You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1

LATAR BELAKANG
Ilmu kedokteran terus berkembang, salah satu perkembangan yang terjadi adalah

terbentuknya percabangan ilmu kedokteran. Jika ilmu kedokteran sebelumnya merupakan


seni menyembuhkan penyakit ( the art of healing) yang dilaksanakan oleh dokter yang
mampu melayani pasien yang menderita berbagai penyakit, maka kemudian sesuai dengan
kebutuhan. Kesehatan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan derajat hidup
masyarakat, maka semua negara berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
sebaik- baiknya.
Oleh sebab itu sebagai mahasiswa/i Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera
Utara tim penyusun akan membahas cedera pada otot dan tendon yang sangat mengganggu
aktivitas seorang individu. Mengingat otot dan tendon merupakan alat penggerak tulang
dalam melakukan aktivitas sehari- hari yaitu berjalan ataupun berlari. Maka dari itu, sebagai
calon dokter di masa yang akan datang sangat diperlukan pengetahuan dalam menangani
cedera otot dan tendon. Untuk menghindari morbiditas di masyarakat.
Disamping itu didalam perkembangan ilmu kedokteran yang sangat dinamis sehingga
menuntut mahasiswa/i untuk terus belajar dan menggali ilmu tanpa mengenal waktu, hal itu
sangat diperlukan terhadap mahasiswa/i yang menjadi calon dokter masa depan di negara
Indonesia. Jadi dengan konsep keilmuan yang baik maka lahirlah seorang dokter yang
kompeten dan dipercaya oleh masyarakat, inilah yang merupakan salah satu latar belakang
kami dalam penyusunan makalah ini.

1. 2

TUJUAN PEMBAHASAN
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna

bagi para pembaca dan khususnya kepada penyusun sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah wawasan
mahasiswa/i Fakultas Kedokteran, dimana pemikiran ilmiah sangat dibutuhkan bagi seorang
dokter agar mampu menganalisis suatu masalah secara tepat dan cepat. Sedangkan secara
khusus tujuan penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut :
1. Mahasiswa/I mengetahui dan memahami jenis- jenis, definisi, etiologi, terapi dan
edukasi dari cedera tendon.
2. Mahasiswa/I mengetahui dan memahami klasifikasi, jenis- jenis, etiologi, gejala dan
tanda, terapi serta edukasi dari gangguan otot.

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1

SKENARIO
SKENARIO- 3
PENTINGNYA PEMANASAN (WARMING UP)
Seorang atlet wanita pelari marathon mengikuti perlombaan lari jarak jauh 10

kilometer. Karena sesuatu hal, dia terlambat sampai di tempat pertandingan sehingga
terlambat melakukan pemanasan. Seusai pertandingan dia merasa sakit di bagian engkel kaki,
lalu oleh tim medis atlet tersebut dibawa ke rumah sakit, untuk mendapatkan penanganan.
Selanjutnya, atlet tersebut dianjurkan untuk menggunakan tongkat selama 1 bulan.

2. 1. 1

KEYWORD

1. Sakit di bagian engkel kaki

: tim penyusun mengangkat isi makalah dari kata ini,

karena bagian engkel adalah bagian dari tendon kaki sehingga tim penyusun
menyimpulkan bahwa skenario kali ini mengarah pada otot dan tendon yang
mengalami cedera.

2. 2
2. 2. 1

LEARNING OBJECTIVE
CEDERA TENDON
Trauma pada tendon akan memberikan injuri atau suatu kondisi ruptur yang akan

memberikan manifestasi gangguan terhadap fungsi tendon yang terkena.


