You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Polycystic ovary syndrome (PCOS) atau Sindroma Ovarium Polikistik (SOPK)


adalah kelainan endokrin yang sangat umum terjadi pada wanita dalam masa
reproduksi. Walaupun begitu, sindrom ini paling banyak diperdebatkan dan
menimbulkan pendapat-pendapat yang kontroversial dalam bidang Ginekologi
Endokrinologi dan Reproduksi. Belum ada definisi PCOS yang dapat diterima
secara internasional, dan kriteria untuk mendiagnosanya harus dibakukan
terlebih dahulu. Kesulitan ini menggambarkan adanya karakteristik interna
tertentu pada sindrom ini. Dalam kenyataan, gejala-gejala sindrom ini juga
beragam dan sangat bervariasi. Lagi pula, penemuan laboratorium dan
radiologi sering dijumpai dalam batas normal sehingga menimbulkan kesulitan
dalam menentukan suatu batasan yang dapat diterima secara umum untuk
pemakaian dalam praktek klinik. Dalam bentuk klasiknya, PCOS digambarkan
dengan adanya anovulasi kronik (80%), menses yang irregular (80%) dan
hiperandrogen yang dapat disertai dengan hirsutism (60%), acne (30%),
seborrhea dan obesiti (40%).

Gambaran klinik dan patologi dari ovarium polikistik atau mikropolikistik


pertama kali di deskripsikan oleh Antonio Vallisneri pada tahun 1721. Tetapi
sindrom ini sendiri di perkenalkan jauh setelah itu oleh Stein dan Leventhal
pada tahun 1935 berdasarkan observasi mereka terhadap gejala-gejala yang

terdiri dari amenorrhea, hirsutism dan obesiti pada wanita yang ovarium nya
membesar dengan kista folikel yang banyak dan penebalan fibrotik dari tunica
albuginea dan cortical stroma. Dalam kenyataan bahwa gambaran ovarium
polikistik juga banyak terdapat pada wanita yang sama sekali normal dan tidak
ada kelainan fenotipe ovarium dan/atau endokrin.

Singkatnya, sangatlah

mudah dilihat mengapa jarang adanya konsensus tentang kriteria yang dapat
digunakan untuk mendiagnosa PCOS.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Definisi yang paling dapat diterima secara internasional pada saat ini seperti
yang diadopsi pada tahun 2003 oleh European Society for Human
Reproduction dan Embryology and the American Society for Reproductive
Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM Rotterdam consensus. Dalam
konsensus ini diperlukan adanya dua dari tiga kriteria diagnosa yaitu :
a) Oligo/anovulation
b) Gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia
c) Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG (12
atau lebih folikel-folikel dengan ukuran diameter antara 2-9 mm dan/atau
peningkatan volume ovarium (>10 ml).
Selain kriteria di atas, etiologi lain seperti Cushing Syndrome, androgen
producing tumours dan Congenital adrenal hyperplasia harus di singkirkan.

Oligo/anovulation : ovulasi yang terjadi kurang dari satu kali dalam 35


hari.

Hiperandrogenism : tanda-tanda klinik yang meliputi hirsutism, acne,


alopecia (malepattern balding) dan virilisasi yang nyata. Indikator
biokimia meliputi meningkatnya konsentrasi total testosterone dan
androstendione dan meningkatnya free androgen index yang diukur
dengan membandingkan total testosterone dan sex hormone binding

globulin (SHBG). Akan tetapi, pengukuran petanda biokimia untuk


hiperandrogenism sering memberikan hasil yang tidak konsisten, hal ini
disebabkan oleh pemakaian berbagai metode yang berbeda.

Ovarium polikistik : adanya 12 atau lebih folikel dalam salah satu


ovarium dengan ukuran diameter 2-9 mm dan/atau meningkatnya
volume ovarium (>10 ml).

Menurut kriteria Rotterdam diagnostic ini, kebanyakan wanita dengan PCOS


dapat didiagnosa tanpa memerlukan pemeriksaan laboratorium.

