You are on page 1of 27

BAB IV

PERMASALAHAN HUKUM BERKAITAN DENGAN PEMBIAYAAN


KONSUMEN DENGAN JAMINAN FIDUSIA

4.1.

Transaksi Pembiayaan Konsumen Dengan Jaminan Fidusia.


Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa
ada empat hal penting yang merupakan dasar dari lembaga pembiayaan
konsumen, yaitu :
a. Pembiayaan konsutnen merupakan salah satu alternatif pembiayaan
yang dapat diberikan kepada konsumen.
b. Obyek pembiayaan adalah barang kebutuhan konsumen, seperti
komputer, barang elektonik, kendaraan bermotor dan tain-lain.
c. Sistem pembayaran angsuran dilakukan secara berkala, biasanya
dilakukan bulanan dan ditagih langsung kepada konsumen.
d. Jangka waktu

pengembalian

bersifat

fleksibel,

tidak

terikat

dengan ketentuan tertentu.


Dalam prakteknya lembaga pembiayaan konsumen ini sangat
diminati oleh para konsumen didasarkan pada alasan-alasan bahwa proses
/ prosedur permohonan untuk mendapatkan pembiayaan sangat mudah
serta tidak diperlukan adanya jaminan barang-barang lain selain barang
yang

bersangkutan

dijadikan

obyek

jaminanyang

pengikatannya

dilakukan secara Fidusia.


Sama

seperti

pemberian

kredit

oleh

bank,

pada

lembaga

pembiayaan konsumen juga memerlukan jaminan dalam arti keyakinan

113

bagi perusahaan pembiayaan bahwa konsumen akan dapat memenuhi


kewajibannya

sesuai

dengan

perjanjian

pembiayaan

yang

telah

ditandatangani. Seperti diketahui pemberian pembiayaan oleh perusahaan


pembiayaan kepada konsumen dituangkan dalam suatu perjanjian yang
namanya perjanjian pembiayaan.
Jaminan-jaminan yang diberikan dalam transaksi pembiayaan
konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian
kredit bank. Untuk itu, jaminan dalam pembiayaan konsumen dibagi
kedalam jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan tambahan.
1. Jaminan utama
Sebagai

suatu

kredit,

maka

jaminan

pokoknya

adalah

kepercayaan dari kreditur (perusahaan pembiayaan) kepada debitur


(konsumen), bahwa pihak konsumen dapat dipercaya dan sasnggup
memenuhi kewajibannya. Jadi disini prinsip pemberian kredit yang
dikenal dengan prinsip 5C (character, capital, capacity, condition of
economic

dan

collateral)

juga

berlaku

dan

diterapkan

pada

pembiayaan konsumen. Untuk mengetahui dan menentukan bahwa


seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia
perbankan menggunakan instrument analisa 5C (the five of credit)
ini. 128

2. Jaminan Pokok
128
Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta,
Bandung, hal.92.

115
Sebaga jaminan pokok terhadap transaksi

pembiayaan

konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana atua pembiayaan


dari perusahaan pembiayaan tersebut. Jika dana tersebut diberikan
misalnya untuk membeli mobil, maka mobil yang bersangkutan
menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam
bentuk Fiduciary Transfer of Ownership (Fidusia). 129
Mengingat dalam pembiayaan konsumen umumnya adalah
barang kebutuhan konsumen, seperti; komputer, alat elektronik, alat
berat, kendaraan bermotor, dan lain-lainnya, yang notabena masuk
katagori barang bergerak, maka pembebanannya atau pengikatannya
memakai lembaga jaminan fidusia.
3. Jaminan Tambahan.
Sering juga dalam praktek pembiayaan konsumen dimintakan
jaminan tambahan, walaupun tidak seketat jaminan untuk pemberian
kredit oleh bank. Dalam pengamatan Munir Fuady, biasanya jaminan
tambahan terhadap transaksi ini adalah berupa;
Surat
pengakuan
utang
(promissory
notes),
atau
acknowledgment of indebtedues, kuasa menjual barang, dan
assignment of proceed (cossie) dari asuransi. Disamping itu
sering juga dimintakan persetujuan istri/suami untuk
konsumen pribadi, dan persetujuan komisaris / RUPS untuk
konsumen perusahaan sesuai ketentuan Anggaran Dasarnya. 130
Pembebanan
pembiayaan

atau

konsumen

pengikatan
dilakukan

barang
dengan

yang

menjadi

membuatkan

obyek

perjanjian

tambahan yaitu perjanjian pemberian jaminan fidusia yang mengikuti


129
130

Munir Fuady I, Op.Cit, hal. 168.


Munir Fuady I, Loc.Cit.

perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pembiayaan konsumen.