A. Ruptur Tendon Achiles
Definisi. Tendon achiles berasal dari gabungan tiga oto yaitu gastroknemius, soleus,
dan otot plantaris. Pada manusia, letaknya tepat di bagian pergelangan kaki. Tendon
achilles adalah tendon tertebal dan terkuat pada tubuh manusia. Panjangnya sekitar 15
cm, dimulai dari pertengahan tungkai bawah. Kemudian strukturnya semakin
mengumpul dan melekat pada bagian tengah- belakang tulang kalkaneus. Tendon
achilles adalah tendon yang paling kuat dan paling besar di dalam tubuh, terdiri atas
struktur tendinous (melekatkan otot ke tulang) yang dibentuk oleh gabungan antara
otot gastroknemius dan otot soleus yang terdapat di betis. Tendon ini melekat pada
tulang tumit (kalkaneus) dan menyebabkan kaki untuk berjinjit (plantar fleksi) ketika
otot- otot betis berkontraksi. Tendon ini sangat penting untuk berjalan, berlari, dan
melompat secara normal. Ruptur tendon achilles adalah robek atau terputusnya
hubungan tendon (jaringan penyambung) yang disebabkan oleh suatu cedera dari
perubahan posisi kaki secara tiba- tiba atau mendadak dalam keadaan dorsofleksi
pasir maksimal, atau akibat suatu trauma benda tajam atau tumpul pada bawah betis.
Patofisiologi. Ruptur traumatik tendon achilles, biasanya terjadi dalam selubung
tendon, akibat perubahan posisi kaki secara tiba- tiba atau mendadak dalam keadaan
dorsofleksi pasif maksimal sehingga terjadi aktivitas di mana kontraksi mendadak
pada otot betis dengan kaki terfiksasi dengan kuat ke bawah dan di luar kemampuan
batas tendon achilles untuk menerima suatu beban.
4

Manifestasi klinik. Pada pengkajian didapatkan adanya riwayat langsung pada


tendon achilles, atau adanya suatu cedera olahraga seperti pada atletik pada saat
melakukan lari atau melompat. Keluhan utama berupa rasa sakit mendadak dan berat
dapat dirasakan di bagian belakang pergelangan kaki atau betis. Pada pemeriksaan
fisik lokal didapatkan adanya hal- hal berikut ini.
Look Pada fase awal cedera kaki terlihat bengkak, dan timbul memar pada area
belakang bawah kaki. Sebuah kesenjangan atau depresi dapat dilihat di tendon sekitar
2 cm di atas tulang tumit. Pada kondisi yang telah lama di mana pembengkakan telah
berkurang, kondisi klinik tidak begitu jelas dan hanya menyisakan suatu bekas trauma
pada tendon achilles walaupun dengan melakukan pemeriksaan move dapat
mendeskripsikan kelainan pada tendon achilles.
Feel

Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness).

Move Ketidakmampuan (tumit tidak dapat digerakkan turun atau naik) dan nyeri
hebat dalam melakukan plantar fleksi kaki.
Pemeriksaan diagnostik. Walaupun tidak terlalu penting, pemeriksaan Rontgen atau
dengan USG dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya ruptur pada tendon.
Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan ke keadaan
normal dan memungkinkan pasien untuk melakukan apa yang dapat dilakukan
sebelum cedera. Biasanya dianjurkan melakukan bedah perbaikan segera pada ruptur
tendon achilles komplet agar hasilnya memuaskan. Pada keadaan tertentu,
penatalaksanaan konservatif dengan gips sirkuler plantar fleksi selama 6 sampai 8
minggu dapat dilakukan.

B. Ruptur Tendon Patela


Definisi. Ruptur tendon patella adalah suatu kondisi terputusnya tendon pada patela.
Etiologi. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan ruptur tendon patela yaitu
sebagai berikut.
1) Trauma, bisa bersifat langsung atau suatu mekanisme kontraksi eksentrik dari
otot kuadriseps pada atlet pelari.
2) Iritasi tendon akibat berdiri lama.
3) Degeneratif jaringan tendon.
4) Pemberian kortikosteroid, pada pemberian injeksi arikular pada pasien
tendinitis patela.
5) Penyakit sistemik, seperti SLE dan inflamasi sendi kronik.
Manifestasi klinik. Keluhan nyeri merupakan kondisi umum yang dilaporkan. Nyeri
pada lutut akan bertambah apabila sendi lutut digerakkan. Pada pemeriksaan fisik
regional, didapatkan tanda- tanda berikut.
Look Didapatkan adanya pembengkakan lutut, kemerahan, dan hemarthrosis.
Feel

Tenderness dan kelembutan pada sendi lutut.

