusan tokoh. Peristiwa sekejap di bilik suara tak perlu
dibalas pesta berlebihan saat tokoh di kertas suara diresmikan menjadi presiden.

















Papua, Pendidikan, dan Jokowi

Rabu, 09 Juli 2014
Amiruddin Ar-Rahaab, Juru Bicara dan Asisten Ahli Kepala UP4B


Papua adalah wilayah Indonesia yang pertama kali menerima sinar matahari setiap pagi.
Namun manusia-manusia Papua yang terbangun oleh fajar pagi itu kerap terlupakan.
Walhasil, hal-hal yang serba kurang mudah kita jumpai di Papua.

Pak Jokowi, pada hari pertama kampanye Anda untuk menjadi Presiden, Anda telah
menginjak tanah Papua. Melalui media, saya simak pernyataan Anda, bahwa Anda datang
bukan sekadar mencari dukungan suara, tapi juga karena memandang tanah fajar
menyingsing ini memiliki arti penting bagi Indonesia. Anda betul Pak Jokowi. "Indonesia
tanpa Papua, bukanlah Indonesia." Kira-kira begitulah garis politik Sukarno.

Karena itu, izinkanlah saya mengemukakan beberapa catatan agar hal itu tidak berhenti hanya
sebagai slogan. Sehubungan dengan begitu banyak kekurangan yang ada di Papua, wajah
Indonesia menjadi bopeng di tengah pergaulan internasional. Seakan republik ini tidak sedikit
pun membawa kegembiraan bagi rakyat Bumi Cenderawasih. Meski saya tahu sudah begitu
banyak yang diberikan dan dikerjakan pemerintah untuk Papua, ternyata itu belum cukup.
Rasa tidak puas selalu saja kerap membubung, dan rasa percaya mudah runtuh dari lembah
dan gunung serta pantai Papua.

Intinya adalah lemahnya komitmen. Komitmen atas apa yang dituliskan dan yang diucapkan
selalu rendah. Simaklah UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua dengan akal-budi jika Anda ada
waktu. Betapa luhur kandungan UU Otsus Papua itu. Namun, di alam nyata, tak seberapa
yang bisa direalisasi. Kalaupun ada yang terealisasi, itu pun tidak mudah, harus bersitegang
dulu. "Bara habis, nasi tak tanak," itulah tamsil kerja negara di Papua saat ini.

Pak Jokowi, hakikat UU Otsus Papua adalah percepatan dalam segala bidang. Sebab,
ketertinggalan Papua perlu dipacu agar bisa mengimbangi provinsi lain. Percepatan itu hanya
mungkin bisa dilaksanakan dengan jalan memberi pengecualian dan pendampingan bagi
Papua. Tanpa itu, tak mungkin.

Karena itu, simaklah sekelumit pengalaman saya ini. Awal Juni 2014, saya sampai di
Kampung Gesa, Distrik Binuki, Memberamo Raya. Di kala terik matahari memanggang
kepala, saya mampir ke SD dan SMP yang ada di situ. Kelas kosong, meja belajar
berantakan, dan bangunannya rusak. Sang guru yang mendampingi saya menunjukkan wajah
muram karena dia diberi beban mencerdaskan anak bangsa dalam kondisi seperti itu. "Tak
ada yang peduli kami di pedalaman ini."

Di SMP Binuki, realitas yang sama juga hadir. Bagian tengah papan tulisnya terkoyak,
terlepas dari gantungan. Kursi patah dengan meja compang-camping tak beraturan. Kelas itu
seperti telah berbilang bulan tak mengenal sapu. Kepala sekolah mengeluhkan kurangnya
guru yang telaten, buku yang tidak pernah datang, serta fasilitas yang serba kurang. Guru itu
menceritakan bahwa anak-anak akhirnya lebih senang bermain atau ikut ke kebun karena
suasana sekolah tidak menyenangkan.

Pak Jokowi, tahukah Anda, UU telah mewajibkan 30 persen uang otonomi khusus disalurkan
untuk pendidikan di Papua. Artinya, ada Rp 1 triliun anggaran per tahun untuk memperbaiki
sarana dan mutu pendidikan di Papua. Aturan itu sudah berjalan 10 tahun. Anggaran dari
Kemdikbud yang bernilai ratusan miliar juga tercurah ke Papua setiap tahun. Namun, apa
lacur, sekolah hancur dengan mutu mundur yang kita jumpai.

Untuk memperbaiki kenyataan dan kenyamanan hidup rakyat di Papua, tidak ada jalan selain
memperbaiki mutu pendidikan di sekolah dasar dan menengah. Seturut dengan gagasan itu,
mumpung masih ada waktu, jika Anda memenangi pacuan capres ini, tunaikanlah utang Anda
yang telah terucap itu untuk memberikan perhatian khusus bagi Papua.

Pertama, ambillah inisiatif segera untuk melakukan operasi khusus pendidikan untuk
mengatasi kekurangan guru yang sudah kronis ini dengan memobilisasi segala sumber daya.
Perbaikilah ruang-ruang kelas SD dan SMP di pedalaman Papua yang telah membusuk itu
agar anak-anak merasa nyaman belajar. Langkah ini harus ditujukan untuk menyalakan obor
pendidikan dasar 12 tahun.

Kedua, sejalan dengan langkah pertama, rekrutlah ribuan guru dari anak-anak Papua sendiri
yang telah lulus SMA dan sekolah sederajat. Siapkan mereka sebaik mungkin. Tidak perlu
berijazah S1 guru itu, yang penting bisa mengajar setelah dilatih selama 2 tahun. Serta
jadikan mereka PNS dengan tunjangan khusus.