Gambar 1. Pengukuran diameter tiga dimensi dari ovarium untuk


menghitung volume (dikutip dari Speca S)

B. Prevalensi

PCOS adalah kelainan endokrin wanita yang paling sering dijumpai, yang
melibatkan 5-10% dari wanita dalam masa reproduksi. Walaupun ovarium
polikistik dapat ditemukan dalam 20% populasi wqaerwanita, hal ini tidak
harus menimbulkan gejala klinik seperti PCOS, akan tetapi dalam
perjalanannya akan menimbulkan gejala klinik bila diprovokasi oleh kenaikan

berat badan atau resisten terhadap insulin. PCOS berkaitan dengan 75% dari
seluruh kelainan anovulasi yang menyebabkan infertility, 90% dari wanita
dengan oligomenorrhoea, lebih dari 90% dengan hirsutism dan lebih dari 80%
dengan acne yang persisten.

C. Etiologi

Etiologi PCOS sampai saat ini masih belum diketahui. Akan tetapi adanya
peningkatan fakta yang melibatkan faktor genetik. Sindroma ini di
kelompokan dalam keluarga, dan rerata prevalensi nya dalam first-degree
relative adalah 5 sampai 6 kali lebih tinggi dari pada populasi secara umum.
Walaupun kebanyakan kasus ditransmisikan secara genetik, akan tetapi faktor
lingkungan juga dapat terlibat karena PCOS juga dapat didapatkan dengan
adanya eksposur terhadap androgen yang berlebihan pada saat tertentu dalam
masa fertil. Pada masa ini terdapat peningkatan penemuan tentang hipotesa
etiologi yaitu adanya eksposur terhadap androgen yang berlebihan pada fetus
wanita didalam kandungan dapat menyebabkan PCOS. Walaupun sumber dari
kelebihan androgen in utero tidak diketahui, percobaan pada hewan percobaan
menunjukan bahwa eksposur pada fetus terhadap kelebihan androgen
menunjukan manifestasi PCOS pada fetus betina.

Yen dkk mengajukan hipotesa klasik yang di dasarkan atas dua konsep besar
yaitu hiperandrogenism dan resistensi terhadap insulin. Hormon androgen ini
mengalami aromatisasi di jaringan perifer menjadi estrogen, menyebabkan
ketidakseimbangan sekresi luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating
hormone (FSH) pada tingkat pituitary yang menyebabkan hipersekresi

endogenous LH. LH ini sangat kuat menstimulasi produksi androgen didalam


ovarium. Insulin seperti juga LH menstimulasi langsung biosintesis hormon
steroid di ovarium, terutama androgen ovarium. Lebih lanjut, insulin
menyebabkan menurunnya produksi sex hormone binding globulin (SHBG) di
dalam hati, yang menyebabkan meningkatnya kadar androgen bebas. Dengan
demikian kedua jalur diatas akan menstimulasi theca sel dari ovarium
sehingga terjadi peningkatan produksi androgen dari ovarium yang
menyebabkan terganggunya folliculogenesis, kelainan siklus haid dan
oligo/anovulation kronik

D. Gambaran Klinik
1. Gangguan menstruasi dan infertilitas
Penderita SOPK sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat
berupa oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh
adanya anovulasi kronik dan hiperandrogenemia.
2. Hirsutisme
Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat
yang biasa, seperti kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat
pembentukkan androgen yang berlebihan akibat kerusakan enzim 3
betahidroksisteroid dehidrogenase.

Untuk mengetahui apakah seseorang mengalami hirsutisme dapat


menggunakan metode seperti gambar dibawah ini. Skor Ferriman-galwey
menilai tingkat hirsutisme sesuai tingkat hirsutisme dan dinilai

berdasarkan penjumlahan angka dari 1 sampai 4. dikatakan hirsutisme jika


skornya lebih dari 6.

gambar 2. Skor hirtutisme menurut Ferriman-galwey.


3. Obesitas
Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi
gangguan fungsi ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas
kelenjar suprarenal yang berlebihan, peningkatan produksi testosteron,
androstenedion serta peningkatan rasio estron/estradion 2,5. Selain itu
dikemukakan pula penurunan kadae SHBG serum. Androgen merupakan
hormon yang diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan estrogen. Enzim
yang diperlukan untuk mengubah androgen menjadi estrogen adalah
aromatase. Jaringan yang dimiliki kemampuan untuk mengaromatisasi
androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan lemak.

Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan lemak,


dan tingkat perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak.
Pengurangan berat badan pada wanita gemuk berhubungan dengan

pengurangan kadar androgen dan estrogen terutama estron serum.


Hiperestronemia dan hiperinsulinemia adalah 2 hal yang berhubungan
dengan kegemukan yang berperan dalam patogenesis ovarium polikistik.

4. Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , pengecilan payudara.


Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan.

E. Patofisiologi

Terdapat 4 kelainan utama yang terlibat dalam patofisiologi dari PCOS,9 yaitu :
1. Morfologi ovarium yang abnormal

Lebih kurang enam sampai delapan kali lebih banyak folikel pre-antral dan
small antral pada ovarium polikistik dibandingkan dengan ovarium normal.
Folikel ini tertahan pertumbuhannya pada ukuran 2-9 mm, mempunyai rerata
atresia yang lambat dan sensitive terhadap FSH eksogen. Hampir selalu
terdapat pembesaran volume stroma yang menyebabkan volume total dari
ovarium > 10 cc. Penyebab kelainan dari morfologi ini diduga disebabkan oleh
adanya androgen yang berlebihan. Androgen merangsang pertumbuhan folikel
primer sampai dengan stadium folikel pre-antral dan small antral, dan proses
ini dipercepat dengan adanya androgen yang berlebihan dibandingkan dengan
ovarium yang normal. Faktor lain yang ditemukan pada PCOS yang ikut
berpengaruh pada morfologi ovarium adalah kelebihan beberapa faktor yang
menghambat kerja dari FSH endogen (seperti follistatin, epidermal growth
factor dll), kelebihan factor anti-apoptotic (BCL-2) yang dapat memperlambat
turnover dari folikel yang terhambat ini. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut

yang

menyebabkan morfologi ovarium yang karakteristik pada ovarium

polikistik.

Gambar 2. Kunci utama dari produksi androgen yang berlebihan pada


polycystic ovary (Dikutip dari Homburg R)

2. Produksi androgen ovarium yang berlebihan


Produksi androgen ovarium yang berlebihan adalah penyebab utama dari
PCOS. Hampir semua mekanisme enzymatic pada PCOS yang merangsang
produksi androgen meningkat. Peningkatan insulin dan LH, baik secara
sendirian ataupun kombinasi akan meningkatkan produksi androgen. Adanya
single gene dengan kode cytochrome P450c17a, enzym ini memediasi aktifitas
17a-hydroxylase dan 17-20- desmolase pada tingkat ovarium.

Gambar 3. Mekanisme dari produksi androgen yang berlebihan pada


polycystic ovary (Dikutip dari Homburg R)

3. Hiperinsulinemia
Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin terjadi pada lebih
kurang 80% wanita dengan PCOS dan obesitas sentral, dan juga pada lebih
kurang 30-40% wanita dengan PCOS yang berbadan kurus. Hal ini disebabkan
oleh kelainan pada post-receptor yang berefek pada transport glukosa, dan ini
adalah kelainan yang unik pada wanita dengan PCOS. Resistensi insulin secara
bermakna di eksaserbasi oleh obesitas, dan merupakan faktor utama dalam
patogenesa anovulasi dan hyperandrogenism. Kelainan fungsi dari sel beta
pancreas juga ditemukan pada PCOS.

Gambar 4. Peranan hperinsulinemia dalam patogenesa anovulasi dan


hperandrogenisme (Dikutip dari Homburg R)

4. Kadar serum LH yang berlebihan


Kadar serum LH yang berlebihan dapat diditeksi pada sample darah pada satu
kali pemeriksaan dalam lebih kurang 40-50% wanita dengan PCOS. Tingginya
kadar LH lebih banyak terdapat pada wanita dengan berat badan yang kurus
dibandingkan dengan yang obesitas. Walaupun kadar serum FSH dalam batas
normal, tetapi didapatkan penghambatan intrinsic pada kerja FSH. Kadar
prolactin pun mungkin sedikit meningkat.

