You are on page 1of 17

1

TUGAS
ILMU KESEHATAN THT
RINITIS



Disusun oleh :
Raras silvia Gama,S.Ked 082011101038



Dokter Pembimbing :
dr. Bambang Indra, Sp.THT
dr. Maria Kwarditawati, Sp.THT
dr. Djoko Kuntoro, Sp. THT




Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Lab/SMF Ilmu Kesehatan THT - RSD dr.Soebandi Jember
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013

2

RINITIS
Rinitis diartikan sebagai proses inflamasi yang terjadi pada membran
mukosa hidung, yang ditandai dengan gejala-gejala hidung seperti rasa panas di
rongga hidung, rhinore, hidung tersumbat,hiposmia, sneezing.
(3)
Menurut BSACI (British Society for Allergy and Clinical Immunology)
dibagi kepada 2 bagian yaitu:
(12)
1) Rinitis alergi
2) Rinitis nonalergi
Gejala-gejala hidung yang berlangsung akut maupun kronis tanpa penyebab alergi
disebut rinitis nonalergi. Sedangkan bila didapati adanya penyebab alergi
(alergen) dikenal dengan rinitis alergi. Karektieristik gejala pada rinitis nonalergi
sering sulit dibedakan dengan rinitis alergi. Oleh karena itu, hasil negative dari tes
sensitivitas yang diperantarai IgE terhadap aeroallergen yang relevan, penting
untuk menkonfirmasi diagnosis.

Definisi Rinitis Allergi dan Patofisiologi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
allergen spesifik tersebut.
(10)
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma),
Rinitis Alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang
diperantarai oleh IgE.
(12)
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri 2 fase yaitu immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada reaksi alergi fase cepat
3

selain histamine juga dikeluarkan mediator antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
leukotriene D4 (LT D4), leukotriene C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activiting
Factor (PAF), dan berbagai sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor). Pada RAFL ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinophil, limfosit, netrofil,
basophil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3,
IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1
pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat perananan eosinophil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
(12)

Klasifikasi Rinitis Alergi
Klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup,
berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala < 4 hari perminggu
atau < 4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4 minggu.
Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat tergantung
dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan gangguan
tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar, bekerja dan lain-lain
yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih gangguan
tersebut di atas.
(12)

Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan
adanya trias gejala yaitu bersin, beringus (rinorea), dan sumbatan hidung. Perlu
diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma, dermatitis atopi, injeksi
konjungtiva, dan lain sebagainya).
(9,6)

2. Pemeriksaan fisik
4

Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
(9,12)

a. Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan
menggosok hidung keatas dengan tangan.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal spekulum atau bagi
spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi.
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis
alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya
berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental,
purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi
septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit
granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip
dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan
tangkai. Dengan dekongestan topikal polip tidak akan menyusut.
Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.
c. Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-
fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani
dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan
tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan
disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
-
Pada pemeriksaan mata

5

Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral
yang disertai dengan produksi air mata dan disertai mata gatal.


d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati.
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asma.
f. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.

3. Pemeriksaan sitologi hidung.
Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
Hitung eosinofil dalam darah tepi.
(12)

Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria.
(12)

Uji kulit.
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara,
yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman
kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab, juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui.
(9)

Tes penunjang lainnya yang lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan
adalah tes IgE spesifik dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA
(Enzyme linked immuno assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergen alergen
dengan tingkat skor 1+ s/d 4+.
(12)



Penatalaksanaan
6

Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk
mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga
degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari.
Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen
tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya
peranan penghindaran alergen.
(10,12)

b. Pengobatan medikamentosa
Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi
alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat
dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan
intranasal atau oral.
(4,10,11)

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan
mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti
rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada
fase lambat.
(4)
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
golongan ini adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin
sedangkan yang dapat diberikan topikal adalah azelastin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menebus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).
Antihistamin diabsorpsi secaral oral dengan cepat dan mudah serta efektif
7

untuk mengatasi gejala pada respon cepat serperti rinorea, bersin, gatal, tetapi
tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
(10)
Antihistamin nonsedatif dapat dibagi 2 golongan menurut keamanannnya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin. Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadine, desloratadin, dan levosetirisin.
(10)
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa seperti
pseudoephedrine atau phenylpropanolamine efektif sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal.
Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
(10)
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respon
fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja
untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
(10)

