You are on page 1of 20

Etika dan Profesionalitas Dokter dalam Berkomunikasi dengan

Pasien
Alitha Rachma Oktavia
102010278
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi:
Mahasiswi, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana.
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, No TLP: (021) 56942061, Fax: (021)5631731,
Email : alitharachma@hotmail.com

Pendahuluan
Seperti masalah-masalah yang dihadapi saat ini adalah dimana ada seorang dokter yang
tidak berpegang pada etika dan hukum profesinya. Dalam bekerja, seharusnya dokter dan tenaga
medis mengutamakan kaidah dasar bioetik. Tetapi dr. P sudah dapat dikatakan seorang dokter
yang belum menjalankan profesinya dengan benar sebagaimana menurut kaidah dasar bioetik
karena dr. P mendelegasikan tugas kepada dokter lain tanpa mengomunikasikannya kepada
pasien bersangkutan, sehingga masalah ini akan dibahas menurut pertimbangan beneficence,
autonomy, non-beneficence, dan justice sesuai dengan masalah yang dialami sang pasien.

Hubungan dokter pasien


Dahulu hubungan dokter pasien bersifat partenalistik. Di mana pada model ini dokter
bagaikan orang tua dan pasien sebagai anak sehingga apa yang dikatakan dokter adalah mutlak
dan tidak ada kebebasan bagi pasien dalam memilih terapai dan tindakan medis. Sifat hubungan
ini dianggap kurang tepat sehingga munculah model hubungan social contract dimana pada
model hubungan ini dikatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang
1

meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan tetapi saling menghargai.
Model hubungan sosial kontrak ini mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi
sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang bagi pasien untuk
menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Model hubungan ini dianggap terlalu
menyerdahanakan nilai hubungan dokter dan pasien .sehingga dicetuskan suatu model hubungan
dokter pasien yang berdasarkan virtue dianggap paling cocok sebagai model hubungan dokter
pasien.1,2
Pada model hubungan virtue baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk
menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan
pasien. Dalam melakukan komunikasinya dokter diharuskan menanamkan prinsip-prinsip moral,
termasuk informed consent yang bearasal dari prinsip otonomi pasien.1
Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran. Terdapat
kewajiban sebagai rambu-rambu dalam proses hubungan tersebut. Kewajiban tersebut tertuang
dalam prinsip-prinsip moral profesi ,yaitu:

Autonomy (Menghormati hak pasien)


Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan

sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri) dan
kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan
perlindungan.1,2
Pada umumnya, autonomy dikaitkan dengan permintaan persetujuan kepada pasien
atas apa yang akan dokter lakukan. Jika pasien menolak saran pengobatan dari dokter, maka
dokter harus menghormati keputusan pasien dan tidak boleh memaksakan sarannya kepada
pasien.
Poin-poin dalam Menentukan Autonomy
Ada 13 poin dalam proses menentukan autonomy yaitu:
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien,
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif),
3. Berterus terang,
2

4. Menghargai privasi,
5. Menjaga rahasia pasien,
6. Menghargai rasionalitas pasien,
7. Melaksanakan informed consent,
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri,
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien,
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga
pasien sendiri,
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi,
12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien, dan
13. Menjaga hubungan (kontrak)

Beneficence (Berorientasi pada kebaikan pasien)


Mengutamakan kepentingan pasien adalah pengertian beneficence secara menyeluruh

dan mendasar. Sikap mencegah kerugian, menyeimbangkan antara keuntungan dan kerugian
pasien, mengusahakan agar keuntungan bagi pasien lebih banyak merupakan prinsip dari
beneficence. Menghormati pasien apa pun keadaannya merupakan ciri khas beneficence.
Dalam beneficence, seorang dokter dituntut untuk lebih mengutamakan pasien dan lebih
memperhatikan pasien sehingga pasien dapat terjaga dengan baik kesehatannya.

Dua Jenis Umum Beneficence

General beneficence :
melindungi & mempertahankan hak yang lain,
mencegah terjadi kerugian pada yang lain, dan
menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain.