Move Keterbatasan dalam menggerakkan sendi lutut.


Pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan radiografi dilakukan secara AP/Lat untuk
menilai posisi patella dan adanya injuri traumatik pada lutut, seperti kondisi
hemarthrosis. Pemeriksaan USG unruk menilai adanya distrupsi dari tendon.
Pemeriksaan yang paling efektif adalah dengan MRI untuk menilai serat tendon,
kondisi perdarahan, dan edema.

Penatalaksanaan. Konservatif, penatalaksanaan dengan imobilisasi lutut dari ekstensi


selama 6 minggu. Pembatasan penggunaan latihan lutut baru dilakukan paling sadikit
3 bulan, agar ada kesempatan tendon mengalami proses perbaikan. Intervensi bedah,
dilakukan dengan memperbaiki jaringan tendon patela yang rusak.

2. 2. 2

GANGGUAN pada OTOT


Berbagai kondisi gangguan neuromuskular memberikan manifestasi terhadap

gangguan pada otot sehingga memberikan dampak terhadap gangguan pada sistem
muskuloskeletal.
A. Distrofi Muskular
Definisi. Distrofi otot merupakan kelompok gangguan otot kronik dikarakteristikkan
oleh kelemahan dan pelisutan skelet progresif atau otot volunter.
Etiologi. Etiologi dari distrofi muskular berhubungan dengan abnormalitas kode
genetik khusus pada protein otot. Muskular distrofi secara genetik diklasifikasikan
menjadi sex- linked, resesif otosomal, dan dominan otosomal.
1) Sex-linked.
a. Duchenne.
b. Becker.
c. Emery-Dreifuss.
2) Resesif otosomal.
a. Facioscapulohumeral.
b. Distal.
c. Okular.
d. Okulofaringeal.
3) Dominan otosomal.
Patofisiologi. Multipel protein yang terlibat dalam interaksi kompleks dari membran
otot. Penurunan aktivitas dari gen distrofin memberikan efek terhadap kematian dari
sebagian sel- sel otot dan peningkatan dari aktivitas invasi makrofag. Kondisi
kerusakan ini dimediasi oleh respons imunitas seperti human leukocyte antigens
8

(HLAs) dan memberikan manifestasi terjadinya distrofi muskular. Antibodi


monoklonal selektif hibridisasi juga meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas
komplemen membran yang memberikan efek terhadap kematian sel- sel otot yang
digantikan dengan infiltrat fibrotik pada otot. Kondisi ini memberikan kelemahan
pada otot dan akhirnya menyebabkan kondisi kontraktur.
Manifestasi klinis. Pada distrofi muskular Duchene, didapatkan tiga tanda mayor,
yaitu pada kelemahan otot saat mulai berjalan, hilangnya kemampuan untuk ambulasi,
dan kelemahan otot pada saat akan meninggal dunia. Secara umum klinis motorik
normal, walaupun didapatkan keterlambatan perkembangan otot. Tanda klinis penting
adalah gaya berjalan Gait disertai hiperlordosis dari lumbal pada saat berjalan.
Manifestasi umum yang sering didapatkan pada penderita distrofi muskular yaitu
riwayat sering jatuh dan abnormalitas dari muskuloskeletal.
Pemeriksaan diagnostik. Radiodiagnostik, yaitu :
1) Ultrasonography (USG) dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan pada
sistem muskular.
2) Electromyography (EMG) untuk mendeteksi adanya gangguan pada otot.
Penatalaksanaan medis. Tindakan terhadap distrofi muskular pada manajemen
ortopedik terdiri atas penatalaksanaan suportif dan intervensi bedah.
1) Penatalaksanaan suportif.
Penatalaksanaan suportif ditujukan untuk mempertahankan klien seaktif
mungkin

