You are on page 1of 22

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK ORANG TUA

DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS.. TAHUN 2014
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
Di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Oleh:
Jefri Karsoni, S.Ked
04101001037
Pembimbing 1:
Dr.
Pembimbing 2:
Dr.

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut
berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan
menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.1 Gejala awal
yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan
napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi
kesukaran bernapas dan tidak dapat minum. Usia Balita adalah kelompok
yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya
bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada
balita di Negara berkembang.
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan
angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO, 13 juta anak
balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian
tersebut terdapat di Negara berkembang, di mana pneumonia merupakan
salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh 4 juta anak balita
setiap tahun.2
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu
menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan
balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit
terbanyak di rumah sakit. Di Indonesia terjadi lima kasus diantara 1000
bayi atau Balita, ISPA mengakibatkan 150.000 bayi atau Balita meninggal
tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus perhari, atau 17
anak perjam atau seorang bayi tiap lima menit (Siswono, 2007). Sebagai

kelompok penyakit, ISPA juga merupakan penyebab utama kunjungan


pasien ke sarana kesehatan yakni sebanyak 40%-60% kunjungan
berobat di puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di rumah sakit
(Depkes RI, 2002).
Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang bulan tahun 2013
menyebutkan angka kejadian ISPA bulan Januari-April tahun 2013
sebanyak 69.483 kasus, pada tahun 2012 sebanyak 242.035 kasus, pada
tahun 2009 sebanyak 277.320 kasus. Sedangkan menurut data yang ada di
Puskesmas Sekip Palembang, penderita ISPA yang berobat ke Puskesmas
Sekip Palembang tahun 2007 sebanyak 11.959 kasus, tahun 2008 sebanyak
16.690 kasus, tahun 2009 sebanyak 17.201 kasus.4
Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA, yaitu
faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor
lingkungan meliputi: pencemaran
dan asap

udara

dalam rumah (asap

rokok

hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan

konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah dan kepadatan hunian.


Faktor individu anak meliputi: umur anak, berat badan lahir, status
gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku
pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi atau
keluarga atau masyarakat

peran

aktif

dalam menangani penyakit ISPA (Prabu,

2009).
Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat berdampak negative
bagi anggota keluarga khususnya

balita. Indonesia merupakan Negara

dengan jumlah perokok aktif sekitar 27,6% dengan jumlah 65

juta

perokok atau 225 miliar batang per tahun (WHO, 2008). Nikotin dan
ribuan zat beracun lainnya yang berasal dari asap rokok masuk ke
saluran
saluran

pernapasan
pernapasan

bayi

yang

dapat

menyebabkan

Infeksi pada

(Hidayat, 2005). Nikotin yang terhirup melalui

saluran pernapasan dapat juga masuk ke tubuh melalui ASI ibunya lalu
berakumulasi di tubuh bayi dan membahayakan kesehatan bayi tersebut.

Sebuah

penelitian

di

wilayah

kerja

Puskesmas

Rembang

Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 menunjukkan balita yang menderita


ISPA sebagian besar dari keluarga yang orang tuanya merokok
sejumlah 80.4%. Pada yang tidak menderita ISPA ada 23.5% yang
orang tuanya merokok berat. Penelitian lain yang dilakukan di Puskesmas
Sosial Palembang menyatakan adanya hubungan bermakna antara
kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita (OR: 13,33).
Telah lama diketahui adanya sinergitas antara paparan asap rokok
terhadap kejadian ISPA terhadap balita, walaupun masih ringan namun
mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hal
inilah yang mendasari penulis untuk meneliti hubungan prilaku merokok
dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas..
Palembang.

1.2

Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan prilaku merokok orang tua dengan kejadian
ISPA pada balita di Puskesmas Palembang?

1.3

Tujuan Penelitian
1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui hubungan prilaku merokok orang tua dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Palembang.

