PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2013 LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN FRAKTUR SERVIKAL I. Teori Dasar A. Anatomi Secara anatomis tulang belakang merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang-tulang yang tidak beraturan yang disebut vertebra, masing-masing vertebra dipisahkan oleh diskus intervertebralis. Kolumna vertebralis adalah pilar utama tubuh, yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala dan batang tubuh yang diteruskan ke tulang-tulang paha dan tungkai bawah. Vertebra dimulai dari cranilun sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costadan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra padaorang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.
Gambar 1. Vertebrae Column Tulang belakang merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat olehligamen di depan dan dibelakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibel dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu traumahebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transpotasi ke rumah sakit harusdiperlakukan dengan hati-hati. Trauma tulang dapt mengenai jaringan lunak berupaligament, discus dan faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Tulang servikal terdiri dari tujuh tulang vertebra yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis dan dihubungkan oleh jaringan ligamen yang komplek. Jaringan ligamen tersebut menyebabkan tulang-tulang ini dapat bekerja sebagai satu kesatuan unit yang utuh. Vertebra servikal memiliki karakter berupa tiap procesus tranversus mempunyai foramen procesus tranversus untuk arteri dan vena vertebralis, namun arteri vertebralis hanya melalui procesus transverses C16 saja.
B. Pengertian Fraktur Servikal Terdapat beberapa pengertian mengenai fraktur, sebagaimana yang dikemukakan para ahli melalui berbagai literature. Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur adalah rusaknya keutuhan struktur tulang (Brooker, 2008). Fraktur menurut Dorland (2012), adalah pemecahan suatu bagian, khususnya tulang,pecah atau rupture pada tulang.Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Doengoes (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.Sehingga fraktur servikal adalah terpisahnya kontinuitas tulang pada vertebraservikalis.Fraktur servikal pang sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Sebuah fraktur servikal merupakan suatu keadaan kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Cedera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering menimbulkan kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian terdapat korelasi antara tingkat cedera servikal dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu semakin tinggi tingkat cedera servikal semakin tinggi pula morbiditas dan mortalitasnya.
C. Etiologi Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan dikepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: 1. Fraktur akibat peristiwa trauma. Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran, penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertaikerusakan jaringan lunak yang luas. 2. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan. Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan bendalain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh. 3. Fraktur petologik karena kelemahan pada tulang. Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
D. Klasfikasi Fraktur Servikal 1. Klasifikasi Trauma Servikal Berdasarkan Mekanismenya a. Trauma Hiperfleksi 1. Subluksasi anterior terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher, ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasi ke posterior (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tanda-tanda lainnya : Jarak yang melebar antara prosesus spinosus- Subluksasi sendi apofiseal
Gambar 2. Subluksasi anterior 2. Bilateral interfacetal dislocation Terjadi robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulanligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak diskolasianterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.
Gambar 3. Bilateral interfacetal
3. Flexion tear drop fracture dislocation. Tenaga fleksi murni ditambah komponen kompresi menyebabkan robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan ligamen posterior disertai fraktur avulse pada bagian antero-inferior korpusvertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal dalam fleksi : Fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-inferior korpus vertebrae Pembengkakan jaringan lunak pravertebral
Gambar 4. Flexion tear drop fracture dislocation
4. Wedge fracture. Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinalanterior dan kumpulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil 5. Clay shovelers fracture. Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus; biasanya pada CVI-CVII atau Th1.