Specific beneficence :
menolong orang cacat, dan
menyelamatkan orang dari bahaya.1,2

Poin-poin dalam Menentukan Beneficence


3

Ada 16 poin dalam proses menentukan beneficence yaitu:


1. Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang
lain),
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia,
3. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter,
4. Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya,
5. Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang,
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia,
7. Pembatasan goal based,
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien,
9. Minimalisasi akibat buruk,
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat,
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan,
12. Tidak menarik honorarium di luar kepantasan,
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan,
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus,
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah, dan
16. Menerapkan Golden Rule Principle.

Non maleficence (Tidak memperburuk keadaan pasien)


Seorang dokter tidak boleh berbuat jahat atau membuat pasien menderita sehingga

pasien tidak dirugikan. Dalam non maleficence, dokter harus bisa mencari cara bagaimana
agar pasien tidak bertambah buruk dan berusaha agar mengurangi akibat buruk yang dapat
terjadi. Umumnya, non maleficence dapat ditemukan pada kasus gawat darurat.

Poin-poin dalam Menentukan Non Maleficence


Ada 13 poin dalam proses menentukan non maleficence yaitu:
1. Menolong pasien emergensi,
2. Kondisi untuk menggambarkan kriteria ini adalah :
a. Pasien dalam keadaan amat berbahaya (darurat) atau beresiko hilangnya sesuatu yang
amat berbahaya (gawat),
4

b. Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut,


c. Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif,
d. Manfaat bagi pasien lebih banyak daripada kerugian dokter (hanya mengalami risiko
minimal),
3. Mengobati pasien yang luka,
4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia),
5. Tidak menghina / mencaci maki / memanfaatkan pasien,
6. Tidak memandang pasien hanya sebagai obyek,
7. Mengobati secara tidak proposional,
8. Tidak mencegah pasein dari bahaya,
9. Menghindari misrepresentasi dari pasien,
10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian,
11. Tidak memberikan semangat hidup,
12. Tidak melindungi pasien dari serangan, dan
13. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/kerumah-sakitan yang
merugikan pihak pasien/keluarganya.

Justice (Meniadakan diskriminasi)


Memberikan perlakuan yang sama kepada semua pribadi dalam posisi dan dalam

keadaan uang yang sama. Tidak membeda-bedakan apa pun alasannya agar tidak terjadi
perasaan tidak adil ketika satu pribadi melihat pribadi lainnya yang diberi perlakuan berbeda
dengan dirinya. Tidak memandang SARA atau pun status sosial dalam melayani pasien.

Jenis-jenis Keadilan
Berikut ini merupakan beberapa jenis-jenis keadilan:
a) Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
b) Distributif (membagi sumber) : membagikan sesuatu kepada semua orang yang
membutuhkan tanpa memandang dan membeda-bedakan.
c) Sosial : kebajikan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
d) Hukum (umum) :

Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang


berhak.

Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama)


mencapai kesejahteraan umum.2

Poin-poin dalam Menentukan Justice


Ada 16 poin dalam proses menentukan justice yaitu:
1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal,
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan,
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama,
4. Menghargai hak sehat pasien (addordability, equality, accesibility, availibility, quality),
5. Menghargai hak hukum pasien,
6. Menghargai hak orang lain,
7. Menjaga kelompok rentan yang paling dirugikan,
8. Tidak membedakan pelayanan atas dasar SARA, status sosial, dll,
9. Tidak melakukan penyalahgunaan,
10. Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien,
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya,
12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil,
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten,
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat,
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan, dan
Bijak dalam makroalokasi.1,2

Etika Profesi Kedokteran


Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya,
Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional.

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsipprinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat
keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman
bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman
dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter,
seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan
tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang
memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian
profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan
lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu,
di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di
dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di
tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit
(Makersi).

Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat
dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat
seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan
pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran.2

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)


Kode etik dapat diibaratkan sebagai suatu kompas yang menunjukan arah moral bagi
suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral suatu profesi di mata masyarakat. Adapun
kode etik kedokteran Indonesia terdiri dari empat kewajiban yaitu kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah atau janji
dokter.
Pasal 2
Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan professional secara
independen dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran tertinggi.
8

Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat dokter

yang mungkin melemahkan daya tahan psikis

maupun fisik wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya untuk kepentingan
dan kebaikan pasien tersebut.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
Pasal 8
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 9
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani
pasien
9

Pasal 10
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 11
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikankeseluruhan aspek
pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.
Pasal 13
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat lintas sektoral di bidang kesehatan
dan bidang lainnya dan masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
Pasal 14
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya ,ia wajib menujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu
Pasal 15
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah pribadi
lainnya.