Pada

dasarnya

dalam

pelaksanaan

perjanjian

pembiayaan

konsumen di Indonesia, tidak hanya dibuat satu macam perjanjian yang


dibuat oleh para pihak, tetapi juga dibuat berbagai jenis perjanjian
lainnya. Perjanjian pokoknya adalah perjanjian pembiayaan konsumen,
dan dari perjanjian pembiayaan ini, maka lahirlah perjanjian tambahan
atau perjanjian accessoir lainnya, seperti perjanjian jaminan fidusia. 131
Bila dicermati dalam praktek, masing-masing lembaga pembiayaan
mempunyai jenis perjanjian tambahan yang berlaku antara satu dengan
yang lainnya. Namun yang pasti, pada setiap perjanjian tambahan
umumnya ada dibuat perjanjian pemberian jaminan Fidusianya, seperti
praktek yang dilakukan pada PT. Federal International Finance (PT. FIF)
Astra sebagai berikut :
Judul perjanjian pokok pada lembaga pembiayaan PT. Federal
International Finance (PT. FIF) Astra adalah perjanjian
pembiayaan konsumen. Sementara itu, perjanjian tambahan
meliputi :
a. Perjanjian pemberian jaminan fidusia
b. Perjanjian oleh debitur
c. Perjanjian pemberian kuasa.
Perjanjian pemberian fidusia merupakan perjanjian yang dibuat
antara pemberi fidusia denga penerima fidusia, dimana pemberi
fidusia menyerahkan benda jaminan berdasarkan kepercayaan
kepada penerima fidusia, untuk jaminan suatu utang. Pemberi
fidusia adalah penerima fasiltias kredit dari PT. FIF, sedangkan
penerima fidusia adalah perusahaan pembiayaan PT. FIF. Biasanya
yang diserahkan oleh pemberi fidusia berupa BPKB kendaraan
bermotor (barang) yang menjadi obyek perjanjian pembiayaan
konsumen. BPKB inilah yang ditahan oleh penerima Fidusia
sampai dengan pemberi fidusia dapat melunsi utang-utangnya. 132
131
H. Salim HS, 2008, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUP Perdata,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 135.
132
Ibid, hal. 136.

117
Perjanjian pemberian jaminan fidusia dibuat dengan akta notaries
dalam bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fidusia (pasal 5
ayat 1 UU Jaminan Fidusia. Sejalan dengan ketentuan mengenai hipotik
dan hak tanggungan, maka akta jaminan fidusia wajib dibuat dengan akta
otentik (akta notaris). Sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat
akta itu adalah notaris yang ditunjuk undang-undang.
Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk ditempati dimana akta dibuatnya (pasal 1868 KUH
Perdata). Sementara R. Supomo memberikan pengertian akta otentik
sebagai berikut :
Akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dimuka seorang
pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat
itu, dengan maksud untuk menjadikan surat tersebut sebagai alat
bukti. 133 Sedangkan akta dibawah tangan adalah surat yang
ditandatangani dan dimuat dengan maksud untuk dijadikan bukti
dari perbuatan hukum. 134
Ketentuan pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta
notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya diantara para pihak
beserta para ahli wrisnya, atau para pengganti haknya. Hal inilah yang
menyebabkan UU Jaminan fidusia menetapkan perjanjian fidusia harus
dibuat dengan akta notaris. 135
Alasan lain kenapa akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta
133
R. Supomo, 1980, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 76-77.
134
Ibid.
135
Gunawan Widjaja, & Ahmadyani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 136.

otentik (akta notaris) adalah mengingat obyek jaminan fidusia tidak saja
barang-barang bergerak yang sudah terdaftar, tetapi pada umumnya
adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnya
bentuk akta otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian
hukum berkenaan dengan obyek jaminan fidusia. 136
Untuk memberikan kepastianhukum, maka pasal 11 UU jaminan
fidusia (UU No. 42 tahun 1999) mewajibkan benda yang dibebani
jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kewajiban
ini bahkan tetap berlaku meskipun benda yang dibebani jaminan fidusia
berada diluar wilayah Negara Republik Indonesia.

4.2.

Perampasan Oleh Negara Terhadap Benda Jaminan Fidusia.


Perampasan barang yang menjadi jaminan fidusia yang dimaksud
dalam hal ini adalah dalam hal pihak pemberi fidusia melakukan
perbuatan melawan hukum (kejahatan illegal loging). Permasalahan ini
muncul dari kasus yang pernah terjadi yang menimpa PT. Astra Sedaya
Finance selaku perusahaan pembiayaan yang memberikan pembiayaan
dengan jaminan fidusia.
PT. Astra Sedaya Finance adalah perusahaan yang bergerak di
sektor pembiayaan (Financing), yang melakukan kegiatan dalam bidangbidang usaha sebagai berikut :
1. Sewa Guna Usaha yang dilakukan dalam bentuk pengadaan barangbarang modal bagi penyewa dengan atau tanpa hak opsi untuk
membeli barang-barang tersebut, atau dengan membeli harta milik
136

Ibid.