gambar 5. Patofisiologi Sindrom ovarian poli kistik

F. Gambaran Histopatologis
1. Gambaran Makroskopis
Kedua ovarium, kadang-kadang pada kasus yang jarang satu ovarium,
membesar 2 sampai 5 kali ukuran normal dan lebih besar dari uterus.
Bentuknya oval atau egg-shaped ; dimana pada penelitian baru-baru ini,
volume ovarium pada pasien ovarium polikistik 3 kali lebih besar dari volume
ovarium kelompok kontrol. Kadang-kadang, ovarium dapat ditemukan dalam
ukuran normal. Kista korteks superfisial biasanya dapat dilihat dibawah
permukaan ovarium yang putih. Pemeriksaan bagian permukaan ovarium ini
menunjukkan suatu penebalan pada tunai, berwarna putih seperti mutiara,
korteks superfisial, dan beberapa kista, dengan diameter kurang dari 1 cm.
Biasanya ada suatu zona sentral stroma dengan beberapa atau kadang tidak
ada sama sekali stigmata ovulasi (misalnya korpora lutea atau albikans).

gambar 3. gambaran makroskopik dan mikroskopik sindrom ovarian poli


kistik.
2.

Gambaran mikroskopis
Korteks superfisial mengalami fibrosis dan hiposeluler, menyerupai suatu
kapsul, dan mungkin mengandung pembuluh darah berdinding tebal yang
menonjol. Penjualan dari stroma fibrotik yang meluas dari korteks superfisial
ke korteks yang lebih dalam atau bahkan kemedula. Kista ini merupakan
folikel kistik yang atretik yang mempunyai batas sebelah dalam dari beberapa
lapisan sel-sel granulosa nonluteinisasi yang mungkin mengalami eksfoliasi
fokal. Suatu lapisan yang lebih luar dari sel-sel teka interna kadang-kadang
disebut sebagai hipertekosis folikuler tetapi folikel-folikel kistik pada
wanita dengan ovarium polikistik berbeda dari yang ditemui pada wanita
normal, dimana pada wanita normal hanya ditemui peningkatan jumlah.
Folikel-folikel matur yang mencapai stadium midantral dan folikel-folikel

atretik menunjukkan luteinisasi teka interna mungkin jumlahnya 2 kali dari


ovarium norma. Jumlah dan gambar-gambaran folikel primordial adalah
normal. Seperti telah dinyatakan, stigmata dari ovulasi sebelumnya tidak ada,
tetapi korpora lutea telah didiskripsikan sebanyak 30% dari kasus-kasus
khusus ovarium polikistik. Korteks yang lebih dalam dan stroma medula
mungkin mempunyai sampai 5 kali lipat pertambahan volume. Stroma
mungkin mengandung sel-sel stroma terluteinisasi dan fokal dari otot-otot
polos. Sarang-sarang dari sel-sel hilus ovarium (leydig) mungkin lebih banyak
pada pasien-pasien dengan ovarium polikistik daripada pada kelompok kontrol
dengan usia yang sama.

G. PENATALAKSANAAN
1. Perbaiki Gaya hidup
Menurunkan Berat Badan

Menurunkan berat badan merupakan rekomendasi awal pada pasien dengan


obesitas karena dapat memperbaiki kesehatan, menurunkan kadar insulin,
SHBG, dan androgen, dan dapat mengembalikan ovulasi baik digunakan
sendiri atau dengan kombinasi obat induksi ovulasi. Kehilangan berat badan
sebanyak 5-7% lebih dari 6 bulan dapat mengurangi bioavabilitas atau
jumlah kadar testosteron bebas secara signifikan dan mengembalikan
ovulasi dan fertilitas lebih dari 75% wanita.

2. Terapi Medisinalis
Pengobatan tergantung tujua pasien. Beberapa pasien membutuhkan terapi
kontrasepsi hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi.
Kebanyakan pasien dengan SOPK mencari pengobatan untuk hirsutisme
dan infertilitasnya. Hirsutisme dapat diobati dengan obat antiandrogen yang
menurunkan kadar androgen tubuh. Infertilitas pada SOPK sering berespon
terhadap klomifen sitrat.

a. Kontrasepsi Oral
Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen,
dan mengurangi pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi
dengan kontrasepsi oral memiliki beberapa manfaat, antara lain :

Komponen progestin mensupres LH, mengakibatkan penurunan


produksi androgen ovarium

Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan


penurunan testosteron bebas.

