You are on page 1of 45

BAB II

KONSEP DIVERSI DAN RESTROACTIVE JUSTICE DALAM


PENEGAKAN HUKUM


A. Sejarah Diversi dan Restroactive Justice
1. Sejarah Diversi
Perkembangan hukum tidak dapat kita lepaskan dari perkembangan
yang terjadi di masyarakat. Komuniti atau masyarakat adalah penduduk yang
masing-masing anggotanya baik pribadi maupun kelompok saling mengadakan
hubungan karena adanya naluri untuk hidup bersama dengan orang lain untuk
memenuhi kepentingan-kepentingannya namun tentunya masing-masing orang
dilandasai Hak dan Kewajiban agar terciptanya suatu keteraturan. Adanya aturan
adalah sebagai ketertiban didalam masyarakat kiranya perlu diregulasikan
secara baik atau relevan dengan kebutuhan di masyarkat. Khususnya yang
berkaitan dengan pemidanaan atau penal polcy yang langsung menyangkut masa
depan, status, atau nasib seseorang yang diancam pemidanaan sebagaimana yang
dikatakan oleh Bagir Manan bahwa Kaidah-kaidah pemidanaan, terutama kaidah
pidana materiil (substantive criminal law), adalah kaidah yang mengandung
muatan membatasi atau mengurangi (abridging), bahkan dapat mencabut atau
meniadakan hak asasi (elimating) hak asasi manusia. Setiap bentuk sanksi pidana
merupakan pengurangan atau pencabutan hak asasi manusia, karena akan mencabut
kemerdekaan (pidana badan), perampasan harta benda, bahkan nyawa (pidana mati).
Untuk menghindari pelanggaran hak asasi yang tidak cukup beralasan
(unreasonable), apalagi sewenang-wenang (arbitraty), perlu pengaturan yang baik
Universitas Sumatera Utara
dalam tata cara (criminal law procedure).
32
Menurut Wirdjono Prodjodikkoro tujuan pemidanaan adalah untuk
memenuhi rasa keadilan.
Berarti dengan kata lain bahwa setiap
orang haruslah diangap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Bahkan sekalipun seseorang di anggap bersalah dan
telah dijatuhi hukuman tetap memperhatikan hak-hak dari terdakwa itu sendri.
33
Ada juga yang mengemukakan bahwa tujuan
pemidanaan dapat dilihat melalui 2 (dua) teori mengenai alasan-alasan yang
membenarkan (justificaion) pencatuhan hukuman (sanksi) yaitu teori Absolut
(vergeldingstheorie) dan Teori Relatif (doeltheorie)
34
Menurut Theorie Absolut (vergeldingstheorie) tujuan pemidanaan sebagai
pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang
mengakibatkan kesengasaraan terhadap orang lain atau anggota Masyarakat,
sedangkan Roeslan Saleh mengatakan sebagai reaksi-reaksi atas delik, yang
berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.

35
a. Menjerakan, agar si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak
menglanginya lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat
umum agar mengatahui jika melakukan perbuatan yang sama,
akan mengalami hukuman yang serupa atau disebut pula general
prenventive

Menurut Theorie Relatif (doeltheorie), tujuan pemidanaan
adalah :
32
Bagir Manan, Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana, www.situshukum.com, hal. 5
33
Wirdjono Prodjodikkoro, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta. Sinar Grafika. Mei, 2005,
Cetakan Pertama, hal. 4
34
Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, Mei 2005,
Cetakan Pertama, hal. 4
35
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
b. Memperbaiki pribadi si terpidana, berdasarakan perlakuan dan
pendidikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal
dan tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada
masyarakat sebagai orang baik dan berguna
c. Membinasakan (menjatuhkan pidana mati) atau membuat terpidana
tidak berdaya dengan menjatuhkan seumur hidup
36
Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan bahwa
hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzonderesanctierecht), sebab dengan
bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana yang difungsikan untuk menjamin
keamanan, ketertiban dan keadilan. Namun disatu sisi apakah tidak ada jalan lain
di luar pemidanaan?

Ketidakpuasaan terhadap penal sistem khususnya terhadap tindak pidana
anak yang pula menekankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak
melahirkan suatu cara baru yaitu diversi dan restroactivejustice. Anak yang
melakukan pelanggaran atau tindak pidana sangat besar dipengaruhi oleh faktor
diluar anak tersebut seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya.
Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh formal sistem
peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
kemanusian untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)
seorang anak yan melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana
dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap
36
Rudy satriyo Mukantardjo, Ketentuan Pidana Dalam Sistem Peradilan di Indonesia,
(Makalah Disampaikan Pada Acara Ceramah Peningkatan Pengetahuan Perancangan Peraturan
Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dirjen Peraturan Perundang-undangan,
Jakarta, 27 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
lebih baik untuk anak. Berdasarkan pikiran tersebut maka lahirlah konsep
diversion yang dalam istilah bahasa indonesia disebut diversi atau pengalihan.
37
Sebelum berbicara tentang diversi ada baiknya akan dijelakan mengenai
diskresi sebagai pengantar ke konsep diversi. Diskresi adalah wewenang dari
aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil
tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan
tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya

38
Dalam buku Juvenile Delinquency yang ditulis oleh Clemens Bartolla
ditulis beberapa faktor yang mempengaruhi aparat penegak hukum yaitu polisi
dalam melakukan diskresi terhadap anak di Amerika Serikat terdapat beberapa
faktor yang sering menjadi dasar tak tertulis dalam diskresi. Pertama sifat
keseriusan dari pelangaran yang dibuat anak yakni keberartian dari pelangaran
tersebut terhadap bahaya yang ditimbulkannya. Faktor kedua tanggapan dari
warga atau masyarakat terhadap pelaku atau pelanggaran yang dibuatnya.
J ika masyarakat sangat menghendaki anak diteruskan ke pengadilan, maka polisi
akan sulit untuk melepaskannya kembali ke masyarakat dan meneruskannya ke
pengadilan. faktor ketiga jenis kelamin dari pelaku perempuan lebih suka
dikembalikan polisi kepada orang tua dibanding anak laki-laki. Hal ini karena
pertimbangan perlindungan anak permpuan yang sulit jika diproses di Pengadilan
atau dipenjara. Anak perempuan yang diteruskan ke Pengadilan untuk kasus
seperti pelacuran, pembangkangan terhadap orang tua dan melarikan diri dari
rumah.