Ketiga, rancang langkah panjang yang elegan dengan memperbaiki universitas negeri yang
sudah ada. Tingkatkan anggaran, fasilitas, dan sarananya. Jadikan universitas di Papua ini
center of excellence di bidang ekowisata, lingkungan, kehutanan, serta pertanian skala besar,
karena itulah masa depan Papua. Industri pertambangan ekstraktif bukanlah masa depan
Papua.

Juga dirikanlah satu universitas yang hebat di wilayah pegunungan tengah Papua. Wamena
cocok untuk itu. Wamena adalah centrum dari anggota suku-suku di pegunungan tengah
Papua itu. Ilmu humaniora, seperti antropologi, sosiologi, dan arkeologi bisa memiliki
laboratorium alam terbaik di dunia di area tersebut.

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat dalam pembukaan UUD 1945. Jika sekolah
bobrok dan anak-anak mogok bersekolah, tidakkah Pemerintah telah berkhianat kepada hak
konstitusional bocah-bocah cerdas Papua itu?

Jadi, dari catatan kecil ini, yang paling penting adalah perencanaan dan rancangan yang
bagus dalam hal pendidikan di Papua. Intinya, ada pengecualian dan pemihakan melalui
pendampingan serta pengawasan dengan implementasi secara terus menerus. Hanya dengan
itulah sumber daya manusia terlemah di Papua bisa diperbaiki. Ucapan adalah utang, maka
tunaikanlah dengan perbuatan jika menduduki singgasana Istana itu.



















Demokrasi Otentik

Selasa, 08 Juli 2014
Benni Setiawan, Dosen di UNY, Peneliti IndoStrategi.


Demokrasi otentik adalah upaya seseorang atau sekelompok orang menggerakkan politik agar
lebih memiliki makna kebebasan, penghargaan terhadap keberagamaan, dan solidaritas
antarwarga. Demokrasi otentik mengarah pada pemaknaan kehidupan berbasis kemanusiaan
dan ini hanya mampu diemban oleh mereka yang mempunyai visi kemanusiaan.

Dalam demokrasi ini, kepemimpinan layaknya air yang menghadirkan manfaat bagi rakyat.
Kepemimpinan hadir dan omni present menjawab permasalahan rakyat akan memantik
harapan dan memupus segala antipati terhadap pemerintahan.

Seorang pemimpin selayaknya mengejawantahkan pengabdian kepada masyarakat dengan
semangat pamong (pelayan). Ia bukan pemimpin berwatak penguasa. Melalui program kerja
prorakyat, ia memberikan pelayanan yang menyenangkan untuk rakyatnya. Program kerja
tersebut pun lahir dari keresahan masyarakat. Dengan demikian, langkah kerja seorang
pemimpin tertata dan benar dibutuhkan oleh masyarakat, bukan program penuh kemunafikan
(pencitraan).

Ia memimpin dengan etika yang akan mendorong kesadaran baru aparatur yang humanis,
yaitu aparatur sipil negara yang bertindak atas nama kemanusiaan, mendorong meritokrasi
(penghargaan atas prestasi), dan akuntabilitas pelayanan publik. Ia melakukan inovasi dan
terobosan-terobosan dalam membangun sebuah peradaban. Melalui inovasi, keterbukaan,
kerendahan hati, dan gagasan membangun yang bersinergi dengan kekuatan masyarakat.

Pemimpin pun merupakan pembelajar sejati. Belajar sepanjang hayat merupakan modal
utama yang harus dimiliki oleh setiap individu. Sekolah yang paling nyata adalah kehidupan
itu sendiri, yang dapat diperoleh dengan merefleksikan pengalaman. Pembelajaran sejati
adalah proses memimpin setidaknya dalam lima tahun masa kepemimpinannya.

Melalui hal itu, pemimpin pun selalu memotivasi rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan
kemalasan dan kebodohan. Hingga akhirnya rakyat perlahan bangkit menatap masa depan
cerah.

Keberhasilan ini tak terlepas dari sentuhan cinta kasih tanpa batas. Ia senantiasa menyapa
warga dan memompa semangat untuk bangkit. Sentuhan tanpa menggurui berbekal
pengalaman hidup inilah yang kemudian mengantarkan menjadi pemimpin masyarakat.
Pemimpin yang melayani dengan kesederhanaan dan cinta.

Medium pembebasan politik ala Hannah Arendt pun mewujud melalui gerak tanggap calon
presiden dalam membangun sistem berkeadaban. Perwujudan sistem berkeadaban pun
muncul berbarengan dengan sinergi program kerja berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal
menjadi warna yang semakin menghiasi keadaban publik. Kearifan lokal bukan hanya
menjadi bumbu penyedap, tapi juga menjadi roh dalam setiap gerak dan langkah.

Dengan demikian, pemilihan presiden merupakan medium mencari, memilah, dan memilih
calon pemimpin nasional yang mengerti kehendak rakyat. Kehendak rakyat bukanlah
kehendak tuan. Kehendak rakyat ialah impian dan cita-cita besar bangsa sebagaimana
tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Pada akhirnya, mari menggunakan waktu yang tak lama untuk merenungkan dan
memantapkan pilihan kepada salah satu capres untuk memimpin Indonesia dengan demokrasi
otentik. Demokrasi sebagai bangunan politik berperikemanusiaan dan berkeadaban.














Mari Berbicara Ketulusan Politik

Selasa, 08 Juli 2014
Geger Riyanto, Esais (@gegerriy)


Judulnya "Sebuah Meteor dari Kampung". Kalau Anda pelanggan majalah Tempo, Anda
mengetahuinya. Jokowi, foto artikel itu memperlihatkan, berdiri di hadapan pendukungnya
yang menghampar dari satu ujung Monas ke ujung Monas lainnya. Satu sosok dengan
perawakan ceking khasnya. Ribuan warga terbentang seperti pasir, memperhatikan saksama
setiap geriknya dengan antusias.