Gambar 5. Clay shovelers b. Trauma Fleksi-Rotasi Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun terjadi kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang bersangkutan. Tampak dislokasi anterior korpus vertebra. Vertebra yang bersangkutan dan vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan vertebra distalnya tetap dalam posisi lateral
Gambar 6. Trauma Fleksi-rotasia. a. Tampak Lateral b. Tampak AP c. Tampak oblik
c. Trauma Hiperekstensi 1. Fraktur dislokasi hiperekstensiDapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan prosessus spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian postero-inferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan. 2. Hangmans fractureTerjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2 terhadap C
Gambar 7. Hagmans Fraktur
d. Ekstensi-rotasi Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi. e. Kompresi vertical Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui kepala,kondilus oksipitalis, ke tulang leher. 1. Bursting fracture dari atlas (jeffersons fracture)
Gambar 8. Jeffersons fracture
2. Bursting fracture vertebra servikal tengah dan bawah
Gambar 9. Bursting fracture vertebra servikal tengah dan bawah
2. Klasifikasi berdasarkan derajat kestabilan. a. Stabil b. Tidak stabil Stabilitas dalam hal trauma tulang servikal dimaksudkan tetap utuhnyakomponen ligament-skeletal pada saat terjadinya pergeseran satu segmen tulang leher terhadap lainnya.Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya bagianmedulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakannormal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu,fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabilartinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jikakehilangan integritas dari ligamen posterior.Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiograf.Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harusdipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media dankompleks anterior (kolumna anterior). c. Jenis Fraktur cervical Jenis fraktur daerah cervical, sebagai berikut: 1. Fraktur Atlas C 1 Fraktur ini terjadi pada kecelakaan jatuh dari ketinggian dan posisi kepala menopang badan dan daerah cervical mendapat tekanan hebat. Condylus occipitalis pada basis crani dapat menghancurkan cincin tulangatlas. Jika tidak ada cedera angulasi dan rotasi maka pergeseran tidak berat dan medulla spinalis tidak ikut cedera. Pemeriksaan radiologi yangdilakukan adalah posisi anteroposterior dengan mulut pasien dalamkeadaan terbukaTerapi untuk fraktur tipe stabil seperti fraktur atlas ini adalahimmobilisasi cervical dengan collar plaster selama 3 bulan.
2. Pergeseran C 1 C2 ( Sendi Atlantoaxial) Atlas dan axis dihubungkan dengan ligamentum tranversalis dari atlasyang menyilang dibelakang prosesus odontoid pada axis. Dislokasi sendi atlantoaxial dapat mengakibatkan arthritis rheumatoid karena adanya perlunakan kemudian akan ada penekanan ligamentum transversalis Fraktur dislokasi termasuk fraktur basis prosesus odontoid. Umumnya ligamentum tranversalis masih utuh dan prosesus odontoid pindah denganatlas dan dapat menekan medulla spinalis. Terapi untuk fraktur tidak bergeser yaitu imobilisasi vertebra cervical. Terapi untuk fraktur geser atlantoaxialadalah reduksi dengan traksi continues. 3. Fraktur Kompresi Corpus Vertebral Tipe kompresi lebih sering tanpa kerusakan ligamentum spinal namun dapat mengakibatkan kompresi corpus vertebralis. Sifat fraktur ini adalah tippet idak stabil. Terapi untuk fraktur tipe ini adalah reduksi dengan plastic collar selama 3 minggu (masa penyembuhan tulang) 4. Flexi Subluksasi Vertebral Cervical Fraktur ini terjadi saat pergerakan kepala kearah depan yang tiba-tiba sehingga terjadi deselerasi kepala karena tubrukan atau dorongan pada kepala bagian belakang, terjadi vertebra yang miring ke depan diatas vertebra yang ada dibawahnya, ligament posterior dapat rusak dan fraktur ini disebutsubluksasi, medulla spinalis mengalami kontusio dalam waktu singkat. Tindakan yang diberikan untuk fraktur tipe ini adalah ekstensi cervical dilanjutkan dengan imobilisasi leher terekstensi dengan collar selama 2 bulan. 5. Fleksi dislokasi dan fraktur dislokasi cervical Cedera ini lebih berat dibanding fleksi subluksasi. Mekanisme terjadinya fraktur hampir sama dengan fleksi subluksasi, posterior ligament robek dan posterior facet pada satu atau kedua sisi kehilangan kestabilannya dengan bangunan sekitar. Jika dislokasi atau fraktur dislokasi pada C7. Th1maka posisi ini sulit dilihat dari posisi foto lateral maka posisi yang terbaik untuk radiografi adalah swimmer projection. Tindakan yang dilakukan adalah reduksi fleksi dislokasi ataupunfraktur dislokasi dari fraktur cervical termasuk sulit namun traksi skullcontinu dapat dipakai sementara. 6. Ekstensi Sprain ( Kesleo) Cervical (Whiplash injury) Mekanisme cedera pada cedera jaringan lunak yang terjadi bila leher tiba-tiba tersentak ke dalam hiperekstensi. Biasanya cedera ini terjadi setelahtertabrak dari belakang; badan terlempar ke depan dan kepala tersentak ke belakang. Terdapat ketidaksesuaian mengenai patologi yang tepat tetapikemungkinan ligamen longitudinal anterior meregang atau robek dan diskusmungkin juga rusak.Pasien mengeluh nyeri dan kekakuan pada leher, yang refrakter dan bertahan selama setahun atau lebih lama. Keadaan ini sering disertai dengangejala lain yang lebih tidak jelas, misalnya nyeri kepala, pusing, depresi, penglihatan kabur dan rasa baal atau paraestesia pada lengan. Biasanyatidak terdapat tanda-tanda fisik, dan pemeriksaan dengan sinar-X hanyamemperlihatkan perubahan kecil pada postur. Tidak ada bentuk terapi yangtelah terbukti bermanfaat, pasien diberikan analgetik dan fisioterapi. 7. Fraktur Pada Cervical Ke -7 (Processus Spinosus) Prosesus spinosus C7 lebih panjang dan prosesus ini melekat padaotot. Adanya kontraksi otot akibat kekerasan yang sifatnya tiba-tiba akan menyebabkan avulsi prosesus spinosus yang disebut clay shovel ersfracture. Fraktur ini nyeri tetapi tak berbahaya.