dan

berfungsi

senormal

mungkin,

serta

meminimalkan

penyimpangan fungsional. Program latihan terapeutik ditujukan untuk klien


individual untuk mencegah ketegangan otot, dan atrofi disuse. Bebat malam

dan latihan peregangan digunakan utnuk menunda kontraktur sendi, khususnya


pergelangan kaki, lutut, dan panggul. Brace dapat mengompensasi kelemahan
otot.
2) Intervensi Bedah.
Bedah ortopedi perbaikan dilakukan untuk memperbaiki deformitas. Berbagai
intervensi, seperti tenotomi pada kontraktur sendi hip dan lutut untuk
menurunkan progresivitas, dekompresi, dan stabilisasi fusi spina dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan pada fungsi paru.
B. Miatenia Gravis
Definisi. Miatenia gravis merupakan gangguan yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang parah. Penyakit ini adalah
satu- satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya
terjadi kelelahan otot- otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu
10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot- otot volunter
dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan dapat terjadi pada
beberapa usia, hal ini terlihat paling sering pada wanita antara 15 sampai 35 tahun dan
pada pria sampai 40 tahun.
Patofisiologi. Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan
pada transmisi impuls saraf menuju sel- sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuskular. Otot
rangka atau otot lurik dipersarafi oleh saraf besar bermielin yang berasal dari sel
kornu anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf- saraf ini mengirimkan
aksonnya dalam bentuk saraf- saraf spinal dan kranial menuju ke perifer. Masing-

10

masing saraf bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2.000 serabut
otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut- serabut otot yang dipersarafi
dinamakan unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi banyak
serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik.
Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang
terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah
sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur presinaps terdiri atas akson
terminal

dengan

vesikel

sinaps

yang

berisi

asetilkolin

yang

merupakan

neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran


plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur post-sinaps terdiri atas
membran postsinaps (post-functional membrane) atau lempeng akhir motorik serabut
otot. Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson
terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih
dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang, mungkin akibat
cedera otoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin ditemukan dalam
serum banyak penderita miastenia gravis. Apakah ini merupakan akibat kerusakan
reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum dikenal, merupakan
faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang tepat dari miastenia
gravis.
Manifestasi klinis. Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis
meminta pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi dari adanya penurunan atau
kelemahan otot- otot, dengan manifestasi : diplopia (penglihatan ganda), ptosis
(jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis,

11

disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi
berat

keluhan

utama

biasanya

adalah

ketidakmampuan

menutup

rahang,

ketidakmampuan batuk efektif dan dispnea. Pada riwayat, didapatkan bahwa


miastenia gravis juga menyerang otot- otot wajah, laring, dan faring. Keadaan ini
dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien mencoba menelan (otot- otot
menelan); menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal; san klien tidak mampu
menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Pada
pemeriksaan fisik motorik, didapatkan adanya kelemahan umum pada otot- otot
rangka sehingga memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi
aktivitas klien. Pada pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum
atau periosteum derajat refleks terletak pada respons normal.
Pemeriksaan diagnostik.
1) Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah tes otoimun, dengan
menilai anti-AchR antibody (Ab) di mana didapatkan tanda positif pada 74%
kasus.
2) Pemeriksaan radiografi dan CT scan dilakukan untuk mendeteksi adanya
timoma pada ruang mediatinum.
3) MRI dilakukan untuk mendeteksi penyebab defisit neurologis.
Penatalaksanaan. Penatalaksanaan dengan mempertimbangkan severitas, distribusi,
keganasan, dan progresivitas. Penatalaksanaannya adalah sebagai berikut.
1) Immunomodulasi, biasanya dengan menggunakan kortikosteroid.
2) AchE Inhibitors.
3) Plasmapheresis dan Thymectomy untuk meningkatkan sistem imunitas.