119
penyewa untuk kemudian disewa gunakan kembali;
2. Anjak piutang yang dilakukan dalam bentuk:
3. Pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek dari
transaksi usaha dalam maupun luar negeri;
4. Pengelolaan penjualan dengan kredit dan pengurusan tagihan dari
suatu perusahaan klien;

5. Kartu Kredit yang dilakukan dalam bentuk pengeluaran kartu kredit


yang dapat digunakan oleh pemegang kartu kredit tersebut untuk
pembayaran barang-barang dan jasa-jasa;

6. Pembiayaan konsumen yang dilakukan dalam bentuk 1 penyediaan


dana

bagi

konsumen

untuk

pembelian

pembayaran secara angsuran oleh konsumen.

barang-barang

dengan

137

Salah satu kegiatan PT. Astra sedaya Finance adalah dibidang


pembiayaan konsumen. Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang
financing, maka didalam memberikan pembiayaan kepada konsumen
berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia yang tunduk
pada Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang disebut dengan
constitutum prossessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa
menyerahkan fisik bendanya). Sehubungan dengan jaminan fidusia ini,
fisik bendanya tetap ada di tangan pemiliknya atau debitur. Dengan
kondisi seperti itu terbuka peluang benda jaminan fidusia itu beralih atau
dialihkan dengan sengaja oleh pemberi fidusia (debitur).
137
Henry Subagiyo, Op.Cit, hal. 87 88.

Dalam kasus PT. Astra Sedaya Finance, barang jaminan fidusia


berpindah atau beralih penguasaannya dari tangan pemberi fidusia karena
dirampas oleh negara akibat perbuatan melawan hukum (kejahatan illegal
loging) yang dilakukan pemberi fidusia berdasarkan ketentuan pasal 78
ayat 15 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah
diubah menjadi UU No. 19 tahun 2005 tentang penetapan Perpu No. 1
Tahun 2005 menjadi Undang-Undang.
PT. Astra Sedaya Finance merasa telah dirugikan dan potensial
untuk mendapatkan kerugian selanjutnya dengan pemberlakukan Pasal 78
ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2005
tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2005 menjadi undang-undang yang
menyatakan bahwa, "Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan
pelanggaran

dan

atau

alat-alat

termasuk

dipergunakan untuk melakukan kejahatan

alat

angkutnya

yang

dan atau pelanggaran

sebagaimana dimaksud dalam pasal mi dirampas untuk negara." Dan


Penjelasannya yang berbunyi, "Yang termasuk alat angkut, antara lain
kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter,
dan lain-lain."
Berdasarkan ketentuan tersebut, PT Astra Sedaya Finance merasa
dirugikan dengan dirampasnya tiga unit truck Toyota New Dyna oleh
pihak Kejaksaan Negeri Sengeti Kabupaten Muoro Jambi dan Kejaksaan
Tinggi Jambi. Ketiga truk yang dirampas tersebut merupakan barang
dalam status jaminan fidusia yang diberikan oleh Juli Ardiansyah,

121
Febriansyah, dan Syamsudin pada pihak PT Astra Sedaya Finance
berdasarkan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia. 138
Dalam kasus diatas, tiga unit truk Toyota New Dyna yang
dirampas

oleh negara tersebut karena telah

dipergunakan untuk

melakukan kejahatan illegal loging. Terkait hal ini pertanyaan yang


timbul adalah bagaimana akibat hukumnya dari tindakan perampasan oleh
negara tersebut, mengingat benda yang dirampas adalah benda yang
dalam status jaminan fidusia.
Istilah perampasan oleh negara merupakan bagian dari upaya
penegakan hukum pidana. Perampasan dimungkinkan untuk dilakukan
terhadap benda atau barang terpidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan:
1. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan
atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat
dirampas.
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan
sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan
perampasan berdasaikan hal-hal yang ditentukan dalam undangundang.
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang
telah disita.
Pada dasarnya benda yang dibebani jaminan fidusia secara fisik
138
Ibid, hal. 86

masih berada di tangan pemberi fidusia. Namun untuk kepentingan dari


hak-hak kreditor selaku penerima fidusia atas pemenuhan piutangnya,
maka Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia, menyatakan, "Pemberi Fidusia
dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak
lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan
bejida persediaan, kecuali denganpersetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Penerima Fidusia." Ketentuan tersebut menunj ukkan bahwa selama
benda yang tidak merupakan benda persediaan, misalnya mesin produksi,
mobil, rumah (penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia) masih dibebani
oleh

jaminan

mengalihkannya

fidusia,
tanpa

maka

pemberi

persetujuan

fidusia

tertulis

dari

(debitor)
penerima

dilarang
fidusia

(kreditor).
Terhadappelanggaran ketentuan di atas diancam dengan hukuman
pidanapenjara dan denda sebagaimana tercantum dalam pasal 36 UU
Fidusia. Namun dalam UU Fidusia tidak mengatur bagaimana akibat
hukumnya jika suatu benda jaminan fidusia dirampas oleh negara karena
perbuatan melawan hukum. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam
perkara tersebut adalah bagaimana akibat hukumnya, jika benda yang
dijaminkan ternyata tidak lagi berada di dalam kekuasaan pemberi
jaminan (debitor). 139
Dalam praktek, tidak adanya benda dalam kekuasaan pemberi
jaminan tentu dapat bermacam sebab, misalnya diperjual-belikan,
musnah, hilang, hingga dirampas seperti pada perkara di atas. Tentu
139
Ibid., hal. 107

123
terhadap kejadian tersebut akan merugikan pihak penerima jaminan dari
pelunasan piutangnya, terlebih lagi jika akan dilakukan eksekusi terhadap
benda jaminan. Terhadap keadaan tersebut bisa jadi penerima jaminan
tidak mendapatkan pemenuhan dari pelunasan piutangnya. Dengan
demikian kepastian untuk mendapatkan jaminan kedudukan untuk
pelunasan piutang bagi kreditur tentu harus diperhatikan.
Sesungguhnya

pengikatan

benda

jaminan

kredit

akan

mengamankan kepentingan kreditur, begitu pula pengikatan benda


jaminan fidusia, akan mengamankan kepentingan pihak perusahaan
pembiayaan

sebagaimana

kreditur

atau

penerima

fidusia.