Kalau pembaca budiman pendukung capres bersangkutan, boleh jadi ada kepuasan yang tak
terjelaskan, bahkan sekadar menatap gambar tersebut. Demikian pula saat mencerap foto
serupa yang diambil pada kesempatan lain-"Konser Salam Dua Jari" di Gelora Bung Karno.
Sang calon mengacungkan salam dua jari, isyarat khasnya. Sekujur latar belakangnya, dari
lapangan hingga tribun atas, adalah para pendukungnya.

Sebuah momen eksepsional? Pendek saja, tidak. Pada kampanye PDIP untuk pemilu
demokratis pertama 1999, jalan-jalan protokol merekah merah. Megawati tak pernah berorasi
lebih dari 10 menit, seorang wartawan Time menulis. Tapi ribuan pendukung yang
memerahkan kampanyenya gegap gempita cukup dengan kehadiran bungkamnya. Kemudian
pada 2004, situasi sama berulang. Ke mana pun SBY pergi berkampanye, orang-orang
dengan sendiri menyerbunya. Popularitasnya sendiri nyaris tak masuk akal, memberikannya
perolehan suara di atas 60 persen dalam pemilihan. Sebuah standar kemenangan telak pemilu
demokratis yang sulit disaingi.

Namun kini mari kita bayangkan, apakah di mata para calon pejabat ini massa pendukung
merupakan insan manusia ataukah semata kerumunan pendatang suara? Apakah pembaca
budiman, di mata mereka, berharga sebagai individu ataukah semata butiran remeh di antara
puluhan juta suara yang diperlukan guna memperoleh kekuasaan eksekutif tertinggi?
Jawabannya mudah. Bila seseorang memilih yang pertama, ia dipastikan naif.

Hanya, rasionalitas politik, yang memandang penduduk tak lebih dari komoditas politik, pada
hari-hari yang aneh ini berjalan beriringan dengan hasrat para warga ini sendiri. Sukarno, suri
tauladan siapa pun yang bercita-cita menjadi figur populis, Anda ingat, gemar menekankan
jumlah penduduk sebagai kekuatan nasional. Dan siapa di antara ribuan audiens pidatonya
yang merasa dieksploitasi mendengar diri mereka diperlakukan sebagai obyek, alih-alih
subyek? Sebagai amunisi politik alih-alih subyek dengan hak-hak lengkapnya selaku warga
negara?

Para pemilih, pada momen-momen ini, bukan lagi tak masalah menjadi sekadar seorang
penonton di antara lautan manusia yang remeh, tak berarti. Kita, pada kenyataannya,
mendambakannya--mendambakan untuk menjadi bukan siapa-siapa dan sekadar partikel
kecil dalam satu gerak masif untuk tujuan yang kabur menunaikan kepentingan siapa. Atau,
kalaupun ada kepentingan yang jelas-jelas ditegakkan, bukankah ia milik sang figur dan
rombongan elite yang mengikatnya dengan kontrak tak terhindarkan?

Bukannya semua ini bermasalah. Tapi, bila demikian tulus dan tidak egoisnya alasan kita
memilih, hal pertama yang patut disadari adalah kita tak benar-benar punya hak untuk
mengeluh nanti. Pikirkan baik-baik ungkapan klise Kennedy yang masih dianggap inspiratif
hari ini, "Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah kau
berikan kepada negara." Kita, noktah kecil kemenangan kekuatan-kekuatan besar yang bisa
dibuang kapan pun, tak boleh menuntut timbal balik. Sungguh sebuah kebijaksanaan politik!















Jokowi dan Mangkunegara VII

Rabu, 09 Juli 2014
Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM


Pemilihan umum presiden 2014 telah usai. Kita juga telah melewati hari-hari yang "panas"
oleh fitnah dan kampanye hitam. Tanggal 9 Juli 2014 adalah hari bersejarah bagi bangsa
Indonesia, termasuk Jokowi. Dia menorehkan tinta emas dalam jagad perpolitikan di
Indonesia.

Jokowi adalah representasi wong cilik. Sejak memegang kursi wali kota, dia telah
menunjukkan kepedulian besar kepada masyarakat bawah, terutama dalam hal pendidikan.
Warga yang tidak mampu secara ekonomi tetap dapat mengenyam bangku sekolah.
Kecerdasan dan kepedulian Jokowi itu mengingatkan kita pada sosok Mangkunegara VII. Dia
adalah tokoh lokal Solo yang juga menggetarkan dunia internasional dan berjaringan dengan
filsuf luar negeri.

Dia priyagung berotak brilian lantaran mengakar semangat belajar yang kuat dalam
tubuhnya. Ia berusaha keras memahami kebudayaan Jawa dan Barat yang bertolak belakang.
Berkat mengeyam pendidikan di Belanda, meski tidak kelar, dia memadukan budaya luhur
nenek moyang dengan konsep pendidikan Barat yang kritis.

Agar para kawula dari segala kelas sosial melek huruf, pada 1927, didirikanlah Solosche van
Deventer School (sekolah Van Deventer). Di dalam gedung yang kini digunakan untuk
kegiatan belajar SMPN 3 dan SMPN 10 tersebut, pelajaran Barat yang kudu dimamah sang
murid antara lain bahasa Belanda, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu kesehatan, dan ilmu
gizi. Biar tidak tercerabut dari akar budaya Jawa dan pemikiran para siswa tidak jomplang,
mereka diajari membatik dan njoged (menari).