1.3.2

Tujuan Khusus
1. Untuk mendeskripsikan prilaku merokok orang tua balita di
wilayah kerja Puskesmas.. tahun .
2. Untuk mengetahui hubungan antara prilaku merokok orang tua
terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas. Tahun

1.4

Manfaat Penelitian
1.4.1

Manfaat Teoritis
1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Puskesmas
Palembang mengenai hubungan antara prilaku merokok orang
tua dengan kejadian ISPA pada balita yang merupakan
penyakit tersering diderita oleh balita yang berobat ke
pelayanan kesehatan anak Puskesmas.Palembang tahun.
2. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya dan bahan
referensi bagi perpustakaan FK UNSRI Palembang.

1.4.2

Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan tentang pentingnya mengetahui hubungan antara prilaku
merokok orang tua

dengan kejadian ISPA di Puskesmas

Palembang sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan


pertimbangan dalam upaya promotif dan preventif di bidang
kesehatan khususnya dalam menurunkan angka kejadian ISPA
pada balita.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan
desain penelitian case control.

3.2

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Januaridi Puskesmas
Palembang.

3.3

Populasi dan Sampel


3.3.1

Populasi
Semua orang tua yang mempunyai balita dan berada di
wilayah kerja puskesmas pada tahun

3.3.2

Sampel
Semua balita yang berobat ke Balai Pengobatan Anak
Puskesmas Palembang selama bulan 2014 yang memenuhi
kriteria inklusi. Sampel diambil dengan metode simple Random
sampling. Dengan kelompok kasus adalah semua orang tua dengan
balita yang menderita ISPA dan berobat ke Puskesmas.. bulan
Tahun yang memenuhi kriteria inklusi, sedangkan kelompok
kontrol adalah orang tua dengan balita yang tidak menderita ISPA.
1. Kriteria Inklusi
Semua balita yang berusia 12 bulan 60 bulan (5 tahun) yang
berobat ke Balai Pengobatan Anak Puskesmas.. Palembang
bulan 2014 dengan pertimbangan anak balita usia 12 bulan
telah

mendapatkan

imunisasi

dasar

lengkap,

menggunakan tungku atau kayu bakar untuk memasak.


2. Kriteria Eksklusi

tidak

Balita yang berusia kurang dari 12 bulan yang berobat ke Balai


Pengobatan Anak Puskesmas Palembang bulan 2014.

3.4

Variabel Penelitian
3.4.1

Variabel Bebas (Independent)


Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu derajat prilaku
merokok orang tua dan pengukurannya dengan menggunakan
index brinkman yaitu jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dalam
jumlah batang dikali lamanya merokok. 1-199 : perokok berat,
200-599: perokok sedang, 600 perokok berat.

3.4.2

Variabel Terikat (Dependent)


Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kejadian ISPA dan
pengukuran dengan data catatan registrasi MTBS (Manajemen
Terpadu Balita Sakit) di Balai Pengobatan Anak Puskesmas
Palembang.

3.5

Definisi Operasional
3.5.1

Balita
Anak laki-laki dan perempuan yang berusia 12 bulan 60
bulan (5 tahun) yang berobat ke Balai Pengobatan Puskesmas
Sekip Palembang pada bulan 2014.

3.5.2

Prilaku merokok orang tua.


Kebiasaan orang tua (ayah ataupun ibu) yang mengkonsumsi rokok
baik itu rokok, filter, kretek, elektrik ataupun lainnya dimana
derajat prilaku merokok tersebut diukur dengan menggunakan
index brinkman yaitu jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dalam
jumlah batang dikali lamanya merokok. 1-199 : perokok berat,
200-599: perokok sedang, 600 perokok berat.

3.5.3

Kejadian ISPA
Frekuensi terjadinya penyakit infeksi saluran pernafasan
akut yang terjadi pada bulan 2014, yang ditandai dengan salah satu

atau lebih gejala batuk, pilek, disertai dengan demam diperoleh


dari pemeriksaan petugas kesehatan.

3.6

Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dipakai adalah data primer dan sekunder
catatan registrasi PuskesmasPalembang bulan ..2014 dengan instrument
penelitian menggunakan kuesioner

3.7

Analisa Data
Data dikumpulkan dan dianalisis serta disajikan dalam tabel
distribusi dan grafik kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan
SPSS dan diinterpretasi:
a.

Analisis Univariat
Untuk mendeskripsikan kondisi variabel penelitian.

b.

Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat, digunakan metode Chi-square. Dan
penghitungan OR

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Umum tentang ISPA


Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan
Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya
Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga
menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari
hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung
sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam
ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan
proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho pneumonia.8
Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit
ISPA dapat diketahui menurut:
2.1.1

Lokasi Anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi
anatominya, yaitu: ISPA atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas
adalah batuk pilek (common cold), Pharingitis, Tonsilitis, Otitis,
Ffluselesmas, radang tenggorok, Sinusitis dan lain-lain yang relatif
tidak berbahaya. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan
pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
kematian.9

2.1.2

Klasifikasi penyakit
Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :
1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas: pneumonia
berat dan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan
adanya

napas

cepat

(Fast

breathing),

yaitu

frekuensi

pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya


tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe
chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak
ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
nafas cepat.10
2. Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi
atas: pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia.
Pneumonia berat, bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik
napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur,
yaitu 40 kali permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak
ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat.10

2.1.3

Tanda dan Gejala


Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA
(P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita
ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi napas
(napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi
penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2
bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.11

10

Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk


dan atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak
usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan
adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60
kali permenit atau lebih, dan atau adanya

tarikan yang kuat

dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).11


Bukan pneumonia

apabila ditandai dengan napas cepat

tetapi tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan


pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek
biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan frekuwensi
napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam.11
Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak
dengan batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya:
1. Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan
yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor
(ngorok), wheezing (bunyi napas), demam.
2. Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang
5 tahun yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor.

2.1.4

Penyebab Terjadinya ISPA


Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab
seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA
bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA
bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan
mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri

11

umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga


menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.10
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus
streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella
dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah
golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.10

2.1.5

Faktor Risiko ISPA


Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk
Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai
faktor baik untuk meningkatkan insiden (Morbiditas) maupun
kematian (Mortalitas) akibat pneumonia.12
Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat
pneumonia adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi
rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan
ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah,
imunisasi yang tidak memadai, menderita penyakit kronis dan
aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan
yang salah.12

2.1.6

Penatalaksanaan Penderita ISPA


Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita
ISPA pada balita adalah balita dengan gejala batuk dan atau
kesukaran bernapas. Pola tata laksana penderita pneumonia terdiri
dari 4 bagian yaitu:

12

1. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala
yang ada pada penderita.
2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan
adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor,
Wheezing, demam atau dingin. Tanda bahaya pada umur 2
bulan sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum,
kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi buruk.10
3. Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang
terdiagnosa pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana
rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2
bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia
dapat dilakukan perawatan di rumah, pemberian antibiotik
selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih cepat bila
penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang ada.10
Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2
bulan sampai kurang dari 5 tahun, meliputi :
a. Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan
menambah jumlahnya setelah sembuh.
b. Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan
meningkatkan pemberian ASI.
c. Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman
dan sederhana.10
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun
yang terdiagnosa pneumonia berat harus segera dikirim ke
sarana rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai
penurun demam dan wheezing yang ada.10

13

Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus


kembali dilakukan dalam 2 hari. Jika keadaan penderita
membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan
penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita
dikirim ke sarana rujukan. Jika keadaan penderita memburuk,
harus segera dikirim ke sarana rujukan.10
Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia
adalah tablet kotrimoksasol 480 mg, tablet kotrimoksasol 120
mg, tablet parasetamol 500 mg dan tablet parasetamol 100
mg.10

2.2

Tinjauan Umum Tentang Balita


Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, mengingat
angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi.
Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena
penyebab utamanya berhubungan dengan faktor lingkungan antara lain;
asap dapur, penyakit infeksi dan pelayanan kesehatan.
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam
proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita
antara

pemeriksaan

perkembangan

dan

pertumbuhan

fisiknya,

pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi,


imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua.