E. Manifestasi Klinik Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut: 1. Nyeri Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2. Bengkak/edama Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya. 3. Memar/ekimosis Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya. 4. Spasme otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur. 5. Penurunan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema. 6. Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. 7. Mobilitas abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang. 8. Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. 9. Deformitas Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. 10. Shock hipovolemik Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
F. Patofisiologi dan Pathway Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur. C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif. Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru menurun. Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor. Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif akibat cedera neural sekunder. Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah peningkatan level Ca pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel. Di tingkat selular, adnya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
Bagan 1. Patofisiologi Fraktur Servikal
Bagan 2. Pathway Fraktur
G. Pemeriksaan Diagnostik 1. Evaluasi Radiologis Setelah primary survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan external, tahap berikutnyaadalah evaluasi radiographic tercakup didalamnya, plain foto fluoroscopy, polytomography CT-Scan tanpa atau dengan myelography dan MRI. 2. Plain foto Cervical foto series dilakukan atas indikasi pasien dengan keluhan nyeri lokal, deformitas,krepitasi atau edema, perubahan status mental, gangguan neurologis atau cedera kepala,pasien denganmultiple trauma yang potensial terjadi cervical spine injury. Komplit cervicalspine seri terdiri dari AP, lateral view, open mount dan oblique. Swimmer dan fleksiekstensi dilakukan bila diperlukan. 3. Computer tomography Pada saat ini CT-Scan merupakan metode yang terbaik untuk akut spinal trauma, potongantipis digunakan untuk daerah yang dicurigai pada plain foto. CTScan juga dilakukan bilahasil pemeriksaan radiologis tidak sesuai dengan klinis, adanya defisit neurologis, frakturposterior arcus canalis cervicalis dan pada setiap fraktur yang dicurigai retropulsion fragmentulang ke kanal saat ini CT dapat dilakukan paad segital, coroval atau oblig plane. 3 dimensiCT imaging memberikan gambaran yang lebih detail pada fraktur yang tidak dapat dilihatoleh plain foto. 4. Myelografi Pemberian kontras dengan water soluber medium diikuti dengan plain atau CT dapat melihatsiluet dari spinal cord, subarachnoid space, nerve root, adanya lesi intra meduler,extrameduler, obstruksi LCS, robekan duramater, tetapi dalam kasus trauma pemeriksaan inimasih kontraversial. 5. Magentic Resonance Imaging (MRI) MRI banyak digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, mendiagnosis akutspinal cord dan cervical spinal injury karena spinal cord dan struktur sekitarnya dapat terlihat. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologik. Menurut Hanson dkk, kemungkinan besar terjadi fraktur servikal jika ditemui: 1. Parameter mekanisme cedera: KLL dengan kecepatan yang tinggi Tabrakan pejalan kaki dengan kendaraan Jatuh dari ketinggian lebih dari 10 feet 2. Parameter penilaian pasien: Fraktur tengkorak Perdarahan intracranial Tanda neurologis yang mengarah ke spinal Penurunan kesadaran pada saat pemeriksaan Pada penderita dilakukan pemeriksaaan neurologis lengkap, menentukan kekuatan motorik dan derajat kelumpuhan bila ada juga lokasi cedera. Juga dilakukan pemeriksaan sensorik (eksteroseptif dan propioseptif ) guna menentukan topik segmen medulla spinalis yang terkena. Penentuan topik dan lokasi sangat perlu sehingga arahan pemeriksaan radiologis dapat dilakukan dengan akurat dan dapat menentukan prognosis penderita. Metode untuk foto daerah cervical a. Pada foto anteroposterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus dan bayangan trakea harus berada pada garis tengah. Diperlukan foto dengan mulut terbuka untuk memperlihatkan C1 dan C2 (untuk fraktur massa lateral dan odontoid). b. Foto lateral harus mencakup ketujuh vertebra cervical dan T1, jika tidak cedera yang rendah akar terlewatkan. Hitunglah vertebra kalau perlu, periksa ulang dengan sinar-X sementara menerapkan traksi ke bawah pada lengan. Kurva lordotik harus diikuti dan menelusuri empat garis sejajar yang dibentuk oleh bagian depan korpus vertebra, bagian belakang badan vertebra. massa lateral dan dasar-dasar prosesus spinosus setiap ketidakteraturan menunjukkan suatu fraktur atau pergeseran. Ruang interspinosa yang terlalu lebar menunjukkan luksasi anterior. Trakea dapat tergeser oleh hematoma jaringan lunak. c. Jarak tiang odontoid dan bagian belakang arkus anterior pada atlas tidak boleh melebihi 4,5 mm ( anak-anak ) dan 3mm pada dewasa d. Untuk menghindari terlewatnya adanya dislokasi tanpa fraktur diperlukan film lateral pada posisi ekstensi dan fleksi. e. Pergeseran korpus vertebra ke arah depan terhadap korpus vertebra dibawahnya dapat berarti klinis yaitu dislokasi permukaan unilateral jika pergeseran yang kurang dari setengah lebar korpus vertebra. Untuk hal ini diperlukan foto oblik untuk memperlihatkan sisi yang terkena. Pergeseran yang lebih dari setengah lebar korpus vertebra tersbut menunjukkan dislokasi bilateral. f. Lesi yang tidak jelas perlu dilanjutkn pemeriksaan CT scan.
H. Penatalaksanaan 1. Pertolongan Pertama untuk Fraktur Servikal Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur servikalis. Fraktur servikal merupakan suatu keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera. Spine trauma mungkin terkait cedera saraf tulang belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk menjaga leher . Jika ada kemungkinan patah tulang leher, leher pasien tidak boleh digerakkan sampai tindakan medis diberikan dan X-ray dapat diambil. Itu jalan terbaik untuk mengasumsikan adanya cedera leher bagi siapa saja yang terkena benturan, jatuh atau tabrakan.Gejala fraktur servikal termasuk parah dengan rasa sakit pada kepala, nyeri yang menjalar ke bahu atau lengan,memar dan bengkak di bagian belakang leher. 2. Penanganan Operasi Goal dari penanganan operasi adalah: Reduksi mal aligment, decompresi elemenneural dan restorasi spinal stability. Operasi anterior dan posterior a. Anterior approach, indikasi Ventral kompresi Kerusakan anterior collum Kemahiran neuro surgeon b. Posterior approach, indikasi: Dorsal kompresi pada struktur neural Kerusakan posterior collum Keuntungan: Dikenal banyak neurosurgeon Lebih mudah Medan operasi lebih luas dapat membuka beberapa segmen Minimal morbility 3. Pembatasan aktivitas Pada tahap akut sebaiknya hindari pekerjaanyang mengharuskan gerak leher berlebihan. Pemberian edukasi mengenai posisi leher yang benar sangatlah membantu untuk menghindari iritasi radiks saraf lebih jauh. Seperti contohnya : penggunaan telepon dengan posisi leher menekuk dapat dikurangi dengan menggunakan headset, menghindari penggunaan kacamata bifokal dengan ekstensi leher yang berlebihan, posisi tidur yang salah.