37
Marlina, S.H., M. Hum, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam
Hukum Pidana, USU Press, 2010, Cetakan Pertama, hal. 1
38
www.hukumonline.com
Universitas Sumatera Utara
Faktor ke empat ras warga minoritas lebih sering diteruskan ke Pengadilan
dibanding kelompok mayoritas
39
Menurut Bagir Manan diskresi adalah ranah hukum administrasi.
Diskresi (beleidsvrijheid) merupakan kelengkapan yang secara inheren melekat
pada setiap administrasi negara atau setiap pengelola organisasi. Lebih lanjut
, faktor tingkatan ekonomi dan sosial menjadi
pertimbangan kelima dalam pelaksanaan diskresi. Faktor keenam yaitu kondisi
individu pelaku sendiri menjadi pertimbangan diskresi oleh polisi seperti umur
anakriwayat pelangaran yang dibuat anak, pergaulan, situasi keluarga dan
hubungan baik dengan orang tua. J ika kondisi lingkungan dan keluarganya tidak
mendukung perbaikan anak maka polisi akan meneruskan kasusunya ke
pengadilan. faktor ke tujuh mengenai interaksi antara polisi dan anak pelaku saat
penanganan kasus. Anak yang sopan dan bekerjasama dengan baik akan lebih
disukai untuk dikembalikan ke rumah daripada anak yang tidak sopan dan faktor
terakhir berasal dari tekanan masyarakat di luar polisi dan anak seperti media
massa dan departemen atau bagaian dari polisi yang menangani anak tersebut.
Faktor-faktor itulah yang menimbulkan adanya diskresi oleh aparat
penegak hukum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi masih
menjadi bagian kontroversial karena pengambilan kebijakan penghukuman
mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Dalam hal ini mengizinkan suatu
pembedaan tindkan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehingga dapat
menimbulkan permsalahan dalam hal keadiian terhadap masyarakat.
39
Thedoere N. Ferdinand dan Elimer C. Luchterhand. Inner City Youths, the Police,
the Juvenile Court, and Justice, Social Problems 17 (spring 1970), hal. 510-527 dan Goldman,
The differential Selections of Juvenile Offender for Court Appearances; Piliavin and Briar.
Police Encounters With Juveniles. Dikutip dari buku Clemens Bartollas
Universitas Sumatera Utara
mengatakan Diskresi merupakan instrumen memecahkan masalah, mendorong
dinamika dan kreativitas dan lain-lain yang tidak dapat dijangkau oleh hukum
(legality, rechtmatigheid). Ada yang melukiskan hubungan antara hukum
(law, legislation) dengan diskresi (discretion) bak hubungan antara rangka
(susunan tulang) dengan otot (daging). Diskresi sebagai otot akan memungkinkan
susunan tulang (peraturan, hukum) bergerak atau digerakkan secara teratur.
Harus diakui, dalam beberapa analisis atau praktik, terkesan atau
dikesankan, seolah-olah diskresi mengandung muatan yang membenarkan
tindakan di luar kerangka hukum (out of legal frame). Hal ini terjadi karena istilah
yang dipergunakan dan fungsi diskresi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa apabila
ditinjau dalam ilmu hukum administrasi Indonesia yang berakar dari Belanda dan
Jerman, lazim dipergunakan sebutan Freis Ermessen atau beleidsvrijheid yang
lazim diterjemahkan sebagai kebebasan bertindak. Karena bebas bertindak, secara
gampang dimaknakan sebagai boleh bertindak di luar hukum. Ungkapan lain
untuk membedakan tindakan menurut hukum dan diskresi adalah rechtmatigheid
dan doelmatigheid. Tindakan menurut atau berdasarkan hukum hanya dapat
dilakukan kalau ada dasar hukum (legality, legaliteitsbeginsel). Tidak demikian
dengan diskresi. Dalam diskresi yang dikedepankan adalah manfaat atau tujuan.
Pemahaman-pemahaman seperti ini tidak tepat. Paling tidak, ada tiga landasan
diskresi yang benar.
1. Pembuat diskresi harus mempunyai wewenang menurut hukum.
Tanpa wewenang, suatu diskresi adalah tindakan sewenang-wenang
(arbitrary, willekeur).
Universitas Sumatera Utara
2. Tujuan diskresi tidak boleh bertentangan dengan hukum(legal purposeful).
3. Kebebasan dalamdiskresi adalah kebebasan memilih (freedom of choice)
berdasarkan masalah yang dihadapi yang berada dalam lingkungan
landasan pertama dan kedua.
Memperhatikan landasan di atas, maka sesungguhnya unsur legality dalam
diskresi sama sekali tidak boleh diabaikan. Kebebasan (freedom of choice) ada
pada pilihan agar mencapai manfaat sebesar-besarnya tanpa bertentangan dengan
hukum.
40
Diskresi yang memberikan kesempatan bagi penegak hukum adalah
sebuah kebebasan dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan oleh
pribadi seseorang yang mempunyai wewenang kekuasaan. Namun yang perlu
diperhatikan bagaimana seseorang petugas secara individu atau kelompok yang
punya wewenang dalam menangani suatu kasus untuk mengunakan kebijakan
sendiri dalam suatu situasai yang terjadi untuk melakukan atau tidak melakukan.
Secara sederhana diskresi menunjukan kebebasan kekuasaan untuk membuat
keputusan dengan pertibangan pribadi yang memperhatikan kebaikan dan
keadilan bagi semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan pidana.
Prakteknya pertimbangan atau pilihan dikresi banyak dipaksakan tidak hanya oleh
aturan formal yang ada tapi juga oleh desakan ekonomi, sosial dan politik yang
terjadi atas pilihan yang ada. Desakan-desakan tersebut menjadi alasan petugas
menetapkan kebijakan akan tetapi kebijakan yang di tetapkan tidak membuat
pelanggaran atas norma-norma hukum lain atau hak-hak yang mestinya dipenuhi.

40
Penegakan Hukum dalam Perkara Pidana, www.situshukum.com
Universitas Sumatera Utara
Alasan tersebutlah yang menjadi salah satu hal penting yang sesuai dengan
point-point dari pembuat kebijakan diskresi untuk membuat prosedur dan
metode kerjanya juga. Oleh karena itu diskresi yang berjalan pada semua bagian
dari pembuat sistem peradilan pidana dan berhubungan dengan penggontrolan
aparat.
Sekarang marilah kita melihat sejarah dari diversi itu sendiri.
Menurut catatan sejarah di negara Inggris polisi telah lama melakukan diskresi
dan mengalihkan anak kepada proses non formal seperti pada kasus penanganan
terhadap anak-anak yang mempergunakan barang mainan yang membahayakan
orang lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus untuk anak atas
tindak pidannya adalah pada tahun 1833, yakni dengan melakukan proses informal
di luar peradilan.
41
Menurut aturan Children Act tahun 1908 polisi diberi tugas
menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan
pemberian kesehjatraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana.
Pemberian perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk
program diversi.
42
Di Inggris perkembangan pelaksaaan diversi terhadap anak terus
dilaksanakan sampai akhirnya tercatat akhir abad ke 19 yaitu, negara Inggris yang
merupakan negara yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan
mengunakan peradilan khusus untuk anak atau pengadilan anak.

41
Loraine Geltshorpe dan Nicola Padfield. Op.Cit., hal 29, Yang dikutip dari buku
Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam. USU Press. Medan. 2010. hal. 25.
DR. Marlina, SH, M.Hum
42
Ibid., Marlina, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1890 di negara Australia semasa berada dalam kolonial Inggris
telah melakukan pemisahan peradilan anak dan dewasa dan dilakukan pelatihan
dan pendidikan bagi para petugas peradilan untuk melakukan rehabilitasi terhadap
anak, sedangkan di Amerika Serikat pembuatan pengadilan anak yang pertama
pada tahun 1899 dengan membuat perlakuan hukum khusus bagi pelaku anak.
43
Program yang besar pada abad ke 19 tentang gerakan keselamatan anak

44

yaitu untuk membuat bentuk peradilan yang bersifat informal, lebih memberi
perhatian terhadap masalah perlindungan anak secara alami daripada menitik
beratkan sifat pelanggaran yang dilakukannya, selain itu untuk memindahkan
tanggung jawab dengan memperhatikan kesehjatraan dan kepentingan terbaik
untuk anak daripada keadilan terhadap pribadi atau memberikan kekuasaan
kepada peradilan untuk menyatakan anak telah bersalah melakukan pelanggaran
hukum.
45
Ilmu sosial mempunyai peran untuk melawan sistem yang telah berjalan
saat ini paling tidak dengan dua cara. Pertama dari sisi teori labeling yang
diakibatkan sistem peradilan pidana formal telah memberikan identitas negatif
bagi pelaku anak sehingga membahayakan kehidapan mereka secara sosial.
Kedua ada akumulasi dari pengaruh studi evaluasi yang memberikan dukungan
kepada kesimpulan umum bahwa kekurangan tersebut menjadi usaha untuk