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
(10)

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah
anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.(10)
Preparat anti leukotriene ada 2 jenis yaitu reseptor antagonis (LTRAs
seperti montelukast dan zafirlukast) dan sintesis reseptor seperti zileuton. Obat
ini hampir mirip dengan loratadine. Kombinasi anti leukotrin dan antihistamin
tidak efektif untuk memperbaiki atau mengurangi gejala klinis.
(12)
Preparat
anti alergi yang lain adalah kromolin sodium. Intranasal cromolin sodium
efektif di beberapa pasien yang mengendalikan gejala rinitis alergi dan
mempunyai efek samping yang kecil. Cromolin menghambat degranulasi dari
kepekaan mast cells sehingga mencegah pelepasan mediator alergi atau
inflamasi.

Cromolin sodium tidak mempunyai efek yang sama dengan
antihistamin.
(12)
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan.
Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
c. Imunoterapi spesifik
8

Menurut Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA), indikasi
imunoterapi adalah untuk pasien rinitis atau asma alergiyang disebabkan
oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah dijamin
efektivitas dan keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi juga
diindikasikan sebagai profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap
alergen.
(12)
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan imunoterapi adalah
pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.
(10)

Jenis alergen yang diberikan tergantung penilaian klinis yang
didasarkan pada jenis alergen yang memberi hasil positif pada uji kulit dan
yang menimbulkan gejala klinis bila terpajan. Jenis alergen yang dapat
diberikan secara injeksi subkutan adalah:
(12)
Laprin (L5) mengandung ekstrak debu rumah dicampur dengan
serpihan kulit manusia dengan konsentrasi 50Neq U/ml. Mula-mula
disuntikkan 0,1 ml dilanjutkan dengan suntikan berikutnya 0,2 ml
demikian selanjutnya dinaikkan sebanyak 0,1 ml sampai mencapai
dosis maksimal 1 ml. Penyuntikan dilakukan seminggu dua kali
sehingga dosis 1 ml akan diselesaikan dalam 5 minggu (10 kali
suntik). Selanjutnya dengan Laprin L6 ( ekstrak debu rumah
dicampur ekstrak serpihan kulit manusia) konsentrasi 500 Neq/ml
diberikan dengan cara yang sama sehingga mencapai dosis 1 ml
selama 5 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan suntikan seminggu
1x menggunakan L6 1 ml (10 kali), kemudian L6 2 minggu sekali
(10 kali), kemudian L6 4 minggu sekali (10 kali), kemudian 3 bulan
sekali ( 10 kali), kemudian L6 6 bulan sekali (10 kali).
M1 adalah ekstrak tungau yang berasal dari Dermatophagoides
pteronyssinus yang dibuat dengan konsentrasi 10 Neq U/ml dan M2
1000 Neq U/ ml, cara pemberian seperti diatas.
9

Evaluasi dilakukan paling sedikit 5 bulan ( suntikan ke 30 ), ekstrak
ekstrak tersebut harus selalu disimpan dalam suhu 4
0
C supaya tetap terjaga
kondisi mutunya.
(12)
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi
konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin H1 dan farmakoterapi
- Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping
yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka
panjang.
Imunoterapi sublingual sebagai alternatif pemberian imunoterapi yang
lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah ekstrak tumbuhan yang
dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau sublingual.
Beberapa studi menyebutkan keberhasilan imunoterapi pada rhinitis alergi.
Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah respons
limfosit T terhadap alergen.
(12)
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi
spesifik oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali
lebih besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak
imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subkutan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur
5 tahun.
(12)


10

d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir
sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu
sama-sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek
biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
(12)

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang
berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan
mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat
selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
(12)

e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergi. Mekanisme biomolekulernya
terajadi pada peningkatan populasi limfosit T
H
yang berguna pada
penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
(12)

f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa
penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan reduksi konka dengan
radiofrekuensi, konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan
cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat dan
radiofrekuensi.
(10)


Rinitis Non Alergi
Rinitis non alergi (NAR) umumnya digambarkan sebagai gejala hidung
kronis, seperti obstruksi dan rhinorrhea yang terjadi dalam kaitannya dengan
bukan alergi, pemicu tidak menular seperti perubahan cuaca, paparan bau kaustik
atau asap rokok, perbedaan tekanan udara, dll.