Seperti

diketahui terdapat empat lembaga jaminan yang dapat dipergunakan


untuk mengikat jaminan utang, yaitu gadai, hipotik, hak tanggungan, dan
fidusia. 140
Bila dicermati ada beberapa hal yang

menguntungkan

dan

memberikan kedudukan yang kuat terhadap perusahaan pembiayaan sebagai


penerima fidusia apabila obyek jaminan fidusia diikat secara sempurna
berdasarkan ketentuan UU Fidusia (UU No. 42 tahun 1999), diantaranya :
1. Perusahaan Pembiayaan sebagai penerima Fidusia mempunyai hak
kebendaan terhadap barang jaminan fidusia.
Hak kebendaan yang dimiliki perusahaan pembiayaan yang
dimaksud disini adalah hak kebendaan yang memberikan jaminan. Di
dalam Hukum Perdata dikenal adanya hak kebendaan yang bersifat
memberikan jaminan dan hak kebendaan yang bersifat memberi
140
M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 134.

kenikmatan. Maksud dari hak kebendaan yang bersifat memberi


jaminan dapat dijelaskan sebagai berikut :
Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu senantiasa
tertuju terhadap bendanya orang lain, mungkin terhadap benda
bergerak maupun benda tidak bergerak. Jika benda jaminan itu
tertuju pada benda tak bergerak, maka hak kebendaan tersebut
berupa hipotik, sedangkan jika benda jaminan itu tertuju pada
benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut berupa gadai. Kedua
macam hak ini memberikan kekuasan langsung terhadap benda
jaminan dan hak mana dapat dipertahankan kepada siapapun juga.
Pihak perusahaan pembiayaan sebagai krediturdapat menuntut
pelunasan utang debitur dari barang yang dijadikan sebagai jaminan
kredit. Perusahaan pembiayaan mempunyai hak tagih terhadap benda
jaminan kredit selama kreditnya belum dilunasi oleh debitur.
Berdasarkan hak tersebut perusahaan pembiayaan sebagai penerima
fidusia dapat menuntut pencairan atas benda jaminan fidusia guna
pelunasan kredit jika debitur wanprestasi.
2. Perusahaan pembiayaan mempunyai hak didahulukan (Hak Preferent)
dari kreditur lain untuk memperoleh pelunasan piutang dari hasil
penjualan barang jaminan fidusia, bila debitur wanprestasi.
Hak didahulukan perusahaan pembiayaan ini dasar hukumnya
dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 1132 KUH Perdata, yang
selengkapnya menyatakan ;
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang menghutang kepadanya. Pendapatan penjualan
benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila
diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.
Ketentuan pasal 1132 KUH Perdata pada dasarnya mengatur

125
tentang adanya persamaan hak diantara para kreditur, terkecuali
kreditur preferent yang mempunyai hak didahulukan atas pemenuhan
pembayaran piutangnya. Kreditur preferent yang dimaksud pasal 1132
KUH Perdata adalah para pemegang hak jaminan.
Menurut M. Bahsan, ketentuab pasal 1132 KUH Perdata
mengtur tentang lembaga jaminan gadai, hipotik, hak tanggungan, dan
jaminan fidusia, dan dalam hal ini merupakan lembaga jaminan yang
diatur

dalam

peraturan

perundangan

yang

dalam

ketentuan

menetapkan/memberikan hak didahulukan kepada kreditur sebagai


pemegang hak jaminan. 141
Disamping

ketentuan

pasal

1132

KUH

Perdata,

hak

didahulukan perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia secara


tegas juga diatur dalam ketentuan pasal 1 angka 2 dan pasal 27 UU
Fidusia (UU No. 92 tahun 1999). Adapun ketentuan pasal-pasal
dimaksud selengkapnya menyatakan sebagai berikut :
Pasal 1 Angka 2;
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak
bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap dalam
penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Pasal 27 :
1) Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap
kreditur lainnya.
2) Hak yang didahulukan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang
141
M. Bahsan, Op.Cit, hal. 136.

menjadi obyek jaminan fidusia.


3) Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus
karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi
fidusia.
3. Perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia akan mempunyai
kepastian hukum terhadap pengikatan benda jaminan fidusia.
Dari ketentuan lembaga jaminan, terutama hipotik, hak
tanggungan, dan jaminan fidusia, dapat diketahui mengenai kepastian
hukum tersebut melalui pemenuhan azas spesialitas dan azas
publisitas. Azas spesialitas adalah mengenai pengikatan / pembebanan
barang jaminan melalui pembuatan akta dihadapan pejabat umum
(untuk fidusia harus dibuat dengan akta notaris).
Sementara azas publisitas adalah berkaitan dengan pendaftaran
dari benda jaminan tersebut pada instansi yang berwenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengikatan
benda jaminan tersebut teratat secara jelas serta terbuka bagi umum.
Dengan dipenuhinya kedua azas ini, maka perusahaan pembiayaan
akan memperoleh kepastian hukum terhadap pengikatan benda
jaminan fidusia.
4. Perusahaan

Pembiayaan

sebagai

penerima

Fidusia

mempunyai

kemudahan untuk mencairkan obyek jaminan.


Bila diperhatikan, dari ketentuan jaminan Fidusia (berdasarkan
UU Fidusia), jika debitur ingkar janji atau wanprestasi, maka barang
jaminan fidusia dapat dicairkan, dan dapat dilakukan

eksekusi

berdasarkan title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat jaminan

127
fidusia. Sertifikat jaminan fidusia memuat kata-kata Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan

yang

mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan title eksekutorial


tersebut perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menyelesaikan barang jaminan
fidusia.
Kedudukan kuat dari perusahaan pembiayaan sebagaimana
disampaikan di atas dengan hak-hak yang dimilikinya selaku
penerima

jaminan

fidusiamenjadi

tidak

ada

artinya

dengan

dirampasnya benda jaminan oleh negara akibat perbuatan melawan


hukum yang dilakukan debitur sebagai pemeberi fidusia. Kedudukan
perusahaan pembiayaan menjadi lemah dan tidak berdaya ketika
benda jaminan fidusia sudah tidak ada lagi dalam kekuasaan debitur,
padahal benda jaminan itu menjadi satu-satunya jaminan dalam
pelunasan hutang debitur.
Terkait dengan status hukum benda yang dijadikan obyek
jaminan

fidusia, sebagaimana telah

dikemukakan

pada uraian

sebelumnya bahwa upaya pemberian hak pada kreditur dengan tujuan


sebagai agunan. Hal ini menunjuk pada ciri umun dari hak jaminan,
bahwa pengalihan hak milik terhadap suatu benda diperuntukkan
sebagai agunan (jaminan). 142
Jadi disini status hukum benda jaminan fidusia yang dirampas
142
Henry Subagyo, Loc.Cit.

oleh negara tersebut adalah sebagai benda jaminan yang mempunyai


sifat droit de

suite. Dengan adanya sifat seperti itu perusahaan

pembiayaan sebagai penerima fidusia mempunyai hak mengikuti benda


yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu
berada. Namun persoalannya, dengan dirampasnya benda jaminan
fidusia itu oleh negara akibat perbuatan melawan hukum yang
dilakukan pemberi fidusia, maka status hukumnya menjadi tidak jelas
dan menghilangkan hak dari perusahaan pembiayaan sebagai kreditur
untuk mengeksekusi benda jaminan apabila debitur wanprestasi.
Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan
fidusia berupa bus-bus atau truck oleh pemilik benda dijual kepada
pihak lain, maka dengan sifat droit de suite, jika debitur cidera janji
Kreditur sebagai penerima jaminan fidusia sesungguhnya tetap dapat
mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truck meskipun oleh
pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain. Jadi
penjualan obyek jaminan fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak
menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan
obyek (obyek fidusia) itu. Begitu juga halnya dengan adanya benda
jaminan fidusia yang dirampas oleh negara, dengan sifat droit de suite
maka pihak perusahaa pembiayaan sesungguhnya dapat mengeksekusi
benda jaminan yang ada di tangan negara tersebut.

4.3.

Perlindungan Hukum Perusahaan Pembiayaan Atas Perampasan


Barang Jaminan Fidusia oleh Negara.

129
Semula bentuk jaminan ini tidaklah diatur dalam perundangundangan, tetapi berkembang dengan dasar yurisprudensi, di Indonesia
baru diatur dalam undang-undang pada tahun 1999 dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Fidusia
merupakan Pengembangan dari lembaga gadai. 143 Oleh karena itu, yang
menjadi objek jaminannya ialah barang bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Berdasarkan
ketentuan umum daiam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tersebut bahwa:
"Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik
benda."
Fiduciare Eigendoms Over Dracht atau penyerahan hak milik atas dasar
kepercayaan timbul atas

dasar

kebutuhan masyarakat. Masyarakat

membutuhkan pinjaman atau kredit dengan jaminan benda bergerak tetapi


benda bergerak

yang dijaminkan

diperlukan sehari-hari
bekerja

untuk

masih

melanjutkan

usaha

karena

atau keperluan

sehari-hari. Praktek pemberian kredit dengan jaminan benda

bergerak yang masih dalam kekuasaan


kepada

dikuasai debitur

Kreditur)

didasarkan

debitur

(tidak

diserahkan

pada yurisprudensi karena belum ada

undang-undang yang mengaturnya. 144


143
Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 534.
144
Sutarno, Op.Cit, hal. 204.