43
Ibid, hal 24. Yang dikutip dari buku L. Empey dan MC. Stafford (1991),
American Delinquency. USA; Homewood Iiinois, hal.59
44
Ibid. Yang dikutip dari buku Anthony M Platt. (1997). The Child Savers; The Invention
of Delinquency. Chicago; The University of Chicago Press. Second edition. Enlarged, hal. 139-145
45
Ibid. Yang dikutip dari buku. Folk, Kenneth (Desember 2003) Early Intervention
Diversion And Youth Conferencing, A National Review Of Current approach To Diverting
Juvenile Frm The Criminal Justice System. Australia Goverment attorney generals Departement,
Canberra, Commonwealth of Australia
Universitas Sumatera Utara
merekapitulasi atau memperbaiki komponen peradilan yang tidak berjalan dalam
sebuah sistem peradilan
46
Muncie, J. Berpendapat sedikitnya ada tiga komponen berbeda yang
diinginkan masyarakat umum berdasarkan pendapat yang dikemukakan Cohen
pada tahun 1985. ketidak teraturan yang dikemukakan Cohen yaitu, termasuk :
(Folk Kennth (Desember 2003) Early Intervention
Diversion And Youth Conferencing, A National Review Of Current approach To
Diverting Juvenile Frm The Criminal Justice System. Australia Goverment
attorney generals Departement, Canberra, Commonwealth of Australia)
Pada tahun 1960 kedua pemikiran ini digabungkan ketika adanya
pertumbuhan yang tinggi terjadinya penyimpangan dan hak hukum dari anak.
Akhirnya kedua pemikiran tersebut menghasilkan model kesehjateraan melakukan
pendekatan yang berbeda dalam melakukan upaya cara penanganan tindak pidana
yang dilakukan oleh anak, selanjutnya dengan pertimbangan tersebut diharapkan
pengambilan keputusan pemidanaan dilakukan melalui perundingan di luar sistem
peradilan pidana formal yang ada.
47
1. Diversi dari kejahatan, jenisnya adalah sejumlah pendekatan baik
lembaga pemerintah atau sosial dalam usaha pencegahan kejahatan
(crime prevention)

2. Diversi dari penuntutan umum, termasuk tahapan dari polisi atau
peradilan anak untuk memindahkan anak muda dari sistem peradilan
pidana formal setelah persentuhan awal dan juga kepada keputusan
hakim pengadilan
46
Ibid
47
Marlina. Op.Cit, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
3. Diversi dari tahanan, termasuk prosedur dan tahapan mencari sanksi
alternatif melalui pengecualian dalam memberikan tuntutan dan
menjatuhkan hukuman terhadap anak muda atau melalui penahanan
yang dibuat dalam kerangka institusi lembaga anak negara.
Tiga hal di atas perlu dilakukan untuk mendukung proses kriminal
yang dijalankan terhadap anak selain proses yang ada dalam penanganan
kriminal secara formal pada umumnya. Di Australia sejak tahun 1980 sampai
dengan tahun 1990 merupakan masa yang panjang dalam proses reformasi
untuk mengkritik bentuk perlindungan yang diberikan dalam peradilan
pidana anak. Keberadaan peradilan anak (due proces) dan intervensi masalah
non kriminal akan dapat memenuhi tuntutan masyarakat dalam menangani
perkara anak.

2. Sejarah Restroactiv Justice
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih
didominasi oleh cara berpikir positivis yang beranggapan bahwa penyelesian
kasus tindak pidana hanya bersandarkan pada peraturan perundang-undangan.
Hal ini sangat berlawanan dengan pemahaman yang ada bahwa hukum hanya
merupakan sarana/upaya hukum terakhir (ultimum remedium). Masalah penegakan
hukum pidana dilakukan dalam rangka penanggulangan kejahatan di masyarakat.
Hukum merupakan sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakanan kebenaran
dan keadilan. Dalam upaya penangulangan kejahatan maka tidak dapat dipisahkan
kaitannya dengan politik kriminal (criminal policy), yaitu sebagai usaha rasional
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakukan baik
melalui sarana penal maupunj non penal, kedua sarana ini (penal dan non penal)
merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan.
Penyelesaian melalui sarana penal dirasa kuranglah efektif. Fungsinya pun
kadang-kadang tidak bersifat masksimal (total enforcement). Sarana yang diharapkan
berfungsi dengan baik yaitu sarana non penal.
Di berbagai negara untuk mengembangkan dan mengimplementasikan
Restroactivejustice, PBB dalam kongres ke 10 tentang pencegahan tindak pidana
dan perlakuan terhadap para pelanggar (The Tenth UN Congres on Crime
Prevention and Treatment of Offenders) yang diadakan di Wina pada awal tahun
2000 telah mengeluarkan resolusi, yaitu Basic Principles on the use of
Restroactivejustice Programers in Criminal Matters (UN) 2000 yang kemudian
dipertegas dalam Deklerasi Wina tentang tindak Pidana dan Keadilan
(Vienna Declaration on Crime and Justice Meeting the Challenges of the
Twenty-first Century) dalam butir 27 dan 28 dan kemudian di adopsi dalam
Resolusi Majelis Umum Perserikatan bangsa-bangsa Nomor 55/59 tanggal
4 Desember tahun 2000.
48
48
Nur Rochaeti, Model Restroactive Justice Anak-anak Delinkuen, hal. 13 th 2008

Konsep Restroactive justice merupakan teori keadilan yang tumbuh
dan berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai negara
dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani
permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem perdilan pidana
tradisional.
Universitas Sumatera Utara
Konsep tersebut berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman
dari waktu ke waktu. Hal ini telah dikemukakan oleh orang-orang yang
banyak membahas permasalahan yang berhubungan dengan sistem peradilan
pidana secara umum dan khusus meneliti masalah Restroactive justice seperti
Braithwaite (Australia), Elmar G. M. Weitekamp (Belgia) Howard Zehr (USA),
Kathleen Daly (Australia), Mark S. Umbreit (USA) dari Robert Coates (USA)
49
Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restroactive justice
diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesian di luar peradilan tradisional
yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender meditation yang
dimulai pada tahun 1970-an di negara Canada.

50
Program ini awalnya
dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak,
dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban di izinkan bertemu
untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari
sekian banyak hakim. Program ini menganggap pelaku akan mendapatkan
keuntugan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapatkan
perhatian dan manfaat secara khusus sehinga dapat menurunkan jumlah residivis
dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak brtanggung jawab dalam
memberikan ganti rugi pada pihak korban. Dari pelaksanaan program tersebut
diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku
daripada saat mereka menjalani proses peradailan tradisional.
51
49
Elmar G, M. Weitekamp & Hanse-Jurgen Kerner (2003) Retroactive Justice in Context
Internatioanal Practices and directions; UK, Willan Publishing First Edition.
50
Allison Morris & Gabrielle Maxwell (2001) Retroactive Justice for Juvenile
Conferencing, Mediation and Circle, Oxford-Portland Oregon USA, Hart Publishing, hal.4,
yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana;
Marlina, SH, M.Hum
51
Howard Zehr, (1990, Changging Lenses; A New Focus for Crime and Justice,
Pensylvania; Herald Press, Scottdale,. Hal 158-174, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep
Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina

Universitas Sumatera Utara
Para pengamat dan praktisi yang membahas tentang restroactive justice
menyimpulkan selama ini korban secara esensial tidak di ikut sertakan dalam
proses peradilan pidana tradisional. Para korban hanya dibutuhkan sebagai saksi
jika diperlukan, tetapi dalam kebijakan pengambilan keputusan mereka tidak
dilibatkan sama sekali. Pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh hakim
berdasarkan pemeriksaan selama proses pengadilan. bagi pelaku keterlibatan
mereka dalam pengadilan hanya bersifat pasif saja, kebanyakan peran dan
partisipasi mereka diwakili dan disuarakan oelh pihak pengacaranya.
Praktek pelaksanaan victim offender maditation didapatkan perlakuan dan
peran serta yang berbeda dengan peradilan tradisional. Perlakuan tersebut adalah
peran serta korban yang terlibat langsung dalam pembuatan kesepakatan
hukuamn, sehingga dapat menentukan hasil keputusan yang terjadi. Dalam proses
victim offender maditation bukan hanya korban yang menjadi fokus peran, tetapi
pelaku juga dilibatkan secara langsung dan dapat berperan dalam perumusan
keputusan sehingga teraprestasi secara nyata dan langsung.
Perkembangan konsep Restroactive justice dalam 20 tahun terakhir
mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa negara seperti Australia,
Canada, Inggris dan wales, New Zaeland dan beberapa negara lainnya di Eropa
dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah negara yang
lebih sering membauat perkumpulan dengan negara-negara untuk memperkenalkan
ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat
perkembangan restroactive justice. Michael Tonry pada tahun 1999 memulai
survey terhadap kebijakan pemidanaan orang Amerika dengan hasil penelitiannya
mendapatkan beberapa konsep yang hidup mengenai pemidanaan sampai
Universitas Sumatera Utara
sekarang
52
Sebelum konsep ini dilaksanakan perlu memperhatikan kondisi masyarakat
saat ini dan pada masyarakat mana pelaksanaanya akan dimulai termasuk kondisi
budaya, persiapan aparat penegak hukum, aturan sistem peradilan pidana yang
ada, dukungan undang-undang dan kesiapan dana negara untuk melaksanakan
konsep tersebut mulai dari sebuah pilot project-nya.
yaitu structured sentencing (pemidanaan struktural) riskbased
sentencing (pemidanaan berdasarkan resiko) indeterminate (pemidanaan yang
tidak menentukan) dan restroratived/community justice (pemulihan/keadilam
masyarakat). Jadi restroactive justice termasuk salah satu konsep pemidanaan
yang dikembangkan dari sudah berjalan di Amerika Serikat
Menurut pandangan Michael Tonry restroactive justice mempunyai
pengaruh besar karena kemapuan konsep tersebut memberikan manfaat kepada
semua tahapan proses peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat dalam
proses peradilan.
Program restroactive justice telah berkembang dengan pesat
(proliferating) ke seluruh penjuru dunia dalam waktu singkat. Titik awal untuk
merubah sistem peradilan anak di beberapa negara dan alasan yang dikemukanan
terhadap penanganan pelaku anak merupakan alasan untuk menerapkan konsep
baru yaitu restroactive justice. konsep ini relevan untuk transformasi semua
bagian dari sistem peradilan pidana kepada proses yang tepat artinya pada setiap
tingkatan peradilan atau lembaga dari aparat penegak hukum yang termasuk
dalam sistem peradilan pidana dapat di alihkan yang termasuk kepada proses
restroactive justice.
52
Michael Tonry (199), The Fragmentation of sentencing and Correction in America,
Washington DC; National Institute of Justice. hal 3-4, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep
Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
B. Prinsip Dan Tujuan Diversi
1. Prinsip Diversi
Sebagaimana kita ketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari aparat
penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan
meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu
sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.
53
C. Tujuan Diversi

Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah pekara tersebut
diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan, maka kita akan
berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang harus
dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal
tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah
pihak dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana
untuk kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak.
Hal ini yang menjadi prinsip mengapa dilakukan diversi khusunya bagi
tindak pidana anak, dimana untuk mewujudkan kesehjatraan bagi anak itu sendiri.
Melalui diversi dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk menjadi sosok
baru yang bersih dari catatan kejahatan dan tidak menjadi resedivis.

Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradailan anak
pada abad ke-19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan
orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa,
53
www.hukumonline.com
Universitas Sumatera Utara
prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau
pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk
memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukan
pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi
dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang
menggunakan tindakan kekersaan dan pemaksaan
Tindakan kekerasaan saat penangkapan membawa sifat keterpaksaan
sebagai hasil dari penegakan hukum. Penghindaran penangkapan dengan
kekerasan dan pemaksaan menjadi tujuan dari pelaksanaan diversi.
Tujuannya menegakan hukum tanpa melakukan tindakan kekerasan dan
menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki
kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai
otoritas penuh.
Diversi sebagai usaha mengajak masyarkat untuk taat dan menegakan
hukum negar, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk
menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang
tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali,
akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk
membuat orang mentaati hukum.
Universitas Sumatera Utara
Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum tidak
terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan menempatkan
kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas dituntut tidak
membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan berbeda.
Pelaksanaan diversi bertujan mewujudkan keadilan dan penegakan hukum secara
benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana.
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan
kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non
formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan
keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai
kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. Kedua keadilan
tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk
memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate treatment) tiga jenis
pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :
54
1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orintation) yaitu aparat
penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau
pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan
yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak
diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat

2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation),
yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan
menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat
mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan
3. Menuju proses restroative justice atau perundingan (balanced or restroative
justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan
pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat,
pelaksanaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.
54
Peter C. kratcoski (2004). Correstional Counseling and Treatment. USA: Waveland
Press Inc. hal.160. yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice
Dalam Hukum Pidana; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk
mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau
kriteria yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model
informal yang tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi
memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan, berpikir untuk bedamai)
keadaan ini merupakan satu tindakan untuk melakukan perubahan, pengembalian,
penyembuhan pada korban dan pertanggungjawaban pelaku.
Secara konteks variabel sepeti pengorganisasian, kedudukan dan faktor
situasi juga relevan dalam pelaksanaan diversi. Isu kunci kemampuan sebuah
organisasi dapat mengontrol perilaku anggotannya dengan mengawasi jalanya
aturan dan praktek pelaksanaanya agar tidak dipengaruhi oleh keinginan pribadi
atau sebagain dari masyarakat dengan prioritas atau standar kemampuan.

D. Prinsip dan Tujuan Restroactive Justice
Tentang konsepsi restroactive justice sebenarnya bukan hal yang baru atau
asing bagi masyarakat indonesia, karena selama ini masyarakat indonesia dengan
warisan keanekaragaman adat/budaya (kearifan lokal) yang telah mempunyai
mekanisme bermasyarakat dan penyelesaian masalah yang mampu diandalkan
untuk menagani anak yang berhadapan dengan hukum yakni anak yang
melakukan tindakan-tindakan melangar norma ataupun diduga melangar
ketentuan hukum yang berlaku. Menurut David Fogel, restroactive justce model
diajukan kaum Abolisinonis yang mengangap bahwa sistem perdilan pidana
bermasalah atau cacat struktural sehinga harus diubah dasar-dasar struktural dari
Universitas Sumatera Utara
sistemtersebut. Analisis pahamAbolisinonis menurut Brants dan Silvis sebagaimana
dikutip Romli Atmasasmita lebih banyak ditujukan terhadap kegagalan dari
sistem peradilan pidana dibandingkan keberhasilannya.
55
Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Canada pada tahun 1998
memberikan penjelasan kembali terhadap defenisi restroactive justice yang
dikemukakan oleh Tony F. Marshall. Susan sharpe mengusulkan ada 5 prinsip
kunci dari restroactive justice yaitu :

56
1. Restroactive justice invites full participation and consensus
(restroactive justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus)
artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara
aktif, selain itu juga membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain
yang merasa kepentingan mereka telah terganggu atau terkena imbas.
Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib hanya
sebatas sukarela, walaupun demikian tentunya pelaku harus diikutkan.
Kalu tidak maka akan berjalanlah peradilan tradisional

2. Restroactive justice seeks to heal what is broken (restroactive justice
berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat
terjadinya tindakan kejahatan) dalam hal ini proses restroactive justice
tersebut haruslah mengutarakan dan mengungkapkan perasaan
yang dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya untuk
55
www.google.com
56
U.S Departement of Justice. (1999). Balanced and Restroactive justice. USA: Office of
Juvenile Justice and Delinqency Prevention. Office of Justice Program, hal.5-6, yang dikutip dari
Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
menunjukan bahwa mereka butuh perbaikan. Pelaku juga butuh
penyembuhan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan
ketakutan, mereka butuh untuk dibebaskan dari kebersalahan dan
ketakutan untuk memperbaiki semuanya
3. Restroactive justice seeks ful and direct accountability (restroactive
justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara
utuh). Pertangguungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan,
karena pelaku harus mau menunjukan fakta pengakuannya bahwa dia
atau mereka melangar hukum, dia juga harus menunjukan kepada
orang-orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana
perbuatannya itu merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan
menjelaskan perilakunya sehingga korban dan msyarakat dapat
menanggapinya. Dia juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata
untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian tadi
4. Restroactive justice seeks to recinite what has been devided
(restroactive justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga
masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindaka kriminal)
dalam proses ini restroactive justice berusaha menyatukan kembali
seseorang atau beberapa orang yang telah mendapatkan penyisihan
atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antra korban
dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
5. Restroactive justice seeks to strengthen the community in order to
prevent further harms (Restroactive justice memberikan ketahanan
kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal
berikutnya) kerusakan yang terjadi akibat dari kejahatan memang
tidak dapat dihindarkan, tetapi dalam hal ini kejahatan juga membuka
tabir keadilan pada norma yang sudah ada untuk menjadi jalan awal
memulai keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat
Prinsip-prinsip di atas tersebut sebenarnya telah dimulai yang mana dalam
Draft Bill yang dpublikasikan di Afrika pada tahun 1998 yang merupakan langkah
reformasi hukum terhadap perdilan anak di Afrika Selatan di dalamnya terdapat
prinsip restroactive justice, yaitu menganjurkan rekonsiliasi, restitusi dan
pertanggungjawaban dengan melibatkan pelaku, orang tua pelaku atai keluarga
korban dan juga masyarakat. Adapun tindakannya berupa :
57
1. Membantu perkembangan anak dalam kepekaan yang bermatabat dan
bernilai. Mengubah pandangan perahatian anak tehadap hak asasi manusia
dan kebebasan dasar orang lain dengan menjaga rasa tanggungjawab anak
terhadap perbuatannya dan melindungi kepentingan korban dan masyarakat