11


Klasifikasi Rinitis Nonalergi

KLASIFIKASI RINITIS NON ALERGI
Rinitis Vasomotor
Perubahan cuaca, perubahan suhu
Gustatory rinitis
Rinitis Penggunaan Obat - obatan
Aspirin, NSAID, agonis alfa receptor dan antagonis vasodilator
Obat antihipertensi dan obat jantung lainnya
Kontrasepsi oral
Rinitis Medikamentosa
Rinitis Infeksi
ISPA
Kronik Rhinosinusitis
Nonalergi Rinitis Eosinophilic Sindrom
Penyebab Imunologi
Wegener Granulomatosis
Sarcoidosis
Amyloidosis
Infeksi Granulomatosis
Rinitis Terkait Pekerjaan
Rinitis Hormonal
Kehamilan
Menstruasi
Hypotiroidsm
Rinitis Struktural
Polip
Deviasi septum
Adenoid hipertrofi
Tumor
Rinitis Atrofi
Infeksi
Sekunder

Sumber: J ALLERGY CLIN IMMUNOL 2008; 122(SUPPL 2):S1S84
Tabel 1 : pembagian dari rinitis nonalergi

Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor diduga disebabkan oleh berbagai pemicu alergi saraf
dan pembuluh darah, sering tanpa penyebab inflamasi. Pemicu ini menyebabkan
gejala yang melibatkan hidung tersumbat dan rhinorrhea yang jernih lebih dari
bersin dan gatal. Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang
12

didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-
bloker, aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan).
(9)

Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai
(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE serum).

Gejala klinis
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan
non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman
beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan,
perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi. Pada
keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu
tersebut.
(7)
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3
golongan yaitu: 1) golongan bersin(sneezers), gejala biasanya memberikan respon
yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal; 2) golongan
rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan dengan pemberian anti kolinergik
topikal; dan 3) golongan tersumbat(blockers), kongesti umumya memberikan
respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokontriktor
oral.
(9)
Diagnosis
Diagnosis rinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan:
1. Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara ekslusi yaitu menyingkirkan
adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam
anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
(9)

2. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Hal ini pperlu dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan
konka dapat licin atau dapat berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga
hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan
rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.
(7)

13

3. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinophil pada sekret hidung, akan
tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative. Kadar IgE
spesifik tidak meningkat.
(9)


Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam
(9)
:
a. Menghindari stimulus/faktor pencetus
b. Pengobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung
dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan
larutan AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram.
c. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, radiofrekuensi atau
konkotomi parsial konka inferior.
d. Neuroktomi n.vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada
n.vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil yang optimal.

Rinitis infeksi
Salah satu penyebab paling umum dari rinitis adalah infeksi saluran
pernapasan atas. ISPA karena virus sering menunjukkan gejala seperti sekret yang
tebal, bersin, dan obstruksi yang biasanya bersih sendiri dalam 7 sampai 10 hari,
tetapi dapat bertahan hingga 3 minggu. Sinusitis bakteri akut dapat mengikuti,
biasanya terjadi kurang dari 2% pasien, dengan gejala dari hidung tersumbat
terus-menerus, perubahan warna sekret hidung lendir, wajah nyeri, batuk, dan
kadang-kadang demam.
(1)

Rhinosinusitis kronis adalah sindrom mukosa sinus inflamasi yang disebabkan
oleh banyak penyebab. Hal ini secara klinis didefinisikan sebagai gangguan
hidung yang persisten dan gejala sinus berlangsung lebih lama dari 12 minggu dan
diagnosa pasti dengan computed tomography (CT). Temuan rinosinusitis kronis
dari CT meliputi penebalan lapisan rongga sinus atau kekeruhan lengkap sinus
14

pneumatisasi. Gejala Mayor yang perlu dipertimbangkan untuk diagnosis
termasuk nyeri wajah, hidung buntu, obstruksi, sekret yang purulen, dan gangguan
penghidu. Gejala minor seperti batuk, kelelahan, sakit kepala, halitosis, demam,
sakit telinga, dan sakit gigi. Pengobatan mungkin sampai 3 minggu atau lebih
dengan penggunaan antibiotik oral dan penggunaan singkat steroid oral, steroid
intranasal, atau keduanya (steroid oral dan steroid intranasal). Kebanyakan
pasien dapat berhasil dalam perawatan awal, tetapi mereka dapat dirujuk ke
spesialis telinga, hidung, dan tenggorok, ahli alergi, atau imunologi jika tidak
merespon terapi awal.
(1)