Undang-undang yang mengatur pemberian kredit dengan jaminan


benda bergerak adalah Gadai yang diatur buku II pasal 1150 s/d 1160
KUHPerdata. Apabila mencari pinjaman atau kredit dengan menggunakan
jaminan gadai akan terbentur pada syarat In Bezit Stalling yaitu salah satu
syarat dalam gadai. Yang mensyaratkan bahwa benda bergerak yang
menjadi jaminan harus ditarik/berada dalam kekuasaan pemegang gadai/
pemberi kredit.
Syarat in bezit stalling dirasakan sangat berat oleh pemohon kredit
dengan jaminan benda bergerak karena benda yang dijaminkan itu justru
sangat diperlukan untuk menjalankan usaha atau kehidupan sehari-hari.
Misalnya usaha rumah makan membutuhkan modal dengan pinjaman
kredit dari bank dengan

jaminan alat perlengkapan

itu. Perusahaan pengangkutan

memerlukan

rumah makan

kredit dengan jaminan

truck-truck atau bus-busnya. Jika jaminan berupa alat perlengkapan


rumah makan atau truck atau bus tersebut ditarik dari debitur sudah pasti
debitur tidak dapat menjalankan perusahaan karena benda-benda jaminan
gadai yang ditarik dari kekuasaan debitur justru digunakan untuk
melanjutkan usahanya. 145
Untuk

mengatasi

kesulitan-kesulitan

demikian

dan

untuk

menyesuikan perkembangan dan kebutuhan masyarakat serta untuk


menghindari ketentuan pasal 1152 KUHPerdata (yang mengharuskan
barang jaminan ditarik kekuasaan pemiliknya) maka yurisprudensi
memungkinkan adanya lembaga jaminan Fiducia.
145
Sutarno, Loc.Cit.

Jaminan

dengan

131
menggunakan

lembaga

Fiducia

yang dipindahkan atau diserahkan

ialah hak atas benda (hak kepemilikan) tersebut sebagai jaminan atas
dasar kepercayaan, sedangkan bendanya sendiri masih tetap berada dalam
kekuasaan si debitur/pemilik barang sehingga masih dapat dipergunakan
untuk kepentingan malanjutkan usaha debitur/pemilik barang.
Dari paparan di atas jelas dalam jaminan fidusia, bahwa benda
yang dipakai sebagai jaminan tetap berada dalam penguasaan pemilik
benda. Hal ini telah ditafsirkan oleh doktrin para sarjana yang ada, bahwa
meskipun alas hak (title) dari benda itu diserahkan melalui suatu
perjanjian, namun bendanya secara fisik tetap dikuasai oleh pemberi
jaminan.
Dengan konsep fidusia seperti itu sudah sepantasnya pihak
pemberi fidusia menjaga agar benda jaminan tersebut tetap berada dalam
kekuasaannya. Namun kenyataannya sangat mungkin benda jaminan
fidusia berpindah tangan atau berpindah penguasaannya kepada pihak
ketiga, karena dialihkan oleh debitur pemberi fidusia. Pihak penerima
fidusia

sebagai

kreditur

akan

diposisikan

pada

posisi

tidak

menguntungkan karena benda jaminan ternyata tidak lagi berada di dalam


kekuasaan pemberi jaminan (debitur).
Dalam

praktek,

tidak

adanya

benda

dalam

kekuasaan

pemberi jaminan tentu dapat bermacam sebab, misalnya diperjualbelikan, musnah, hilang, digadaikan, disewakan, termasuk dirampas oleh
negara.
Tentu terhadap kejadian tersebut akan merugikan pihak penerima

jaminan dari pelunasan piutangnya, terlebih lagi jika akan dilakukan


eksekusi terhadap benda jaminan. Terhadap keadaan tersebut bisa jadi
penerima

jaminan

tidak

mendapatkan

pemenuhan

dari

pelunasan

piutangnya. Dengan demikian perlindungan hukum bagi penerima fidusia


harus diperhatikan dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Atas tindakan debitur mengalihkan benda jaminan fidusia kepada
pihak lain, apakah itu menggadaikan, menjual atau menyewakan, tidak
dibenarkan atau dilarang. Hal mana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 23
ayat 2 UU Fidusia. Adapun ketentuan pasal dimaksud adalah sebagai
berikut:
Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau
menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan
Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima Fidusia.
Tindakan debitur mengalihkan benda obyek jaminan Fidusia tanpa
persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia termasuk kategori perbuatan
melawan hukum, karena dilarang oleh UU Fidusia. Begitu juga UU
Fidusia melalui ketentuan Pasal 24 menyatakan:
Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat
tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari
hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar
hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Mengacu pada ketentuan pasal 23ayat 2 dan pasal 24 UU Fidusia
tersebut tidak jelas diatur tentang apa bentuk perlindungan hukum yang
dapat diberikan kepada perusahaan pembiayaan sebagai penerima
Fidusiaketika benda jaminan fidusia dirampas negara karena perbuatan
melawan hukum yang dilakukan pemberi fidusia.