Dalam kurun itu, ide Mangkunegara VII yang berhasil membikin pemerintah Belanda
tercengang ialah berdirinya HIS Siswo, yang berlokasi di Jalan Ngarsopuro (sekarang SMPN
5) dan sekolah Siswo Rini, yang bertempat di bagian timur Pura Mangkunegaran. Sekolah ini
khusus untuk menempa kaum hawa. Sungguh sebuah gagasan yang melampaui zaman,
karena Mangkunegara VII, yang notabene hidup dalam lingkungan feodal, malah berani
mendobrak unsur feodalisme yang menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tidak
berhak mengenyam gurihnya pendidikan. Perempuan dikeluarkan dari belenggu tradisi
budaya Jawa yang memposisikan mereka macak, manak, dan masak saja. Materi yang
diajarkan adalah bahasa Melayu, bahasa Jawa, pengetahuan memasak, cara merawat buah
hati, dan menjaga kebersihan lingkungan.

Salah besar kalau menganggap penduduk desa yang rumahnya jauh dari Pura
Mangkunegaran tidak diberi kesempatan mencecap pelajaran sekolah. Gusti, bermodalkan
setumpuk uang dari hasil bisnis perkebunan, juga memberikan akses pendidikan kepada
mereka. Mangkunegara VII menyambut virus kemadjoean dengan memberantas buta sastra
di seluruh area praja. Priyayi Mangkunegaran diwajibkan mendidik masyarakat supaya bisa
masuk ke dunia kemodernan.

Sebagai orang Solo, mestinya Jokowi tidak lupa akan peran Mangkunegara VII dalam
mencerdaskan penduduk. Sebisa mungkin ia meniru semangat Mangkunegara VII.
Kemenangan Jokowi-JK dalam pemilu presiden 2014 adalah kemenangan rakyat,
kemenangan mereka yang butuh pendidikan. Barangkali, dalam gegap gempita perayaan
kemenangan Jokowi-JK ini, kita harus tetap ingatkan dan tagih janji beliau memajukan dunia
pendidikan masyarakat Indonesia. *















Membandingkan Ibunda Jokowi dan
Prabowo

Kamis, 10 Juli 2014
Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI


Kepribadian Joko Widodo yang sederhana dan pekerja keras itu tidak terlepas dari sentuhan
sang ibunda, Sujiatmi. Buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi, yang ditulis Kristin Samah dan
Fransisca Ria Susanti, bercerita tentang seorang ibu yang menanamkan pendidikan budi
pekerti, kesederhanaan hidup, kerendahan hati, hingga akhirnya membentuk karakter Jokowi
seperti sekarang ini. Pesan kepada anaknya, "Nek mlakumu lurus, lempeng, uripmu mesti
penak" (Kalau jalanmu lurus, lempang, maka hidupmu pasti enak". Sangat sederhana cara ia
mengajar anak-anaknya. "Untuk apa punya mobil sepuluh? Apa iya kalau mau pergi sepuluh-
sepuluhnya dipakai".

Apresiasi terhadap cara Sujiatmi membesarkan Jokowi, salah satunya, disampaikan Nina
Akbar Tanjung. "Ibu Sujiatmi itu wanita yang sukses karena berhasil membesarkan anak-
anak, beliau tetap mengajarkan filsafat luhur ojo dumeh (jangan mentang-mentang)," kata
Nina. Selain memuji pendidikan karakter yang dilakukan, Nina menyinggung sosok Sujiatmi.
"Beliau sangat luar biasa, beliau juga berdagang, selain itu juga jadi ibu rumah tangga. Jadi,
dulu waktu Jokowi sedang sakit, ibunya juga rela mengantarkan anaknya ke sekolah dengan
sepeda motor dan saat menjemput dicandai temannya bahwa Jokowi dijemput oleh
saudaranya," Nina bercerita. Dalam kesempatan itu, Nina juga menjelaskan mengenai
bagaimana ibunda Sujiatmi selalu berpesan bahwa jika ingin kaya berkecimpunglah dalam
bisnis, bukan dalam politik.
Menurut penulis Amerika Serikat, Emily Post, karakteristik perempuan hebat ditandai dengan
sifat "ketulusan, kesederhanaan, simpati, dan ketenangan". Semuanya itu dimiliki Sujiatmi,
ibunda Jokowi. Kegiatan rutin Haijah Sujiatmi ini adalah Sabtu senam, hari-hari lain
mengikuti pengajian di kampung dan di beberapa tempat lain, sedangkan setiap Senin ia
berpuasa sambil istirahat di rumah.

Dalam buku ini juga disinggung tentang pertemuan Joko Widodo dengan calon istrinya,
Iriana. Semuanya berjalan sederhana. Iriana adalah teman sekolah Iit, adik perempuan
Jokowi. Cinta mereka adalah cinta orang biasa. Ini tentu berbeda dengan kisah Prabowo,
seorang perwira militer, putra begawan ekonomi Indonesia yang menikah dengan Titik
Soeharto, putri Presiden Indonesia.

Ibu juga memiliki peran sentral dalam kehidupan Prabowo. Dora Sigar yang berasal dari
Minahasa dan beragama Protestan mengawali kisah cintanya dengan Sumitro
Djojohadikusumo di Eropa. Pada 1945, ketika Sumitro menderita tumor usus, Dora yang
belajar ilmu keperawatan di Utrecht mengayuh sepeda ke rumah sakit di Rotterdam untuk
merawat Sumitro. Pada 1946, Sumitro pulang ke Indonesia, Dora menyusul kemudian dan
mereka menikah pada 1947 dengan mempertahankan agama masing-masing. Keluarga
mereka pun sangat heterogen. Putri pertama Bianti beragama Katholik dan bersuamikan
Sudrajat Djiwandono yang pernah menjadi Gubernur BI. Putri keduanya, Maryani,
bersuamikan orang Prancis yang merupakan keturunan Yahudi. Putra ketiganya, Prabowo,
menikah dengan Titik Soeharto. Yang bungsu, Hashim, beragama Protestan dan menikahi
perempuan yang beragama sama. Pada Ramadan, Dora sering bangun untuk menemani
Sumitro makan sahur.