Mengurangi kadar androgen sirkulasi.

Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron


pada kulit dengan menghambat 5-reduktase.

Pasien

dengan

SOPK

terjadi

anovulasi

yang

kronis

dimana

endometriumnya distimulasi hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi


endometrium hiperplasia dan dapat terjadi endometrium carcinoma pada
pasien SOPK dengan anovulasi yang kronis. Banyak dari kasus seperti ini
dapat dikembalikan dengan menggunakan progesteron dosis tinggi, seperti
megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.

Ketika

kontrasepsi

oral

digunakan

untuk

mengobati

hirsutisme,

keseimbangan harus dipertahankan antara penurunan kadar testosteron


bebas dan androgenisitas intrinsik dari progestin. Tiga progestin senyawa
yang terdapat dalam kontrasepsi oral (norgestrel, norethindrone, dan
norethindrone asetat) diyakini merupakan androgen dominan. Kontrasepsi
oral yang berisi progestin baru (desogestrel, gestodene, norgestimate, dan
drospirenone) memiliki aktivitas androgenik yang minimal. Terdapat bukti
yang terbatas bahwa terdapat perbedaan dalam hasil uji klinis yang
ditentukan oleh perbedaan-perbedaan ini secara in vitro dari potensi
androgenik.

Pengobatan hanya dengan kontrasepsi oral sendiri relatif tidak efektif


(tingkat keberhasilan <>(1)
b. Medroksiprogesteron Asetat
Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler
telah berhasil digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung
mempengaruhi axis hipofise-hypothalamus oleh menurunnya produksi
GnRH dan pelepasan gonadotropin, sehingga mengurangi produksi
testosteron dan estrogen oleh ovarium. Meskipun penurunan SHBG, kadar
androgen total dan bebas berkurang secara signifikan. Dosis oral yang
direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari dalam dosis terbagi atau 150
mg diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai 3 bulan dalam bentuk
depot. Pertumbuhan rambut berkurang sebanyak 95% pasien. Efek
samping dari pengobatan termasuk amenorea, hilangnya kepadatan

mineral tulang, depresi, retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik, dan
penambahan berat badan.

c. Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH)


Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal
yang dihasilkan oleh ovarium. Ini ditunjukkan untuk menekan kadar
steroid ovarium pada pasien SOPK. Pengobatan dengan leuprolid asetat
yang diberikan intramuskular setiap 28 hari mengurangi hirsutisme dan
diameter rambut pada hirsutisme idiopatik atau pada hirsutisme sekunder
pada SOPK. Tingkat androgen ovarium secara signifikan dan selektif
ditekan. Penambahan kontrasepsi oral atau terapi penggantian estrogen
untuk pengobatan agonis GnRH dapat mencegah keropos tulang dan efek
samping lainnya dari menopause, seperti hot flushes dan atrofi genital.
Supresi hirsutisme tidak menambah potensi dengan terapi penambahan
estrogen untuk pengobatan agonis GnRH.

d. Ketokonazol
Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug
Administration, menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan
pada dosis rendah (200 mg / hari), dapat secara signifikan mengurangi
tingkat androstenedion, testosteron, dan testosteron bebas.

e. Flutamide
Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak
mempunyai

aktivitas

progestasional,

estrogenik,

kortikoid,

atau

antigonadotropin. Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak

berubah, meskipun beberapa dilaporkan modulasi produksi androgen.


Flutamid mempunyai efikasi yang serupa dengan spironolakton dan
cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati kanker prostat pada
laki-laki. Obat ini diguakan secara umum dalam dosis 125-250 mg dua
kali sehari. Efek samping yang umum ialah kulit kering dan meningkatkan
nafsu makan. Efek yang paling mengkhawatirkan ialah hepatitis yang
diinduksi obat ini yang fatal muncul pada <>(3)

f. Cyproterone Acetate
Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat
antiandrogen

kuat.