133
Dengan melakukan penafsiran terhadap kedua pasal di atas, serta
berdasarkan yurisprudensi dan azas / prinsip hukum yang ada, bentuk
perlindungan

hukum

yang

dapat

diberikan

kepada

perusahaan

pembiayaan sebagai penerima fidusia adalah sebagai berikut :


1. Mewajibkan
pengganti

kepada
yang

debitur

supaya

setara nilainya. Hal

menyediakan

jaminan

mana didasarkan pada

ketentuan Pasal 23 dan Pasal 24 dari UU Fidusia. Pasal 23


menyatakan

bahwa

debitur

dilarang

untuk

mengalihkan,

menggadaikan, atau menjual benda obyek jaminan fidusia yang tidak


merupakan benda persediaan kepada pihak lain. Begitu pula menurut
ketentuan

Pasal

24,

dalam

hal

pemberi

Fidusia melakukan

tindakan pengalihan benda jaminan Fidusia, dimana pihak penerima


Fidusia tidak ikut menangung kewajiban atas akibat dan tindakan itu.
Dari hal itu, kiranya debitur wajib menggantikan benda jaminan
Fidusia, apabila benda tersebut rusak, hilang, atau telah beralih
kepada pihak lain. Kelalaian debitur, sehingga menyebabkan benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia beralih penguasaannya kepada
pihak ketiga, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab debitur.
Sebagaimana pula disampaikan oleh Henry Subagyo sebagai berikut :
Pada perjanjian Fidusia pada intinya juga ditentukan kewajiban
sebagai debitur selaku pemberi jaminan untuk memelihara agar
benda jaminan yang secara fisik ada pada penguasaannya tetap
dalam kondisi relative baik. Dengan demikian, debitur (pemberi
fidusia) wajib mengganti benda jaminan, apabila benda tersebut
rusak, hilang, atau telah beralih. Kelalaian atas benda jaminan
adalah tanggung jwab debitur, termasuk jika memang degitur
melakukan perbuatan melawan hukum pidana yang bisa
berakibat terjadi perampasan benda jaminan oleh penegak

hukum. 146
Hal mana juga didukung oleh praktek yurisprodensi, dimana
hakim menjatuhkan sita jaminan atas suatu benda milik debitur
sebagai pengganti benda jaminan yang sudah tidak ada lagi dalam
kekuasaan debitur. 147 Hal mana dapat dilihat dari ;
Putusan PN Medan dalam perkara No. 462/Pdt.G/PN.Mdn.
antara Bank Internasional Indonesia VS Kwan Pok Keng, Liaw
Tjin Hoa dan Ing Tjin San. Terhadap gugatan wanprestasi,
maka dengan tidak adanya lagi benda jaminan dalam kekuasaan
debitur, maka Hakim memutuskan untuk meletakkan sita
jaminan atas sebidang tanah hak guna banguna sebagai
pengganti dari benda jaminan yang telah tidak ada. 148
2. Mewajibkan kepada debitur supaya melunasi hutangnya. Hal ini
dilakukan apabila debitur tidak bisa menyediakan jaminan pengganti,
dan terlebih-lebih lagi bila debitur menurut penilaian perusahaan
pembiayaan ada gelagat tidak dapat memenuhi kewajibannya. Hal ini
dapat pula dilihat dari Putusan PN Medan dalam Perkara No.
558/Pdt.G/1992/PN.Mdn. antara Bank Dharmala Nugraha Cabang
Medan VS CV. Barumun Jaya dan Ridwan.
Terhadap gugatan wanprestasi atas perkara di atas, Hakim
menghukum dengan menyatakan bahwa tergugat telah melakukan
wanprestasi dan menghukum tergugat (debitur) untuk melunasi
hutangnya. 149 Dari kedua putusan tersebut diatas, maka dapat kiranya
dikemukakan bahwa

Perusahaan Pembiayaan sebagai kreditur

146
Henry Soebagyo , Op.Cit., hal. 108
147
M. Yahya Harahap, 1990, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan
Conservatoir Beslag, Pustaka, Bandung, hal. 98.
148
Henry Soebagyo, Op.Cit, hal. 109
149
Henry Soebagyo, Loc.Cit.

135
dimungkinkan untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap
benda jaminan yang tidak lagi dalam kekuasaan debitur.
Pemberian perlindungan hukum terhadap penerima fidusia
terkait dengan tidak adanya lagi benda jaminan fidusia dalam
kekuasaan debitur, menjadi semakin penting untuk diperhatikan
mengingat beberapa hal ;

1. Dikaitkan dengan fungsi hukum


Hukum

bekerja

dengan

cara

memancangi

perbuatan

seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat.