2. mendukung rencana rekonsiliasi dalam proses restoractive justice
3. keterlibatan orang tua, keluarga, korban dan masyarakat dalam proses
peradilan anak untuk mendukung reintegerasi anak dalam syarat yang
ditentukan
57
Allison Morris and Gabrielle Maxell. O.Cit, gal. 114 restorative justice means the
promotion of reconcilations and responsibilitry through the involvement a a child, a childs
parent, family members, victims and communities, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep
Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Berikut beberapa prinsip yang terkait dalam konsep restroactive justce
yang termuat dalam Draft Declaration of Basic Principles on The Use of
Restroactive justce Programer in Criminal Matters
58
1. Program restroactive justce berarti beberapa program yang mengunakan
proses restroactive atau mempunyai maksud mencapai hasil restroactive

2. Restroactive outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil
dari proses restroactive justce. Contoh; restitution, community service dan
program yang bermaksud memperbaiki korban dan masyarakat dan
mengembalikan korban dan/atau pelaku
3. Restroactive process dalam hal ini adalah suatu proses dimana korban,
pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip
bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan
dicampuri oleh pihak ketiga
4. Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota
masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam
program restroactive justce
5. Facilitator hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi
partisipasi keikut sertaab korban, pelaku dalam pertemuan.
Perbedaan penafsiran restroactive justce dimasing-masing negara
sangatlah wajar, akan tetapi memiliki makna/maskud yang sama yaitu untuk
mengembalikan korban, pelaku dan masyarkat pada kondisi semula sebelum
tindak pidana terjadi.
58
Draft beberapa elemen dari Declaration of Basic Principles on the use of Restroactive
Justice Programmer in Criminal Matters, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan
Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
Adapun menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep restroactive
justce harus memperhatikan beberapa hal yaitu :
1. Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antar individu-individu yang
menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri,
hanya secara efek lanjutannya merupaka pelanggaran hukum
2. Tujuan lebih penting dari proses sistem peradilan pidana haruslah melakukan
rekonsiliasi para pihak-pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan
yang ada pada korban akibat dari kriminal yang terjadi
3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari
korban, pelaku dan masyarakat dan bukan didominisasi oleh negara dengan
pelanggaran dari proses penyelesian
Pendekatan restroactive justice telah menjadi model dominan dari sistem
peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Penyelesaian perkara pada
umunya merupakan penerapan ganti rugi oleh pelaku dan keluarganya kepada
korban atau keluarganya untuk menghindari konsekuensi dari balas dendam.
Model penyelesaian restroactive justice nerupakan suatu proses di luar peradilan
formal. Penanganan yang dijalankan dengan memperhitungan pengaruh yang
lebih luas terhadap korban, pelaku dan masyarkat. Konsep ini di mulai dan
berawal dari pengertian bahwa kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang
atau masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran/pengrusakan terhadap
suatu norma hukum yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Menurut pandangan konsep restroactive justice penangganan kejahatan
yang terjadi bukan hanya menjadi tanggung jawab negara akan tetapi juga
merupakan tanggung jawab masyarakat. Oleh karena itu konsep restroactive
justice dibangun berdasarkan pengertian bahwa kejahatan yang telah
menimbulkan kerugian harus dipulihkan kembali baik kerugian yang diderita oleh
korban maupun kerugian maupun yang ditanggung oleh masyarakat. Keterlibatan
anggota masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu memperbaiki kesalahan
dan penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungan masyarakat yang
bersangkutan. Pemberian penghargaan dan penghormatan pada korban dengan
mewajibkan pihak pelaku melakukan pemulihan kembali atau akibat tindak
pidana yang telah dilakukannya. Pemulihan yang dilakukan oleh pelaku bisa
berupa ganti rugi, pekerjaan sosial atau melakukan sesuatu perbaikan atau
kegiatan tertentu sesuai dengan keputusan bersama yang telah disepakati semua
pihak dalam pertemuan yang dilakukan.
Pergeseran pemikiran dari model penghukuman tradisioanal adalah
dengan adanya model penghukuman yang memberikan keadilan, terutama
keadilan yang diarahkan pada keadilan masyarakat. Hal ini merupakan suatu titik
awal/dasar lahirnya restroactive justice di negara manapun. Adanya pergeseran
pemikiran tersebut memperlihatkan bahwa dalam sistem peradilan pidana telah
terjadi suatu upaya untuk memberikan perhatian dan pemahaman terhaap
penyelesaian suatu kasus tindak pidana yang dilakukan dengan tujuan tercapainya
keadilan untuk semua pihak yang terkait dalam tindak pidana. Adapun tujuan dari
restroactive justice adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Mempertemukan pihak korban, pelaku dan masyarakat dalam satu
pertemuan;
2. Mencari jalan keluar terhadap penyelesaian;
3. Memulihkan kerugian yang telah terjadi.
Menurut John Braiwheit bahwa restroactive justice bertujuan memulihkan
harmoni atau keseimbangan secara an sich saja tidak cukup, oleh karena itu
memulihkan keseimbangan secara moral antara pelaku dan korban yang ada
sebelumnya adalah keseimbangan yang pantas. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
sebagai konsep pemidanaan tentunya tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum
pidana (formil dan materil).
Mengacu pada pendapat di atas tersebut, bahwa restroactive justice
merupakan jalan alternatif dalam menyelesaikan permasalahan didalam hukum
pidana khusunya tindak pidana anak. Dalam hal ini memulihkan suatu keadaan,
baik bagi korban, pelaku dan anggota masyarakat karena terjadinya suatu
kejahatan.

E. Peran Diversi Dalam Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan bagian sangat penting dibicarakan bila
ingin menjawab begaimana diversi dapat memberikan jaminan penegakan
hukumm bagi masyarakat. Penegakan hukum yang dalam bahasa inggris adalah
law enforcement dan dalam bahasa Belanda rechtshandhaving merupakan
kewajiban dari seluruh masyarakat untuk mentaati hukum yang diberlakukan.
Universitas Sumatera Utara
Penegakan hukum berfugsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Masyarakat tidak hanya menjadi obyek dari hukum tetapi berperan aktif dalam
penegakan hukum. Agar kepentingan menusia terlindungi hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai,
tetapi dapat juga terjadi karena adanya pelanggaran hukum. Tiga unsur yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu :
Kepastian hukum (rechtssicherheit), Kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan
Keadilan (gerechtigkeit). Kepastian hukum (rechtssicherheit) artinya hukum harus
dilaksanakan dalam keadaan bagaimanapun. Kemanfaatan (zweckmassigkeit)
artinya hukum memberikan manfaat atau kegunaan bagi manusia dan Keadilan
(gerechtigkeit) yaitu hukum bersifat adil dama rata bagi setiap orang. Ketiga unsur
tersebut harus seimbang dalam pelaksanaan hukum.
59
Tujuan dari penegakan hukum adalah untuk membangun keperjayaan
masyarakat umum terhadap hukum dengan menunjukan bahwa hukum secara luas
memperdulikan harapan masyarakat dan bujukan serta ajukan untuk
mematuhinya. Menurut Wesley Cragg penggunaan kekuasaan hukum yang
minimum merupakan sebuah prinsip yang penting dalam mengarahkan usaha
penegakan hukum dan mengurangi usaha penggunaan kekuatan hukum
merupakan hal yang penting karena kekerasan sering mengeser sifat asli dari
moral seseorang yang menerimanya. Pemaksaan (coercion) dapat mengacaukan
moral dan jiwa seseorang dan merangsangnya untuk kehilangan sikap kerelaan
menerima aturan hukum yang ada.