12

C. Penyakit Botulisme
Definisi. Penyakit botulisme adalah penyakit serius yang menyebabkan kelumpuhan
dari otot- otot. Kondisi ini disebabkan oleh suatu neurotoksin, yang disebut toksin
botulinum, yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium botulinum.
Etiologi. Secara etiologi, penyakit ini dibagi menjadi berikut ini.
1) Food-borne botulism, yang didapat dari makanan yang mengandung toksin
botulinum.
2) Wound botulism, kondisi ini disebabkan oleh neurotoksin yang masuk melalui
luka yang terinfeksi dengan bakteri clostridium botulinum.
3) Infant botulism, terjadi ketika bayi mengonsumsi spora dari bakteri botulinum.
Bakteri kemudian tumbuh di dalam usus- usus dan melepaskan neurotoksin.
Patofisiologi.

Mekanisme

aksi

dari

toksin

dengan

memblokade

transmisi

neuromuskular di dalam serat saraf kolinergik. Kondisi ini memberikan dampak


inhibisi atau hambatan pelepasan asetilkolin pada prasinaptik mioneural junction
sehingga saraf tidak dapat merangsang otot untuk berkontraksi; kecuali, apabila sel
saraf mampu memperbaharui akson baru yang tidak mempunyai paparan pada
neurotoksin, jika tidak maka beberapa otot tidak dapat berkontraksi.
Manifestasi klinik. Gejala- gejala klasik dari botulism termasuk penglihatan ganda
atau kabur, ptosis, hipotensi ortostatik, kesulitan menelan, distensi abdominal dan
kandung kemih, konstipasi, paralisis ileus, inkoordinasi, dan kelemahan otot. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya refleks gag dan refleks tendon dalam yang
berkurang atau tidak hadir.

13

Pemeriksaan diagnostik. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya toksin


botulinum pada serum, aspirasi lambung, atau feses. Pemeriksaan electromyography
(EMG) dilakukan untuk menilai potensial aksi dari konduksi saraf.
Penatalaksanaan. Tujuan penatalaksanaan bersifat suportif. Intervensi tersebut antara
lain sebagai berikut.
1) Tirah baring total.
2) Monitoring adanya gagal napas dengan spirometry, pulse oximetry, kapasitas
vital, dan analisis gas darah arteri.
3) Pemberian antitoksin botulinum.
4) Terapi antibiotik, dengan dosis tinggi penisilin.
5) Intervensi bedah debridemen pada luka yang terkontaminasi.
6) Terapi fisik dan okupasi.

14

BAB III
PENUTUP
3. 1

KESIMPULAN

1. Jenis- jenis penyakit pada tendon antara lain, yaitu :


a. Ruptur tendon achilles
b. Ruptur tendon patella
2. Jenis- jenis penyakit pada otot antara lain, yaitu :
a. Miastenia gravis
b. Distrofi muskular
c. Penyakit botulisme

3. 2

SARAN

Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
1. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
2. Pembahasan secara langsung dengan informasi yang benar- benar up to date.
Beberapa poin di atas merupakan saran dari tim yang dapat diberikan, apabila ada
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini
disusun serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi para pembaca
khususnya mahasiswa fakultas kedokteran UISU smester VII/2013 dalam menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan.

15

DAFTAR PUSTAKA
Noor H, Zairin. BUKU AJAR GANGGUAN MUSKULOSKELETAL. 2012. JAKARTA :
SALEMBA MEDIKA.
K.Kendall; L.Tao. SINOPSIS ORGAN SYSTEM MUSKULOSKELETAL & JARINGAN
IKAT. 2013. Tangerang : KARISMA Publishing Group.
A.

Soeparman (1995), Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kedua, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.

16

You might also like