Untuk

keperluan

pemancangan,

maka

hukum

menjabarkan

pekerjaannya dalam berbafai fungsinya. 150


Theo Huijbers, menyatakan bahwa fungsi hukum itu adalah
memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjamin hakhak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. 151
Suhardjo juga menegaskan bahwa hukum sebagai kaedah
mempunyai fungsi sebagai berikut :
1) Hukum yang menjamin kepastian hukum
2) Hukum yang menjamin keadilan sosial

3) Hukum berfungsi pengayom/perlindungan. 152


Fungsi

hukum

sebagai

pengayom

perlindunga

150
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10.
151
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 289.
152
Bachsan Mustafa II, Loc.Cit.

mengandung makna dimana hukum berfungsi mengayomi atua


melindungi manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa, serta
bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak pribadinya,
yaitu

hak

azasinya,

hak

kebendaannya

maupun

hak

perorangannya. 153
Dengan demikian, hukum sebagai kaedah berfungsi untuk
melindungi/mengayomi serta menjamin hak-hak yang dimiliki
manusia dalam masyarakat, termasuk hak kebenddaannya. Fidusia
sebagai hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan dilindungi
oleh hukum, dan hak tersebut dapat dipertahankan terhadap
siapapun juga.
2. Dikaitkan dengan Teori Negara Hukum
Teori negara hukum yang paling relevan disini adalah
negara hukum modern yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1) Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi
selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga
cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hakhak yang dijamin itu.
2) Badan kehakiman yang bebas (independent and imperial
tribunals)
3) Pemilihan umum yang bebas
4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6) Pendidikan kewarganegaraan. 154
Salah satu ciri negara hukum modern adalah adanya
jaminan

perlindungan

terhadap

hak-hak

individu

dan

cara

prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang


153

Bachsan Mustafa II, Loc.Cit.

154
Mariam Budihardjo, Loc.Cit.

137
dijamin itu. Jaminan perlindungan terhadap hak-hak individu
disini termasuk didalamnya hak kebendaan.
3. Dikaitkan dengan konsepsi hak dan hak kebendaan.
Ada berbagai batasan tentang hak kaitannya denganhak
kebendaan. Dalam pengertian hukum yang dimaksud dengan hak
adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, dan
kepentingan adalah tuntutan yang diharpakan untuk dipenuhi.
Kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang
dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. 155
Bachsan

Mustafa

memberikan

definisi

hak

adalah

kekuasaan, dan kekuasaan itu dapat dipertahankan terhadap setiap


orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati dan
mengindahkan kekuasaan itu. 156
Hak senantiasa berhubungan dan berhadapan dengan
kewajiban. Hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan
kaedah, tetapi merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk
hak individu disatu pihak yang tercermin pada kewajiban pada
pihak lawan. Hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang
diberika kepada seseorang oleh hukum. 157
Menurut Saut P. Panjahitan, hak adalah peran yang boleh
tidak dilaksanakan (bersifat fakultatif), sedangkan kewajiban
merupakan peranan yang harus dilaksanakan (besifat imperatif). 158
155
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
156
157
158

Bachsan Mustafa II, Loc.Cit.


Ishaq, Op.Cit., hal. 82.
Saut P.Panjahitan, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Azas, Pengertian,

J.B. Daliyo menyatakan :


Hak adalah kewenangan yang diberikan oleh hukum
obyektif kepada subyek hukum, dan kewajiban adalah
beban yang diberikan oleh hukum kepada orang ataupun
badan hukum, seperti kewajiban pengusaha yang berbadan
hukum untuk membayar pajak penghasilan. 159
Diantara macam hak ada yang namanya hak kebendaan.
Bila dicermati apa yang telah dikemukakan di atas, hak kebendaan
tersebut ada yang bersifat memberikan jaminan. Adapun hak
kebendaan

yang

bersifat

memberikan

jaminan

(zakelijkzekerheidsrecht) diatur dalam gadai, hipotik, UndangUndang No. 42 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan UndangUndang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 160 Dengan
hak kebendaan ini kedudukan kreditur (penerima jaminan) dijamin
pelunasan piutangnya.
Biasanya dalam praktek hukum manakala diantara para pihak
melakukan perikatan, agar pihak kreditur mendapatkan ekstra
perlindungan hukum, selalu ditimbulkan dengan perjanjian tambahan
yang berupa perjanjian jaminan kebendaan yang menimbulkan hakhak kebendaan, agar semakin kuat kedudukan kreditur tersebut. 161
Fidusia merupakan hak kebendaan yang bersifat memberi
jaminan, memberikan kekuasaan langsung terhadap benda jaminan,
dan hak mana dilindungi oleh hukum serta dapat dipertahankan
dan Sistematika), Universitas Sriwidjaja, Palembang, hal. 81.
159
J.B. Daliyo, dkk., 1994, Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 32, dan 34.
160
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan. Laks
Bang Pressindo, Yogyakarta, hal. 50.
161
Ibid.

139
kepada siapapun juga. Dengan konstruksi seperti itu, makaperusahaan
pembiayaan

sebagai

pemegang/penerima

hak

jaminan

fidusia

dilindungi oleh sistem hukum atau kekuasaannya terhadap benda


jaminan fidusia.
Selain itu, sesuai dengan sifat-sifat hak kebendaan, maka
fidusia sebagai lembaga jaminan kebendaan mempunyai hak preferen
(hak didahulukan/diutamakan). Hak preferen ini dimiliki oleh
perusahaan pembiayaan sebagai penerima fidusia dalam pelunasan
piutangnya yang diambil dari barang jaminan fidusia apabila debitur
wanprestasi.

You might also like