Mekanisme

utama

cyproterone

asetat

ialah

menginhibisi secara kompetitif testosteron dan DHT pada tingkat reseptor


androgen. Agen ini juga menginduksi enzim hepatik dan dapat
meningkatkan laju metabolisme plasma clearance androgen. Formulasi
Eropa dengan cyproterone ethinyl estradiol plasma acetate mengurangi
kadar testosteron dan androstenedion secara signifikan, menekan
gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG. Cyproterone asetat juga
menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi
tingkat DHEAS. Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone
asetat 100 mg / hari pada hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg /
hari pada siklus hari ke-5 - 26), jadwal siklus ini membuat perdarahan
menstruasi yang teratur, membuat kontrasepsi yang sangat baik, dan
efektif dalam pengobatan hirsutisme dan bahkan jerawat yang parah.

Efek samping cyproterone asetat ialah kelelahan, meningkatnya berat


badan, penurunan libido, perdarahan tak teratur, mual, dan sakit kepala.
Gejala ini terjadi lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan.

g. Spironolactone
Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi
pertumbuhan rambut dengan menghambat aktivitas 5-reduktase dan
mengikat secara kompetitif terhadap reseptor intraseluler dari DHT. Dosis
yang lebih besar mengganggu aktivitas sitokrom P-450, yang mengurangi
jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek samping spironolakton
ialah menstruasi yang ireguler, mual dan lemah dengan dosis yang lebih
tinggi. Disebabkan spironolakton merupakan diuretik hemat kalium,
wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan hati-hati atau
sebaiknya diberikan alternatif obat lainnya
h. Insulin Sensitizers
Karena hiperinsulinemia memainkan peran dalam SOPK terkait anovulasi,
pengobatan dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan
endokrin terhadap ovulasi dan kehamilan, baik penggunaan sendiri atau
dalam kombinasi dengan modalitas pengobatan lain.

Metformin (glucophage) adalah biguanide antihyperglycemic oral


merupakan obat yang digunakan secara ekstensif untuk diabetes non
insulin dependent. Studi terdahulu mengevaluasi penggunaan metformin
dalam kehamilan menyarankan tidak berefek teratogenik dan penurunan
angka keguguran tetapi berpotensi meningkatkan risiko preeklamsia dan

kematian perinatal. Metformin terutama menurunkan glukosa darah


dengan menghambat produksi glukosa hepatik dan dengan meningkatkan
ambilan glukosa perifer.

Metformin meningkatkan sensitivitas insulin pada tingkat postreceptor dan


merangsang insulin memeiasi pembuangan glukosa. Hiperandrogenisme
dari SOPK secara substansial dikurangi dengan metformin, yang
menyebabkan penurunan tingkat insulin dan meningkatkan fungsi
reproduksi. Metformin (500 mg tiga kali sehari) meningkatkan tingkat
ovulasi baik secara spontan dan ketika digunakan dalam kombinasi dengan
clomiphene sitrat pada pasien gemuk dengan SOPK. Pada kelompok ini,
90% tingkat ovulasi telah dicapai. Pada metaanalisis Cochrane,
monoterapi metformin meningkatkan laju ovulasi 3.9 kali lebih daripada
plasebo, dan kombinasi metformin dan clomiphene citrate memperbaiki
tingkat

ovulasi

dan

kehamilan

4.4

kali

dibandingkan

dengan

menggunakan clomiphene citrate saja.

i. Clomiphene citrate
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru
aktivitas antagonis estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas
untuk

induksi

ovulasi.

Fungsi

hipofise-hipotalamus-ovarium

axis

diperlukan untuk kerja klomifen sitrat yang tepat. Lebih khusus lagi,
clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat dan memblokir reseptor
estrogen di hipotalamus untuk periode yang lama, sehingga mengurangi
umpan balik estrogen normal hipotalamus-ovarium. Blokade ini

meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang anovulatoir.


Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise
gonadotropin,

yang

memperbaiki

perkembangan

folikel

ovarium.

Clomiphene citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan


langsung pada hipofisis atau ovarium. Sayangnya, efek antiestrogen
clomiphene sitrat pada tingkat endometrium atau serviks memiliki efek
yang merugikan pada kesuburan pada sebagian kecil individu.

Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan
penghambatan bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga
efek umpan balik estrogen ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan
melepaskan LH-FSH-RH
hipofisis anterior

yang

meningkatkan

selanjutnya
sekresi

FSH

akan
dan

rnenyebabkan
LH.

