Professional Documents
Culture Documents
APENDISITIS
1. Definisi/Pengertian
a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana
patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh
fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). Patofisiologi Edisi 4 hal
448.
b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2002.
c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu
saluran kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci.
Lokasi appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya
pada dinding abdomen dibawah titik Mc burney.
Gambar 1. Apendisitis
2. Epidemiologi
Insiden apendisitis lebih tinggi pada negara maju daripada negara berkembang,
namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu
100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini
5. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan
sebelumnya atau tumor.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding.
Karena obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya iskemi
yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini dapat
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding
appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat
appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
PATHWAY
6. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
1. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul
striktur lokal.
2. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas:
1. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur
lokal.
2. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan
pada usia tua.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
f. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis
pada apendisitis pelvika.
g. Pemeriksaan uji psoas
Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.
Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri.
h. Pemeriksaan uji obturator
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini
akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap Ditemukan jumlah leukosit antara 10.00020.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi peningkatan
yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi
(pecah).
b. Radiologi
9.
Penatalaksanaan
a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendiktomi.
Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
1. Cara terbuka
2. Cara laparoskopi.
b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik
kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob.
Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi
dapat dilakukan.
Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka
dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan apendisektomi.
Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan
tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat
dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
c. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan
Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan
Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
3) Pola eliminasi
Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih menggunakan dower
chateter karena masih dalam pengaruh anastesi, dan pasien akan dilatih untuk
berkemih.
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah. Namun,
setelah 6 jam pasien diharapkan pasien sudah mampu untuk bergerak miring
kanan dan miring kiri dan dilanjutkan dengan duduk kemudian berjalan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri akibat post operasi dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak
mengalami gangguan.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan post
operasi appendiks.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja
dan masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual
Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada
hubungannya dengan alat reproduksi.
Intervensi :
1. Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi.
2. Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3. Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak
terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
4. Pantau perkembangan nyeri pasien.
R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang dialami
pasien sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
2. Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan
suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 37,5o C /
aksila).
Intervensi :
1. Observasi TTV.
R/ : Untuk membandingkan TTV sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda dehidrasi pasien.
R/ : Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat
mengetahui tindakan yang harus dilakukan.
2. Awasi cairan masuk dan cairan keluar.
R/ : Untuk menjaga keseimbangan volume cairan tubuh.
3. Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan melalui
intravena.
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi cairan per oral
karena pasien yang akan dilakukan tindakan apendiktomi harus dipuasakan.
4. Implementasi
Implementasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat.
5. Evaluasi
Diagnosa pre-tindakan
1. Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2. Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 37,5o C / aksila).
3. Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4. Cemas pasien berkurang
Diagnosa post-tindakan
1. Nyeri yang dialami pasien berkurang
2. Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor,
perubahan fungsi)
3. Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall- Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.
Jakarta : EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Guyton & Hall. 2003. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC
Mansjoer A,. dkk. 1996. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Price, A. Sylvia. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC
Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2009-2011 Definisi dan Klasifikasi
Robbins Cotrans K,. 1996. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit Edisi 5. Jakarta : EGC