Pada 1958, meletus pemberontakan PRRI yang menyebabkan Sumitro sekeluarga harus
berkelana di luar negeri selama belasan tahun. Demi keamanan, mereka hidup berpindah-
pindah dari Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, London, dan Bangkok. Prabowo
sendiri menamatkan sekolah menengah di London (Hidup di "perantauan" juga kemudian
hari dialami Prabowo ketika ia meninggalkan Indonesia pada 1998 dan tinggal di Yordania
beberapa tahun). Sumitro beruntung memiliki Dora Sigar sebagai istri yang setia, tidak
pernah mengeluh. Ia tidak pernah menyalahkan Sumitro karena mereka harus meninggalkan
Tanah Air. Dora menghabiskan waktunya untuk mengurusi anak-anak.

Joko Widodo dan Prabowo Subianto berasal dari kelas yang berbeda. Joko berasal dari
kalangan orang biasa yang sudah terbiasa dengan kerja keras, sementara Prabowo dari
keluarga pergerakan kemerdekaan yang sudah terbiasa berjuang, termasuk mengungsi ke luar
negeri. Kemenangan Jokowi dari Prabowo adalah kemenangan wong cilik dalam berhadapan
dengan priayi. Namun patut dicatat bahwa keduanya dilahirkan dan dididik karakternya oleh
dua perempuan yang luar biasa, yakni Sujiatmi dan Dora Sigar. *









Parikesit

Kamis, 10 Juli 2014
Purnawan Andra, peminat kajian sosial budaya


Pemimpin negeri ini perlu belajar dari Parikesit, raja belia Kerajaan Astina selepas perang
Bharatayudha. Alkisah, pada suatu hari, ia pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan
menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat di pertapaan Bagawan Samiti yang
sedang duduk bertapa membisu. Ketika Sang Raja bertanya ke mana buruannya pergi,
Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa.
Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular lalu
mengalungkannya di leher Bagawan.

Sang Srenggi, putra Bagawan, naik pitam saat pulang ke rumah dan mendapati bangkai ular
melilit leher ayahnya. Ia mengucap kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular
setelah tujuh hari sejak kutukan itu diucapkan. Bagawan Samiti, sebagai tanda pengabdian
kepada pemimpinnya, mengutus muridnya untuk memberi tahu Sang Raja. Namun, Parikesit
merasa malu untuk meminta maaf demi mengakhiri kutukan tersebut. Dia memilih untuk
berlindung di sebuah puncak menara dengan pengawasan ketat. Tak ada seorang pun bisa
masuk menemuinya tanpa lolos dari penjagaan prajurit. Namun, takdir berkata lain. Naga
Taksaka, ular sakti pembunuh itu, mengubah diri menjadi ulat dalam buah apel yang
dihidangkan kepada raja. Parikesit pun mati digigit Taksaka, yang telah kembali berubah
wujud menjadi seekor ular raksasa.

Kisah Parikesit dalam wiracarita Mahabharata episode Adiparwa itu menjadi analogi yang
tepat bagi para pemimpin dan politikus yang selama ini sibuk dengan retorika dan pencitraan
politis yang tidak implementatif. Pengalaman membuktikan selama ini negara laksana
Kerajaan Astina yang penuh menara gading tapi berjarak dengan rakyatnya. Para pemimpin
membangun gedung kantor tinggi berpenjaga ketat dan sibuk menyamankan diri dengan
fasilitas luks di dalam ruangannya.

Parikesit menjadi simbol pemimpin yang abai akan kondisi riil sosial masyarakatnya. Ketika
datang bahaya akibat kesombongannya, ia justru berlindung di menara gading yang indah,
namun tak mampu menjawab persoalan. Padahal, persoalan bukan hanya untuk dianalisis,
tapi juga membutuhkan solusi yang aplikatif. Dalam konteks kompleksitas permasalahan
bangsa kita, pemimpin baru nantinya harus bisa mengambil peran tersebut.

Dengan logika tersebut, kehidupan berbangsa dan bernegara semestinya dimaknai sebagai
bangunan regulasi politik yang menegakkan fondasi hukum dan ekonomi dengan tetap
memperkuat ikatan-ikatan sosial antarwarga dan mengembangkan logika kreatif dalam
rangka mengokohkan peradaban. Caranya adalah dengan menjamin edukasi moral, tanggung
jawab sosial, demokrasi, pendidikan, dan pembangunan kesejahteraan masyarakat secara
moril dan material. Pemimpin baru harusnya tidak seperti Parikesit: bersembunyi di menara
gading menghindari persoalan yang ada, tapi mati saat menyantap makanan yang
dihidangkan kepadanya. Sungguh ironis, bukan? *



















Si Lemah yang Perkasa

Kamis, 10 Juli 2014
J. Sumardianta,Guru


"Kebenaran yang tidak diorganisasi akan dipecundangi kejahatan terorganisasi."

Anekdot Daud-Goliat merupakan risalah menggugah perihal arogansi yang ditaklukkan
kerendahan hati. Kesombongan dikalahkan kesederhanaan. Omong kosong dimentahkan
kerja nyata. Siasat dibabat oleh kerja keras, ikhlas, dan tuntas. Partisipasi mempecundangi
mobilisasi. Kesadaran merubuhkan intimidasi.