Dengan

demikian akan terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel sertaovulasi.


Penggunaan clomiphene sitrat untuk induksi ovulasi memiliki hasil yang
sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi, 80% hingga 85% wanita
akan berovulasi dan 40% akan hamil.
j. Terapi gonadotropin untuk Pasien Sindrom ovarium polikistik
Pasien SOPK yang anovulatoir yang gagal untuk ovulasi atau hamil
setelah perawatan medis dengan obat sensitisasi antiestrogen atau insulin
harus dipertimbangkan untuk induksi ovulasi dengan menggunakan terapi
gonadotropin, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan clomiphene sitrat
atau letrozole. Perawatan ini melibatkan injeksi gonadotropin harian,
pemantauan ketat kadar estradiol serum dan pemantauan perkembangan
folikel

dengan

USG

transvaginal.

Inseminasi

intrauterine

sering

direkomendasikan dalam hubungannya dengan induksi ovulasi untuk


mengoptimalkan kemungkinan kehamilan. Penting untuk diingat bahwa
pasien SOPK cenderung memiliki sejumlah besar folikel antral kecil di
fase yang tidak distimulasi. Folikel ini berpotensi dapat dirangsang dengan
terapi gonadotropin eksogen. Efek ini bisa menjadi masalah karena tujuan
terapi gonadotropin pada pasien tersebut, tidak untuk menghasilkan
banyak telur tetapi lebih untuk merangsang pelepasan hanya 1-2 oosit.
Perawatan harus dipantau oleh dokter yang berpengalaman karena
meningkatnya risiko dan kehamilan multipel secara signifikan ketika
menggunakan gonadotropin pada pasien ini.

3. Metode Operatif
a. Metode Hair Removal Fisik
Krim obat menghilangkan rambut menghilangkan rambut hanya sementara.
Mereka merobohkan dan melarutkan rambut oleh ikatan disulfida hydrolyzing.
Meskipun krim menghilangkan rambut memiliki efek dramatis, banyak wanita
tidak bisa mentolerir iritasinya. Penggunaan topikal krim kortikosteroid dapat
mencegah dermatitis kontak. Krim eflornithine hydrochlorida, juga dikenal
sebagai difluoromethylornithine (DMFO), blok ornithine dekarboksilase
(ODC) ireversibel, enzim dalam folikel rambut yang penting dalam mengatur
pertumbuhan rambut. Ini juga telah terbukti efektif pada perawatan rambut
wajah yang tidak diinginkan.

Mencukur sangat efektif namun tidak mengubah kualitas, kuantitas, atau


tekstur rambut. Namun, mencabut, jika dilakukan tidak merata dan berulang-

ulang, dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan folikel rambut dan


membuat mereka kurang baik untuk dilakukan elektrolisis. Waxing adalah
metode mencabut bulu secara sekelompok yang dipetik keluar dari bawah
permukaan kulit. Hasil dari waxing bertahan lebih lama (hingga 6 minggu)
daripada mencukur atau obat menghilangkan rambut krim.

Bleaching rambut menghilangkan pigmen melalui penggunaan hidrogen


peroksida (biasanya kekuatan 6%), yang kadang-kadang dikombinasikan
dengan amonia. Meskipun mencerahkan dan melembutkan rambut selama
oksidasi, metode ini sering dikaitkan dengan perubahan warna rambut atau
iritasi kulit dan tidak selalu efektif.
Elektrolisis dan laser hair removal adalah satu-satunya cara permanen
direkomendasikan untuk hair removal. Seorang teknisi terlatih menghancurkan
folikel setiap rambut secara individual. Ketika sebuah jarum dimasukkan ke
dalam folikel rambut, arus galvanik, elektrokauter, atau keduanya atau secara
kombinasi (campuran) dapat menghancurkan folikel rambut. Setelah jarum
dilepas, sebuah forseps digunakan untuk menghilangkan rambut. Pertumbuhan
kembali rambut berkisar dari 15% hingga 50%. Masalah dengan elektrolisis
ialah rasa sakit, bekas luka, dan pigmentasi. Biaya juga dapat menjadi
halangan. Laser hair removal menghancurkan folikel rambut melalui
photoablation. Metode-metode ini paling efektif setelah terapi medis lainnya
gagal mengobati pertumbuhan rambut.

b. Elektrokauter Laparoscopik
Laparoscopik ovarium elektrokauter digunakan sebagai alternatif untuk reseksi
pada pasien dengan SOPK parah yang resisten terhadap clomiphene sitrat.
Pada seri terbaru, pengeboran ovarium

dicapai

laparoskopi dengan

menggunakan jarum elektrokauter. Pada setiap ovarium, dibuat 10-15 lubang.


