Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MORFIN
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal dari getah Papever somniferum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Didalam klinik opioid dapat
digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini
sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada
potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat
menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah.
Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain),
semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin,
fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid
dapat digolongkan menjadi:
1. Agonis opioid
Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan ,
dan mungkin pada reseptor k contoh : morfin, m reseptor, terutama pada
reseptor papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil,
sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
2. Antagonis opioid
Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua
reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor,
contoh : nalokson.
3. Agonis-antagonis opioid (campuran)
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai
agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada
reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.
Terdapat 3 jenis peptida opioid: enkefalin, endorphin dan dinorfin. Peptida
opioid yang didistribusikan paling luas dan memiliki aktifitas analgesik adalah
mu ()
Memberi efek analgesik, depresi nafas, miosis, berkurangnya motilitas
saluran cerna.
Terdapat dua jenis :
a. reseptor 1, hanya didapatkan di SSP dan dihubungkan dengan
analgesia suprasinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan
katalepsi.
b. reseptor 2 dengan penurunan tidal volume dan bradikardia.
2. delta ( )
Memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernafasan yang
ditimbulkan opioid.
3. kappa ( )
Memberi efek sedasi serta miosis dan depresi nafas yang tidak sekuat
agonis .
4. beberapa subtipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2 dan kappa3.
Salah satu golongan opioid yang sering disalah gunakan adalah morfin. Morfin
adalah hasil olahan dari opium/candu mentah dan merupakan alkaloida utama dari
opium( C17H19NO3 ) yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang
ditemukan pada opium. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat digunakan
untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Morfin rasanya pahit, berbentuk
tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan
cara dihisap dan disuntikkan.
Bubuk atau serbuk berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat
disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur
3. Balokan dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna
yang berbeda-beda.
4. Tablet dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.
1. Tipe reseptor
Reseptor
Fungsi
Analgetik spinal dan supraspinal, sedasi, inhibisi
u (mu)
(delta)
modulasi
(kappa)
spinal
dan
supraspinal,
efek
transmitter di presynaptic
b. menginhibisi aktivitas di neuron postsynaptic dengan membuka K+ channels
3. Toleransi dan withdrawal
Adanya pemaparan kronis terhadap morfin, otak memperlihatkan tanda-tanda
adptasi. Ketika morfin digunakan pada jangka waktu tertentu dan dosisnya harus
ditingkatkan secara progresif agar efek analgesik dan rewarding tetap ada, hal
inilah yang disebut toleransi. Mekanisme terjadinya toleransi morfin masih
belum jelas. Akan tetapi, terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa terjadi
desentisasi yang menjaga sel dari stimulasi berlebih. Dalam hipotesis ini
diperkirakan bahwa morfin gagal untuk memicu endosistosis reseptor sehingga
terjadi proses adaptasi secara tidak proporsional yang berakibat toleransi.
Perubahan adaptif yang terjadi saat obat dihentikan disebut putus-obat
(withdrawal). Sebagai contoh, ketergantungan akan analgesia dan rewarding
hilang pada mencit yang memiliki sedikit u reseptor tetapi tidak pada mencit
).
ketergantungan pada reseptor u lebih hebat dan hal ini juga memperlihatkan
bahwa ketergantungan ini dapat menyebabkan gejala putus obat yang hebat juga.
e. Miosis
Kontriksipupil akibat aktivitas.
f. Mual dan muntah
Adanya aktivasi chemoreceptor trigger zone pada batang otak.
g. Jantung
Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan menurunnya frekuensi nadi dan
tekanan darah khususnya bila diberikan intravena. Morfin menurunkan kerja
jantung dan menurunkan kebutuhan oksigen pada otot jantung
h. Ginjal
Fungsi ginjal terdepresi. Selain itu reseptor u memiliki efek antidiuretik
pada manusia sehingga urin menjadi sedikit.
i. Pruritus
Morfin dapat menyebabkan sensasi gatal dan keringat. Selain itu, diperkiran
sensasi gatal yang terjadi akaibat reaksi pelepasan histamin oleh SSP. Hal
ini lebih sering terjadi pada penggunaan obat yang jenisnya parenteral.
C. FARMAKOKINETIK
1.
Absorpsi
Absorbsi morfin pada saluran cerna jelek dan sulit diprediksi, Morfin dapat
diberikan per rektal secara supositoria. Morfin dalam jumlah kecil yang
diberikan secara epidural atau intratekal ke saluran spinal dapat memberikan
analgesia yang kuat yang dapat betrahan 1 sampai 24 jam. Akan tetapi, karena
sifat hidrofilik morfin, ada penyebaran rostral obat pada cairan spinal, dan efek
samping, terutama depresi pernapasan. Jika morfin diberikan secara intravena,
maka kerjanya cepat. Akan tetapi senyawa yang lebih larut dalam lemak
bekerja lebih cepat dari morfin setelah pemberian subkutan karena perbedaan
laju absorpsi dan masuknya ke SSP.