59
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo (1993). Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung;
PT Citra Aditya Bakti. Cetakan Pertama, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Konsep untuk membuat kebijakan diversi merupakan sebuah proses yang
melibatkan faktor-faktor internal dan external dari penentu kebijakan itu sendiri.
Apabila kita melihat kebijakan diversi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
khsusunya Kepolisian menurut Chambliss dan Seidman pada hakeketnya diversi
bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum karena menghilangkan
kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat
yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakansuatu ideal yang tidak
akan dapat dicapai. Disini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh
peraturan yang jelas dan tegas suatu keadaan yang tidak dapat dicapai.
Sekalipun dalam hal ini diversi terkesan melawan hukum, namun hal itu
merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada aparat
penegak hukum guna memberikan efesiensi dan efektifitas demi kepentingan
umum yang lebih besar.

F. Model Restroactive Justice
Berbicara model Restroactive Justice tentulah di negara-negara common low
sangatlah beragam. Sebagaimana dikemukakan oleh J im Dignan, penggunaan
restroactive justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda,
adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi ataupun usaha untuk meminimkan
penyelesaian di dalam pengadilan. Meskipun di negara-negara tersebut telah
terdapat suatu sistem dalam rangka tercapainya tujuan restroactive justice,
tetapi pada kenyataanya terdapat peran korban masih memegang peran
keberhasilan sisitem. Hal ini dapat dilihat dalam data yang dikemukakan oleh
Universitas Sumatera Utara
Umbreit dan Roberts yang mengatakan bahwa hanya 7 persen dari seluruh kasus
yang muncul di tahun 1993 di Inggris yang mengunakan metode secara langsung
atau face to face.
Secara umum konsep restroactive justice, merupakan proses penyelesaian
tindakan pelanggaran hukum yang terjadi, dilakukan dengan membawa korban
dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk
bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan
kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-
jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya
Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak
korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa
pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.
Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana
dirinya bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan
yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan
yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut
dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku.
Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan
pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan
masyarakat. Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian
yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agara pelaku melakukan
suatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangan/kerusakan
yang telah terjadi karena perbuatannya.
Universitas Sumatera Utara
Model Restroactive Justice di beberapa negara tentulah beraneka ragam
namun mempunyai satu tujuan yang sama yaitu untuk memulihkan kerugian yang
disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Tentang konsepsi Restorative
justice sebenarnya bukan hal yang baru atau asing bagi masyarakat Indonesia,
karena selama ini masyarakat Indonesia dengan warisan keanekaragaman adat /
budaya ( kearifan lokal ) yang telah mempunyai mekanisme bermasyarakat dan
penyelesaian masalah yang mampu diandalkan untuk menangani anak yang
berhadapan dengan hukum yakni anak yang melakukan tindakan-tindakan
melanggar norma ataupun diduga melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Perkembangan mengenai Restroactive Justice di beberapa negara seperti Eropa,
Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand telah dikelompokan dalam
empat jenis praktik yang menjadi pioner penerapan Restroactive Justice yaitu :
1. Victim Offender Mediation
2. Conferencing/Familiy Group Conferencing
3. Circles dan
4. Restorative Board/Youth Panels

Ad.1. Victim Offender Mediation (VOM)
Proses Restroactive Justice terbaru yang pertama adalah Victim offender
mediation. Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan sejak
tahun 1970 di amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Firlandia
60
60
Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999), Conferencing , circles, Board and
Mediations Restroactive justice and citizen Involvement in the Response to Youth Crime. Florida
University of Minnesota. Hal 6, David Miers (2001) An International Review of Restroactive
justice. London Crime Reduction Research Series paper 10. Home Office policing and Reducing
Crime Unit Research Development and Statistics directorate, hal,5,26, 47 dan 73, yang dikutip dari
Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
.
Universitas Sumatera Utara
Vom di negara bagian Pennsylvania Amerika Serikat menjalankan
program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung
jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan dengan sebuah ruang
lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati.
61
Permintaan untuk melakukan mediasi merupakan inisiatif dan ususlan
korban dan kehendak korban. Peserta dari pihak pelaku harus berumur 18 tahun
atau lebih. Peserta pihak pelaku harus dijelaskan dengan bantuan lembaga
psikolog. Mediator atau fasilitator adalah kelompok sukarela yang telah menjalani
training intensif. Kebanyakan mediasi melibatkan comediator terhadap kasus-kasus
yang membutuhkan persiapan banyak dan luas sebelum menghadirkan kedua
belah pihak bertemu dalam mediasi secara langsung. Dialog secara tidak langsung
juga dimungkinkan sebagai pilihan dalam program VOM.

Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama waktu lima tahun dengan
kerangka pengertian dan pemahaman konsep Restroactive Justice yang
memusatkan perhatian pada penyelenggaraan dialog di mana korban
dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang
ditimbulkan berupa trauma dari kehatan dan menerima jawaban dan informasi
tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu memberikan kesempatan
bagai korban untuk mendengar dan memberikan kepada pelaku sebuah
kesempatan untuk menerima tanggung jawab perbuatannya dan mengungkapakan
perasaanya tentang kejahatan dan konsekuensi yang harus diterimanya.
61
Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001) Victim
Sensitive offender Dialogue in Crimes of Servere Violence Differing Needs, approaches, and
Implications. London; Office for Victims of crimeU.S Department of justice, hal 14: The Penn
Sylvania Victim Offender Meditation program operates within the Office of Victim Advocate under
the auspices of the Departement of Correections. The program works with a range of violent
crimes including those where an offender has a death sentence, yang dikutip dari Buku Pengantar
Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
VOM di negara bagian Texas Amerika Serikat dilaksanakan di lembaga
Victim services (pelayanan korban) Texas. Tujuannya memberikan kesempatan
bagi korban kejahatan kekerasan bertemu secara langsung, aman, resmi dan
teratur dengan pelaku, memberikan perlindungan terhadap lingkungan tempat
tindak pidana. Selanjutnya upaya penyembuhan dan penghapusan kerusakan
terjadi akibat perbuatannya. Upaya peyembuhan dan menghilangkan trauma yang
terjadi dalam kurun waktu yang relatif agak lama yaitu menungu pihak korban
untuk bersedia melakukan perdamaian dan berniat ikut serta dalam program
restroactive justice yang akan dilaksanakan. Pelaku diundang untuk ikut
berpartisipasi harus dengan sukarela.
Keseriusan para pihak selama proses ini berlangsung menjadi peran yang
sangat penting dari titik penyerahan, persiapan pertemuan , sampai pelaksanaan
setelah selesai mediasi. Persiapan akan selesai dalam waktu lebih kurang enam
bulan dan bahkan lebih lama.
Mediator bekerja sama dengan protokol dengan sangat teliti dan cermat
mempersiapkan prsoes pemanduan pertemuan antara korban dengan pelaku.
Mediator mengatur jalannya proses secara sistematis untuk bermusyawarah dan
mempersiapkan secara rinci daftar nama pihak yang mengikuti pertemuan, namun
yang paling penting membiarkan pertemuan korban dan pelaku mengalir dengan
sendirinya tanpa arahan dan pembatasan.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam hal ini mediator tidak cukup hanya
mempersiapkan agenda yang tersusun secara sistematis namun sangat perlu
diperhatikan pertemuan antara korban dan pelaku terkadang diluar waktu acara
yang telah disusun atau di agendakan, maka sebaiknya bisa di sesuaikan dengan
keadaan atau flexsibel.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan dilaksanakannya VOM adalah memberi penyelesaian
terhadap peristiwa yang terjadi, di antaranya dengan membuat sanksi alternatif
bagi pelaku atau bentuk untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi
pelanggaran yang benar-benar serius . dalam bentuk dasarnya proses ini
melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator
yang mengkoordinasi dan memfasilitasi pertemuan
62
Tata cara pelaksanaanya, tahapan awal dari VOM mediator melakukan
mediasi mempersiapkan korban dan pelaku bertemu. Persiapan awal mediasi atau
pramediasi minimal sekali pertemuan dalam tatap muka secara langsung dan hal
ini sangat membantu untuk tercapainya kesepakatan yang maksimal pada mediasi
sesunguhnya nanti.
.
63
Pertemuan mediasi dimulai dengan korban menceritakan pengalaman
yang dialaminya akibat kejahatan tersebut dan apa yang menjadi kerugian fisik,
emosional, dan materi pada dirinya. Pelaku menjelaskan apa yang dilakukannya
dan mengapa dia melakukannya, dan juga pelaku bersedia memberikan jawaban
Dalam pertemuan pramediasi ini mediator mendengarkan
bagaimana peristiwa tersebut telah terjadi., mengidentifikasikan hal-hal yang
penting untuk dibicarakan, mengundang partisipasi mereka untuk hadir,
menjelaskan proses acara victim offender meditation sehingga meminimalkan
kecemasan dan meningkatkan peran mereka dalam dialog sehinga peran mediator
tidak terlalu banyak lagi. Peran dari pramediasi ini sangat menentukan kesuksesan
mediasi yang sesunguhya.
62
Marlina. Op.cit., hal 184
63
Mark umbreit and S. Stacy (1995), Family Group Conferencing Comes to the U.S. :
A comparasion With Victim Offender Mediation, USA: Juvenile and Famili Court Journal 1995,
47(2) hal 29-39. yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam
Hukum Pidana ; Marlina, hal. 185
Universitas Sumatera Utara
atas pertanyaan yang diajukan oleh korban. Pada saat korban dan pelaku sedang
mengutarakan pembicaraan masing-masing, mediator akan membantu mereka
mempertimbangkan jalan keluar dan pemecahanya. Di beberapa negara eropa
proses mediasi tidak melibatkan pertemuan secara langsung antara pihak-pihak.
Dalam Victim Offender Mediation para pihak yang ikut tidak menjadi berdebat.
Seseorang yang secara jelas melakukan sebuah kejahatan dan telah mengakui
perbuatannya sehingga korban merasa dihormati. Selanjutnya isu rasa bersalah
atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam Victim Offender Mediation,
juga tidak mengharapkan bahwa korban kejahatan berkompromi dan mengharap
lebih kecil dari apa yang mereka butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya.
Menurut Mark Umbreit dalam penelitiannya tahun 2001, mediasi adalah suatu
proses yang memperhatikan pada terciptanya sebuah suasana damai. Pengelolaan
emosi yang baik oleh peserta, untuk korban dan pelaku dapat berbicara langsung
satu sama lain dengan intervensi minimal dari mediator.
64
Conferencing dikembangkan pertama kali di negara New zealand pada
tahun 1989 dan Australia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi
atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari
penduduk asli New Zealand yaitu bangsa maori. Proses yang dilakukan
masyarakat bangsa Moari ini terkenal dengan sebutan wagga wagga dan tela
dipakai untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat tradisional dan