4. Penggunaan collar brace Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher. Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak dibandingkan kolar lunak (softcollars ), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar lunak : memberikanckenyamanan yang lebih pada pasien. Penggunaan kolarcsebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapatcdigunakan hanya pada keadaan khusus, seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang. Sangatlah sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi, namun dengan berpatokan : hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk. 5. Modalitas terapi lain Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri. Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit, 1 sampai 4 kali sehari, atau kompres panas/pemanasan selama 30 menit, 2 sampai 3 kali sehari jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak efektif. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap pengurangan nyeri. Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di rumaha dalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit, dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu. Setelah keluhan nyeri hilang pun traksi masih dapat dianjurkan. Traksi dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan adanya arthritis dengan subluksasiatlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan. Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun inflamasi sebenarnyatidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus). Jika gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas, aktivitas dapat secara progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan. Jika tidak ada perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi seperti pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif. Ada dua macam traksi servikal yaitu traksi memakai pita kulit lebar yang disarung kandi dagu oksipit (biasanya untuk stabilisasi sementara) yang disebut Halter tractiondan traksi skeletal yang dipasang pada tulang tengkorak. Beban traksi yang diberikan sebaiknya jangan melebihi 5 kg untuk maksmal waktu dua jam.Traksi skeletal dipasang di tengkorak pada lokasi di atas telinga, pada titik di atasgaris yang ditarik dari prosesus mastoid ke meatus audiotorius eksternal. Pemasangan pada lokasi yang lebih anterior akan membuat traksi leher menjadi lebih ekstensi, sedangkan lokasi yang lebih posterior akan menjadikan traksi leher yang fleksi. Pedoman umum yang dipakai untuk menentukan berat beban traksi pada awalnya adalah 2,5 kg per vertebra mulai dari basis sampai dengna lokasi cedera. Namun biar bagaimanapun, pemasangan traksi ini harus dipantau ketat melalui pemeriksaan klinis neurologis dan radiologis. Kadang perlu pula diberikan obat penenang ringan seperti diazepam dan atau analgetika selama pemasangan traksi.
Gambar 10.Fiksasi untuk Servikal Colar Fiksasi Jaket Halo Pada prinsipnya system fiksasi jaket ini terdiri dari suatu cincin (HALO) logam yang berpaku untuk fiksasi pada tengkorak, jaket plastic dan batang logam penghubungantara jaket dan halo yang dapat diatur tingginya. Biasanya jaket ini dipasang untuk menggantikan traksi skeletal yang sebelumnya telah dipasang.
I. Komplikasi 1. Syok neurogenik Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2. Syok spinal Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak. 3. Hipoventilasi Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas. 4. Hiperfleksia autonomic Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.
J. Prognosis Fraktur atlas dapat sembuh dan memberikan prognosis yang baik jika tidak disertai cedera medulla spinalis Area trauma berpengaruh terhadap keadaan pasien selanjutnya: 1. Trauma pada area C3-4: harus kontrol pergerakan pada mulut dan dagu/kepala untuk mobilisasi di kursi roda. 2. Trauma pada area C5: mempengaruhi 3/5 kekuatan dari area otot-otot tertentu, sehingga pasien masih dapat mengerjakan beberapa pekerjaan yang memelukan pergerakan ekstremitas bagian atas. 3. Trauma pada area C6: kebanyakan mengalami kesulitan untuk berpindah tempat saat ke toilet. 4. Trauma pada area C7-8 pada level ini, pasien hampir dapat mengerjakan seluruh aktivitasnya sendiri dan hamya membutuhkan sangat sedikit bantuan.
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan A. Pengkajian 1. Aktifitas dan istirahat Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal 2. Sirkulasi Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat 3. Eliminasi Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus hilang 4. Integritas ego Menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik diri. 5. Pola makan Mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL 6. Neurosensori Kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis. 7. Nyeri/kenyamanan Nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma. 8. Pernapasan Napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosiS 9. Keamanan Suhu yang naik turun
B. Diagnosa Keperawatan 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma cedera servikal 2. Nyeri berhubungan dengan adanya agen cedera fisik (fraktur cervical) 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular 4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan trauma, diskontinunitas. 5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama 6. Gangguan eliminasi fekal berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum. 7. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syaraf perkemihan. 8. Risiko syok hipovolemik faktor risiko hipovolemi.
DAFTAR PUSTAKA
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook. An Evidance-Based Guide to Planning Care. Ninth Edition. United States of Amerika: Elsevier.
Ariffin Z, Jefri H. Analisis Nilai Functional Independence Measure Penderita Cedera Servikal dengan Perawatan Konservatif. Makara, Kesehatan; 2012; 16;. 1; 17-22.
Bluchek, et al. 2010. Nursing Outcome Classification. USA: United Kingdom
Bulecheck, Gloria M, et al. 2010. Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth Edition. USA: Mosbie Elsevier. De Jong,Wim. 2005. Buku ajar Ilmu bedah edisi 2. Cedera tulang belakang dan sumsumtulang. Jakarta: EGC.
Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf : Trauma Spinal.Jakarta: Sagung Seto.
Hughes,Irvene. 2008. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS) edisi 8. Trauma tulang belakang dan medulla spinalis. Americam College of surgeons. Chicago
NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009- 2011. USA: Willey Blackwell Publication. Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Medication.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Cedera Spinal. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Schwartz.1995. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu bedah edisi 6.EGC.