10

Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 18
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 19
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan keduanyaatau berdasarkan prosedur yang etis.
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
Pasal 20
Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 21
Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.1,2

Aspek Displin
Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan dalam
pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter. Dalam disiplin kedokteran terdapat
beberapa pelanggaran seperti:

11

Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran
Penjelasan:
a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to information), dan
oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien
atau penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien.
b.

Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan meliputi: diagnosis

medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan medik lain, risiko
tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan.
c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan
dijalaninya.
d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya kematian
pasien, kecuali atas kehendak pasien

Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat atau wali atau pengampunya. Penjelasan:
a. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya (well
informed) sehingga pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self
determination) untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan
dilakukan dokter kepadanya.
b. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan persetujuan
(otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan
persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka
persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara
kandung) atau wali atau pengampunya (proxy).
c. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan,
termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko
tinggi mensyaratkan persetujuan tertulis.

12

d. Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak memiliki pendamping,
maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau mencegah kecacatan pasien yang berada dalam
keadaan darurat, tindakan medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.
e. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan harus dari
pihak suami/istrif.

Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi. Penjelasan:
a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam medik secara
benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan rekam medik
merupakan tanggung jawab sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan

Menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan etika profesi. Dengan penjelasannya
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang
mengharuskan tindakan tersebut.
b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang mengorbankan nyawa
janinnya dilakukan oleh setidaknya dua dokter.3

Aspek Hukum
Berdasarkan PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 21, setiap tenaga
kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga
kesehatan. Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (tenaga kesehatan yang berhubungan langsung
dengan pasien misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk :

menghormati hak pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan data

kesehatan pribadi pasien, memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan
yang akan dilakukan, meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan, membuat dan
memelihara rekam medis. Dalam pasal 33, dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil
tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan
13

standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan berupa teguran atau pencabutan ijin untuk
melakukan upaya kesehatan.
Menurut pasal 24 UU yang sama, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga
kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
(Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman dalam melaksanakan tugas profesinya,
perlindungan terhadap keadaan membahayakan yang dapat mengancam keselamatan atau jiwa
baik karena alam maupun perbuatan manusia).
Dasar hukum.
Pasal 322 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan
atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu
rupiah
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu
Pasal 170 KUHP
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.pasal 48
KUHPBarang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi tenaga kesehatan.
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 22

14

(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu (Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan tertentu
dalam ayat ini adalah tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien
misalnya, dokter, dokter gigi, perawat. ) dalam melaksanakan tugas profesinya
berkewajiban untuk :
a. a. menghormati hak pasien;
b. b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
c. c. memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan;
d. d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e. e. membuat dan memelihara rekam medis. ,
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
olehMenteri.
Pasal 24
(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai
dengan standar profesi tenaga kesehatan (Perlindungan hukum di sini misalnya rasa aman
dalam melaksanakan tugas profesinya, perlindungan terhadap keadaan membahayakan
yang dapat mengancam keselamatan atau jiwa baik karena alam maupun perbuatan
manusia)
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.4

Malpraktek
Malpraktek medic adalah kelalaian seorang dokter untuk menggunakan tingkat
ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim digunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran lingkungan yang sama, yang dimaksud dengan kelalaian disini
adalah sikap kurang hati-hati yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-

15

hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut, kelalaian diartikan pula dengan melakukan
tindakan kedokteran dibawah standar pelayanan medic.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (criminal),
kelainan mennunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang
sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko
yang bisa meyebabkan orang lain terluka atau mati. Sehingga harus bertanggung jawab terhadap
tuntutan criminal oleh Negara.
Jadi permasalahan malpraktek menjadi hal yang sangat umum karena berkait dengan
banyak hal. Malpraktek sendiri memiliki arti harafiah, kegagalan melakukan tugas. Kegagalan
tersebut dapat disebabkan berbagai macam factor :

1.

Adanya unsur kelalaian.


Kelalaian sendiri bukan merupakan pelanggaran hukum jika kelalaian tersebut tidak
menimbulkan kerugian kepada orang lain. Oleh karena itu kelalaian dimaksudkan didalam
malpraktek ini adalah kelalaian berat (culpa lata) yang menimbulkan kerugian materi bahkan
nyawa seseorang.
Tolak ukur culpa lata adalah :

Bertentangan dengan hukum.