Hari-hari ini, bangsa Indonesia sedang mengalami euforia sekaligus galau menyongsong
datangnya Daud dari Solo. Joko Widodo, berpasangan dengan Jusuf Kalla, memenangi
pemilu presiden (pilpres) 2014 versi hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel. Pasangan
Prabowo-Hatta yang dikalahkan dengan skor tipis belum mau melempar handuk.

Pemilihan presiden kali ini memang pertarungan Daud menumbangkan Goliat. Setidaknya ini
terlihat dari dukungan partai koalisi yang menyokong calon presiden masing-masing. Jokowi
mewakili aspirasi rakyat jelata. Orang tuanya berasal dari Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah.
Sebelum menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, Jokowi seorang pengusaha mebel.
Tampilan sehari-harinya kurang ndayani (meyakinkan). Jangankan menjadi presiden RI,
menjadi Wali Kota Solo saja bagi kerabat dekatnya sudah pencapaian mengejutkan.

Indonesia sedang memasuki babak baru sejarah kepemimpinan. Babak pertama, Sukarno
berasal dari kultur aristokrat Jawa. Babak kedua, Soeharto mewakili junta militer. Babak
ketiga, Jokowi merepresentasikan wong ndeso. Jokowi merupakan antitesis dari
kepemimpinan gagrak lama yang bertumpu pada kekuatan priayi dan tentara yang cenderung
disembah dan dilayani. Jokowi datang untuk melayani. Dia tipe servant leadership.
Pemimpin pelayan ini bersenjatakan kejujuran, ugahari, dan ketulusan.

Jokowi mempraktekkan gagasan kelimpahan (abundance living). Rival-rivalnya berkukuh
dengan gagasan-gagasan kelangkaan (scarcity). Jokowi memperlakukan orang lain sebagai
mitra pelengkap (complement). Para kompetitor memperlakukan Jokowi sebagai orang yang
akan menggantikan mereka (substitusi).

Pemilihan presiden 2014 sungguh menjalankan fungsi sirkulasi elite dan pendidikan politik.
Jokowi menawarkan kesegaran baru. Wong climen lan prasaja (orang kebanyakan) bisa
menjadi presiden. Inilah hikmah kemenangan rakyat jelata. Anak-anak dari latar belakang
keluarga biasa (bukan anak pejabat) boleh membangun mimpi yang tidak bertepi. Asalkan
punya otentisitas dan tahan menghadapi gempuran, mereka bisa menjadi presiden.

Siasat tidak terpuji dilakukan buat melaknat Jokowi. Air bah sejarah baru ini tak mungkin
dibendung dengan sehelai jerami. Terlebih lagi bila jerami hasil kerajinan anyam lembaga
survei abal-abal yang diekspos terus stasiun televisi penyebar kebencian dan kebohongan
milik politikus.























Polisi, Dewan Pers, dan Obor Rakyat

Sabtu, 12 Juli 2014
Abdullah Alamudi, Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo; Anggota Dewan Pers (20072010).


Polisi tampaknya ragu mengenai tindakan tepat yang akan mereka ambil terhadap kedua
pemimpin Obor Rakyat. Polisi saat ini telah terdesak oleh tuduhan masyarakat bahwa mereka
mengulur-ulur waktu karena kedekatan pemimpin tabloid itu dengan Istana.

Keraguan itu tampak dari silang pernyataan pimpinan Polri kepada masyarakat. Di depan
Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, dan puluhan pemimpin
redaksi media, Jumat, 4 Juli, Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan, "Polisi akan menindak
tegas pimpinan Obor Rakyat, (Setyardi Budiono dan Darmawan Supriyossa-pen.) dengan
pasal-pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Pers."

Tapi, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan, menurut Kabareskrim,
Setyardi dan Darmawan hanya akan dikenai Pasal 18 (ayat 3) juncto Pasal 9 (ayat 2) UU
Pers. Pasal itu memuat ancaman pidana denda maksimal Rp 100 juta.

Menyusul tekanan masyarakat dan pers, dalam waktu kurang dari sepekan, Polri mengatakan
bahwa polisi bisa mengenakan pasal-pasal pidana umum terhadap Setyardi dan Darmawan.
Tapi, mereka belum menemukan ahli hukum pidana yang bisa menjelaskan kesalahan kedua
tersangka dalam kaitannya dengan UU Pers.

Pernyataan itu makin membingungkan, karena Dewan Pers, dengan semangat memorandum
of understanding-nya dengan Polri, sudah beberapa kali menegaskan kepada polisi, walaupun
Obor Rakyat berbentuk tabloid, media ini bukan karya jurnalistik, bukan media pers seperti
yang diklaim Darmawan. Pendapat Dewan Pers sedikitnya didasarkan pada dua
pertimbangan: segi yuridis formal dan esensi etika dari isi tulisan-tulisan di Obor Rakyat.

Dari segi yuridis formal, Obor Rakyat tidak memenuhi persyaratan Pasal 9 (ayat 2) dan Pasal
12 UU Pers. Pasal 9 (ayat 2) menegaskan: "Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan
hukum Indonesia." Pasal 12 berbunyi, "Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat,
dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk
penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan."

Penjelasan pasal ini menegaskan, "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana
menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Jadi, penjelasan Pasal 12 UU Pers
itu sendiri sudah membuka jalan bagi polisi untuk mengusut para pemimpin Obor Rakyat
berdasarkan KUHP.