Hal ini menyebabkan ovulasi spontan di 73% dari pasien, dengan 72% hamil
dalam waktu 2 tahun. Pada pasien yang telah mengalami follow-up setelah
laparoskopi, 11 dari 15 tidak mengalami adhesi. Untuk mengurangi adhesi,
tekhniknya ialah dengan kauterisasi hanya 4 poin ovarium saja yang
menyebabkan angka kehamilan yang sama, dengan tingkat keguguran 14%.
Kebanyakan hasil melaporkan penurunan kadar androgen dan LH dan
peningkatan konsentrasi FSH. Diatermi unilateral telah terbukti menghasilkan
aktivitas ovarium bilateral. Risiko pembentukan adhesi harus diberitahukan
kepada pasien

BAB III
KESIMPULAN

Sindroma ovarium polikistik merupakan gangguan endokrin paling sering pada


wanita usia reproduksi dan penyebab paling sering infertilitas anovulatorik.

Seiring dengan perkembangannya, semula sindroma ovarium polikistik ditandai


dengan trias hirsutisme, amenorrhea dan obesitas, sekarang sindroma ini dikenali
dengan gambaran klinis yang heterogen dan etiologi yang multifaktorial.
Penatalaksanaan sindroma ini adalah dengan pemberian hormon insulin,
antiandrogen, induksi ovulasi, reduksi insulin, perbaikan gaya hidup maupun
dengan intervensi operatif.

DAFTAR PUSTAKA

Murizah M Z, Ridzuan J, Adibah I et al. Comparison of clomiphene


citrate, metformin, or the combination of both for first-line ovulation induction,
achievement of pregnancy, and live birth in Asian women with polycystic ovary
syndrome: a randomized controlled trial. Fertility and Sterilit 2009;91(2):514-21.
The Rotterdam ESHRE/ASRM-Sponsored PCOS Consensus Workshop
Group. Revised 2003 consensus on diagnostic criteria and long-term health risks
related to polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2004;8:19-25.
Speca S, Napolitano C, Tagliafeni G. The pathogenetic enigma of
polycystic ovary Syndrome. Journal of Ultrasound 2007;10:l53-60.
Ruchi M, Carolyn J, Jacqueline Y. Use of metformin in polycystic ovary
syndrome. Am J Obstet Gynecol 2008;09(10):569-75.
Stefano P, Angela F, Francesco O. Efficacy predictors for metformin and
clomiphen citrate treatment in anovulatory infertile patients with polycystic ovary
syndrome. Fertil Steril 2009;91(6):2557-67.
The Thessaloniki ESHRE/ASRM-Sponsored PCOS Consensus Workshop
Group 2007. Consensus on infertility treatment related to polycystic ovary
syndrome. Fertility and Sterility 2008;89(3):505-22.
Timmins P, Donahue S, Meeker J et al. Steady-state Pharmacokinetics of a
Novel Extended-Release Metformin Formulation. Clin Pharmacokinet 2005;
44(7):721-9.

Homburg R. Polycystic ovary syndrome - from gynaecological curiosity to


multi system endocrinopathy. Hum Reprod 1996;1:29-39.
Homburg R. Polycystic ovary syndrome. Best Pract Res Clin Obstet
Gynaecol 2008;22(2):261-74.
Taylor A. E. Understanding the underlying metabolic abnormalities of
polycystic ovary syndrome and their implications. Am J obstet Gynecol 1998;179:94100.
Adrian S. Identifikasi Resistensi tnsulin pada pasien pcos dengan
Menggunakan Fasting Glucose/Insulin Ratio (G:I Ratio). Tesis obgin, 2008.

You might also like