Akibatnya dapat dibayangkan.

Akibatnya dapat dihindari.

Perbuatannya dapat dipermasalahkan.


Jadi malpraktek erat hubungannya dengan kelalaian ini.

2.

Adanya unsur kesalahan bertindak.


Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam melakukan
observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan bersama. Ketidaktelitian
ini merupakan tindakan yang masuk didalam kategori tindakan melawan hukum. Ketidaktelitian
ini menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh pasien sehingga menimbulkan akibat
hukum.

3.

Adanya unsur pelanggaran kaidah profesi ataupun hukum.


16

Pelanggaran kaidah profesi ini terjadi pada saat seorang dokter atau petugas kesehatan
melakukan tindakan diluar batas wewenangnya. Misalnya perawat tidak boleh memberikan
diagnosis dan obat karena hal tersebut merupakan tugas dan wewenang dokter. Sebaliknya
dokter tidak boleh memberikan obat secara langsung kepada pasien kecuali dalam kondisi
darurat ataupun jika tempat praktiknya ada didaerah terpencil dimana tidak terdapat apotek.

4.

Adanya kesengajaan untuk melakukan tindakan yang merugikan.


Tidakan kesengajaan terjadi ketika seorang dokter atau petugas kesehatan lainnya
melakukan hal-hal diluar apa yang seharusnya dilakukan hanya karena alasan untuk
mendapatkan keuntungan semata. Misalnya dokter memiliki kerja sama dengan pabrik farmasi
tertentu yang berjanji akan memberika komisi untuk setiap obat yang diresepkan dokter tersebut.
Atas dasar perjanjian itulah maka dokter memberikan obat-obatan yang tidak perlu kepada
pasiennya hanya untuk mengejar komisi.

Macam-macam Kelalaian

Di dalam kepustakaan hukum kedokteran terdapat banyak sekali berbagai macam kelalaian
dalam melakukan tindakan profesi medis dalam arti luas. Beberapa contoh yang sering terjadi
adalah:

Kelalaian tidak merujuk

Lalai tidak konsultasi dengan Dokter terdahulu

Lalai tidak merujuk pasien ke Rumah Sakit dengan peralatan/tenaga yang terlatih

Tidak mendeteksi adanya infeksi

Lalai tidak memberi surat rujukan

Instruksi per telepon

Tidak bisa dihubungi per telepon

Lalai karena kurang pengalaman

Kelalaian jelas sehingga beralihnya beban pembuktian

Jenis-Jenis Malpraktek

17

Berpijak pada hakekat malpraktek adalah praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat
dipilah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala
sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis
besar malpraktek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical
malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek
yuridiksi (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yuridiksi dibagi menjadi tiga yaitu
malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in
whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by
defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang
menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari
perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/tergugat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or
lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage
or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu
profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter
bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik).
Dan Junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter
untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.
2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran,
sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat
standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
18

3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)


Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi
kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
Malpraktik Yuridik meliputi:
a. Malpraktik perdata (civil malpractice)
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu
tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat
dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan
positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan
perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa
kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar
f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalam kapasitasnya sebagai
seorang ahli.
Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
- Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
19

- Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal

c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)


Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan
ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d. Tidak membuat rekam medik.5

Kesimpulan
Dalam penyelenggaraan kesehatan seharusnya ada komunikasi yang baik antara dokter
dan pasien sehingga pemeriksaan, penatalaksanaan dan hasil yang diharapkan bisa tercapai
dengan baik. Dalam hal ini pula seorang dokter harus beretika yang baik, mengikuti disiplin dan
hukum yang telah berlaku.

Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka
Dwipar. 2007.p.8-10,70,79-83.
2. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kedokteran. Jakarta:EGC.
2007.p.279.
3. Purwadianto A, Soetedjo, Gunawan S, Budiningsih Y, et all. Kode etik kedokteran
Indonesia. Jakarta:IDI. 2012.p.3-6.
4. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Edisi Pertama. Jakarta:Bagian Kedokteran
ForensikFKUI. 1994. Hal 1-25

5. Soetrisno S. Malpraktek medik dan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa.


Jakarta: PT Telaga Ilmu Indonesia; 2010. p.7.

20

You might also like