Edisi pertama (5-11 Mei 2014) Obor Rakyat, yang penulis baca, tidak mencantumkan nama
badan hukumnya. Petugas Dewan Pers melacak alamat kantor redaksi yang tertera pada
masthead tabloid itu, "Jalan Pisangan Timur Raya IX, Jakarta Timur". Namun, ternyata,
"Tidak ada Jalan Pisangan Timur Raya IX," kata dia. "Yang ada adalah Jalan Pisangan Timur
9, dan orang-orang di sana bilang Obor Rakyat tidak berkantor di sana." Nomor telepon dan
faksimile yang dicantumkan di masthead itu juga palsu. Edisi pertama itu juga tidak
mencantumkan nama dan alamat percetakannya, seperti ditetapkan undang-undang.

Dari segi isi, hampir semua tulisan di Obor Rakyat melanggar kode etik jurnalistik,
khususnya pasal-pasal 1, 2, 3, 4, dan 8, yang menyangkut iktikad buruk, profesionalisme,
menghakimi, dan fitnah. Saat ini, Obor Rakyat diberitakan sudah terbit sampai edisi ketiga
tanpa kejelasan mengenai kemungkinan polisi mengenakan pasal-pasal pidana umum.

Kapolri Sutarman dan Irjen Sompie membantah kelambanan polisi menyelesaikan kasus
Obor Rakyat ada kaitannya dengan Istana. Setyardi Budiono adalah anggota staf dari Staf
Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Derah, Velix Wanggai.

Berbagai tulisan Obor Rakyat mencemarkan nama baik calon presiden Joko Widodo,
menghasut masyarakat, menyebar kebencian, yang termasuk dalam ranah Pasal 310 dan 311
serta Pasal 156 dan 157 KUHP (menghasut, menyebar kebencian). Menurut Indonesia Police
Watch, tulisan-tulisan di Obor Rakyat itu juga melanggar Pasal 214 UU Pemilihan Presiden.

Pemilik percetakan Obor Rakyat juga bisa diseret ke pengadilan berdasarkan delik percetakan
(drukpresdelict), Pasal 483, 484, dan/atau 485 KUHP. Tak jelas mengapa polisi tidak
memasukkan delik percetakan dalam pemeriksaan terhadap Obor Rakyat. Padahal, ketika ada
kampanye terhadap penerbitan yang dianggap porno beberapa tahun lalu, polisi sampai
mengejar-ngejar pengecer dan agen majalah.

Juru bicara Joko Widodo, Anies Baswedan, mengingatkan polisi bahwa Obor Rakyat telah
mencabik-cabik nilai dan simbol-simbol persatuan nasional lewat serangan bersifat SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan). Karena itu, kata dia, polisi tidak boleh berdiam diri.
"Berdiam saja," kata dia, "bisa diartikan polisi melakukan pembiaran."

Ada beberapa tulisan yang bersifat memecah-belah pada edisi pertama Obor Rakyat.
Misalnya, artikel berjudul "Dari Solo sampai Jakarta, de-Islamisasi ala Jokowi", "Cukong-
cukong di belakang Jokowi", "Partai 'salib' di belakang Jokowi." Tabloid setebal 16 halaman
itu memuat tulisan penghinaan yang sangat menyakitkan berjudul "Jokowi anak Tionghoa".

Tulisan itu menyebut ibu Jokowi adalah gundik dari Oey Hong Liong, pengusaha yang
berganti nama menjadi Nitimiharjo (Ayah Jokowi bernama Notomihardjo). Jokowi sudah
membantah semua tuduhan itu, termasuk serangan terhadap pribadinya.

Sampai artikel ini ditulis, belum jelas tindakan tegas macam apa yang akan diambil polisi
terhadap Obor Rakyat di tengah pertanyaan besar masyarakat: apa makna MOU Dewan Pers-
Polri bila polisi mengabaikan pendapat Dewan Pers?























































Subsidi untuk Keluarga Miskin

SABTU, 12 JULI 2014
Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik

Profil kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli)
menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang (11,25
persen), atau hanya berkurang 0,32 juta orang dibanding kondisi pada September 2013.
Profil kemiskinan ini memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, dampak kenaikan
harga bahan bakar minyak pada akhir Juni tahun lalu terhadap kehidupan masyarakat kecil
cukup dalam. Ternyata, tidak sedikit dari mereka yang terjerembap ke jurang kemiskinan
selepas kenaikan harga BBM dan hingga kini tetap miskin.
Kedua, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat, bahkan boleh dibilang telah
menyentuh titik jenuh. Hal ini menunjukkan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronis
(chronic poverty) serta cenderung persisten dan sulit diatasi.
Mereka yang tengah bergelut dalam kemiskinan saat ini adalah penduduk dengan tingkat
kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) yang sangat rendah, tingggal di daerah terpencil
dengan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar, dan mungkin tidak tersentuh berbagai
program penanggulangan kemiskinan pemerintah. Karena itu, dibutuhkan terobosan dalam
hal penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah mendatang.
Berbicara soal terobosan dalam penanggulangan kemiskinan, kontrak politik yang disodorkan
pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-JK tampaknya cukup menarik. Keduanya
berjanji bakal meningkatkan anggaran penanggulangan kemiskinan, termasuk memberi
subsidi sebesar Rp 1 juta per bulan kepada setiap keluarga pra-sejahtera, bila pertumbuhan
ekonomi nasional di atas 7 persen per tahun.
Jika mampu direalisasi, hal ini dipastikan bakal menyebabkan penurunan jumlah penduduk
miskin dalam jumlah besar. Bisa dibayangkan, bila subsidi diberikan dalam bentuk tunai
(cash transfer) dan diasumsikan setiap keluarga pra-sejahtera terdiri atas empat orang, itu
artinya bakal ada tambahan pendapatan sebesar Rp 250 ribu per bulan bagi setiap anggota
keluarga. Tambahan pendapatan sebesar ini tentu sangat membantu untuk menolong mereka
memenuhi kebutuhan dasar agar tidak berkategori miskin.
Namun, patut diperhatikan, anggaran yang dibutuhkan untuk mensubsidi setiap keluarga pra-
sejahtera sebesar Rp 1 juta per bulan tidaklah sedikit. Besarnya anggaran sangat bergantung
pada jumlah keluarga yang bakal menjadi target sasaran penerima subsidi. Sebagai contoh,
bila yang dimaksud dengan keluarga pra-sejahtera adalah 40 persen rumah tangga dengan
tingkat kesejahteraan terendah seperti pada penyaluran Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat, anggaran total yang diperlukan bakal mencapai Rp 10-15 triliun per bulan atau
Rp 120-180 triliun per tahun. Dengan kata lain, anggaran penanggulangan kemiskinan harus
ditingkatkan minimal tiga kali lipat dari anggaran kemiskinan saat ini yang sekitar Rp 100
triliun per tahun.
Penyaluran subsidi juga harus tepat sasaran. Jangan sampai subsidi justru menyasar
kelompok mampu dan mengabaikan kelompok yang seharusnya menerima. Dalam soal ini,
akurasi data penerima subsidi sangat penting. Karena itu, penyaluran subsidi sebaiknya
menggunakan basis data yang sama dan terintegrasi dengan berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang sudah ada, seperti Beras untuk Rakyat Miskin, Program
Keluarga Harapan, dan Jamkesmas.

