Ad.2. Family Group Conferencing (FGC)
64
Marlina. Op.Cit, hal. 187-188
Universitas Sumatera Utara
merupakan tradisi yang telah ada sejak lama. Karena minat negara yang besar
untuk mencari alternatif bentuk penyelesaian perkara, maka tradisi masyarakat ini
diangkat ke permukaan untuk diteliti dan dibuat projectnya bagi penyelesaian
perkara pidana di negara tersebut. Pada kesempatan berikutnya penyelesaian
perkara secara tradisional dapat diterima sebagai sebuah proses resmi dari negara
tersebut dengan sebutan conferencing. Menurut terjemahan Marlina conferencing
adalah konferensi, perundingan atau bermusywarah. Dalam perkembangan
selanjutnya conferencing telah dibawake luar dari negara asalanya New zealend
dan dipakai di banyaknegara lain seperti, Australia, Asia, Afrika Selatan,
Amerika Utara dan Eropa. Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama
(primary victim) dan pelaku utama (primary offender)tapi juga korban sekunder
(secondary victim) seperti anggota keluarga dan teman korban. Hal ini dilibatkan
karena mereka juga terkena dampak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat
dari kejahatan yang terjadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban
dan pelaku utama. Hal ini dilakukan agara bertujuan mendapatkan kejelasam
dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku,
mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat
dan pertanggungjawaban bersama.
65
Sasarannya adalah memberikan kesempatan kepada korban untuk
terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai
pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta
mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelangaran yang
terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya

65
Ibid, hal. 188
Universitas Sumatera Utara
kepada orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab penuh
atas perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku dapat bersama-sama
menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasai
berlangsung. Terakhir adalah memberikan kesempatan korban dan pelaku untuk
saling berhubungan dalam memperkuat tatanan masyarakat yang sempat
terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.
66
Tata cara pelaksanaan diawali dengan pihak mediator menghubungi para
peserta pertemuan yaitu, korban, pelaku, anggota masyarakat, serta lembaga yang
bersimpati melalui telepon. Hal ini memastikan mereka hadir dalam pertemuan
tersebut, karena apabila tidak melalui telepon maka mediator harus bertemu secara
langsung dengan para pihak. Pada acara mediasi yang sebenarnya para anggota
fasilitator dalam conferencing bertugas mengatur pertemuan yaitu tempat dan
waktunya dan memastikan setiap peserta untuk dapat berpartisipasi penuh secara
aktif dalam acara, namun para fasilitator ini tidak dapat memutuskan secara
sepihak atau memaksakan keputusan yang sifatnya subtantif sebagai hasil
dalam artian hanya sebagai controlling dan fasilitating jalannya conferencing.
Beberapa daftar isian (form) conferencing yang menjadi agenda dan berita acara
ditulis oleh fasilitator secara benar dengan maskud para peserta harus tetap
mengikuti sebuah pola ketentuan dan aturan yang baku dalam menjalankan
diskusi dalam conferencing.

Adapun orang yang turut serta dalam proses family group conferencing
adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari
korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap permasalahan anak.
67
66
Ibid, hal. 189
67
Ibid, hal. 190

Universitas Sumatera Utara
Adapun jenis lain dari conferencing yang berdarkan sebuah filosofi umum
yaitu mengizinkan conferencing untuk mengambil berbagai bentuk dan tata cara
prosesnya tergantung budaya setempat atau harapan dari para peserta yang ikut.
Praktik diskusi dimulai dari mediator yang membawa acara mediasi atau sebagai
penengah dengan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menceriatakan
apa yang telah dilakukannya dan bagaimana pendapatnya mengenai penderitaan
orang lain atau korban akibat dari perbuatannya. Kemudian kesempatan
berikutnya diberikan kepada korban untuk menceritakan pengalaman yang
dialaminya akibat perbuatan pelaku. Setelah pelaku dan korban berbicara pada
kesempatan berikutnya diberikan kepada keluarga pelaku dan teman-temannya
(offenders supporters). Kesempatan untuk berbicara baik dari pihak pelaku
maupun pihak korban bertujuan mencari dan menemukan kondisi yang
sebenarnya yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Dengan susana
pembicaraan yang terbuka dan kondusif bagi anak tanpa tekanan dari salah
satu pihak membantu mempelanjar jalannya mediasi dan mediator tetap
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam mediasi tersebut. kemudian secara
bersama-sama kelompok memutuskan apa yang semestinya dilakukan pelaku
untuk memperbaiki kerugian dan apakah yang perlu dilakukan oleh para pihak
pelaku dalam ikut menjadi pihak yang bertangung jawab. Semua usulan dari
kelompok dicatat dan diagendakan oleh petugas pencatat mediator untuk
nantinya disimpulkan secara bersama-sama. Kesepakatan yang diambil dicatat
dan ditandatangani semua pihak yang ikut dan duplikat yang sama (copy) dari
kesepakatan itu dikirim kepada peradilan pidana pemerintah secara resmi untuk
dijadikan keputusan resmi.
68
68
Ibid, hal. 190

Universitas Sumatera Utara
Ad.3. Circles
Pelaksanaan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon, Canada.
Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam pelaksanaanya memperluas
partisipasi para peserta dalam proses mediasi di luar korban dan pelaku utama.
Pihak keluarga dan pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan
pidana. Keunikan lainnya di ikutsertakannya anggota masyarakat sebagai pihak,
dalam hal ini adalah masyarakat yang terkena dampak dari tindak pidana yang
terjadi sehingga merasa tertarik dengan kasus yang ada untuk ambil bagian dalam
proses mediasi, sehingga dalam circles, parties with a stake in the offence
didefenisikan secara lebih diperluas.
69
Orang yang menjadi peserta dalam Circles adalah, korban, pelaku,
lembaga yang memperhatikan masalah anak, dan masyarakat. Untuk kasus yang
serius dihadirkan juga hakim dan jaksa. Kehadiran aparat penegak hukum tersebut
untuk menjamin kelancaran aparat pelaksanaan proses sesuai dengan prinsip
restroative justice dan bukan untuk mencampuri atau melakukan intervensi pada
proses yang sedang dijalankan.