2.3

Tinjauan Umum Tentang Faktor Resiko ISPA


2.3.1

Asap Dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat
selain disebabkan oleh infeksi kuman

juga disebabkan adanya

pencemaran udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena


asap dapur. Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari

14

aktivitas penghuninya antara lain: pengguna bahan bakar biomassa


untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap rokok,
pengguna insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan
bahan bangunan sintesis seperti cat dan asbes.13
Bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan
bakar biomassa yang menimbulkan asap (asap dapur) yang
berbahaya bagi kesehatan adalah:14
1. Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa
mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal (Pb), besi (Fe),
mangan (Mn),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap
dapat menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk
langsung ke paru-paru hal ini tergantung pada kandungan kimia
dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan
menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus.
Beberapa logam seperti Pb dan Cd, bersifat akumulatif,
paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama
akan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut
dalam alat pernapasan. Hal ini akan menimbulkan pengaruh
yang bersifat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas
sampai dengan timbulnya kanker paru.
2. Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan
karena diketahui bersifat karsinogenik adalah benzo-a-pyrene.
3. Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada
mata, hidung dan alat pernapasan bagian atas. Hal ini terjadi
karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur
dengan air mata atau lendir dalam saluran pernapasan.

15

4. Carbonmonoksida (CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya
persediaan oksigen dalam tubuh, yang disebabkan oleh
bergabungnya CO dalam darah dengan molekul hemoglobin
membentuk CO-Hb.
5. Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara
yang paling banyak mempengaruhi kesehatan paru bagian
dalam. Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah
kerentanan terhadap infeksi alat pernapasan oleh bakteri
(pneumonia) atau virus (influenza).
6. Sulfurdioksida (SO2)
Sulfurdioksida mempunyai sifat yang lebih mudah larut
dalam air membentuk asam sulfat aerosol, yang dapat masuk
ke dalam paru dan mangganggu fungsi paru.
Anak-anak/balita biasanya berada di dekat api atau
berada di pangkuan ibunya ketika sedang memasak dan saat
menyiapkan makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan
polusi dari bahan bakar biomassa dalam dapur, yang
berlangsung secara terus menerus menyebabkan iritasi pada
mukosa saluran pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya
infeksi.

2.3.2

Kebiasaan Merokok Dalam Rumah


Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah
semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak
penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup
asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan

16

dan anak-anak. Hal ini tidak bisa dianggap sepele karena beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiflah yang
mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya.15
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap
mainstream sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar
dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh
asap sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi
dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan.
Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif
atau perokok terpaksa.16
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan
memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti
gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat
penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk
mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang
orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran
pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran
pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang
pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat
elastin di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru
berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan
pecahnya kantong udara.15

2.3.3

Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif


Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok
bagi bayi serta mempunyai nilai gizi yang paling tinggi
dibandingkan dengan makanan yang dibuat manusia ataupun susu
hewan seperti susu sapi.17

17

Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI


saja, tanpa tambahan makanan atau minuman apapun termasuk air
(obat-obatan dan vitamin yang tidak dilarutkan dalam air mungkin
dapat diberikan kalau dibutuhkan secara medis). Anak sampai usia
enam

bulan

pertama

hanya

membutuhkan

ASI

Ekslusif

menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak usia ini, isapan


anak menentukan kebutuhannya, oleh karenanya diberikan
kesempatan sepenuhnya ia untuk dapat menghisap sepuasnya
(BKKBN, 2001). Sedangkan menurut Rusli (2004) ASI Ekslusif
adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa
memberikan makanan/cairan lain. Bayi yang mendapat ASI
Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA),
karena dalam air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman
penyebab ISPA.12

2.3.4

Status Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap
suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar
tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau
berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang
berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya
akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja,
sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi
lainnya.18
Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang
dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit berbahaya.
Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi harus
dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit
yang sangat membahayakan kesehatan dan hidup anak.

18

Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi


adalah untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang
sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan
kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat
dihindari dengan imunisasi yaitu seperti hepatitis B, campak, polio,
difteri, tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, TBC, dan lain
sebagainya.
Infeksi SPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang
dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri, batuk rejan dan
campak.

2.3.5

Status Gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang
penting

untuk

terjadinya

ISPA.