Belajar dari Piala Dunia

Sabtu, 12 Juli 2014
Endang Suryadinata, Penggemar Bola dan Sejarah


Menurut filsuf eksistensialis Prancis, Albert Camus, sepak bola mengajarkan soal moral dan
tanggung jawab. Ini nyata dari 32 tim nasional yang berjuang di Piala Dunia Brasil. Mereka
menang dan menghindari kekalahan, tapi tetap dengan mematuhi aturan main. Mereka patuh
terhadap apa pun keputusan wasit. Untuk itu, kita bisa belajar banyak dari Piala Dunia untuk
menyikapi hasil pemilihan presiden 9 Juli 2014.

Tentu saja, setiap tim ingin menang di Brasil. Malah, guna meraih kemenangan, kadang
sepak bola dikaitkan dengan perang. Luiz Felipe Scolari, pelatih timnas Brasil, meyakini
bahwa sepak bola ibarat perang, sehingga timnas Brasil bisa mengalahkan Kolumbia 2-1
dalam perempat final sebelum kalah telak 1-7 oleh Jerman dalam semifinal, Rabu dinihari
lalu.

Yang patut dipuji adalah sikap yang ditunjukkan oleh tim yang menang. Lihat para pemain
Jerman selepas laga semifinal itu. Mereka memeluk Scolari, sebagian yang lain mencoba
menghibur pemain tuan rumah yang hancur hatinya.
Para pemain Jerman sungguh memiliki spirit yang pernah dimiliki Jenderal Erwin Rommel.
Meski Rommel berada di pihak Nazi, dialah satu-satunya jenderal Jerman yang ketika Perang
Dunia II mendapatkan penghormatan dari lawannya (sekutu). Jenderal yang terkenal dengan
Korps Afrika-nya itu dikenal tidak pernah menembak atau membunuh musuh yang tidak
bersenjata. Sikap kesatrianya benar-benar dijaga, karena agaknya dia tahu etika perang dari
ayahnya yang pendeta. Akhirnya, ketika semua jenderal Nazi dibantai para sekutu, Rommel
justru tercatat sebagai satu-satunya jenderal yang mendapatkan penghormatan dari para
lawannya.

Kebesaran Jenderal Rommel mengingatkan kita akan pepatah "menang tanpa ngasorake",
menang tanpa merendahkan pihak yang kalah. Jadi jangan arogan bila menang. Lalu,
bagaimana kekalahan harus dihayati? Bukan hanya kemenangan yang membuat pertandingan
menjadi semarak. Kita melihat di babak penyisihan, hasil seri hanya membuat kita seperti
dilanda kekecewaan. Meskipun begitu, jika ada tim yang kalah, khususnya di babak 16 besar,
perempat final, semifinal, dan tentu saja final, pertandingan jadi ramai.

Mengenai kekalahan ini, kita boleh belajar dari rakyat Kolumbia, Swiss, atau Aljazair. Meski
tak bisa melaju lebih jauh karena kalah, toh mereka tetap mendapatkan respek dari para
pendukungnya. Rakyat ketiga negara seolah mengingatkan kita untuk menghargai usaha dan
kerja keras timnas mereka. Kita memang mesti belajar bahwa manusia harus bekerja keras
untuk mencapai kepenuhannya, kendati upaya itu berakhir tragis dalam kekalahan. Sydney
Newton Bremer, motivator ulung dunia, menuliskan: "kemuliaan manusia kita bukan terletak
pada kemenangan saja, tapi terlebih pada upaya bagaimana kita bisa bangkit setelah
kekalahan."

Dalam pilpres 9 Juli 2014, hanya akan ada satu calon presiden yang berhak atas kursi RI-1.
Mohon pihak yang menang dan para pendukungnya bisa tetap rendah hati dan tidak dirasuki
arogansi untuk mempermalukan lawan. Demikian juga, pihak yang kalah tidak tergoda untuk
mencari alasan sehingga membuat kerusuhan selepas pencoblosan.

Kita memang harus belajar bagaimana menyikapi kemenangan dan kekalahan secara bijak.
Jika sikap positif dalam menghadapi kemenangan atau kekalahan ditumbuhkan sejak dini,
kita berharap pilpres berlangsung dengan damai. *

You might also like