2.
10
dalam jaringan, dan 24 jam setelah dosis terakhir konsentrasi dalam jaringan
rendah.
Di dalam tubuh, morfin dimetabolisme di hepar oleh enzim uridine-5diphosphate (UDP) glucoronosyltransferase, dengan afinitas khusus pada
isoenzim UGT2B7. UGT2B7 merupakan enzim utama pada proses
metabolisme morfin. Metabolit-metabolit hasil proses tersebut antara lain
morphine-3-glucuronide
(M3G),
morphine-6-glucoronide
(M6G)
dan
3.
Ekskresi
11
Eliminasi memalui urin 85% dalam bentuk glucoronid, 5% nor morfin dan 5%
dalam bentuk morfin yang tidak berubah. Sekitar 8% morfin glucoronid
tereliminasi lewat empedu. Metabolisme ekstra hepatal sering terjadi di dalam
ginjal.
D. INTOKSIKASI MORFIN
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih
mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin
paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya
cukup panjang (long acting). Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya)
relatif selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba,
rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :
1. morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
2. morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah
reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima
oleh korteks serebri dari thalamus
3. morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.
Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa
gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan.
Pengguna morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan
pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang
selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat
klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain
efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius.
Efek pada sistem pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan
menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian
intravena atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat
pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran
pernafasan.
12
Efek pada sistem saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi
karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan
motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing.
Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing
serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda
pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian
sipemakai serta harapannya.
Gejala kelebihan dosis :
1. Pupil mata sangat kecil (pinpoint).
2. Pernafasan satu- satu.
3. Koma.
Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga
nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasa terjadi akibat percobaan bunuh diri
dimana Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas
lambat, 2-4 kali/menit, dan pernafasan mungkin berupa Cheine Stokes. Pasien sianotik,
kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah yang mula-mula baik
akan menurun sampai terjadi syok bila nafas memburuk dan ini dapat diperbaiki dengan
memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupils), kemudian midriasis jika
telah terjadi anoksia. Pembentukan urin sangat berkurang karena terjadi penglepasan
ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot
rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan
nafas. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi nafas.
Selain terjadinya intoksikasi dapat juga terjadi toleransi dan ketergantungan fisik
setelah penggunaan berulang yang merupakan gambaran spesifik pada penggunaan
obat-obat opioid. Kemungkinan untuk terjadinya ketergantungan fisik tersebut
merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi penggunaannya.
Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut:
1. habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga pasien ketagihan
akan morfin.
2. ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan
biokimia tubuh tidak berfungsi lagi tanpa morfin
13
3. adanya toleransi, toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak
timbul terhadap efek eksitasi, meiosis dan efek pada usus.Toleransi
timbul setelah 2-3 minggu. Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar
bila digunakan dosis besar secara teratur.
Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbulah gejala
putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin, pecandu
tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabel, kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun
ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor,
iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis, demam dan nafas
cepat. Gejala ini semakin hebat disertai timbulnya muntah, kolik dan diare. Frekuensi
denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Pasien merasa panas dingin disertai
hiperhidrolisis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis dan berat badan pasien
menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskular yang bisa berakhir dengan
kematian.
narkotika
adalah
orang
yang
menggunakan
atau
pada
14
15
16
paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 8.000.000.000, 00 (delapan miliar rupiah)
17. Pasal 112 ayat 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00
(delapan
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp
17
Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan
komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis).
Selanjutnya, komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat
kaitannya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing
dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil,
atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa
nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang berulangkali dapat menimbulkan
toleransi dan ketergantungan.
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat
patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering
disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases),
berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam
berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma
putus zat, dan gangguan mentalserta perilaku lainnya.
Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat
menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya.
Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut sakau
dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara
merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma
putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot, lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare,
menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik.
Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan
muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus
diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan.
Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan
pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan
erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan
pembunuhan.
Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak
digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan
dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku
18
serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada
umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan.
Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan,
kecemasan, dorongan dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah
mentalnya atau belum matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering
dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex,
meningkatkan daya tahan jasmani.(2,4)
Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut :
1. tanda- tanda pemakai obat
2. keadaan lepas obat
3. kelebihan dosis akut
4. komplikasi medik ( penyulit kedoktearn )
5. komplikasi lainnya (sosial, legal, dsb).(2)
G. GAMBARAN FORENSIK
Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin
Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada
umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat
minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokter, apalagi untuk racun- racun yang
sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium
akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus
melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan.
Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan
sebagai berikut:
1. Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Gejala klinis :
a. pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain
nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu
menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.
b. pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh.
c. gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium.
19
Halusinasi.
Proses sekresi.
dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan
dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur
hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin
yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti.
b. Nalorfine Test.
Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%,
berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila
kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin
dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis.
Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin
atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk
morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari
morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau
hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit,
dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.(2,8)
Pemeriksaan Barang Bukti Mati Pada Kasus Pemakai Morfin
Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja
sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensik, psikiater
maupun ahli toksikologi. Pertanyaanpertanyaan yang sering muncul sehubungan
dengan hal di atas meliputi :
1. Apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan,
ataupun kemungkianan pembunuhan?
2. Jenis obat apakah yang digunakan?
3. Melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut?
4. Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian?
5. Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali
memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat?
6. Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut?
7. Apakah jenis narkoba yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit
yang mungkin sudah ada pada korban?
8. Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian
korban?
21
22
Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang
bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi
hepar, ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. Cairan
empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat
pemakaian opiate. Rambut dan kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan
toksikologi lain. Usapan mukosa hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas
hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin (Knight, 1996).(8)
Pemeriksaan luar
Tanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk yang
dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.
a. Needle marks
Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat
lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla
mamae.
Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub
kutan, perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah.
Pada kasus ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa
jaringan parut titik- titik sepanjang lintasan vena dan disebut intravenous
mainline tracks. Kadang kadang untuk menyamarkan needle marks itu
dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau
ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada korban yang melakukannya
dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek toksikologinya
diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada mereka
inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya.
Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi,
sebab mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan
menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu
dalam pemeriksaan toksikologi, perlu diambil sediaan usap ingus (nasalswab).
b. Hipertrofi kelenjar getah bening regional.
23
Pada korban yang sering menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi
kelenjar getah bening di regio aksiler.Hal ini merupakan Drain phenomenon.
Biasanya karena jarum suntikannya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak
hipertrofi dan hyperplasia limfositik.
c. Gelembung-gelembung pada kulit
Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk
suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi
gas CO dan barbiturate.
d. Tanda mati lemas.
Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama
tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai
tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka,
kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik
perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan pada keracunan dengan membau, dapat
ditemukan perforasi pada septum nasi.
2.
24
alveolar,
intrabronkhiolar,
subpleural,
dan
sel-sel
b. Perubahan kronis.
Terdapat perubahan berupa pneumonia granulosis vascular. Akibat tanda adanya
reaksi talk (magnesium silikat, filter untuk natkotika). Talk ini juga dapat masuk
bersama narkotik saat disuntikkan. Kristal-kristal ini dapat dilihat dengan
mikroskop polarisasi, berwarna putih, bening atau kekuningan, dan terdapat
garis refraksi. Granuloma-granuloma ini bisa dilihat dalam vascular,
perivascular, atau di dalam alveolus.
Hati
Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu.
Terdapat pengumpulan limfosit, sel-sel PMN, dan beberapa sel-sel
narkotika. Juga nampak fibrosis jaringan, dan adanya sel-sel ductus biliaris
yang mengalami proliferasi.
Ada 4 kelainan :
o Hepatitis agresif kronika : tandanya ada pembentukan septa.
o Hepatitis persisten kronika : adanya infiltrasi sel radang didaerah
portal
o Hepatitis reaktif kronika.
o Perlemakan hati.
Getah bening
Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput pankreas dan
duktus
kholedocus.
Makin
berat
kelainannya.
Makroskopis : tampak pembesaran
25
menyandunya,
makin
banyak
DAFTAR PUSTAKA
1. Hedi R. Dewoto. Analgesik opoiod dan antagonis. In: Sulistya GG, Rianto SN,
Elysabeth, ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009: 211-2.
2. Erica Wittwer, Steven E. Kern.Role of Morphines Metabolites in Analgesia:
Concepts and Controversies. The AAPS Journal.2006 [cited 2013 July 2nd]; 8
(2): Article 39. Available online: http://www.aapsj.org.
3. Simona DG, Manuela DG, Guglielmina NR, Massimo A, Cristina M, Mario R.
Morphine metabolism, transport and brain disposition. Metab Brain Dis.
2012[cited 2013 July 2nd]; 27:15.
4. Dwiprahasto,
I.,
1993,
AspekFarmakologikAlkoholdanNarkotokdalam
26
SantosodanHadirosmiati
D, farmakologidanterapi,
Abdul
gopur, farmakoterapidalamneuorologi,
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK UI ; 2008
.p. 210-217
19. DepartemenFarmakologidanTerapeutikFakultasKedokteranUniversitas
Indonesia. FarmakologidanTerapi. 5th ed. Jakarta : BalaiPenerbit FK UI ; 2008
.p. 210-217
27