1. Rinitis virus
Rinitis virus terbagi 3, yaitu:
Rinitis simplek (pilek, Selesma, Common Cold, Coryza)
Etiologi. Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi
melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain,
adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus,
dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu.
Gambaran klinis. Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung,
lalu segera diikuti dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang
berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat demam ringan.
Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Awalnya, sekret hidung
(ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila
terdapat invasi sekunder bakteri, seperti Streptococcus Haemolyticus,
pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus Influenzae, Klebsiella
Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.
(14)

Pengobatan. Tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah penyakit
semakin berat. Pasien disarankan minum air lebih dari biasanya. Gejala-
gejalanya dapat diatasi dengan pemberian antihistamin dan dekongenstan.
Analgesik berguna untuk mengatasi sakit kepala, demam dan myalgia.
Analgesik yang tidak mengandung aspirin lebih dianjurkan karena aspirin
dapat menyebabkan virus semakin berkembang biak. Antibiotik diberikan
bila terdapat infeksi sekunder bakteri.
(1)

15

Komplikasi. Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan
membaik secara spontan setelah 2-3 minggu, tetapi kadang-kadang,
komplikasi seperti sinusitis, faringitis, tonsilitis, bronchitis, pneumonia
dan otitis media dapat terjadi.
(14)

Rinitis Influenza
Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip denagn common cold. Komplikasi sehubungan dengan
infeksi bakteri sering terjadi.
(14)

Rinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis,
dimana didahului dengan eksantemanya sekitar 2-3 hari. Infeksi sekunder
dan komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.
(14)

2. Rinitis Bakteri
Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:
Infeksi Non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.
Rinitis bakteri primer. Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi
pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus. Membran putih keabu-
abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung, yang apabila
diangkat dapat menyebabkan pendarahan.
(14)
Rinitis bakteri sekunder.
Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut
Rinitis difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri
dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorok dan dapat
terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus
dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap.
Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program imunisasi
yang semakin meningkat. Gejala rinitis akut ialah demam, toksemia,
terdapat limfadenitis, dan mungkin ada paralisis otot pernafasan. Pada
hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-abuan tampak
menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya
16

lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi berupa
krusta coklat pada nares anterior dan bibir bagian atas dapat terlihat.
Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan antitoksin
difteri.
(14)


17

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E.A. Iskandar N.I. Bashiruddin J. dkk.
2007.Infeksihidungdalam:Buku Ajar
IlmuKesehatanTelingaHidungTenggorokanKepalaLeher. Edisi 6. Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI. Hal. 140-2

2. Jones A.S. 1997. Intrinsic rhinitis in : Scott Browns Otolaryngology
Rhinology Fifth Edition. I.S Mackay, Butterworth London.

3. Scadding, G.K, Durham, S.R.et all. 2008. BSACI guidelines for the
management of allergic and non-allergic rinitis. Journal compilation 2008
Blackwell Publishing Ltd, Clinical and Experimental Allergy,38 : 1942.

4. Jan, MD, PhD,JeanBousquet, MD, PhD. 2010. Allergic Rinitis and its
Impact on Asthma (ARIA) guidelines. Journal of American Academy of
Allergy, Asthma & Immunology.

5. Bhargava K.B, Bhargava S.K and Shah T.M. 2002.Rhinitis in: A Short
Textbook Of E.N.T Disease Sixth Edition. Mumbai: Usha Publication. Hal.
143-158.

6. Nina Irawati, Elise Kasakeyan, NikmahRusmono. 2007.RinitisAlergi
dalam: Buku Ajar IlmuKesehatanTelingaHidungTenggorokKepalaLeher,
edisikeenam. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI. Hal. 128-3

You might also like