You are on page 1of 3

Berkaitan dengan asas hukum, Arief Sidharta (tanpa tahun) menyatakan tiap aturan hukum itu berakar pada

berakar pada suatu


asas hukum, yakni suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat secara tepat dan adil. Mengutip
Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan putusan-putusan individual tersebut dapat dipandang
sebagai penjabarannya.

Dengan demikian, menurut Arief Sidharta, asas hukum merupakan meta-kaidah yang berada di belakang kaidah,
yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat menjadi pedoman berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi
ke dalam aturan-aturan hukum.

Asas-asas hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan aturan hukum pada penafsiran atau
penemuan hukum, sebagai kaidah kritis terhadap aturan hukum, kaidah penilai dalam menetapkan legitimitas aturan
hukum, kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum, menjaga/memelihara konsistensi dan
koherensi aturan-aturan hukum.

Asas hukum dapat diidentifikasi dengan mengeneralisasi putusan-putusan hakim dan dengan mengabstraksi dari
sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada masalah kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain, asas hukum
dapat ditemukan dari putusan hakim ataupun hukum positif pada umumnya. Semestinya tiap hukum positif memuat
asas hukum, baik secara tersurat (dalam bentuk pasal) ataupun tersirat.

Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan. Dalam hal terjadi demikian, penggunaan asas
hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi dan nurani manusia. Arief Sidharta mengutip D.H.M. Meuwissen,
menggolongkan asas-asas hukum ke dalam klasifikasi berikut:
a. asas-asas hukum materiil:
1. respek terhadap kepribadian manusia
2. respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek kejasmanian dari
keberadaan manusia sebagai pribadi
3. asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik
4. asas pertanggungjawaban
5. asas keadilan
b. asas-asas hukum formal:
1. asas konsistensi
2. asas kepastian
3. asas persamaan.

Selain asas-asas hukum yang bersifat umum di atas, pada setiap bidang hukum terdapat berbagai asas hukum yang
bersifat khusus. Dalam bidang hukum perdata misalnya, dikenal asas kebebasan berkontrak, atau dalam bidang
hukum tata negara dikenal adanya asas pembagian atau pemisahan kekuasaan, dalam bidang hukum administrasi
dikenal asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan sebagainya.



Pada umumnya, apabila hukum positif tidak mengindahkan asas hukum, tidak ada sanksi khusus yang diberlakukan.
Namun demikian, ada kalanya suatu asas hukum dijadikan pertimbangan oleh badan yudisial dalam mengadili
perkara tertentu. Sebagai contoh, dalam pengujian Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasan mengenai jangka waktu pencegahan, Mahkamah Konstitusi menggunakan asas proporsionalitas
sebagai salah satu pertimbangan memutus perkara tersebut (vide Putusan Nomor 64/PUU-IX/2011, hlm. 66).

Secara khusus, dalam hal perkara pengujian Keputusan Tata Usaha Negara, asas hukum terkait, yaitu asas-asas
umum pemerintahan yang baik dapat dijadikan batu uji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dalam mengadili
perkara tersebut (vide Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Dalam hal suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan asas-asas umum pemerintahan yang baik, Pengadilan
Tata Usaha Negara dapat memberikan sanksi berupa kewajiban mencabut dan/ atau menerbitkan keputusan tata
usaha yang baru, dengan atau tidak disertai ganti rugi dan/ atau rehabilitasi (vide Pasal 97 ayat (9), (10) dan (11) UU
Peradilan Tata Usaha Negara). Namun demikian, penggunaan asas-asas tersebut sebagai batu uji, lebih disebabkan
karena asas-asas tersebut telah bertransformasi menjadi norma hukum/normatifisasi (diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan perubahannya), tidak murni sebagai asas hukum.

Walaupun pada umumnya tidak ada sanksi apabila hukum positif tidak mengindahkan asas hukum, namun jika hal
itu tersebut terjadi, maka sangat mungkin hukum positif tersebut tidak atau kurang memenuhi dasar-dasar
keberlakuan hukum yang baik. Dasardasar keberlakuan hukum yang dimaksud yaitu dasar filosofis, yuridis,
maupun sosiologis (Bagir Manan: 1992).

Sebagai contoh, selama ini dalam hukum perkawinan dikenal asas bahwa anak yang lahir di luar perkawinan, hanya
memiliki hubungan keperdataan dengan ibu kandung (dan keluarga ibunya). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengubah asas
yang mendasari Pasal 43 ayat (1) undang-undang tersebut secara fundamental. Putusan tersebut menegaskan bahwa
anak yang lahir di luar perkawinan, tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,
namun juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya (vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37).

Dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa:

hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapi dapatjuga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak
denganlaki-laki tersebut sebagai bapak ( vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 35).



Artinya, putusan tersebut juga melegitimasi hubungan keperdataan antara anak - bapak, tanpa didasarkan adanya
ikatan perkawinan (bukan sekedar tidak dicatatkan). Walaupun Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan
tersebut atas dasar perlindungan hukum terhadap anak, namun sangat mungkin substansi putusan tersebut, tidak
dapat diterima oleh mayoritas masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan, hubungan seksual tanpa didahului
perkawinan, apalagi yang berakibat pada kehamilan dan kelahiran anak, dianggap sebagai tindakan yang melanggar
kesusilaan. Putusan tersebut menunjukkan adanya hukum positif yang tidak mengindahkan, atau bahkan mengubah
asas hukum secara fundamental, yang jika dilihat dari segi dasar keberlakuan hukum, kurang memenuhi dasar
berlaku dari aspek sosiologis (penerimaan oleh masyarakat) dan aspek filosofis (pandangan dan nilai-nilai dalam
masyarakat). Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat efektifitas dan keampuhan (efficacy) putusan tersebut
dalam praktik.

You might also like