Banyak

penelitian

yang

menunjukkan adanya hubungan status gizi dengan kejadian ISPA,


sehingga balita yang mengalami gizi buruk rentan mengalami
infeksi saluran nafas.
Balita dengan gizi buruk akan lebih mudah terserang ISPA
dibanding balita dengan gizi baik karena faktor daya tahan tubuh
yang kuat. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh memiliki cukup
kekuatan dalam mempertahankan tubuh dari infeksi. Pada keadaan
gizi yang buruk, reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga
kemampuan dalam mempertahankan diri dari infeksi akan menurun
juga.

2.3.6

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)


Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 20022003, angka kematian neonatal sebesar 20 per 1.000 kelahiran

19

hidup. Dalam 1 tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal,


artinya setiap 5 menit ada 1 neonatus meninggal. Penyebab utama
kematian neonatal adalah bayi berat lahir rendah (BBLR) (29 %)
yang kedua adalah asfiksia (27 %).
Berat Badal Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir
dengan berat lahir < 2500 gram. BBLR terdiri atas BBLR kurang
bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang
bulan/prematur khususnya yang masa kehamilannya < 35 minggu,
biasanya mengalami penyulit seperti gangguan napas, ikterus,
infeksi dan lain-lain. Sementara BBLR yang cukup / lebih bulan
umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu
bermasalah dalam perawatannya. Mereka hanya membutuhkan
kehangatan, pemberian nutrisi dan mencegah infeksi.19
BBLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi
pernapasan waktu lahir hingga dapat terjadi asfiksia, selain itu
BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru
lahir yang bernafas cepat > 60 kali/menit, lambat < 30 kali/menit
dapat disertai sianosis pada mulut, bibir, mata dengan/tanpa
retraksi dinding dada/epigastrik serta merintih, dengan demikian
BBLR sangat beresiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi
bukan BBLR.19

2.4

Kerangka Konsep
ISPA merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh bakteri
maupun virus, lebih sering terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun
(balita). Anak balita yang menderita ISPA apabila tidak mendapat
pengobatan dapat mengalami kematian. ISPA di pengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain adalah:

20

1. Asap dapur sebagai sisa hasil pembakaran rumah tangga, bila terhirup
secara terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah
terutama kelompok balita, sehingga dapat berisiko terjadinya sakit.
2. Asi banyak mengandung protein, kalori dan vitamin yang dibutuhkan
oleh tubuh untuk membentuk sistem kekebalan tubuh sehingga
terhindar dari penyakit dan infeksi. Pemberian makanan pendamping
menyebabkan bayi kenyang sehingga tidak mau menetek.
3. Pemberian imunisasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan kekebalan tubuh
anak berkurang. Dengan pemberian imunisasi campak dan DPT diharapkan
anak balita akan terhindar dari penyakit difteri, pertusis dan campak yang
menyebabkan komplikasi pneumonia.
4. Status gizi yang buruk menjadi faktor imunitas tubuh balita karena
pada gizi buruk, kemampuan reaksi imun dalam menghadapi agen
penyebab infeksi juga akan menurun.
5. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat mencemari ruangan
sehingga asap rokok dapat terisap oleh anak balita.
6. Bayi dengan BBLR mudah menderita penyakit infeksi terutama
pneumonia dan saluran pernafasan lainnya karena perkembangan zat
kekebalan tubuh kurang sempurna.
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka
konsep variabel yang diteliti sebagai berikut:

21

Faktor Individu Balita:

Status gizi
Status imunisasi
BBLR
Faktor Lingkungan:

Faktor Perilaku:

Pencemaran udara
dalam rumah (asap
dapur dan asap rokok)
Ventilasi rumah
Kepadatan hunian rumah

Pemberian ASI
Pendidikan orang tua
Status social ekonomi
Penggunaan fasilitas
kesehatan

Kejadian ISPA pada balita

Gambar 1.1: Kerangka Konsep

2.5

Hipotesis Penelitian.
1. H0: Tidak ada hubungan antara prilaku merokok orang tua dengan
kejadian ISPA di Puskesmas..Palembang.
2. H1 : Terdapat hubungan antara prilaku merokok orang tua dengan
kejadian ISPA di Puskesmas Palembang.

22

You might also like