Tujuannya membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana
dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang
berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasarannya yang
ingin dicapai melakui proses Circle adalah terlaksananya penyembuhan pada
pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan memberi kesempatan kepada
pelaku untuk memperbaiki dirinya tanggung jawab penyelesaian kesepakatan.
Masyarakat digugah untuk peduli terhadap permasalahan anak yang ada
disekitarnya dan mengawasi penyebab tindakan yang dilakukan oleh anak.
69
Ibid, hal. 192
Universitas Sumatera Utara
Tata cara pelaksanaan Circles mediator melakukan pertemuan secara
terpisah dengan korban dan pelaku sebagai prioritas utama kehadirannya utnk
menjelasakan prose yang akan dilaksanakan dan apa yang menjadi tujuannya.
Di dalam prakteknya peserta duduk melingkar (like a circles). Caranya pelaku
memulai dengan menjelaskan tentang semua yang dilakukanya. Selanjutnya
semua peserta diberikan kesempatan bicara secara bergantian.dengan
menyampaikan apa yang menjadi harapannya. Akhir dari diskusi apabila terjadi
kesepakatan dan penyelesaian yaitu restitusi dan ganti rugi atau sanski lainnya
atau bahkan tanpa sanski tapi pemaafan pelaku oleh masyarakat dan korban.
Dalam sistem Circles ini dibantu oleh beberapa orang untuk mempelancar
proses Circles yaitu sebagai berikut :
1. Tugas penjaga (keeper of the circles) yang mengamankan dan menjaga
proses Circles berjalan sesuai dengan harapan.
2. talking piece yaitu seorang pendamai yang dengan sopan dan santun
akan selalu mengtur jadwal peserta bicara dalam Circles.
Keberhasilan dari Circles ini dalah kerjasama dengan sistem perdilan
formal dan masyarakat. Hal ini berperan untuk memastikan keadilan dan bersifat
jujur bagi semua pihak dan tanpa pemaksaan.

Ad.4. Restorative Board/Youth Panels
Restorative Board/Youth Panels telah dilaksanakan pada tahun 1995 di
negara Vermont dengan lembaga pendamping Bureau of Justice yang mendapat
respon yang baik dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam program
reparative dan sifat perbaikan yang menjadi dasarnya.
70
70
Ibid, hal. 194

Universitas Sumatera Utara
Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak
dengan melibatka pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan
pembela secara bersama-sama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku
dan ganti rugi baik korban atau masyarakat. Pesertanya adalah mediator yang
mendapatkan pelatihan yang baik, lembaga anak, korban, pelaku, anggota
masyarakat dan untuk kasus yang serius menghadirkan hakim, jaksa dan pengacara.
Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfailitasi pertemuan ini
adalah orang-orang yang sudah diberikan pendidikan khusus mediasi.
Pertemuan dilakukan secara secara tatap muka demua peserta dan dihadiri juga
oleh pihak pengadilan. selama pertemuan para peserta berdiskusi dengan pelaku
tentang perbuatan negatifnya. Dan konsekuensi yang harus ditanggung kemudian
para peserta merancang sebuah sanski.

Pelaksanaan Restroative Justice di Indonesia
Di Indonesia pengembangan konsep Restroative justice merupakan
sesuatu yang baru, yang mana Kota Bandung menjadi salah satu tempat
pelaksanaan pilot project Unicef tentang pengembangan konsep restroative justice
pada tahun 2003.
Restroative justice adalah suatu bentuk keadilan yang mengedepankan
keterlibatan semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu,
baik korban, pelaku dan masyarakat untuk bersama-sama memecahkan masalah
tentang bagaimana menangani akibat tindak pidana tersebut, dengan orientasi
untuk memperbaiki, menciptakan rekonsiliasi dan memuaskan semua pihak.
Sebagaimana diversi, keadilan restorative dilakukan diluar proses formal melalui
pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum Konsep Restroactive Justice, proses penyelesaian tindakan
pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku
(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama
berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada
pihak untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang
telah dilakukannya
Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak
korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa
pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.
Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya
bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah
dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang kejadian tersebut pihak
korban memperhatikan penjelasan dari sipelaku.
Penerapan sistem Restroactive Justice belum dapat diterapkan pada semua
tindak pidana melainkan hanya beberapa tindak pidana saja yaitu terhadap tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas dan tindak pidana anak.
Pemidanaan bagi anak merupakan ultimum remidium telah
diharmonisasikan dalam UU RI Tentang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999
(Pasal 66 ayat 3 dan 4) dan UU No.3 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
(Pasal 16 ayat 3) dalam implementasinya telah pula dipertegas oleh mantan
Ketua Mahkamah Agung dalam tulisannya yang menghimbau kepada para hakim
agar menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan berupa
tindakan dari pada Pidana Penjara.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut secara tersirat Restroactive Justice telah diakui
dan dilaksanakan bahkan apabila kita melihat lebih jauh dalam beberapa peraturan
kita dapat temukan sebagai berikut :
UUD 1945, Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2)
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention
on The Right of Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak/Lembaran
Negara RI tahun 1990 Nomor 57)
UU No. 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Dimana semuanya mengatur jelas tentang masa depan anak dan upaya
preventive dalam menanggulangi tindak pidana anak. Tidak hanya itu saja
kebijakan-kebijakan telah pula dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH)
berupa :
Universitas Sumatera Utara
Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang
Penuntutan terhadap Anak
Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995,
9 Nov 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas
DepkumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang
berhadapan dengan hukum
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005
tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan
ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan
Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak
dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (PPA) dan 3/2008 tentang pembentukan RPK
dan tata cara pemeriksaan saksi&/korban TP
TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan
TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan
restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan
pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai
pelaku, korban atau saksi
Kesepakatan Bersama antara DEPARTEMEN SOSIAL RI Nomor :
12/PRS-2/KPTS/2009, DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, DEPARTEMEN
PENDIDIKAN NASIONAL RI Nomor 11/XII/KB/2009,
DEPARTEMEN AGAMA RI Nomor : 06/XII/2009, DAN KEPOLISIAN
Universitas Sumatera Utara
NEGARA RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal
15 Desember 2009
Surat Keputusan Bersama Ketua MAHKAMAH AGUNG RI,
JAKSA AGUNG RI, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA RI,
MENTERI HUKUM DAN HAM RI, MENTERI SOSIAL RI,
MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO. 148
A/A/J A/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02
TAHUN 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan
PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang PENANGANAN
ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM.
Dari instrumen hukum yang telah tersedia tersebut di atas, sebenarnya
aparat penegak hukum (APH) telah ada yang melakukan pendekatan restorative
justice, walaupun secara eksplisit tentang pelaksanaan restorative justice belum
diatur dalam Undang-Undang Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 (3) tentang
Perlindungan Anak yang menyebutkan : bahwa penangkapan, penahanan, dan
penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya terakhir ( The Last Resort),
dihubungkan dengan adanya pengaturan dalam pasal 24 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak : Bahwa Hakim dapat menjatuhkan
hukuman berupa tindakan , yaitu :
- Anak dikembalikan kepada orang tua
- Anak diserahkan kepada dinas sosial / yayasan social
- Anak diserahkan kepada Negara
Universitas Sumatera Utara
Alur Implementasi Resteroactiv Justice di Pengadilan














LANJUTAN







Universitas Sumatera Utara

You might also like